Menurutmu, benarkah pandemi Covid-19 menjadi ladang bisnis untuk pemerintah?

Di tengah pemberlakuan new normal, dengan alasan keselamatan, mobilitas jarak jauh kembali diizinkan dengan adanya persyaratan bukti hasil tes negatif COVID-19. Tentunya tes ini berbayar dan harganya tidak murah. Tes PCR hingga saat ini masih berkisar antara Rp. 900.000 - 1000.000. Karena dirasa memberatkan, akhirnya alternatif rapid test dengan kisaran harga Rp. 150.000 pun disediakan oleh Kementrian Perhubungan. Anehnya, persyaratan ini tidak diberlakukan untuk semua moda transportasi.

Selain itu, seperti yang disampaikan oleh Komisioner Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie, ternyata syarat tes untuk perjalanan domestik hanya ada di Indonesia. Beliau berkata tidak ada negara lain yang mensyaratkan rapid test atau swab test untuk perjalanan domestik. Hal ini ditambah lagi dengan pengaduan adanya sejumlah kepala daerah yang memberlakukan syarat rapid test untuk melintas di daerahnya. Apakah menurutmu ada kemungkinan pemerintah menjadikan tes sebagai ladang bisnis baru di tengah pandemi?

4 Likes

Pandemi Covid-19 disebabkan oleh koronavirus jenis baru atau yang sering disebut dengan SARS-CoV-2. Wabah ini pertama kali di deteksi di Kota Wuhan, Hubei, Tiongkok pada 1 Desember 2019 dan ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020. Dengan banyak nya kasus pasien yang sembuh dan pasien yang meninggal hingga tahun 2021, hal ini harusnya menjadi cerminan bagi masyarakat bahwa pandemi Covid-19 ini benar-benar ada. Namun, karena adanya penyalahgunaan bantuan dana dari pemerintah oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab, maka pandemi Covid-19 ini justru sering di jadikan ladang bisnis.

Contoh dari penyalahgunaan bantuan dari pemerintah oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab antara lain seperti mahalnya SWAB PCR di Indonesia yang berkisar Rp9.000.000,00 - Rp1.200.000,00 sedangkan untuk di India sendiri berkisar Rp90.000-100.000, lalu terjadinya pengurangan stock obat-obatan di apotek membuat masyarakat kesusahan untuk mencari obat yang di butuhkan mereka, selanjutnya terjadinya korupsi bantuan sosial oleh menteri sosial RI, Juliari Peter Batubara, terkait kasus suap pengadaan bantuan sosial (Bansos).

Hal ini harusnya turut menjadi perhatian bagi pemerintah agar dapat bertanggung jawab dengan jabatan yang dimilikinya karena menjabat itu bukan perkara gaji dan hidup mewah saja, namun juga bagaimana bertanggung jawab atas jabatan yang sedang ditekuni.

Pemberlakuan penetapan harga SWAB-PCR di Indonesia terbilang cukup fantastis jika dibandingkan negara lain, diindonesia sendiri dapat menyentuh harga 900-1,2 juta tuk sekali swabnya ,hal tersebut berbeda dengan negara lain ,bayangkan saja dengan harga PCR-SWAB yang ada di India yang hanya berkisar 96-150 ribu rupiah saja ,menurut kepala Mentri India, Arvid Kejriwal ini hal ini dilakukan untuk membantu mayarakat yang berpenghasilan rendah.

Di negara kita pun sebetulnya terdapat tes pcr gratis yang dilakukan oleh kementrian kesehatan malalui puskesmas namun jumlah antirian yang terlalu banyak membut masyrakat harus menunggu untuk swab selama seminggu lamanya.

Seharusnya pemerintah dapat menurunkan harga eceran tertinggi pada swab pcr agar terdapat pemerataan masyarakat dengn penghasilan rendah ,apalagi saat ini jika pemerintah berencana mewajibakn agar fasilitas masyrakat tuk divaksin atau setidaknya tuk SWAB-PCR maka terdapat kecurigaan dari opini masyarakat sehingga kepercayaan publik pada pemerintah pun semakin berkurang

download (4)

Pandemi Covid-19 yang terjadi di setiap negara di seluruh penjuru dunia membuat dampak bagi setiap negara tersebut. Baik itu dampak di bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan aktivitas setiap masyarakat. Tentunya pamerintah dari setiap negara harus mampu mengatasi dampak dari pandemi ini, baik dengan membuat kebijakan baru, memanipulasi kebijakan yang ada dan lain-lain.

