Apa yang dimaksud dengan Mobilitas Sosial?

image
Dalam ilmu Sosiologi terdapat istilah mobilitas sosial.

Apa yang dimaksud dengam mobilitas sosial?

Mobilitas sosial (gerak sosial ) adalah proses perpindahan dari kedudukan satu ke kedudukan lainnya yang lebih tinggi atau sebaliknya. Gejala semacam ini sangat umum ditemui dalam dunia sosial. Ada orang yang dulunya “kere” kemudian berubah jadi orang “terhormat” karena menjadi kaya dan punya kedudukan yang mendatangkan status dengan hak istimewa. Ada juga orang yang awalnya berada di puncak lapisan masyarakat tiba-tiba pada suatu saat jatuh pada lapisan bawah.

Itulah yang disebut oleh Kimball Young dan Raymond W. Mack (1959) sebagai suatu gerak dalam struktur sosial. Menurutnya, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok serta hubungan antara individu dan kelompoknya.

Cara Melakukan Mobilitas Sosial


Secara umum, cara orang untuk dapat melakukan mobilitas sosial ke atas adalah sebagai berikut:

1. Perubahan Standar Hidup

Standar hidup mengacu pada gaya, selera, dan tingkat konsumsi ekonomi dan budaya yang menunjukkan status sebagaimana layaknya orang kaya atau kelas atas. Dengan bergaya seperti laiknya orang kaya, berarti akan dilihat seakan status kita naik (di mata orang lain) meskipun penghasilan tak sebanyak orang-orang yang ingin ditirunya. Pun, orang yang penghasilannya tinggi, tetapi gaya hidup dan standar gaya dan konsumsi budayanya rendah, biasanya akan dipandang orang lain statusnya rendah. Artinya, kenaikan penghasilan tidak dengan serta-merta menaikkan status seseorang, tetapi akan merefl eksikan suatu standar hidup yang lebih tinggi.

Contoh: jika ada orang yang tiba-tiba mendapatkan pekerjaan bagus dan mendatangkan banyak penghasilan, tidak dengan sertamerta status dan kehormatannya di masyarakat akan naik jika gayanya masih seperti orang yang berpenghasilan rendah dengan alasan hidup sederhana.

2. Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan status sosial yang lebih tinggi. Tentunya jika menikah dengan orang yang kaya dan punya status tinggi. Jika seorang perempuan dari keluarga miskin menikah (dinikahi) laki-laki kaya statusnya akan naik. Ini karena pernikahan adalah menyatukan dia dengan suaminya, yang dipandang orang lain juga sebagai satu kesatuan. Suaminya yang kaya akan menutupi segala kekurangan-kekurangannya yang dibawa dari latar belakangnya.

Akan tetapi, pernikahan antara perempuan miskin dan lakilaki kaya sangatlah penuh risiko. Terutama bagi si perempuan, dalam ranah domestik. Ketergantungan ekonomi pada laki-laki dan fakta bahwa si laki-laki (suami) yang memberinya nafkah akan membuat si laki-laki mendominasi dan menganggap dirinya yang paling berkuasa. Kekuasaan ini bisa mengarah pada tindakan tidak demokratis, misalnya ia akan berkeinginan untuk selingkuh. Jika diketahui si istri, betapa sakit hati perasaannya. Kadang, si suami juga punya keinginan menikah lagi. Dalam konteks ini, perkawinan seakan tak dilandasi cinta, tetapi ajang relasi kuasa. Tak ada cinta yang bisa dibagi, yang bisa dibagi adalah harta atau seks. Perempuan yang suaminya kaya dan ia hanya “nunut (menumpang)” melalui perkawinan akan mendapatkan rasa sakit hati semacam itu.

