Kalau dari kacamata sosiologi, hal ini terjadi karena masih langgengnya budaya rape culture di Indonesia.
Rape culture sendiri adalah sebuah kondisi di mana sebuah lingkungan menganggap sebuah pelecehan atau pemerkosaan adalah lazim dan normal oleh media dan budaya populer. Budaya ini didukung dengan penggunaan bahasa yang misoginis, objektifikasi tubuh perempuan, dan glamorisasi kekerasan seksual.
Beberapa contoh di atas juga contoh dari objektifikasi tubuh perempuan.
Rape culture nggak sebatas fenomena kekerasan seksual, tapi juga budaya melindungi pelaku, menyalahkan korban, dan menuntut korban untuk melindungi diri agar tidak terjadi kekerasan seksual (daripada memfokuskan untuk membenahi perilaku pelaku).
Hal ini menyebabkan munculnya semacam personal responsibility untuk perempuan. Contohnya seperti menjaga pakaian dan menghindari tempat-tempat di mana cenderung terjadi kekerasan seksual.
Rape culture juga mempersulit pelaku untuk diadili, karena masyarakat masih beranggapan bahwa sesuatu bisa dianggap sebagai kekerasan seksual hanya apabila terjadi penetrasi alat kelamin.
Padahal, definisi kekerasan seksual sudah dijelaskan dengan gamblang dalam pasal 1 RUU-PKS (yang entah kapan disahkan juga) sebagai berikut:
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Kesimpulannya: dengan adanya rape culture akan sangat memojokkan korban, menganggap bahwa kekerasan seksual akan selalu ada dan tidak bisa diganggu gugat.
Ada salah satu anekdot yang sangat saya sukai: