Apa yang dimaksud dengan Kekuasaan?

Kekuasaan

Secara filsafat, kekuasaan meliputi ruang, waktu, barang, dan manusia. Tetapi pada ghalibnya kekuasaan itu dituju kepada diri manusia terutama kekuasaan dalam pemerintahan negara.

Kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkan terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu.

Kekuasaan senantiasa ada dalam setiap masyarakat baik yang masih bersahaja maupun yang sudah besar atau rumit susunannya. Akan tetapi, walaupun ada kekuasaan tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota masyarakat. Justru karena pembagian yang tidak merata itulah makna yang pokok dari kekuasaan, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.

Jadi kekuasaan dapat didefinisikan sebagai hasil pengaruh yang diinginkan seseorang atau sekelompok orang, sehingga dengan begitu dapat merupakan suatu konsep kuantitatif karena dapat dihitung hasilnya. Misalnya berapa luas wilayah jajahan seseorang, berapa lama yang bersangkutan berkuasa, berapa banyak uang, barang dan jasa yang dikuasainya.

Dari uraian tersebut di muka berarti secara filsafah kekuasaan meliputi ruang, waktu, barang dan manusia. Tetapi pada ghalibnya kekuasaan itu ditunjukkan pada diri manusia terutama kekuasaan dalam pemerintahan negara.

Akan halnya kekuasaan negara dalam menguasai masyarakat, memiliki otoritas dan kewenangan, yaitu otoritas dalam arti hak untuk memiliki legitimasi yaitu berupa keabsahan untuk berkuasa, sedangkan kewenangan adalah hak untuk ditaati oleh orang lain.

Sebagai kekuasaan yang dilembagakan maka pemerintahan suatu negara tidak hanya tampak sebagai kenyataan memiliki kekuasaan tetapi juga mempunyai hak untuk menguasai, termasuk menguasai hidup orang lain (dalam hal menjatuhkan hukuman mati), hak untuk merebut kekayaan (dalam arti memungut pajak) dan menahan kebebasan orang lain (dalam arti memenjarakan seseorang).

Seluruhnya ini bermula dari keinginan sekelompok orang untuk mencapai organisasi kemasyarakatan lalu mereka bersedia bila ada seseorang atau sekelompok orang yang akan melaksanakan kewibawaan memelihara mereka, disebut pemimpin pemerintahan. Pemimpin pemerintahan tersebut sudah barang tentu tidak dapat begitu saja berasal dari pihak luar, sehingga dengan sendirinya lahirlah pemimpin pemerintahan dari salah satu seorang di antara mereka yaitu mereka yang dapat memimpin masyarakat lain, mempunyai kekuatan, memiliki wibawa yang melebihi pihak lainnya, inilah kekuasaan.

Wewenang yang dimiliki sesuatu pemerintahan negara, dapat saja dipertanyakan, apakah memiliki keabsahan atau tidak, misalnya bila ada kabinet domesioner, pada suatu sistem pemerintahan negara, lalu berdiri kabinet tandingan sebagai kabinet bayangan, apakah masyarakat mempercayai atau mengakuinya.

Mempertanyakan keabsahan wewenang dari seseorang atau sekelompok orang, berarti membicarakan norma, nilai dan budaya. Apakah sekelompok orang yang berkuasa itu lalu dengan begitu saja pada akhirnya dianggap bangsawan yang berdarah biru. Kasta-kasta dan derajat keningratan adalah suatu contoh akibat yang dihasilkan kekuasaan turun temurun yang muncul dalam masyarakat.

Kekuasaan dapat diperoleh lewat kemarahan dan kekerasan, atau lewat wibawa dan penampilan tetapi juga dapat lewat kemampuan mempersuasi, selain karena kewibawaan dan kecerdasan. Legitimasi seseorang dan hubungan kekerabatan dengan yang akan dikuasai juga dapat berpengaruh.

Tetapi terkadang kekuasaan ini berakhir apabila hilangnya kekuatan itu sendiri oleh karena itu kekuatan harus dipelajari melalui berbagai ilmu seperti kejiwaan manusia, strategi pendekatan, karena kekuasaan itu sangat diperlukan untuk mengatur dan mengantisipasi agar tidak muncul kejahatan bagi kelompok moralis.

Kekuasaan juga diperlukan dalam memungut pajak karena akan dipergunakan pemerintah untuk memperoleh dana bagi keberadaan biaya negara, itulah sebabnya negara diperbolehkan memaksa, bahkan untuk tingkat kejahatan dibuat penjara dan hukuman mati.

Sumber
Kencana, Inu. 2010, Ilmu Politik,Penerbit Rineka Cipta, Jakarta

Kekuasaaan merupakan konsep yang paling mendasar dalam ilmu-ilmu sosial dan didalamnya terdapat perbedaan titik penekanan yang dikemukakan. Menurut Russel (1988) terdapat batasan umum dari kekuasaan yaitu merupakan produk pengaruh yang diharapkan. Ketika seseorang ingin memperoleh tujuan yang diinginkannya dan juga diinginkan oleh orang banyak, maka orang tersebut harus memiliki kekuasan yang besar. Faktor pendorong yang menimbulkan keinginan berkuasa antara lain faktor eksplisit dan implisit yang berupa dorongan untuk memperoleh kekuasaan. Faktor eksplisit dari dalam diri seseorang, sedangkan faktor implisit adalah faktor dari luar yang mempengaruhi seseorang untuk berkuasa. Adapun pengertian kekuasaan menurut para ahli antara lain :

  • Walter Nord
    Kekuasaan itu sebagai suatu kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya.

  • Miriam Budiardjo
    Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.

  • Ramlan Surbakti
    Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.

  • Max Weber
    Kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang actor didalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan.