Mungkin menurut beberapa pendapat orang pandemi Covid-19 justru menjadi ladang bisnis untuk pemerintah. Namun, saya kurang setuju dengan pendapat tersebut karena pemerintah tidak berharap keuntungan dari adanya pandemi ini. Tetapi justru karena pandemi ini pemerintah justru lebih banyak dalam pengeluaran APBN nya. Karena jika kita pikirkan selama masa pandemi ini APBN disalurkan kepada rakyat yang sangat terdampak dari pandemi ini dan jumlah nya pun tidak sedikit. Selain itu, pemerintah juga harus membeli banyak sekali vaksin dari negara lain, membeli peralatan untuk tes SWAB, dll.

Jadi, dari pertanyaan diatas menurut saya pemerintah tidak menjadikan pandemi Covid-19 ini sebagai ladang bisnis.

Ketika berbicara mengenai covid, pemerintah, dan bisnis ini menjadi sebuah topik yang menarik. Karena nantinya kita hanya akan menerka dan mengumpulkan argumentasi yang tak ada hentinya, sebagai masyarakat menengah Kebawah kita hanya bisa pasrah melihat keadaan yang sedang terjadi hari ini. Namun apa yang terjadi pada masyarakat ekonomi menengah kebawah, mereka yang mau bersuara hilang ditelan semesta.

Terlepas ini bisnis yang sudah diatur atau tidak namun ini sudah seperti reaksi berantai dan bom waktu yang tinggal menunggu kapan waktunya meledak. Entah sebuah kebetulan atau tidak Namun covid melunjak tiap pertengahan hingga akhir tahun Saat tahun ajaran baru akan dimulai. Seakan-akan ini sudah diatur. Lantaran akan terjadi reaksi berantai antara pihak provider internet, sekolah, dan juga negara karena otomatis kegiatan daring akan menguras banyak kuota dan listrik dirumah. Sadar atau tidak pengeluaran bulanan untuk kegiatan daring selama ini sudah menghabiskan banyak sekali uang yang entah kemana perginya.

Menurut saya, pernyataan itu tidak benar. Banyak juga yang mempercayai bahwa Covid-19 itu tidak ada. Tapi perlu di sadari bahwa Covid-19 itu benar-benar ada di dunia ini. Berawal dari Wuhan China dan akhirnya menyebar ke seluruh dunia. COVID-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan salah satu jenis virus Corona, yakni SARS-CoV-2.

Kalau berbicara pemerintah menjadikan pandemi ini sebagi ladang bisnis tidak benar. Tapi sebaiknya pemerintah lebih mengedukasi warganya agar tidak terpancing oleh berita di luar sana tentang konspirasi-konspirasi. Saya punya teman yang tidak percaya Covid-19, tapi saya lebih menghiraukan saja dan tidak mempedulikan. Apabila saya mempedulikan dia akan merasa tertantang untuk berargumen. Dan akhirnya saya mencoba untuk meyakinkan bahwa Covid-19 itu ada. Dia pun lama kelamaan sadar dan mempunyai akibat yang besar. Jadi pada intinya keyakinan akan usaha pemerintah perlu untuk membuat rakyat percaya dengan janji pemerintah dan ucapan nya.

Untuk kasus tes swab dan PCR seharusnya pemerintah menerapkan tes gratis dan tidak berbayar. Karena tidak setiap rakyat mempunyai biaya yang cukup untuk membayarnya. Apalagi di masa pandemi seperti ini, uang saja susah didapatkan dan banyak keperluan yang harus dibeli seperti bahan makanan

Kalau dibandingkan dengan India, memang harga PCR test di Indonesia terlihat mahal, tetapi kalau dibandingkan dengan banyak negara, PCR test di Indonesia berada di tengah-tengah, tidak terlalu mahal tetapi juga tidak murah.

Tetapi PCR test dilakukan oleh pihak swasta, sehingga hal itu menjadi ladang bisnis swasta, bukan ladang bisnis pemerintah.

Ini juga bukan menjadi indikasi bahwa pemerintah menjadikan pandemi covid19 sebagai ladang bisnis, tetapi lebih ke kelalaian pemerintah dalam mengatur distribusi obat. Pemerintah juga telah menindak distributir dan apotek nakal yang menimbun obat-obatan agar harganya bisa melonjak tinggi.

Kalau ini menurut saya juga belum bisa dijadikan indikasi kuat bahwa pemerintah menjadikan pandemi covid sebagai ladang bisnis, karena bisa jadi hal itu murni karena “keserakahan” Juliari saja, sebagai pribadi, bukan pemerintah.

Pandemi hanya bisa dijadikan ladang bisnis bagi pemerintah kalau seluruh alat kekuasaan bersama-sama mengambil keuntungan dari adanya pandemi ini. Kata bisnis yang disematkan kepada pemerintah pun tidak sepenuhnya tepat, karena segala keuntungan yang didapat oleh pemerintah kan ujung-ujungnya balik juga ke masyarakat.

Beda kasus kalau oknum-oknum pemerintah mengambil kesempatan untuk mendapatkan keuntungan (bisnis) dari adanya pandemi ini. Hal itu bisa saja terjadi. Salah satu contohnya ya Juliari itu sendiri. Belum lagi petugas-petugas pemerintah yang “menyunat” bantuan sosial, kasus distribusi obat, vaksin dan lain sebagainya, yang kalau tidak kuat imannya, bisa menjadi kesempatan bagi oknum-oknum pemerintah untuk mendapatkan keuntungan.

Bagi saya tidak. Jika dianggap sebagai ‘ladang bisnis’ baru maka jawaban saya adalah tidak juga (selain tes PCR dan lain sebagainya yang harganya dapat dibilang cukup fantastis di Indonesia). Justru sebaliknya, pemerintah malah sudah mengelontorkan banyak dana di sana-sini kepada masyarakat luas salah satunya seperti bantuan sosial (walaupun terkadang ada yang tidak tepat sasaran juga). Dan apa artinya itu? Itu artinya pandemi COVID-19 tidak dapat dihitung sebagai ‘ladang bisnis’ baru untuk pemerintah Indonesia.

menurut saya ini kembali lagi kepada kebijakan negara dimana negara juga perlu pemasukan guna tetap memutar roda perekonomian. Kembali lagi sumber pendapatan utama negara salah satunya adalah pajak yang di bayarkan oleh warganya dan beberapa devisa dari berbagai tempat wisata. Oleh karena itu sering kita jumpai beberapa kebijakan yang tumpang tindih di pemerintahan dimana masyarakat dianjurkan tetap dirumah dan di berlakukan PPKM hingga beberapa Level. Namun di sisi lain tempat wisata dibuka dan gencar² nya memberikan diskon untuk turis manca negara seakan senada dengan itu tiket akomodasi wisata beri diskon yang luar biasa. Akhirnya masyarakat hanya bisa menerkah sambil mengelus dada karena bingung perekonomian dihambat namun Berwisata sungguh diharapkan Oleh negara.

Saya setuju mengenai pendapat diatas. Covid dikatakan sebagai ladang bisnis untuk pemerintah rasanya kurang tepat. Memang betul dalam pelaksanaannya permasalahan mengenai covid ini sering dijadikan bisnis oleh oknum-oknum tertentu. Tetapi bukan oleh “pemerintah” itu sendiri. Melainkan hanya oknum-oknum dalam pemerintahan yang melakukan tindakan tercela tersebut.

Negara sendiri sebetulnya tengah berfokus pada upaya dari pencegahan dan juga pemberantasan covid 19 ini. Namun, hal tersebut seringkali dihambat oleh perilaku jahat dari pejabat-pejabatnya itu sendiri.

Untuk menjustifikasi apakah covid ini merupakan ladang bisnis bagi pemerintahan maka perlu data dan juga fakta yang lebih valid. Dimana fakta-fakta tersebut memang membuktikan bahwa covid ini hanya dijadikan sebagai ladang bisnis.

Saat ini, kita sebagai masyarakat Indonesia memang tidak bisa menutup mata bahwa kasus korupsi di Indonesia sangat merajalela. Seringkali juga permasalahan-permasalahan yang ada memang dilatarbelakangi oleh adanya isu politik dan bisnis. Namun, ditengah pandemi ini kita harus bersama-sama membantu pemerintah agar pencegahan dan pemutusan pandemi covid 19 ini tetapi bisa terlaksana dengan baik.

Kita harus mampu menilai secara objektif politisi-politisi mana yang memang betul mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Seringkali kita salah memilih pemimpin karena didasarkan adanya kesamaan ideologi maupun ras, suku dan agama. Di tengah pandemi ini kita harus menjadikan Indonesia menjadi negara hukum yang baik.
Yaitu hukum yang berkeadilan adalah hukum yang teratur dan tanpa menindas martabat kemanusiaan setiap warga masyarakat, atau dengan kata lain adalah hukum yang senantiasa mengabdi kepada kepentingan keadilan, ketertiban, keteraturan, dan kedamaian guna menunjang terwujudnya masyarakat yang sejahtera.

Izin untuk menanggapi mengenai pendapat Saudara Ayubchabib diatas. Memang betul bahwa saat pandemi ini masyarakat diharapkan untuk tidak berpergian namun di sisi lain tempat wisata tetap dibuka oleh pemerintah. Hal itu pastinya akan menimbulkan pertanyaan bagi kita sebagai warga negara.

Namun, menurut Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, kebijakan itu bertujuan agar ekonomi masyarakat tetap menggeliat di tengah pandemi covid-19. Wisata yang dimaksud bukan traveling ke tempat jauh atau ke luar kota, melainkan menikmati tempat wisata di daerah sendiri.

Protes ini juga muncul tepatnya saat mudik dilarang namun tempat wisata tetap dibuka. Hal itu dikarenakan mudik berpotensi menimbulkan kepadatan orang di suatu wilayah. Pada saat itu, warga cenderung lemah terhadap penerapan protokol kesehatan. Seperti, memakai masker dan menjaga jarak. Karena menganggap bertemu kerabat dekat sehingga tidak apa-apa jika tidak menerapkan protokol kesehatan.

Sehingga, ketika warga telah dilarang mudik atau ada kebijakan PPKM saat ini setidaknya mereka tetap boleh melepas penat dengan berlibur atau berwisata di dalam kota. Oleh karena itu tempat wisata lokal akan tetap dibuka. Namun, wisata di daerah masih bisa dilakukan dengan protokol kesehatan ketat. Termasuk, memberlakukan 50% dari kapasitas normal dalam satu waktu, berikut penerapan sanksi.

Pertimbangan lain dalam pengambilan keputusan ini juga berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang harus tetap dijaga. Pemerintah berharap dengan kebijakan tersebut, bukan hanya laju pertumbuhan covid-19 yang bisa ditekan tapi perekonomian masyarakat juga bisa terus berjalan.

Dalam hal ini pemerintah sedang melakukan peribahasa " sekali mendayung dua tiga pula terlampaui". Dimana itu merupakan strategi agar covid tetap terkendali tetapi daya beli masyarakat dan roda ekonomi tetap bisa bergerak.

1 Like

Saya setuju dengan pendapat kak @yemimastefanya7 Terima kasih sebelumnya karena memberikan tanggapan pada tulisan saya. Namun ada sedikit hal yang mengganjal dipikiran saya mengenai kebijakan yang diambil pemerintah. Kenapa seakan kebijakan yang diambil justru menimbulkan polemik dan pertanyaan di masyarakat. Apakah dengan diberlakukan kebijakan seperti yang disampaikan diatas berhasil menekan penyebaran Covid?
Menurut sumber yang saya baca :

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah menerapkan PPKM Darurat Jawa–Bali sejak 3 Juli 2021. Selama dua pekan implementasi penambahan kasus Covid-19 naik lebih dari 40 persen setiap pekannya. Berdasarkan laporan resmi yang diolah Bisnis, pada pekan pertama PPKM Darurat (3–9 Juli 2021) kasus positif naik 45,4 persen dibandingkan dengan sepekan sebelumnya, atau bertambah 226.974 kasus. Kemudian, pada pekan kedua PPKM Darurat atau 10–16 Juli 2021, kasus Covid-19 di Tanah Air naik 43,1 persen dibandingkan dengan pekan pertama PPKM Darurat, menjadi 324.891 kasus. Adapun bila dibandingkan periode 19–25 Juni 2021, pertumbuhan per pekan selama dua pekan PPKM Darurat lebih rendah. Pada periode itu kasus positif naik 58,3 persen dibandingkan dengan pekan sebelumnya, atau menjadi 109.601 orang

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Fakta Data! Kurva Covid-19 setelah Dua Pekan PPKM Darurat di Bawah Luhut”, Klik selengkapnya di sini: Fakta Data! Kurva Covid-19 setelah Dua Pekan PPKM Darurat di Bawah Luhut.
Author: Muhammad Khadafi
Editor : Muhammad Khadafi
https://kabar24.bisnis.com/read/20210717/15/1418851/fakta-data-kurva-covid-19-setelah-dua-pekan-ppkm-darurat-di-bawah-luhut

Terima kasih ka @Ayubchabib atas tanggapannya. Jika saya boleh berpendapat , bahwa memang betul bahwa meskipun telah diberlakukannya kebijakan PPKM Darurat ini peningkatan kasus covid 19 masih terus meningkat setiap harinya.

Namun, sedahsyat apapun yang dilakukan pemerintah atau program apa saja yang dilakukan pemerintah, kalau tidak dapat dukungan dari masyarakat, mana mungkin bisa berjalan dengan baik. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pastinya memiliki tujuan yang baik, tetapi apabila kebijakan tersebut tidak didukung oleh seluruh masyarakat tujuan dari kebijakan itu pun tidak akan tercapai dengan maksimal.