Akan tetapi, hal ini tak mengurangi status jika dipandang oleh orang lain (masyarakat). Apalagi, tindakan selingkuh dilakukan secara sembunyi dan ketika istri tahu, ia akan menyimpannya, kadang masyarakat kurang tahu. Kecuali, jika si suami menikah lagi, masyarakat akan tahu, tetapi tampaknya tak akan mengurangi status atau kehormatan masyarakat pada si istri. Hak istimewa si istri memang dikurangi atau bahkan dihilangkan oleh suami karena si suami lebih sering memberikan perhatian besar pada istri barunya. Namun, biasanya status di masyarakat akan berkaitan dengan fakta bahwa istri pertama lebih identik dengan si suami dan statusnya, juga kehormatannya karena kekayaan dan kedudukan yang ada di masyarakat.

3. Perubahan Tempat Tinggal

Rumah atau tempat tinggal biasanya dianggap sebagai wakil tingkat kekayaan seseorang yang sudah berkeluarga. Untuk meningkatkan status sosial, seseorang dapat berpindah tempat tinggal dari tempat tinggal yang lama ke tempat tinggal yang baru. Atau, dengan cara merekonstruksi tempat tinggalnya yang lama menjadi lebih megah, indah, dan mewah.

4. Perubahan Tingkah Laku

Kelas atas biasanya memiliki karakter budaya, mulai pakaian, perkataan, tingkah laku, dan lain-lain yang lahir dari posisi kelasnya. Karena terdidik dengan baik dan banyak mengonsumsi pengetahuan, misalnya buku-buku atau majalah-majalah papan atas, perkataannya sering menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda dengan yang digunakan dengan kelas bawahan.

Oleh karena itu, tak sedikit orang yang ingin status dan prestisnya naik, dia meniru tingkah laku dan gaya berpakaian maupun ucapan para orang kaya seperti kelas selebritis. Agar penampilannya meyakinkan dan dianggap sebagai orang dari golongan lapisan kelas atas, ia selalu mengenakan pakaian yang bagus-bagus. Jika bertemu dengan kelompoknya, dia berbicara dengan menyelipkan istilahistilah asing.

5. Perubahan Nama

Nama itu tentunya bermakna dan mencerminkan status atau budaya. Dalam suatu masyarakat, sebuah nama diidentifikasikan pada posisi sosial tertentu. Nama-nama bangsawan akan beda dengan nama-nama rakyat jelata. Oleh karena itu, tak mengherankan jika gerak ke atas dapat dilaksanakan dengan mengubah nama yang menunjukkan posisi sosial yang lebih tinggi. Sebagai contoh: di kalangan masyarakat feodal Jawa, ketika seorang yang awalnya rakyat biasa diangkat menjadi pejabat (pamong praja), ia biasanya akan mengubah namanya sebagaimana kedudukannya yang baru, ditambahi nama depan “raden”.

Faktor-Faktor Penghambat Mobilitas Sosial


Faktor-faktor penghambat mobilitas sosial antara lain sebagai berikut:

Rasialisme

Rasisme yaitu perasaan/pandangan bahwa ras yang dianggap rendah tidak boleh menduduki tempat-tempat atau posisi-posisi sebagai mana ras lainnya. Misalnya, ras berkulit hitam atau berwarna hanya dipandang pantas sebagai kelas pekerja atau budak. Pandangan seperti itu akan membuat orang yang berasal dari ras yang dipandang rendah akan sulit untuk naik kelas;

Agama

Seperti yang terjadi pada agama-agama yang mendukung sistem kasta, misalnya di India. Tentu bukan hanya agama yang bersistem kasta saja yang menyebabkan sulitnya mobilitas sosial. Akan tetapi, jika mobilitas sosial akan terjadi bila seseorang mempunyai semangat kemajuan dan kreativitas atau pengetahuan, agama yang hanya membuat orang hanya bisa pasrah pada keadaan juga merupakan hambatan budaya.

Kecenderungan agama yang hanya membuat manusia berpasrah pada keadaan (fatalisme), dengan doktrin “biarlah kalian bersusah-susah di dunia, sabar saja karena nanti kesengsaraan itu akan dibalas di surga dengan kenikmatan tiada tara” akan membuat kelas bawah tidak bersemangat kemajuan untuk mengubah nasibnya. Ajaran kedermawanan, seperti zakat, juga membuat orang merasa bahwa solusi kemiskinan adalah pemberian dan pertolongan orang lain. Pemberian semacam ini akan membuat orang miskin tergantung dan tak merasa harus bangkit memaksimalkan dirinya untuk bangkit mencari pekerjaan, melengkapi diri dengan pengetahuan dan keterampilan;

Kemiskinan

Suatu kondisi yang membuatnya tidak memiliki modal untuk membiayai diri mendapatkan pendidikan (pengetahuan dan keterampilan) sehingga ia tak akan bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Seorang remaja atau pemuda memutuskan untuk tidak sekolah karena tak ada biaya. Maka, ia akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik yang biasanya syarat-syaratnya adalah pendidikan yang dibuktikan dengan ijazah;

Perbedaan jenis kelamin

Pandangan yang menganggap bahwa suatu kedudukan atau pekerjaan hanya pantas dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Pandangan yang menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan tidak layak untuk menduduki jabatan tertentu (misalnya, presiden atau bupati) akan menghambat mobilitas sosial kaum perempuan. Pandangan yang memandang perempuan lemah dan hanya boleh berperan dalam ranah publik jelas akan menghambat mobilitas perempuan untuk naik kelas;

Budaya Kolusi dan Nepotisme

Budaya memberikan jabatan dan kedudukan pada anggota keluarga, kerabat dan saudara, atau orang-orang yang memberinya sogokan. Rekrutmen pekerjaan dan kedudukan/jabatan bukan didasarkan pada kemampuan dan kecerdasan seseorang, melainkan pada kedekatan emosional atau karena sogokan. Ini merupakan salah satu hambatan bagi orang yang ingin atau yang mampu menduduki jabatan, tetapi tidak dekat dengan orang yang menentukan posisi yang diinginkan.

Bentuk Moblitas Sosial


Bentuk-bentuk mobilitas sosial yang ada di masyarakat, antara lain:

Mobilitas Sosial Horizontal

Ini adalah gerak sosial ketika terjadi peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang tingkatannya sederajat. Tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya yang mendatangkan kehormatan, penghasilan yang lebih banyak, atau status sosial yang baru. Misalnya, pergantian kewarganegaraan, seperti warga asing yang karena pindah ke Indonesia mengganti status kewarganegaraannya. Atau, guru SD yang dipindah ke sekolah lain, tetapi tetap sebagai guru dan bukan sebagai kepala sekolah—karena kalau kepala sekolah berarti terjadi mobilitas ke atas.

Mobilitas Sosial Vertikal

Gerak sosial ini membuat seseorang menjadi naik kelas atau turun kelas. Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat, lebih tinggi atau lebih rendah. Sesuai dengan arahnya, mobilitas sosial vertikal dapat dibagi menjadi dua, mobilitas vertikal ke atas (social climbing) dan mobilitas sosial vertikal ke bawah (social sinking) .

Mobilitas vertikal ke atas (social climbing) mempunyai dua bentuk yang utama:

  • Masuk ke dalam kedudukan yang lebih tinggi. Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, namun kedudukan tersebut telah ada sebelumnya. Contoh: A adalah seorang guru di sebuah sekolah, kemudian ia diangkat menjadi kepala sekolah; dan
  • Membentuk kelompok baru. Pembentukan suatu kelompok baru memungkinkan individu untuk meningkatkan status sosialnya, misalnya dengan mengangkat diri menjadi ketua organisasi. Contoh: pembentukan organisasi baru memungkinkan seseorang untuk menjadi ketua dari organisasi baru tersebut sehingga status sosialnya naik.

Sedangkan, mobilitas vertikal ke bawah (social sinking) mempunyai dua bentuk utama:

  • Turunnya kedudukan. Kedudukan individu turun ke kedudukan yang derajatnya lebih rendah. Contoh: seorang prajurit dipecat karena melakukan tindakan pelanggaran berat ketika melaksanakan tugasnya; dan
  • Turunnya derajat kelompok. Derajat sekelompok individu menjadi turun yang berupa disintegrasi kelompok sebagai kesatuan. Contoh: Juventus terdegradasi ke seri B. Akibatnya, status sosial tim pun turun.