Teori Kekuasaan menurut Marx Weber


Analisis terpenting dalam kajian Weber adalah Weber tidak mau mereduksi stratifikasi berdasarkan sudut pandang ekonomi, namun Weber memandang bahwa stratifikasi bersifat multidimensional. Artinya adalah kajian Weber tidak hanya memberikan pengaruh pada kajian ekonomi, tetapi juga memberikan analisis terhadap aspek bidang keilmuan lainnya. Menurutnya masyarakat terstratifikasi berdasarkan ekonomi, status dan kekuasaan.

Kekuasaan terhadap manusia dapat dilakukan memlalui pengaruh secara fisik dengan cara penghukuman maupun dengan cara mempengaruhi opini melalui propaganda (Lukes, 1986). Propaganda merupakan jalur memperoleh kekuasaan yang sulit dikalahkan oleh lawan bila propaganda itu mampu menghasilkan suatu kesepakatan. Kekuasaan terdapat dalam bentuk kekayaan, tentara, pemerintahan, jasa dan pengaruh. Kekayaan bisa merupakan hasil kekuasaan dengan mempergunakan kekuatan tentara dan pengaruh. Sekarang kekuatan ekonomi yang menjadi sumber kekayaan adalah sumber asal semua jenis kekuasaan yang lain (Bouman, 1982).

Namun Weber kurang sependapat dengan pandangan tersebut. Ia mengatakan bahwa kekuasaan harus dilihat dari esensi masing-masing. Kekuasaan ekonomi belum tentu identik dengan kekuasaan yang lain. Orang mencari kekuasaan belum tentu karena ingin menjadi kaya raya. Orang mencari kekuasaan karena pertimbangan kehormatan. Kekuasaan dan kehormatan memerlukan jaminan dari adanya ketertiban berdasarkan hukum. Tertib hukum merupakan faktor tambahan penting untuk memperluas kekuasaan dan kehormatan meskipun tidak selamanya menjamin. Weber (1947) menyatakan bahwa didalam kekuasaan terdapat kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, walaupun orang tersebut melakukan pernolakan. Adanya kesempatan untuk merealisasikan kehendaaknya pada orang lain dalam bentuk pemaksaan tanpa memperdulikan apapun yang menjadi dasar. Dengan kata lain, kekuasaan menurut Weber adalah kesempatan untuk menguasai orang lain.

Kemudian, Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang dalam kehidupan manusia yang menyangkut dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan. Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut antara lain :

  • Rational-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi–organisasi, terutama yang bersifat politis.

  • Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat–kerabatnya atau dengan orang–orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan–ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan–hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious. Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.

  • Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya.

Greenberg dan Baron (2000) menyatakan bahwa ”A memiliki kekuasaan atas B sehingga A dapat meminta B melakukan sesuatu yang tanpa kekuasaan A tersebut tidak akan dilakukan B”. Definisi ini menyempitkan konsep kekuasaan, juga menuntut seseorang untuk mengenali jenis-jenis perilaku khusus.

Riker (1964) berpendapat bahwa perbedaan dalam kekuasaan benar-benar didasarkan pada perbedaan kausalitas (sebab-akibat). Kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh, sedangkan alasan adalah penggunaan pengaruh yang sebenarnya.

Sedangkan Russel (1983) menyatakan bahwa power (kekuasaan) adalah konsep dasar dalam ilmu sosial. Kekuasaan penting dalam kehidupan organisasi, dan bahwa kekuasaan dalam organisasi terikat dengan status seseorang.

Boulding (1989) mengemukakan gagasan kekuasaan dalam arti luas, sampai tingkat mana dan bagaimana kita memperoleh yang kita inginkan. Bila hal ini diterapkan pada lingkungan organisasi, ini adalah masalah penentuan di seputar bagaimana organisasi memperoleh apa yang dinginkan dan bagaimana para pemberi andil dalam organisasi itu memperoleh apa yang mereka inginkan. Kita memandang kekuasaan sebagai kemampuan perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi, memberi perintah dan mengendalikan hasil- hasil organisasi.

Unsur Kekuasaan


Kekuasaan terdiri dari tiga unsur, yaitu tujuan, cara, dan hasil. Kekuasaan dapat digunakan untuk tujuan yang baik dan yang tidak baik. Tujuan dari penggunaan kekuasaan biasanya akan mempengaruhi cara yang dipilih oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan. Jika pemegang kekuasaan memiliki tujuan yang baik, maka cara yang dipilih juga akan baik. Dan sebaliknya, jika pemegang kekuasaan menghendaki tujuan yang tidak baik, maka cara yang digunakan juga tidak baik, misalnya dengan mengancam. Kemudian, unsur yang terakhir atau hasil dari kekuasaan dapat dilihat dari jumlah individu yang dapat dikendalikan atau dipengaruhi, dan seberapa besar pengaruh kekuasaan tersebut. Sikap pihak yang dikuasai, turut menentukan kualitas kekuasan yang berlaku atas dirinya. Jika diterima dan didukung, maka kekuasaan itu merupakan wibawa. Kekuasaan yang demikian tidak banyak memerlukan paksaan (kekuatan) dalam penggunannya.

Tipe-tipe Kekuasaan


Menurut Tosi, Rizzo, dan Carrol (1990), ada lima tipe kekuasaan, yaitu :

  • Reward Power
    Tipe kekuasaan ini memusatkan perhatian pada kemampuan untuk memberi ganjaran atau imbalan atas pekerjaan atau tugas yang dilakukan orang lain. Kekuasaan ini akan terwujud melalui suatu kejadian atau situasi yang memungkinkan orang lain menemukan kepuasan. Dalam deskripsi konkrit adalah jika anda dapat menjamin atau memberi kepastian gaji atau jabatan akan meningkat, maka dapat menggunkan reward power . Bahwa seseorang dapat melakukan reward power karena ia mampu memberi kepuasan kepada orang lain.