Masih banyak masyarakat yang bandel meskipun telah adanya kebijakan PPKM ini. Misalnya tidak memakai masker saat berpergian ataupun masih sering berkumpul-kumpul di tempat makan.

Sehingga diharapkan masyarakat untuk mendukung apapun program atau kebijakan pemerintah dalam hal ini kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Mikro. Kita harus berjalan bersama dengan pemerintah dan memiliki satu tujuan yang sama yaitu mencegah dan memutus pandemi covid 19.

Bentuk dukungan dan kerjasama dari masyarakat itu bisa berupa kedisiplinan mereka dalam memakai masker, menjaga jarak fisik, dan mereka selalu patuh dalam menjaga protokol kesehatan. Jadi, ketaatan publik masyarakat itu sangat penting dan ketidaktaatan akan menimbulkan dampak yang lebih buruk.

Agar masyarakat bisa taat tentunya butuh kepercayaan publik dimana hal tersebut memang sangat penting dalam situasi saat ini supaya negara juga mendapatkan dukungan dan kerjasama dari masyarakat karena penanganan Covid-19 erat hubungannya dengan dukungan dari masyarakat itu sendiri.

Lalu pastinya kita akan bertanya, bagaimana cara membangun kepercayaan publik ?

  1. Pertama adalah tranparansi. Transparansi itu berupa keterbukaan informasi penanganan Covid-19 di masyarakat, termasuk data jumlah spesimen pemeriksaan, data jumlah pasien terkonfirmasi positif, serta data pelayanan dan perawatan kesehatan bagi para pasien.
  2. Kedua adalah akuntabilitas dari penggunaan dana penanganan Covid-19. Publik harus mengetahui berapa alokasi anggaran negara untuk menanganinya, dan dialokasikan untuk apa saja belanja negara tersebut.
  3. Ketiga, faktor utama dalam membangun kepercayaan publik adalah mengenai peningkatan kualitas data. Data penduduk memegang peranan penting saat ini.

Sehingga pada intinya dukungan dan juga komitmen dari masyarakat adalah yang terpenting dalam pencegahan covid 19 ini. Ketika pemerintah sudah melaksanakan kewajibannya dalam membuat suatu kebijakan maka kita sebagai masyarakat juga harus ikut serta dalam melaksanakan kebijakan tersebut dengan baik.

Tanpa dukungan masyarakat , sehebat dan sebanyak apapun kebijakan itu tidak akan terlaksana dengan baik.

1 Like

Covid-19 merupakan virus yang bernama coronavirus jenis baru dengan nama SARS-CoV 2. Virus ini menyebar dengan begitu cepat sampai seluruh dunia terkena dampaknya atau bisa disebut dengan Pandemi. Untuk pengecekan awal, Covid-19 bisa dideteksi dengan berbagai metode, bisa dengan Rapid antibodi, rapid swab antigen, Genose, maupun Swab PCR dengan tingkat akurasi berbeda-beda dan Swab PCR merupakan tingkat akurasi tertinggi untuk saat ini.
Swab PCR di Indonesia dikenakan biaya test sebesar 900 ribu sampai dengan 1.3 Juta rupiah. Jika dibandingkan dengan India, harga tersebut hanya berkisar 190 ribu sampai dengan 348 ribu (980 sampai 1800 rupee). Terlampau jauh lebih murah daripada di Indonesia.
perdebatan apakah Covid-19 ini menjadi ladang bisnis bagi pemerintah, mari sama-sama kita analisis fakta.
pertama, Indonesia bukan menjadi negara dengan batas bawah biaya PCR test termahal. ada banyak negara yang memberikan harga lebih mahal. Seperti di Amerika serikat, biaya test dikenakan 2.5 juta (sumber dari website IDX Channel.com)
kedua, mengingat penyebaran Covid-19 begitu cepat terlebih ada varian-varian baru lainnya, PCR test merupakan tindakan pencegahan awal masyarakat dan melarang orang yang terpapar virus untuk melakukan mobilitas dan menyebarkan virusnya kepada orang lain.
ketiga, dengan pemberlakuan PCR test dalam aturan perjalanan, juga harga tes yang tergolong mahal, masyarakat diharapkan untuk membatasi mobilitasnya atau kegiatannya bepergian. Hanya orang yang memang betul-betul membutuhkan perjalanan yang rela keluar uang untuk tes terssebut. di sisi lain, orang yang dalam taraf ekonomi menengah kebawah dan memang membutuhkan tes untuk melihat kesehatannya sendiri menjadi enggan untuk keluar uang hanya dengan tes yang terlampau mahal tersebut.
keempat, dengan kita keluar uang untuk biaya tes secara tidak langsung juga membantu pemerintah dalam menghemat anggaran kesehatan dan dapat mengalihkannya untuk fokus dalam perawatan pasien positif dan menyalurkan bantuan kepada masyarakat.