Mobilitas Antargenerasi

Mobilitas antargenerasi berarti mobilitas yang terjadi antara dua generasi atau lebih, misalnya generasi ayah-ibu, generasi anak, generasi cucu, dan seterusnya. Mobilitas ini ditandai dengan perkembangan taraf hidup, baik naik atau turun dalam suatu generasi. Penekanannya bukan pada perkembangan keturunan, melainkan pada perpindahan status sosial suatu generasi ke generasi lainnya. Misalnya, si A adalah seorang petani yang sekolah SD saja tidak tamat. Akan tetapi, karena ia berhasil menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dari hasil panennya, anaknya kemudian menjadi seorang pegawai negeri.

Mobilitas Intragenerasi

Mobilitas sosial intragenerasi adalah mobilitas yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam satu generasi. Misalnya, si B awalnya hanyalah seorang buruh. Akan tetapi, karena ia tekun bekerja, rajin menabung, dan bisa memanfaatkan peluang-peluang, akhirnya ia membangun usaha sendiri setelah memutuskan siap keluar dari pabrik. Usahanya ternyata semakin besar dan mendapatkan banyak keuntungan, bahkan kemudian ia punya banyak karyawan. Penghasilannya kian bertambah besar setelah usahanya diperbesar. Maka, ia akhirnya menjadi orang kaya. Karena ia juga aktif di partai politik dan di kalangan rakyat kecil namanya cukup populis, suatu saat ia maju dalam pemilihan DPR di daerahnya, dia pun terpilih. Dengan posisi itu, dia kian kaya. Suatu saat, banyak orang yang mencalonkannya sebagai walikota. Siapa sangka, orang yang 20 tahun lalu hanyalah seorang buruh pabrik, kini menjadi seorang walikota.

Mobilitas Sosial Geografis

Mobilitas sosial geografis adalah gerak sosial yang melampaui geografi , seperti wilayah, status kewarganegaraan/kependudukan, dan lain sebagainya. Jadi, ada perpindahan individu atau kelompok dari satu daerah ke daerah lain.

Bentuknya adalah:

  • Transmigrasi: perpindahan ke daerah lain, tetapi masih satu negara. Misalnya, dari Jawa ke Papua atau Sumatra;
  • Urbanisasi: perpindahan dari daerah tinggalnya yang pedesaan menuju ke wilayah perkotaan; dan
  • Migrasi: perpindahan ke negara lain.

Saluran Mobilitas Sosial


Saluran-saluran mobilitas sosial yang ada di masyarakat, antara lain:

Organisasi Ekonomi

Organisasi ekonomi, seperti perusahaan, koperasi, BUMN, dan lainlain merupakan lembaga strategis untuk memperoleh pendapatan seseorang. Dalam lembaga ini, dimungkinkan prestasi dan hasil kerjanya dihargai yang akan membuatnya dipromosikan utnuk mendapatkan pangkat yang lebih tinggi.

Angkatan Bersenjata

Angkatan bersenjata adalah lembaga tempat aturan kepangkatannya sangat jelas. Selain itu, lembaga ini sangat strategis mengingat posisinya yang penting, terutama di negara-negara berkembang atau negara-negara ketiga yang stabilitas politik dan keamanannya masih belum stabil. Kemenangan angkatan bersenjata adalah karena ia memegang senjata dan merupakan organisasi yang selalu dibutuhkan.

Percepatan mobilitas dalam makna kepangkatan biasanya disebabkan oleh keberaniannya dan kekuatannya dalam bertempur meskipun ia berasal dari kalangan miskin, tetapi jasanya dalam pertempuran atau keamanan akan membuatnya naik pangkat. Selain itu, di masyarakat, orang yang profesinya tentara juga dipertimbangkan. Biasanya, ia juga akan diikutkan dalam lembagalembaga atau aktivitas sosial lainnya. Dengan demikian, ketika ia pensiun pun, ia akan menjadi tokoh masyarakat. Tak heran jika pensiunan tentara banyak yang menjadi kepala desa, bahkan anggota DPR.