  • Coercive Power
    Kekuasaan yang bertipe paksaan ini, lebih memusatkan pandangan kemampuan untuk memberi hukuman kepada orang lain. Tipe koersif ini berlaku jika bawahan merasakan bahwa atasannya yang mempunyai ‘lisensi’ untuk menghukum dengan tugas-tugas yang sulit, mencaci maki sampai kekuasaannya memotong gaji karyawan. Menurut David Lawless, jika tipe kekuasaan yang poersif ini terlalu banyak digunakan akan membawa kemungkinan bawahan melakukan tindakan balas dendam atas perlakuan atau hukuman yang dirasakannya tidak adil, bahkan sangat mungkin bawahan atau karyawan akan meninggalkan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

  • Referent Power
    Tipe kekuasaan ini didasarkan pada satu hubungan ‘kesukaan’ atau liking , dalam arti ketika seseorang mengidentifikasi orang lain yang mempunyai kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya. Dalam uraian yang lebih konkrit, seorang pimpinan akan mempunyai referensi terhadap para bawahannya yang mampu melaksanakan pekerjaan dan bertanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan atasannya.

  • Expert Power
    Kekuasaan yang berdasar pada keahlian ini, memfokuskan diri pada suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan, pastilah ia memiliki pengetahuan, keahlian dan informasi yang lebih banyak dalam suatu persoalan. Seorang atasan akan dianggap memiliki expert power tentang pemecahan suatu persoalan tertentu, kalau bawahannya selalu berkonsultasi dengan pimpinan tersebut dan menerima jalan pemecahan yang diberikan pimpinan. Inilah indikasi dari munculnya expert power.

  • Legitimate Power
    Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang sebenarnya (actual power), ketika seseorang melalui suatu persetujuan dan kesepakatan diberi hak untuk mengatur dan menentukan perilaku orang lain dalam suatu organisasi. Tipe kekuasaan ini bersandar pada struktur social suatu organisasi, dan terutama pada nilai-nilai cultural. Dalam contoh yang nyata, jika seseorang dianggap lebih tua, memiliki senioritas dalam organisasi, maka orang lain setuju untuk mengizinkan orang tersebut melaksanakan kekuasaan yang sudah dilegitimasi tersebut.

Kekuasaan hampir selalu berkaitan dengan praktik-praktik seperti penggunaan rangsangan (insentif) atau paksaan ( coercion ) guna mengamankan tindakan menuju tujuan yang telah ditetapkan. Seharusnya orang-orang yang berada di pucuk pimpinan, mengupayakan untuk sedikit menggunakan insentif dan koersif. Sebab secara alamiah cara yang paling efisien dan ekonomis supaya bawahan secara sukarela dan patuh untuk melaksanakan pekerjaan adalah dengan cara mempersuasi mereka. Cara-cara koersif dan insentif ini selalu lebih mahal, dibanding jika karyawan secara spontan termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi yang mereka pahami berasal dari Definisi tradisional kekuasaan difokuskan pada kemampuan perorangan untuk menentukan atau membatasi hasil-hasil.

Sumber-Sumber Kekuasaan dalam Organisasi


Kekuasaan Berdasarkan Kedudukan memiliki pengaruh potensial yang berasal dari kewenangan yang sah karena kedudukannya dalam organisasi terdiri dari :

  • Kewenangan Formal
    Kewenangan Formal, yaitu kewenangan yang mengacu pada hak prerogatif, kewajiban dan tanggung jawab seseorang berkaitan dengan kedudukannya dalam organisasi atau sistem sosial. Kontrol terhadap sumber daya dan imbalan, merupakan kontrol dan penguasaan terhadap sumber daya dan imbalan terkait dengankedudukan formal. Makin tinggi posisi seseorang dalam hirarki organisasi, makin banyak kontrol yang dipunyai orang tersebut terhadap sumber daya yang terbatas. Kontrol terhadap hukuman merupakan kapasitas untuk mencegah seseorang memperoleh imbalan… Kontrol terhadap informasi menyangkut kontrol terhadap akses terhadap informasi penting maupun kontrol terhadap distribusinya kepada orang lain. Kontrol ekologis menyangkut kontrol terhadap lingkungan fisik, teknologi dan metode pengorganisasian pekerjaan.

  • Kekuasaan Pribadi.
    Kekuasaan pribadi menjelaskan bahwa kelompok sumber kekuasaan berdasarkan kedudukan akan berlimpah pada orang-orang yang secara hirarki mempunyai kedudukan dalam organisasi. Pengaruh potensial yang melekat pada keunggulan individu terdiri dari :

  • Kekuasaan keahlian ( expert power )
    Kekuasaan keahlian ( expert power ) merupakan kekuasaan yang bersumber dari keahlian dalam memecahkan masalah tugas-tugas penting. Semakin tergantung pihak lain terhadap keahlian seseorang, semakin bertambah kekuasaan keahlian ( expert power ) orang tersebut.

  • Kekuasaan kesetiaan ( referent power )
    Kekuasaan kesetiaan ( referent power ) merupakan potensi seseorang yang menyebabkan orang lain mengagumi dan memenuhi permintaan orang tersebut. Referent power terkait dengan keterampilan interaksi antar pribadi, seperti pesona, kebijaksanaan, diplomasi dan empati.

  • Kekuasaan karisma
    Kekuasaan karisma merupakan sifat bawaan dari seseorang yang mencakup penampilan, karakter dan kepribadian yang mampu mempengaruhi orang lain untuk suatu tujuan tertentu.

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.

Kekuasaan Politik adalah “kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibatakibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri”.

Pada dasarnya kekuasaan politik adalah kemampuan individu atau kelompok untuk memanfaatkan sumber-sumber kekuatan yang bisa menunjang sektor kekuasaannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sumber-sumber tersebut bisa berupa media massa, media umum, mahasiswa, elit politik, tokoh masyarakat ataupun militer.

Jenis-jenis kekuasaan yang kita ketahui pada umumnya sekiranya dapat dibagi beberapa jenis kekuasaan sebagai berikut:

  1. kekuasaan eksekutif, yaitu yang dikenal dengan kekuasaan pemerintahan dimana mereka secara teknis menjalankan roda pemerintahan,
  2. kekuasaan legislatif, yaitu sesuatu yang berwenang membuat, dan mengesahkan perundang-undangan sekaligus mengawasi roda pemerintahan,
  3. kekuasaan yudikatif, yaitu sesuatu kekuasaan penyelesaian hukum, yang didukung oleh kekuasaan kepolisian, demi menjamin law enforcement/ pelaksanaan hukum.

Unsur-unsur kekuasaan, ada tiga komponen dalam rangkaian kekuasaan yang akan mempengaruhi penguasa atau pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya. Komponen ini harus diikuti,dipelajari, karena saling terkait didalam roda kehidupan penguasa. Tiga komponen ini adalah : pemimpin (pemilik atau pengendali kekuasaan), pengikut dan situasi.

  1. Pemimpin, sebagai pemilik kekuasaan, bisa mempengaruhi pengikutnya. Bahkan menciptakan pengikut, menggiring pengikut, menjadi provokator pengikut, sehingga kepengikutan si pengikut akan membabi buta, tidak rasional lagi.

  2. Pengikut sebaliknya juga bisa mempengaruhi pemimpin, bisa memberikan bisikan kepada pemimpin, bisa menyuruh untuk mempertahankan kekuasaan dan bahkan bisa menjatuhkan kekuasaannya.

  3. Pemimpin juga bisa menciptakan suatu situasi, merekayasa situasi. Akan tetapi perlu diketahui bahwa dari situasi itu juga maka sang pemimpin bisa mujur, bisa untung dan karena situasi itu pula sang pemimpin pada akhirnya akan jatuh dan menghabiskan riwayat kekuasaannya sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan figur pemimpin yang benar-benar cerdas dalam memperhitungkan situasi yang diciptakannya.

Dari gerak tiga komponen diatas, maka kekuasaan juga mempunyai unsur influence, yakni menyakinkan sambil beragumentasi, sehingga bisa mengubah tingkah laku. Kekuasaan juga mempunyai unsur persuation, yaitu kemampuan untuk menyakinkan orang dengan cara sosialisasi atau persuasi (bujukan atau rayuan) baik yang positif maupun negatif, sehingga bisa timbul unsur manipulasi, dan pada akhirnya bisa berakibat pada unsur coersion, yang berarti mengambil tindakan desakan, kekuatan, kalau perlu disertai kekuasaan unsur force atau kekuatan massa, termasuk dengan kekuatan militer.

Dengan begitu penjelasan tentang kekuasaan diatas para kandidat bisa menggunakan tiga komponen yaitu diantara influence, persuation, dan coercion. Dalam kekuasaan ini, menggunakan teori kekuasaan Max Weber dan teori fungsional struktural talcoot parsons. weber mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang-orang lain berperilaku sesuai dengan kehendaknya. Politik demikian dapat kita simpulkan pada instansi pertama berkenaan dengan pertarungan untuk kekuasaan.

Max weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang manusia yang menyangkut juga kepada hubungan kekuasaan. Yang dimaksudkannya dengan wewenang (authority) adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota– anggota masyarakat. Jenis authority yang disebutnya dengan rational legal authority sebagai bentuk hierarki wewenang yang berkembang didalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang sedemikian ini dibangun atas dasar legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya.

Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut antara lain :

  1. Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.

  2. Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

    Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan.

    Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat.

    Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious. Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.

  3. Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa dari dirinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka.

    Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya.

Dalam politik kekuasaan diperlukan untuk mendukung dan menjamin jalannya sebuah keputusan politik dalam kehidupan masyarakat. Keterkaitan logis antara politik dan kekuasaan menjadikan setiap pembahasan tentang politik, selalu melibatkan kekuasaannya didalamnya. Itulah sebabnya membahas sekularisasi kekuasaan. Sekularisasi politik secara implisit bertujuan untuk mendesakralisasi kekuasaan untuk tidak dilegimitasi sebagai sesuatu yang bersifat sakral atau suci. Kekuasaan sebagai aktivitas politik harus dipahami sebagai kegiatan manusiawi yang diraih, dipertahankan sekaligus direproduksikan secara terus menerus.

Kekuasaan (power) digambarkan dengan berbagai cara kekuasaan diartikan sebagai kemungkinan mempengaruhi tingkah laku orang–orang lain sesuai dengan tujuan–tujuan sang aktor. Politik tanpa kegunaan kekuasaan tidak masuk akal, yaitu selama manusia menganut pendirian politik yang berbeda–beda, apabila hendak diwujudkan dan dilaksanakan suatu kebijakan pemerintah, maka usaha mempengaruhi tingkah laku orang lain dengan pertimbangan yang baik.

Kekuasaan senantiasa ada didalam setiap masyarakat baik masih bersahaja maupun yang sudah besar dan rumit susunannya. Akan tetapi selalu ada kekuasaan tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota masyarakat.Kekuasaan adalah kemampuan untuk melakukan atau mempengaruhi sesuatu atau apapun. Kekuasaan dalam konteks ini berhubungan dengan agency, bahawa hal itu untuk kemampuan seseorang melakukan perubahan/perbedaan di dunia. Kekuasaan adalah kemampuan yang legal, kapasitas atau kewenangan untuk bertindak, khususnya pada proses mendelegasikan kewenangan.

Kekuasaan dalam pemahaman ini merujuk pada kewenangan atau hak yang oleh sebahagian orang harus mendapatkan pihak lain untuk melakukan segala yang mereka anggap sebagai wewenang.

Secara umum kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan sumber-sumber daya kekuasaan tertentu untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok orang lainnya sehingga orang atau kelompok itu bertingkah laku sesuai dengan keinginan atau tujuan pihak yang memiliki kemampuan. Negara seperti yang telah dikemukakan di atas, merupakan suatu organisasi yang mempunyai sifat memaksa, memonopoli, dan menyeluruh.

Kekuasaan, sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan, menurut Keith Boulding dalam bukunya Three Faces of Power (1989) memiliki beberapa bentuk perwujudan, yaitu

  1. Pengaruh ( influence ) yang sering dianggap bentuk lunak dari kekuasaan ( kiss atau penghargaan) berupa loyalitas dan komitmen;

  2. Pertukaran dengan keuntungan mutual ( deal atau kesepakatan); dan

  3. Kekuatan sebagai kekuasaan dalam bentuk keras berupa paksaan atau intimidasi ( stick atau tongkat hukuman).

Kekayaan, jabatan, keturunan, atau penguasaan teknologi misalnya, dapat dikategorikan sebagai sumber kekuasaan yang penting. Seorang pejabat kelurahan dapat tidak melayani para warganya apabila warga desa tersebut dianggap mengabaikan perintah kepala desa. Begitu pula seorang "penodong‟ yang membawa pistol, barangkali dapat memaksa seseorang yang tidak membawa senjata yang menyerahkan harta yang dikehendakinya, karena si penodong memiliki perangkat teknologi yang dapat mengancam keselamatan seseorang tersebut.

Sumber-sumber daya kekuasaan politik terdiri dari berikut ini.

  1. Fisik, dalam hal ini penguasaan senjata.
  2. Ekonomi, dalam bentuk kekayaan ataupun pengendalian atas barang atau jasa.
  3. Normatif, tradisi, moralitas religius, legitimasi, dan wewenang.
  4. Personal, karisma, daya tarik dan popularitas; serta
  5. Keahlian, informasi, pengetahuan, teknologi, dan intelegensi.

Robert Dahl dalam bukunya The Concept of Power (1957) menyebut kekuasaan sebagai sesuatu yang dapat membuat B melakukan apa yang diinginkan A yang sebelumnya tidak akan dilakukan B. Pada karyanya yang lain, Modern Political Analysis, Dahl menyebut kekuasaan sebagai pengaruh itu sendiri, di mana B menjadi terpengaruh oleh A sedikit banyak sehingga B mengubah keputusannya untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan A karena ketakutan B terhadap sanksi yang berat jika tidak patuh.

Dalam bukunya yang lain, Who Governs? Democracy and Power in an American City ( 1961), Dahl menunjukkan bagaimana mengidentifikasi sang pemilik kekuasaan dengan menganalisis preferensi aktor-aktor politik yang terlibat dalam pembuatan suatu kebijakan. Aplikasi kekuasaan dalam definisi Dahl dilakukan secara sadar oleh subjek pemilik kekuasaan.

Pemikir politik lain, Peter Bachrach dan Morton S. Baratz, dalam karyanya, The Two Faces of Power, menampilkan sisi lain kekuasaan yang dapat menghalangi suatu masalah untuk mengemukakan dalam forum publik. Secara sadar maupun tidak, seseorang atau suatu kelompok dapat menghalangi pembahasan suatu masalah dalam agenda pembuatan kebijakan, di mana peran nilai-nilai dan prosedur dalam masyarakat itu mungkin ikut mendukung usaha nondecision making tersebut. Wajah kekuasaan yang disampaikan Bachrach dan Baratz ini menjadi sangat menarik karena adanya peran nilai yang menyebabkan objek dihalang-halangi untuk membahas ataupun berbuat sesuatu terhadap suatu isu permasalahan.

Contoh yang bisa diambil untuk menjelaskan konsep ini adalah pembahasan pelanggaran HAM di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) selama pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1980-an yang baru mengemuka segera setelah mundurnya Suharto pada tahun 1998.

Golongan radikal yang diwakili oleh Steven Lukes berusaha menyempurnakan konsep kekuasaan dari Dahl maupun Bachrach dan Baratz yang menurutnya masih kurang bisa menangkap fenomena kekuasaan yang ada. Jika konsep kekuasaan Dahl yang lebih mengarah pada kondisi konflik terbuka disebutnya sebagai dimensi pertama kekuasaan, dan konsep kekuasaan Bachrach dan Baratz sebagai dimensi kedua kekuasaan, Lukes menggambarkan dimensi ketiga dari kekuasaan dalam karyanya Power : A Radical View. Dalam dimensi ketiga ini kekuasaan berjalan saat A bisa mempengaruhi B dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan B, di mana B sebagai objek kekuasaan tidak menyadari adanya pertentangan antara kepentingan B dengan A. A bisa mempengaruhi B karena A bisa “meyakinkan” B bahwa kepentingan A adalah “kepentingan yang sebenarnya” yang harus dilakukan B secara sukarela. Dalam hal ini A berhasil meredam konflik penolakan terbuka B melalui persuasi yang diperoleh dari sistem sosialisasi nilai (indoktrinasi ideologi), pendidikan dan manipulasi arus informasi sehingga bisa “mengendalikan pemikiran” B.