terlepas apakah Pandemi Covid19 menjadi ladang bisnis bagi pemerintah atau tidak itu tergantung bagaimana masyarakat melihat dari sisi mananya. Yang jelas, pemerintah maupun masyarakat agar bersama-sama dalam bekerja untuk menangani dan keluar dari Pandemi ini.

Menurut saya tidak, karena malah pemerintah yang memiliki peran yang banyak dalam membantu penanganan Covid-19. Bisa dilihat peraturan-peraturan yang sudah diberlakukan meskipun sudah sangat wajar jika kita melihat pro-kontra dari rakyat yang tak pernah usai. Salah satu program yang sedang gencar digaungkan oleh pemerintah saat ini adalah program vaksin. Pemerintah cukup banyak mengucurkan dana untuk program ini.

Namun sebaliknya, banyak pihak lain di luar dari itu yang memanfaatkan keadaan genting ini sebagai keuntungan meraup cuan. Pemerintah sudah berupaya sebaik mungkin untuk menyalurkan uang namun ada saja ulah pihak nakal yang mengalokasikan dana tipis-tipis ke kantong pribadi. Belum lagi masih ada juga kasus anggaran dana yang disalahgunakan oleh pihak rumah sakit yang jelas-jelas rumah sakit menjadi pasar urgentnya pandemi. Masih ada praktik mafia rumah sakit yang memanfaatkan pandemi covid-19 untuk mendapatkan keuntungan dengan memanipulasi data pasien covid belum lagi banyak kasus yang mungkin seperti fenomena gunung es. Seperti permainan harga terhadap pemeriksaan covid-19 sehingga masyarakat yang tergolong awam atau dengan perekonomian menegah kebawah cukup dirugikan. Kebutuhan akan tes seperti SWAB, PCR dll tentu menjadi beban tersendiri.

Menurut argumentasi saya, pernyataan di atas tidak benar. Dari sumber yang saya dapatkan, pandemi justru membawa banyak kerugian bagi pemerintah Indonesia. Mengutip dari situs DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 20 Mei 2021 menjelaskan, perekonomian Indonesia kehilangan kesempatan menciptakan nilai tambah atau mengalami “kerugian” kurang lebih sebesar Rp 1.356 triliun akibat pandemi COVID-19.

Indonesia belum lama ini telah memberlakukan kebijakan new normal. Dengan berlakunya ‘new normal’ warga diperbolehkan melakukan perjalanan jarak jauh, namun harus melakukan pemeriksaan COVID-19 dan menunjukkan hasil negative. Mahalnya harga tes PCR mandiri, sekitar antara Rp. 900.000 - 1000.000, membuat Menteri Perhubungan memasukkan syarat alternatif yakni ‘rapid test’ dengan kisaran harga Rp. 150.000 agar pendapatan ekonomi dari sektor transportasi maksimal. Namun banyak dugaan bahwa persyaratan tes ini justru dijadikan ladang bisnis. Biaya tes yang relative tinggi, cenderung merugiakan masyarakat menengah ke bawah yang sedang terpuruk secara ekonomi karena tes hanya bisa diakses orang mampu dan hanya akan menguntungkan rumah sakit. Maka dari itu, pihak yang diuntungkan dengan pemeriksaan tes ini hanya kelompok tertentu saja.

Menurut data yang saya dapatkan, testing Indonesia berada pada tingkat terendah diantara negara-negara Asean seperti Thailand, Malaysia, Singapura. Indonesia dibawah 100 per 1.000 penduduk per pekan. Berbagai persayaratan yang menyertakan ‘rapid test’ menjadi ladang uang bagi beberapa pihak tertentu. hal tersebut dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan hasil tes karena hanya menjadi syarat administratif, bukan untuk pencegahan COVID-19.

Maka dari itu, saya meyakini bahwa pemerintah tidak diuntungkan dengan adanya pandemic Covid-19 melainkan pihak-pihak tertentu yang menjadikan tes Covid-19 ini sebagai komersil dan ladang uang. Selain itu banyak berita yang menyiarkan bahwa terdapat beberapa oknum yang menjadikan tes Covid-19 ini sebagai syarat administratif demi kepentingan tertentu. Menanggapi hal tersebut, pemerintah harus melakukan pengawasan ketat untuk mencegah manipulasi dan menyalahgunaan tes ini agar situasi dapat dikendalikan dan tidak diperparaholeh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Sepertinya tidak. Namun karena kondisi yang sulit sekarang ini, pikiran masyarakat pasti selalu ke arah negatif tanpa tahu apa yang terjadi di baliknya. Tidak salah, karena transparansi pemerintah juga menurut saya kurang. Serta di sini ada beberapa argumen yang perlu saya luruskan

Masalahnya di sini adalah

  1. Tes PCR mahal, di India Tes PCR hanya 150ribu
    Mungkin tergantung kondisi negaranya masing-masing. dan perlu diingat bahwa yang mengadakan tes PCR ini adalah dari sektor swasta. di Bali sendiri, setiap puskesmas dibekali alat swab dan swabber yang bertugas bagi yang kontak erat. Jika ada pasien kontak erat, maka puskesmas dan pemerintah Bali memfasilitasi swab secara gratis, asalkan daftar terlebih dahulu, jadwalnya fleksibel sesuai pasien. Jadi saya rasa seharusnya masyarakat tidak terlalu mengeluh soal fasilitas pemerintah

Pemerintah juga telah menambah tenaga kesehatan dan tracer COVID-19. Tetapi di beberapa daerah tidak mencukupi. Anggaran negara terhadap kesehatan seharusnya dihabiskan untuk gaji mereka, namun karena kasus yang tinggi harus disubsidi terlebih dahulu untuk warga.

  1. Tes untuk perjalanan domestik hanya ada di Indonesia
    Jika kita melakukan research lebih jauh, maka kita juga akan menemukan bahwa negara lain juga ada peratuuran seperti itu, ditambah karantina. Mengapa PCR ini perlu? Karena perjalanan menggunakan pesawat, yang seperti kita tahu sendiri suasananya dingin dan duduknya berdempetan. Virus COVID-19 ini lebih lama bertahannya di suhu dingin, sehingga risiko penularannya semakin tinggi, jadi saya rasa tidak masalah jika harus tes terlebih dahulu. Lagipula, setiap daerah juga memiliki kebijakannya sendiri terkait COVID-19. Misalnya seperti daerah Lombok yang kasusnya tidak tinggi, jika ada orang Surabaya (yang merupakan daerah zona merah) pergi ke Lombok tanpa tes, dan ada yang positif, maka wilayah Lombok tidak lama pasti menjadi naik kasusnya, dan kembali menggunakan APBD yang seharusnya bisa untuk APD tenaga kesehatan atau vaksin menjadi terbuang kembali untuk biaya isolasi mandiri warganya. Beberapa negara yang masih menanamkan kebijakan tersebut adalah Kanada, Singapore, dan Filipina. Bisa dilihat ketiga negara itu sekarang kasusnya rendah, sehingga menjadi bukti empiris dan konkrit bisa memulihkan Indonesia. Makanya metodenya diadaptasi dari situ.

Berdasarkan data di atas, sebenarnya cukup sederhana. Masyarakat kurang mengetahui kiinerja pemerintah, dan pemerintah sendiri kurnag berkoar-koar mengenai program kerja mereka yang sudah berjalan. Walaupun saya mengerti situasinya, dari pemerintahan mungkin tidak akn berbicar aterlalu banyak karena apapun yang mereka bicarakan pasti akan ditentang rakyat. Sebenarnya bukan ladang bisnis, tetapi harus ada neraca yang seimbang uuntuk pengeluaran agar bisa menyenangkan seluruh pihak, dan itu tidak mudah.

Lebih baik kita bersama-sama saling membantu untuk membuat Indonesia normal kembali. Jika semua masyarakat berhasil divaksin dan menjaga kesehatan, saya yakin kita bisa beraktivitas normal kembali dan pandemi ini akan lewat.

Sumber data
Bogor Kekurangan Tenaga Kesehatan Tangani Pasien Covid-19 (cnnindonesia.com)
Garut Kekurangan Tracer Covid-19, Bagaimana Penanganannya? (bisnis.com)
Evaluasi Penanganan Covid-19 di Bali; Satgas Kekurangan Tim Tracing (jawapos.com)
PAL COVID-19 Testing Centers (philippineairlines.com)
Coronavirus (COVID-19) domestic travel restrictions and remote area access | Australian Government Department of Health
Suhu dalam Pesawat Dibuat Sangat Dingin, Ini Penyebabnya | Travel.Dream.co.id

Iya pemerintah sedang rugi sekarang, namun kasusnya terus bertambah. Menurut laporan menteri Keuangan RI, ada subsidi juga untuk masyarakat dan layanan support UMKM, jadi tidak hanya dianggarkan ke kesehatan saja. Untuk kesehatan sendiri anggarannya lebih ke vaksin sebagian besar, tapi malah masyarakatnya yang tidak mau divaksin.

Sejak tahun 2020-2021, defisit APBN sudah sangat besar. Untuk tahun 2021 senditi lebih baik dari tahun 2020 sebenarnya (dari 6% turun ke 5%), hanya saja masih signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini saja informasinya sudah dibuat ke dalam guidebook dan bisa diakses di website kementrian, tetapi saya rasa tidak banyak masyarakat yang membacanya. Defisit APBN dan utang negara besar sekali namun tidak ada yang menyeimbanginya, dan masyarakat malah terus meminta lebih.

Sumber data : Buku Laporan Keuangan Negara, Kementrian KeuanganIndonesia.

Mungkin karena efek kasus Juliari, masyarakat juga jadi beropini yang negatif terhadap pemerintah. Kita harus melihat dari dua sudut pandang yang berbeda tanpa mengeneralisasi. Inilah pentingnya data yang akurat dan research sebelum beropini.

Sudut pandang masyarakat selaluu mengeluhkan pemerintah menjadikan pandemi ladang bisnis, padahal sebenarnya di balik itu pemerintah sudah berupaya sebisa mungkin dengan anggaran yang terbatas. Kalau kasus Juliari tidak di blow up juga salah, masyarakat malah beranggapan pemerintah menutup-nutupi.

Suduut pandang pemerintah juga kurang tansparan dan kurang mensosialisasikannya ke masyarakat. Di sinilah peran media bekerja, buukannya memberitakan hal-hal di dunia entertainment, tetapi untuk urusan negara begini juga harus trending sebenarnya, namun balik lagi ke masyarakat apa yang diminati.

Semoga semuanya akan mencapai garis keharmonisan segera, karena kalau tidak ada kolaborasi juga pandemi ini tidak akan selesai.

Menurut argumentasi saya, pernyataan di atas tidak benar. Dari sumber yang saya dapatkan, pandemi justru membawa banyak kerugian bagi pemerintah Indonesia. Mengutip dari situs DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 20 Mei 2021 menjelaskan, perekonomian Indonesia kehilangan kesempatan menciptakan nilai tambah atau mengalami “kerugian” kurang lebih sebesar Rp 1.356 triliun akibat pandemi COVID-19.

Indonesia belum lama ini telah memberlakukan kebijakan new normal. Dengan berlakunya ‘new normal’ warga diperbolehkan melakukan perjalanan jarak jauh, namun harus melakukan pemeriksaan COVID-19 dan menunjukkan hasil negative. Mahalnya harga tes PCR mandiri, sekitar antara Rp. 900.000 - 1000.000, membuat Menteri Perhubungan memasukkan syarat alternatif yakni ‘rapid test’ dengan kisaran harga Rp. 150.000 agar pendapatan ekonomi dari sektor transportasi maksimal. Namun banyak dugaan bahwa persyaratan tes ini justru dijadikan ladang bisnis. Biaya tes yang relative tinggi, cenderung merugiakan masyarakat menengah ke bawah yang sedang terpuruk secara ekonomi karena tes hanya bisa diakses orang mampu dan hanya akan menguntungkan rumah sakit. Maka dari itu, pihak yang diuntungkan dengan pemeriksaan tes ini hanya kelompok tertentu saja.

Menurut data yang saya dapatkan, testing Indonesia berada pada tingkat terendah diantara negara-negara Asean seperti Thailand, Malaysia, Singapura. Indonesia dibawah 100 per 1.000 penduduk per pekan. Berbagai persayaratan yang menyertakan ‘rapid test’ menjadi ladang uang bagi beberapa pihak tertentu. hal tersebut dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan hasil tes karena hanya menjadi syarat administratif, bukan untuk pencegahan COVID-19.

Maka dari itu, saya meyakini bahwa pemerintah tidak diuntungkan dengan adanya pandemic Covid-19 melainkan pihak-pihak tertentu yang menjadikan tes Covid-19 ini sebagai komersil dan ladang uang. Selain itu banyak berita yang menyiarkan bahwa terdapat beberapa oknum yang menjadikan tes Covid-19 ini sebagai syarat administratif demi kepentingan tertentu. Menanggapi hal tersebut, pemerintah harus melakukan pengawasan ketat untuk mencegah manipulasi dan menyalahgunaan tes ini agar situasi dapat dikendalikan dan tidak diperparah oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.