Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis) (Ubaedillah & Rozak, 2012). Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada galibnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga unsur ini perlu ditunjang dengan unsur lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia internasional yang oleh Mahfud M.D. disebut dengan unsur deklaratif (Mahfud MD., 2001).
Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak bisa dibayangkan jika ada suatu negara tanpa rakyat. Hal ini mengingat rakyat atau warga negara adalah substratum personel dari negara (Kansil, 1979).
Adapun wilayah adalah unsur negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa batas-batas teritorial yang jelas. Secara umum, wilayah dalam sebuah negara biasanya mencakup daratan, perairan (samudra, laut, dan sungai), dan udara. Dalam konsep negara modern masing-masing batas wilayah tersebut diatur dalam perjanjian dan perundang-undangan internasional (Kaelani, 1999).
Sedangkan pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam. Untuk mewujudkan cita-cita bersama tersebut dijumpai bentuk-bentuk negara dan pemerintahan. Pada umumnya, nama sebuah negara identik dengan model pemerintahan yang dijalankannya, misalnya, negara demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer atau presidensial. Ketiga unsur ini dilengkapi dengan unsur negara lainnya, konstitusi (Kansil, 2001).
Unsur pengakuan oleh negara lain hanya bersifat menerangkan tentang adanya negara. Hal ini hanya bersifat deklaratif, bukan konstutif, sehingga tidak bersifat mutlak. Ada dua macam pengakuan suatu negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Pengakuan de facto ialah pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan ini didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi tiga unsur utama negara (wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat). Adapun pengakuan de jure merupakan pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum. Dengan memperoleh pengakuan de jure, maka suatu negara mendapat hak-haknya di samping kewajiban sebagai anggota keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban dimaksud adalah hak dan kewajiban untuk bertindak dan diberlakukan sebagai suatu negara yang berdaulat penuh di antara negara-negara lain (Lubis, 1982).
Bentuk-bentuk Negara
Negara sendiri memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum, dalam konsep teori modern, negara terbagi ke dalam dua bentuk: negara kesatuan (unitarianisme) dan negara serikat (federasi). (Prasetyo, 2005)
-
Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem pemerintahan: sentral dan otonomi.
-
Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah di bawahnya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Model pemerintahan Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto adalah salah satu contoh sistem pemerintahan model ini.
-
Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah di wilayahnya sendiri. Sistem ini dikenal dengan istilah otonomi daerah atau swatantra. Sistem pemerintahan negara Malaysia dan pemerintahan pasca-Orde Baru di Indonesia dengan sistem otonomi khusus dapat dimasukkan ke model ini.
-
Negara serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-negara bagian tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat, dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan negara serikat, dengan sendirinya negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara serikat. Di samping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok: monarki, oligarki, dan demokrasi.
-
Pemerintahan monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai oleh raja atau ratu. Dalam praktiknya, monarki memiliki dua jenis: monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu. Termasuk dalam kategori ini adalah Arab Saudi. Adapun, monarki konsitusional adalah pemerintahan yang kekuasaan kepala pemerintahannya (perdana menteri) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Praktik monarki konstitusional ini adalah yang paling banyak dipraktikkan di beberapa negara, seperti, Malaysia, Thailand, Jepang, dan Inggris. Dalam model monarki konstitusional ini, kedudukan raja hanya sebatas simbol negara.
-
Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
-
Pemerintahan model demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu).
Teori Terbentuknya Negara
Bentuk-bentuk negara yang telah disebutkan di atas ada teori tentang pembentukannya. Di antara teori-teori terbentuknya sebuah negara, yaitu:
-
Teori Kontrak Sosial ( Social Contract )
Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani, karena keberlangsungannya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara dengan lembaga negara. Penganut mazhab pemikiran ini antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Roussae.
Menurut Hobbes, kehidupan manusia terpisah dalam dua zaman, yakni keadaan selama belum ada negara, atau keadaan alamiah (status naturalis, state of nature), dan keadaan setelah ada negara. Bagi Hobbes, keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera, tetapi sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar-individu di dalamnya. Karenanya, menurut Hobbes, dibutuhkan kontrak atau perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.
Berbeda dengan Hobbes yang melihat keadaan alamiah sebagai suatu keadaan yang kacau, John Locke melihatnya sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen baik, saling menolong antar individu- individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Sekalipun keadaan alamiah dalam pandangan Locke merupakan suatu yang ideal, ia berpendapat bahwa keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya kekacauan lantaran tidak adanya organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka. Di sini, unsur pimpinan atau negara menjadi sangat penting demi menghindari konflik di antara warga negara bersandar pada alasan inilah negara mutlak didirikan.
Namun demikian, menurut Locke, penyelenggara negara atau pimpinan negara harus dibatasi melalui suatu kontrak sosial. Dasar pemikiran kontrak sosial antar negara dan warga negara dalam pandangan Locke ini merupakan suatu peringatan bahwa kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. Hal ini disebabkan karena dalam melakukan perjanjian individu-individu warga negara tersebut tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka. Menurut Locke, terdapat hak-hak alamiah yang merupakan hak-hak asasi warga negara yang tidak dapat dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.
Berbeda dengan Hobbes dan Locke, menurut Roussaeu keberadaan suatu negara bersandar pada perjanjian warga negara untuk meningkatkan diri dengan suatu pemerintah yang dilakukan melalui organisasi politik. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dasar kontraktual, melainkan hanya organisasi politiklah yang dibentuk melalui kontrak. Pemerintah sebagai pimpinan organisasi negara dan ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan wakil-wakil dari warga negara. Yang berdaulat adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya. Pemerintah tidak lebih dari sebuah komisi atau pekerja yang melaksanakan mandat bersama tersebut.
-
Teori Ketuhanan (Teokrasi)
Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah dokrin teokritis. Teori ini ditemukan di Timur maupun di belahan dunia Barat. Teori ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana Eropa pada Abad Pertengahan yang menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan mutlak para raja.
Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Mereka mendapat mandat Tuhan untuk bertakhta sebagai penguasa. Para raja mengklaim sebagai wakil Tuhan di dunia yang mempertanggungjawabkan kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Praktik kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach (penentang raja). Menurut mereka, raja tiran dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat dibunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat.
Dalam sejarah tata negara Islam, pandangan teokritis serupa pernah dijalankan raja-raja Muslim sepeninggal Nabi Muhammad saw. Dengan mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di dunia ( khalifatullah fi al-ard, dzilullah fi al-ard), raja-raja Muslim tersebut umumnya menjalankan kekuasaannya secara tiran. Serupa dengan para raja-raja di Eropa Abad Pertengahan, raja-raja Muslim merasa tidak harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat, tetapi langsung kepada Allah. Paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan ( dien wa dawlah ). Pandangan ini berkembang menjadi paham dominan bahwa Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sama halnya dengan pengalaman teokrasi di Barat, penguasa teokrasi Islam menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok anti-kerajaan.
-
Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran ( raison d’etre ) dari terbentuknya sebuah negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses pembentukan suatu negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan di mana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara.
Teori ini berawal dari kajian antropologis atas pertikaian di kalangan suku-suku primitif, di mana sang pemenang pertikaian menjadi penentu utama kehidupan suku yang dikalahkan. Bentuk penaklukan yang paling nyata di masa modern adalah penaklukan dalam bentuk penjajahan Barat atas bangsa-bangsa Timur. Setelah masa penjajahan berakhir di awal abad ke-20, dijumpai banyak negara-negara baru yang kemerdekaannya banyak ditentukan oleh penguasa kolonial. Negara Malaysia dan Brunei Darussalam bisa dikategorikan ke dalam jenis ini.