Pembahasan Lukes tentang kekuasaan, yang sedikit banyak memiliki kesesuaian dengan teori Antonio Gramsci tentang Hegemoni Ide yang menampakkan pengaruh pendekatan kelas yang sangat besar di mana masyarakat dilihatnya sebagai kelompok yang terpecah antara kelompok kecil kelas yang memiliki kekuasaan dan kelompok besar kelas yang tidak memiliki kekuasaan. Struktur ekonomi, sosial dan politik yang ada akan selalu membela kepentingan kelompok berkuasa daripada kelompok yang dikuasai.

Ketiga konsep kekuasaan di atas bisa dikatakan mewakili konsep kekuasaan menurut tradisi Barat. Benedict R.O‟G. Anderson dalam pengamatannya tentang Kebudayaan Jawa juga menggambarkan konsep kekuasaan menurut tradisi Jawa. Kekuasaan dalam tradisi Barat menurutnya bersifat abstrak, dari segi moral bersifat ganda, tidak dengan sendirinya dianggap sah atau legitimate, dan sumber-sumbernya heterogen dengan kemungkinan akumulasi yang tidak terbatas. Sebaliknya, kekuasaan Jawa bersifat konkret dan tidak mempersoalkan keabsahannya, homogen dan jumlahnya selalu tetap.

Pengaruh dan kekuasaan memang mempunyai hubungan sangat erat. Pada umumnya seseorang yang mempunyai kekuasaan juga mempunyai pengaruh. Kendatipun orang mempunyai kekuasaan yang sama tidak selalu mempunyai pengaruh yang sama besar. Dua orang kepala desa yang sama- sama berkuasa atas desanya masing-masing, bisa saja mempunyai pengaruh yang berbeda. Barangkali kepala desa yang satu hanya berpengaruh di lingkungan desanya, sedangkan kepala desa yang lain berpengaruh melebihi batas-batas desanya. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh senantiasa berkaitan dengan pribadi seseorang. Faktor ini pula yang menyebabkan bahwa pengaruh tidak selalu harus dikaitkan dengan kekuasaan. Tidak mustahil bahwa seorang pemuka agama, yang tidak memiliki kekuasaan formal, lebih disegani masyarakat sekitarnya daripada seorang kepala desa. Tetapi pemuka agama itu tidak dapat menggunakan kekerasan fisik untuk menghukum salah seorang warga masyarakat yang tidak bersedia mengikuti upacara keagamaan yang dipimpinnya. Hal ini berbeda dengan kedudukan kepala desa apabila menghadapi seorang warganya yang enggan membayar pajak. Laporan kepala desa kepada pejabat urusan pajak dapat mengakibatkan si wajib pajak dikenakan hukuman kurungan (penjara).

Jika pengaruh dan kekuatan seperti dikemukakan di atas, lebih berurusan dengan sumber daya yang dapat digunakan sebagai landasan kekuasaan, tentu mudah kita pahami. Persoalannya ialah : siapakah dalam suatu masyarakat yang dapat menggunakan kekuasaan, dan mengapa mereka memiliki kekuasaan? Konsep penting yang menjelaskan masalah ini adalah wewenang ( authority ) dan keabsahan ( legitimacy ). Wewenang berurusan dengan pertanyaan “siapakah yang mempunyai hak untuk mengendalikan tingkah laku masyarakat dengan paksaan”. Dikatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan formal, sedangkan keabsahan lebih menjelaskan mengapa kedudukan seseorang dapat diterima oleh masyarakatnya. Pemuka agama dalam contoh di atas, betapapun mempunyai pengaruh besar di lingkungan masyarakatnya, tetapi ia tidak mempunyai wewenang atau kekuasaan formal terhadap warga masyarakat lainnya. Di lain pihak, kepala desa mempunyai kewenangan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat di dalam wilayah kekuasaannya. Kepala desa oleh karena kedudukannya mempunyai wewenang atau kekuasaan formal.

Contoh-contoh sederhana yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa wewenang lebih mempersoalkan sanksi, sedangkan keabsahan lebih mempersoalkan kepatuhan, dengan atau pun tanpa sanksi.

Bagi ilmu politik, di antara berbagai bentuk kekuasaan, yang paling penting ialah kekuasaan politik. Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum (pemerintah), baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari segi ruang lingkup, kekuasaan politik lebih sempit dibanding kekuasaan sosial. Oleh Ossip K. Flechtheim, kekuasaan sosial ini dimaksudkan sebagai “keseluruhan dari kemampuan hubungan-hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain, untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang kekuasaan.”

Membandingkan kedua definisi di atas, terlihat bahwa kekuasaan politik hanya merupakan bagian dari kekuasaan sosial; kekuasaan politik adalah kekuasaan sosial yang terutama ditunjukkan kepada negara sebagai satu- satunya pihak yang berwenang untuk berhak mengendalikan tingkah laku sosial dengan menggunakan paksaan. Dalam hubungan ini kekuasaan politik dapat dibedakan menjadi dua macam.

  • Pertama, bagian dari kekuasaan sosial yang terwujud dalam negara, seperti: Presiden, Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan sebagainya.

  • Kedua, bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan kepada negara, baik kekuasaan sosial itu berasal dari organisasi politik, maupun organisasi ekonomi, organisasi agama, organisasi minoritas, maupun organisasi kekerabatan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan negara.

Kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat di semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga memberi keputusan- keputusan yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan pihak lainnya. Max Weber menyatakan bahawa kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan- golongan tertentu.

Sarana pelaksanaan kekuasaan dapat berupa :

  • Saluran militer
    Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut dalam diri masyarakat sehingga mereka tunduk pada kemauan penguasa. Untuk itu dalam organisasi militernya sering dibentuk pasukan khusus, dinas rahasia dan satuan pengamanan kerusuhan. Apabila pengaruh militer ditujukan ke Negara lain, tujuannya adalah menciptakan rasa aman ( security ) agar penguasa dicintai warganya.

  • Saluran ekonomi
    Pengusaha berusaha menguasai segala jaringan ekonomi , sehingga penguasa dapat menyalurkan perintah-perintahnya, melalui berbagai peraturan perekonomian, baik masalah modal, buruh, ekspor-impor dan sebagainya.

  • Saluran politik
    Penguasa sengaja membuat berbagai peraturan yang harus ditaati masyarakat agar berbagai perintahnya berjalan lancar. Untuk itu sengaja diangkat pejabat yang loyal.

  • Saluran tradisi
    Penguasa mempelajari dan memanfaatkan tradisi yang berlaku dalam masyarakat , guna kelancaran pemerintahan.

  • Saluran ideologi.
    Penguasa mengemukakan serangkaian ajaran dan doktrin sehingga menjadi ideiologi bangsa sekaligus menjadi dasar pembenaran segala sikap dan tindaknnya sebagai penguasa.Saluran lainnya berupa pers, kebudayaan, keagamaan dan sebagainya.

Kekuasaan dapat dilihat pada interaksi sosial antar manusia maupun antar kelompok yang mempunyai beberapa unsur pokok, yaitu :

  • Rasa takut
    Perasaan takut pada seseorang akan menimbulkan kepatuhan terhadap segala kemajuan dan tindakan orang yang ditakuti tersebut. Rasa takut merupakan gejala universal yang terdapat di segala tempat dan biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat yang mempunyai pemerintahan otoriter.

  • Rasa Cinta
    Rasa cinta menghasilkan perbuatan yang pada umumnya bersifat posesif, apabila ada suatu reaksi positif dari masyarakat yang dikuasai maka sistem kekuasaan akan dapat berjalan dengan baik dan teratur.

  • Kepercayaan
    Kepercayaan bisa timbul sebagai hasil hubungan langsung antara dua orang atau lebih yang bersifat asosiatif. Soal kepercayaan sangat penting demi kelanggengan kekuasaan.

  • Pemujaan
    Sistem kepercayaan mungkin dapat disangkal oleh orang lain, tetapi sistem pemujaan membawa seseorang dan kelompok untuk membenarkan segala sesuatu yang dating dari penguasa tersebut.

Kekuasaan yang telah dilaksanakan, memerlukan serangkaian cara atau usaha-usaha untuk mempertahankannya. Setiap penguasa (pemimpin) yang telah memegang kekuasaan didalam masyarakat, demi stabilnya masyarakat, akan erusaha untuk mempertahankannya. Cara-cara atau usaha-usaha yang dapat dilakukannya adalah antara lain :

  1. Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama peraturan dalam bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa. Peraturan- peraturan tersebut akan digantikan oleh peraturan-peraturan baru yang akan menguntungkan penguasa. Keadaan tersebut biasanya terjadi pada waktu ada pergantian kekuasaan dari seseorang penguasa kepada penguasa lain (yang baru)

  2. Mengadakan sistem-sistem kepercayaan (belief-systems) yang akan dapat memperkokoh kedudukan penguasa atau golongannya. Sistem kepercayaan meliputi agama, ideologi dan seterusnya.

  3. Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik

  4. Mengadakan konsolidasi horizontal dan vertikal.

Referensi

-Selo Soemardjan, Pola-Pola kepemimpinan Dalam Pemerintahan , ceramah pada Coaching Management Lembaga Pertahanan Nasional, 7 Maret 1967, tidak diterbitkan.

-Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi : Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori, Aplikasi dan Pemecahannya, Kencana, Jakarta, 2011.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar , Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Dalam literatur ilmu politik konsep kekuasaan berkaitan erat dengan konsep kekuatan. Keterkaitan kedua konsep ini, menurut Isjwara (1982), karena kekuatan diartikan sebagai gejala sosial, sebagai kekuasaan fisik , sebagai kekuasaan yang disertai dengan kekerasan atau daya-paksa fisik ataupun ancaman-ancaman fisik lainnya. Kekuasaan tidak selalu berupa kekuatan, walaupun sekali-kali kekuasaan dapat juga mengambil bentuk kekuatan, yakni bentuk kekuasaan yang disebut “naked power”.

Kekuasaan dalam arti tertentu adalah kekuatan yang disetujui. Adanya kekuasaan dalam berbagai manifestasinya, termasuk kekuatan harus diterima oleh umat manusia, karena manusia menurut kodratnya ditakdirkan untuk hidup berkelompok. Manusia ditakdirkan oleh hakikatnya sebagai makhluk sosial, untuk menerima adanya penyelenggaraan kekuasaan, sekalipun penyelenggaraan itu didasarkan atas kekuatan belaka.

Menurut Isjwara asal mula terbentuknya negara sesuai “Teori Kekuatan” , adalah hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah . Negara terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan negara. Negara merupakan resultante positif dari sengketa dan penaklukan.

Dalam teori kekuatan, faktor kekuatanlah yang dianggap sebagai faktor tunggal dan terutama yang menimbulkan negara. Kekuatan ( force ) menjadi sumber pencipta negara-negara. Negara dilahirkan karena pertarungan kekuatan dan yang keluar sebagai pemenang adalah pembentuk negara itu, dan sebagainya.

Konsep Kekuasaan


Istilah kekuasaan diartikan sebagai kesanggupan seseorang individu atau suatu kelompok sosial guna melanjutkan suatu bentuk tindakan (membuat dan melaksanakan keputusan, dan secara lebih luas lagi, menentukan agenda pembuatan keputusan), jika perlu menentang kelompok kepentingan, dan bahkan oposisi serta individu lainnya (Bottomore, 1983).

Max Weber dalam Giddens (1986) mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan bahwa seseorang pelaku akan mampu untuk mewujudkan gagasan-gagasannya sekalipun ditentang oleh orang lain, dengan siapa dia berada dalam hubungan sosial.

Menurut Budiardjo (1983), sumber kekuasaan terdapat dalam pelbagai segi . Dia dapat bersumber pada kekerasan fisik (misalnya, seorang polisi dapat memaksa penjahat untuk mengakui kejahatannya karena dari segi persenjataan polisi lebih kuat); dapat juga bersumber pada kedudukan (misalnya, seorang komandan terhadap bawahannya, seorang menteri dapat memecat pegawainya yang korupsi atau memutasikannya ke tempat lain); pada kekayaan (misalnya, seorang pengusaha dapat mempengaruhi politikus melalui kekayaannya); atau pada kepercayaan (misalnya, seorang pendeta terhadap umatnya); dan lain-lain.

Berhubungan erat dengan masalah kekuasaan adalah pengaruh (influence), sehingga sering dikatakan bahwa pengaruh adalah bentuk lunak dari kekuasaan. Dalam hal ini biasanya seorang yang mempunyai kekuasaan juga mempunyai pengaruh di luar dan di dalam bidang kekuasaannya. Tapi tidak semua orang yang mempunyai kekuasaan yang sama, mempunyai pengaruh yang sama besarnya karena masalah pengaruh berkaitan dengan pribadi seseorang yang memegang kekuasaan. Misalnya, kekuasaan Lurah A sama dengan kekuasaan Lurah B, tetapi pengaruh Lurah A belum tentu sama besarnya dengan pengaruh Lurah B di lingkungan penduduknya masing- masing. Selain itu pengaruh juga tidak selalu harus dikaitkan dengan kekuasaan sebab ada orang yang tidak mempunyai kedudukan (yang dengan sendirinya tidak mempunyai kekuasaan) tapi mempunyai pengaruh. Jadi arti pengaruh tidak sama dengan kekuasaan.

Selain pengaruh, Weber mengemukakan adanya konsepsi dominasi lebih khusus. Konsepsi ini hanya mengacu kepada kasus-kasus pemaksaan kekuasaan, di mana seorang pelaku menuruti suatu perintah spesifik yang dikeluarkan oleh orang lain. Penerimaan dominasi bisa terletak pada pelbagai motif yang berlainan, terentang mulai dari kebiasaan semata-mata sampai penggalangan keuntungan pribadi. Akan tetapi, kemungkinan untuk memperoleh hadiah-hadiah material dan kehormatan sosial, merupakan dua bentuk yang paling meresap dari ikatan yang mengikat pemimpin dan pengikut. Namun tidak ada dominasi yang stabil, semata-mata di atas kebiasaan yang otomatis ataupun atas himbauan kepada kepentingan pribadi: penyangga utamanya adalah kepercayaan dari pihak bawahan atas keabsahan kedudukan mereka sebagai bawahan.

Weber membedakan tiga jenis ideal dari keabsahan, yang bisa meletakkan suatu pola hubungan dominasi: tradisional, menurut hukum, dan kharismatis.

  • Dominasi tradisional berlandaskan atas kepercayaan kepada kesucian aturan-aturan yang telah berabad-abad lamanya. Contoh: dalam komunitas pedesaan otoritas biasanya dipegang oleh orang-orang yang paling tua karena dipandang paling meresapi kearifan tradisional.

  • Dominasi menurut hukum berlandaskan pada aturan formal yang ditetapkan . Contoh: bawahan harus taat pada atasannya, bukan karena mereka menerima norma-norma yang bersifat pribadi, tetapi mereka tunduk kepada atasan sebagai pemegang otoritas sesuai aturan hukum.

  • Dominasi kharismatis berlandaskan kepada suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu yang dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang mempunyai sifat-sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan yang khas dan luar biasa.

Selanjutnya, untuk mewujudkan kekuasaan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Allen dalam Isjwara (1982) menggolongkan teknik kekuasaan dalam tiga jenis, yaitu:

  • Pertama, Teknik yang tradisional . Dengan teknik-teknik pelaksanaan kekuasaan tradisional dimaksudkan semua teknik yang bisa dipergunakan dalam sejarah. Termasuk dalam golongan teknik yang tradisional ini seperti; kekuatan atau paksaan semata, intimidasi, insinuasi, ketakutan, hukuman, penaklukan, memecah belah dan menguasai, dan sebagainya.

  • Kedua, Teknik yang modern. Teknik-teknik ini dianggap modern karena ternyata bahwa teknik-teknik itu pada dua puluh tahun akhir-akhir ini lebih banyak dipergunakan dan lebih efektif hasil-hasilnya daripada segenap teknik-teknik tradisional. Ada lima teknik yang tergolong ke dalam teknik yang modern ini, yaitu:

    • propaganda yang diadakan secara sadar ,
    • pengawasan atas pendidikan yang direncanakan dengan teliti,
    • memupuk ide superioritas ras,
    • pemberitaan terang-terangan dari penyelenggaraan keganasan-keganasan massal,
    • pengulangan sampai bertele-tele dari ajaran bahwa tujuan membenarkan alat.

    Dari kelima teknik modern tersebut, dua di antaranya pada akhirnya akan mengakibatkan kehancuran pelaksanaan-pelaksanaannya, yaitu teknik pemberitaan terang-terangan dari penyelenggaraan keganasan-keganasan massal, dan teknik pengulangan sampai bertele-tele dari ajaran bahwa tujuan membenarkan alat.

  • Ketiga, Teknik yang destruktif. Teknik-teknik ini unik dan berlainan daripada dua teknik-teknik tersebut (teknik tradisional dan modern). Termasuk sebagai teknik-teknik yang destruktif ialah:

    • dusta,
    • ide tentang adanya “ universality of choise ”,
    • illusi akan kemenangan.