Lembaga Pendidikan

Tak lagi diragukan bahwa saluran paling penting bagi mobilitas sosial adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai social elevator (perangkat) yang bergerak dari kedudukan yang rendah ke kedudukan yang lebih tinggi. Mengapa demikian? Dalam pendidikan, orang dididik untuk menyiapkan diri dengan diberikan pengetahuan, keterampilan, dan wawasan untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan, kedudukan, dan jabatan yang ada di masyarakat. Pendidikan memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi.

Lembaga-Lembaga Keagamaan

Sebagai pranata yang sangat dijunjung kesakralannya dan nilainilainya masih punya daya ikat, agama bisa menjadi kekuatan yang dapat digunakan untuk menyalurkan diri dan meraih mobilitas sosial. Tokoh agama adalah tokoh masyarakat, berarti membangun ketokohan lembaga agama ini, juga memungkinkan seseorang untuk mendapatkan status sosial yang tinggi.

Organisasi Politik

Organisasi politik memungkinkan anggotanya yang loyal dan berdedikasi tinggi untuk menempati jabatan yang lebih tinggi, tentunya dengan kerja-kerja politik, seperti lobi-lobi dan membangun jaringan ke pusat-pusat strategis. Selain itu, momentum politik elektoral seperti pemilihan umum juga menyediakan ruang bagi seorang aktivis partai politik untuk memperebutkan jabatan wakil rakyat. Jika sudah menduduki jabatan ini, potensi untuk memperoleh sumber daya yang besar ada di tangan. Tak heran jika hingga saat ini organisasi politik masih merupakan saluran yang banyak diminati oleh orang-orang yang ingin meningkatkan statusnya.

Organisasi atau Lembaga Keahlian

Organisasi keahlian adalah organisasi yang mengumpulkan orangorang dengan keahlian yang sama untuk menyalurkan bakat-bakat mereka. Dengan berorganisasi pada lembaga ini, siapa yang menonjol dalam keahliannya akan dipandang dan statusnya akan meningkat. Organisasi juga bisa dilihat sebagai lembaga atau sarana yang bisa membuat seseorang menyalurkan bakat dan keahliannya. Misalnya, dengan keberadaan koran atau majalah, seorang yang mempunyai keahlian menulis dan mengarang bisa menyumbangkan tulisantulisan, karya, dan pemikirannya melalui media tersebut. Biasanya, penerbit/media akan memberikannya honor yang membuat seorang itu mendapatkan penghasilannya. Selain itu, karena media adalah tempat publikasi, yang nama pengarang/penulisnya tercantum, ia akan kian terkenal. Popularitas ini dalam modal sosial yang penting untuk meningkatkan status .

Mobilitas berasal dari bahasa latin mobilis yang berarti mudah dipindahkan atau banyak bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kata sosial yang ada pada istilah mobilitas sosial untuk menekankan bahwa istilah tersebut mengandung makna gerak yang melibatkan seseorang atau sekelompok warga dalam kelompok sosial. Mobilitas sosial adalah perubahan, pergeseran, peningkatan, ataupun penurunan dalam segi status sosial dan peran termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Misalnya, seorang pensiunan pegawai rendahan salah satu departemen beralih pekerjaan menjadi seorang pengusaha dan berhasil dengan gemilang. Proses perpindahan posisi atau status sosial yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang dalam struktur sosial masyarakat inilah yang disebut gerak sosial atau mobilitas sosial (social mobility).

Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (Bagong Suyatno, 2004) mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya baik itu berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (biasanya) termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Pernyataan Horton dan Hunt di dukung oleh Huky bahwa istilah mobilitas diartikan sebagai suatu gerak orang perorangan atau grup dari suatu kelompok ke kelompok lainnya dalam masyarakat.

Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack ( dalam Narwoko, 2010), mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Tingkat mobilitas sosial pada masing-masing masyarakat berbeda-beda. Pada masyarakat yang bersistem sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung tinggi. Tetapi, sebaliknya, pada sistem sosial tertutup seperti masyarakat feodal atau masyarakat bersistem kasta maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada.