Apakah Yang Dimaksud Dengan Takwa dan Apa Maknanya?

Berikut adalah ciri-ciri orang yang ber-takwa, berdasarkan ayat-ayat Al-Quran :

Beriman kepada Allah

Beriman kepada hari kemudian

Beriman kepada malaikat-malaikat

Beriman kepada kitab-kitab

Beriman kepada nabi-nabi

Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;

Memerdekakan hamba sahaya

Mendirikan shalat

Menunaikan zakat

Menepati janjinya apabila ia berjanji

Orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.

QS. Al-Baqarah [2] : 177

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf

QS. Al-Baqarah [2] : 180

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Menepati janjinya apabila ia berjanji

QS. 'Ali `Imran [3] : 76

(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.

Menjadikan Al Quran sebagai petunjuk hidupnya

QS. Al-Baqarah [2] : 2

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,

QS. 'Ali `Imran [3] : 138

(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

QS. Al-Haqqah [69] : 48

Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

Selalu Belajar dan mengambil hikmah dan pelajaran dari umat terdahulu

QS. Al-Baqarah [2] : 66

Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

QS. Al-Ma’idah [5] : 46

Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.

QS. An-Nur [24] : 34

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

Orang-orang yang sabar

QS. Hud [11] : 49

Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.

Orang yang percaya dan membenarkan Nabi Muhammad SAW

QS. Az-Zumar [39] : 33

Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Orang-orang yang berbuat kebaikan.

Sedikit sekali tidur diwaktu malam.

Selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.

Harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

QS. Adh-Dhariyat [51] : 15-20

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air,
Sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.
Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.

Memberikan nafkah kepada istri walaupun sudah dicerai

QS. Al-Baqarah [2] : 241

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.


Apakah yang dimaksud dengan Takwa dan apa maknanya ?

Secara etimologi, term taqwa—yang terrulang dalam Al-Qur’an sebanyak 259 kali dengan segala derivasinya—mengandung makna yang cukup beragam, di antaranya: memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan (Ma’luf, t. th, Manzur, 1968), namun demikian, ragam arti tersebut masih tetap mengacu pada satu makna, yaitu antisipasi diri terhadap dunia luar.

Al-Raghib al-Asfahani, dalam bukunya Mu 'jam Mufradat Alfdz Al-Qur’dn, menjelaskan bahwa kalimat taqwa mengandung arti memelihara diri dari hal-hal yang akan membawa kepada kemudharatan (al-Asfahani, 1972).

Muhammad Abduh, dalam kitab Tqfsir al-Manar, juga menyatakan bahwa kalimat taqwa, secara etimologi, dapat diartikan menjauhkan diri dari kemudharatan atau menolaknya. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kalimat taqwa sering disandarkan kepada kalimat Allah (ittaqullah), sehingga artinya menjadi menjauhkan diri dari Allah (Shihab, 1992). Arti semacam ini, jika dipahami secara tekstual, kontradiksi dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain yang memerintahkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka makna yang sesungguhnya, yang dimaksud oleh kalimat ittaqullah, adalah menjauhkan diri dari siksaan atau azab Allah. Karena, menurut sebahagian ulama tafsir, dalam kalimat ittaqullah tersirat kata yang mengandung arti siksaan atau azab (QS. AlBaqarah/2:196,203, al-Maidah/5:4,7,8).

Usaha untuk menjauhkan diri dari siksaan atau azab Allah tersebut dapat dilakukan dengan cara “meninggalkan larangan Allah dan sekaligus melaksanakan perintah-Nya” (imtisalal-awamirillah wa ajtinab al-nawahihi) (al-Zuhailiy, 1991). Hal itupun dapat terlaksana jika dalam diri seseorang muncul perasaan takut—yang menurut penjelasan Yusuf Ali merupakan awal dari kearifan—terhadap azab dan yang memiliki azab (Allah)

Pada hakikatnya orang yang bertaqwa adalah orang yang menjaga dirinya dari azab Allah, yaitu mereka yang memiliki pandangan dan kesadaran yang tinggi dalam memahami dan menghayati sebab-sebab yang dapat menimbulkan azab tersebut (memahami hukum-hukum Allah) Dalam konteks ini, Tabataba’i menjelaskan bahwa taqwa ini memiliki makna filosofis yang dalam.

Dalam jiwa seseorang terdapat dua potensi, yaitu potensi berbuat baik (ta’at) dan potensi berbuat jahat (ma’siat). Dua potensi tersebut tidak dapat berkumpul dalam satu waktu. Manusia taqwa adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi kebaikan (ta 'at), yang ada dalam dirinya, dengan cara berbuat ihsan (Tabataba’i, 1991).

Pendapat ini tampaknya disepakati oleh Hamka, di mana dia menjelaskan dalam tafsirnya al-Azhar, bahwa dalam kalimat taqwa terkandung arti yang lebih konperehensif, yaitu: cinta, kasih, harap, cemas tawakkal, ridha, sabar, berani, dan Iain-lain.

Intinya, kata Hamka, ungkapan taqwa mengandung makna memelihara hubungan baik dengan Allah, dengan memperbanyak amal saleh. Hal tersebut dilakukan bukan karena takut, tetapi karena ada kesadaran diri sebagai hamba Allah (Hamka, 1988).

Pengertian yang diberikan oleh Hamka di atas memberikan indikasi bahwa taqwa tidak hanya mengandung arti antisipasi diri terhadap hal-hal yang dapat membawa kepada kemudharatan, akan tetapi juga mengandung arti memiliki semangat keberagamaan (religious spirit) yang tinggi untuk selalu ingin memperbaiki hidup dan kehidupannya, baik dalam bentuk vertikal (hubungan dengan Allah) maupun dalam bentuk horizontal (hubungan sesama manusia).

Mencermati beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa di dalam taqwa terkandung pengertian pengendalian diri oleh manusia akan dorongan emosinya dan penguasaan terhadap kecenderungan liawa nafsunya. Hal ini berarti bahwa seorang yang bertaqwa akan memenuhi dorongan-dorongan emosinya hanya sebatas yang diperkenankan oleh agama.

Selain itu, dalam ungkapan taqwa juga terkandung perintah kepada manusia agar mereka senantiasa melakukan aktivitas-aktivitas yang baik yang membawa kepada kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, seperti: bersikap adil dalam bertindak dan berbuat, suka membantu orang-orang yang membutuhkan secara moril atau materiil, mau mengembangkan potensi diri atau intelektualitas demi mencapai kehidupan yang baik dan bermanfaat.

Dari latar belakang di atas secara eksplisit dapat dipahami bahwa perintah ('amar) taqwa dalam Al-Qur’an memiliki makna yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia di dunia dan bahkan di akhirat. Karena itulah perintah ('amar) taqwa dalam Al-Qur’an tidak hanya datang dalam satu bentuk kalimat perintah (ittaqullah)., tetapi datang dalam berbagai bentuk.

Dalam redaksi ayat-ayat al-Qur’an, kalimat perintah, khususnya yang berkaitan dengan perintah bertaqwa, bisa datang dalam berbagai bentuk, seperti fi’il 'amar, lam 'amar, istifham, kalimat tarajji, dan jumlah khabariyah yang mengandung makna insyaiyyah.

taqwa

Di bawah ini akan diuraikan satu per satu dari berbagai bentuk tersebut.

1. Fi’il 'amar.

Perintah bertaqwa yang datang dalam bentak fi’il 'amar terulang sebanyak 54 kali dalam Al-Qur’an (al-Baqiy, 1945). Sekedar contoh dapat dilihat dalam redaksi ayat berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalanNya supaya kamu mendapat keberuntungan (QS. Al-Maidah/5: 35).

Dalam ayat tersebut terdapat tiga kalimat perintah, yaitu ittaqullah (bertaqwalah kepada Allah) yang dikaitkan dengan kalimat ibtaghu ilaihi al-wasilah (carilah jalan yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya) dan kalimat jahidu fi sabllillah (berjihadlah di jalan Allah).

Jika diamati redaksi ayat di atas terdapat suatu penegasan yang sama antara perintah untuk bertaqwa dengan perintah untuk mencari wasllah dan berjihad. Imam Syaukani (al-Syaukaniy, 1992), ketika menjelaskan keterkaitan antara kalimat perintah tersebut, manyatakan bahwa taqwa merupakan puncak dan segala sesuatu atau tujuan dari setiap amal kebaikan yang dilakukan manusia.

Mencari wasilah dan berjihad di jalan Allah merupakan bahagian dari amal kebaikan yang harus dilaksanakan oleh manusia. Di samping itu, Said Hawwa (Hawwa, 1989) berpendapat bahwa redaksi ayat tersebut mengindikasikan adanya keseimbangan antara ke-taqwa-an dengan pelaksanaan amal saleh (mencari wasilah) dan berjihad. Karena yang menjadi tujuan akhirnya adalah kesuksesan hidup (tuflihun), baik di dunia maupun akhirat.

Dua pendapat di atas sesungguhnya tidak jauh berbeda, karena kesuksesan atau kebahagiaan itu hanya bisa dicapai oleh orang yang benar-benar melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangannya. Dan puncak dari kebahagiaan atau kesuksesan itu adalah tercapainya derajat ketaqwaan.

Contoh lainnya adalah didalam ayat berikut :

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS. AH Imran/3: 130).

Dalam ayat di atas terdapat dua bentuk tuntutan, yaitu larangan memakan riba (la ta 'kulu al-riba), dan perintah untuk bertaqwa (ittaqullah). Dua tuntutan ini merupakan dua ajaran yang sama pentingnya, karena itulah Allah menggandengkannya dalam satu kalimat.

Larangan memakan riba, menurut al-Maraghi (al-Maraghi, t.th, IV), didasarkan kepada kenyataan yang sudah berjalan selama ini pada masyarakat Arab Jahiliyah. Dalam proses utang piutang, mereka telah mempraktekkan riba yang berlipat ganda (riba fahsy atau nasi 'ah).

Jika seseorang berhutang, kemudian ditetapkanlah jumlah pembayaran dan jangka waktunya. Seteiah jangka waktunya habis, ternyata yang berhutang belum sanggup membayarnya, maka dibuat lagi kesepakatan untuk penangguhan pembayaran dengan syarat bunganya bertambah. Dengan demikian, semakin lama seseorang berhutang semakin besar jumlah yang harus dibayarnya.

Melihat kondisi yang seperti itulah, Allah melarang secara tegas praktek riba tersebut dalam kehidupan masyarakat. Karena, praktek utang piutang seperti itu sama dengan melakukan penyiksaan, penyengsaraan atau bahkan pembunuhan secara perlahan-lahan (al-AIusiy, 1994). Orang yang mempiutangi akan dapat meraup keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan penderitaan orang lain. Sementara, orang yang berhutang dengan susah payah berusaha memenuhi janjinya untuk melakukan pembayaran pada waktunya, sebab jika tidak dibayar bunganya akan bertambah.

Proses ini jelas membuat kehidupan dalam masyarakat semakin timpang, yang kaya semakin kaya dan yang miskin bertambah miskin. Penegasan larangan itu kemudian diikuti dengan kalimat perintah ittaquttah, bertaqwalah kamu kepada Allah. Ada makna yang terkandung di sini bahwa setelah Allah melarang seseorang melakukan praktek riba, Allah menunjukkan jalan yang bisa membawa kepada kebaikan dan kesejahteraan dalam masyrakat, yaitu jalan taqwa. Begitu indah dan sempumanya ajaran Allah.

Dia tidak membiarkan hambanya berada dalam kebingungan dan kekosongan jiwa. Kalimat ittaqullah merupakan petunjuk sekaligus perintah untuk meiigikuti cara-cara hidup bermasyarakat yang diajarkan oleh Allah, yaitu bersikap lemah lembut (QS. Ali Imran/3:153), menebarkan kasih sayang (QS. Al-Fatihah/1:1), tolong menolong atas dasar perikemanusiaan (QS. Al-Maidah/5:2), dan begitu seterusnya

2. Lam’ amar.

Perintah bertaqwa yang datang dalam bentuk lam amar terulang sebanyak satu kali dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah:

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS. An-Nisa/4:9).

Dalam ayat di atas ada tiga bentuk perintah yang disampaikan, yaitu wa al-yakhsyallazina…, fa al-yattaqullah dan wa al-yaqulu. Kalimat perintah tersebut datang dalam bentuk gabungan lam amar dan fi’il mudhari.

Sesuai dengan kaidah bahasa Arab bahwa fi’il mudhari’ berfungsi sebagai fi’il mustaqbal dan lam amar yang terletak di depannya juga berfungsi sebagai huruf istiqbal (Ghalayiniy, 1987). Dengan demikian, makna yang terkandung dalam kalimat perintah tersebut mengacu kepada persoalan yang akan datang.

Perintah pertama mengisyaratkan kepada seseorang jika menjadi wali anak yatim agar melaksanakan tanggungjawabnya dengan sebaik-baiknya. Rasyid Ridha menegaskan bahwa jangan sampai mereka merampas harta anak yatim yang mengakibatkan mereka terlantar, sengsara atau bahkan miskin setelah mereka meninggal. Bukankah mereka juga akan merasa sedih jika anak-anak mereka ditinggalkan dalam kondisi yang lemah, miskin atau ditelantarkan. Mereka tidak dilarang mengambil manfa’at dari harta tersebut, namun dengan syarat sesuai dengan kebutuhan dan tidak berlebihan.

Fa al-yattaquttah, hendaklah kalian bertaqwa, kata Allah, agar kalian bisa lebih arif dan bijaksana dalam memelihara anak yatim. Karena, sikap taqwa ini bisa menuntun seseorang agar selalu berada pada jalan yang benar, terutama yang berkaitan dengan harta anak yatim. Agar tidak timbul watak keserakahan dan ketamakan dalam diri manusia (al-Alusiy, 1994).

Wa al-yaqulu qaulan syadid, maka hendaklah berbicara (memperlakukan mereka) dengan perlakuan yang baik. Menurut Zamakhsyari (al-Zamakhsyari, 1977), yang dimaksud dengan qaulan syadid adalah perkataan yang baik dan menyenangkan, seperti yang mereka dapat dari orang tua mereka. Qaulan syadid juga mengandung makna berlaku adil terhadap mereka dalam pemeliliaraan harta mereka.

Ridha (Ridha, t.th, IV) menambahkan bahwa perintah tersebut mengisyaratkan agar dalam pemeliliaraan anak yatim senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan serta menjauhkan diri dari sikap pemeras dan perampas.

taqwa

3. Istifham

Dalam Al-Qur’an, perintah bertaqwa juga datang dalam bentuk kalimat istifham, yang terulang sebanyak lima (5) kali (QS. al-A’raf 7: 65, Yunus/10: 3 1, al-Mu’minun/ 23:23,32,87).

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Ad saudara mereka (Hud). Dia berkata: Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepadanya (QS. al-A’raf 7:65).

Afala tattaqun, demikian kalimat penutup dalam rangkaian ayat di atas. Dalam kaidah bahasa Arab, kalimat afala merupakan gabungan dari tiga kata atau huruf, yaitu a, fa dan la. A merupakan huruf istifham (hamzah istifham), yang artinya apakah (yang menyebabkan). Sedangkan fa merupakan fa zaidah, dan la merupakan la nafi (huruf nafi), yang artinya maka (kamu) tidak (mau) (al Ghalayiniy, 1987, al-Alusiy, 1994). Jadi jika digabungkan menjadi kalimat afala tattaqun, maka artinya menjadi apakah (yang menyebabkan kamu) tidak (mau) bertaqwa. Kalimat ini (istifham) jika dicermati lebih jauh sesungguhnya mengandung makna amar (perintah). Karena, bentuk pertanyaan (istifham) yang diajukan itu tidak membutuhkan jawaban, yang dibutuhkan adalah perenungan.

Dengan kata lain, secara implisit, kalimat tersebut mengandung makna ittaqullah (karena itu, ber-taqwa-lah kamu kepada Allah).

Ayat di atas mengandung ajaran tauhid, perintah untuk mengabdi atau menyembah hanya kepada Allah. Karena, sesungguhnya, tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Ayat ini ditutup dengan kalimat afala tattaqun, kenapa kamu tidak mau bertaqwa, padahal Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah, Tidak ada tuhan selain Dia (al-Maraghiy, t.t, VIII).

Penggunaan kalimat istifham di sini, dengan fungsi amar, bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada manusia untuk berfikir dan merenungi apa yang disampaikan itu.

Setiap ayat yang ditutup dengan kalimat istifham, senantiasa diawali oleh kalimat yang mengandung makna perenungan.

Contoh yang lain adalah firman Allah:

Katakanlah: siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Maka mereka akan menjawab: Allah. Maka katakanlah: mengapa kamu tidak bertaqwa (QS.Yunus/10:31).

Ayat di atas ternyata juga masih ditutup dengan kalimat istifham, afala tattaqun. Sesuai dengan makna sebelumnya, bahwa jika suatu ayat ditutup dengan kalimat istifham, itu artinya pada rangkaian kalimat sebelumnya terdapat uraian yang membutuhkan pemikiran dan perenungan.

Seperti ayat di atas, berbicara tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala-galanya, terutama yang berkaitan dengan manusia, seperti kehidupan dan kematian (al-Zuhailiy, 1991, XI), rezeki, nikmat pendengaran dan penglihatan, dan begitu seterusnya. Begitu juga dengan proses alam atau yang lebih dikenal dengan sunnatullah.

Jika manusia mau berfikir dan merenungi apa yang diuraikan dalam rangkaian ayat tersebut, maka mereka pasti akan menyadari dan mengakui bahwa yang menguasai semuanya itu adalah Allah.

taqwa

4. Kalimat Tarajji

Bentuk lain dari kalimat perintah bertaqwa adalah dengan kalimat tarajji, yang terulang dalam Al-Qur’an sebanyak dua belas kali ; (QS. al-Baqarah / 2: 21,51, 64,69,179,183, l87, al-An’am / 6:153, al-A’raf / 7:164,171, Rum / 30 : 113, Lukman/ 39 : 28).

Contohnya:

Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan jangalah kamu mengikuti jalan-jalan (yang Iain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa (QS.al-An’am/6:153).

Kalimat kunci dalam ayat di atas adalah la’allakum tattaqun, mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dalam kaidah bahasa Arab, kata la 'alla termasuk ke dalam kelompok huruf tarajji yang fungsinya adalah menuntut sesuatu yang baik dan mungkin dilakukan (pengharapan) (al-Ghalayiniy, 1978).

Jika kata la 'alla digabungkan dengan kata taqwa, la’allakum tattaqun, maka artinya menjadi mudah-mudahan kamu bertaqwa, yaitu suatu pengharapan yang lebih mendekati kepada tercapainya tujuan yang dimaksud yaitu derajat taqwa. Dengan kata lain, kalimat ini lebih mendekati kepada kalimat 'amar (perintah).

Hal ini didukung oleh rangkaian kalimat sebelumnya yang selalu didahului oleh kalimat perintah, seperti ayat di atas yang didahului oleh kalimat perintah fattabi’uhu. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengikuti shirat al-mustaqim. Perintah ini begitu tegas, sehingga Allah langsung menyebutkan antitesanya, yaitu berupa larangan mengikuti jalan-jalan yang tidak diridhai oleh Allah.

Dengan perintah yang tegas seperti itu, dapat dipahami bahwa kalimat la 'alla, dalam ayat di atas, lebih dekat maknanya kepada makna 'amar.

Contoh lain dapat dilihat dalam firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS.al-Baqarah/2:183).

Sama dengan ayat sebelumnya, ayat ini juga ditutup dengan kalimat la 'allakum tattaqun. Kalimat inipun sebelumnya diawali oleh kalimat perintah kutiba. Dengan demikian,tak jauh berbeda dengan ayat sebelumnya, kalimat la 'alla, yang terdapat dalam ayat di atas, bisa dipandang mengandung makna 'amar (perintah).

Dalam ayat di atas, Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa. Ibadah ini merupakan ibadah yang sudah berlangsung sekian lama dan dikenal oleh hampir semua agama (Hamka, 1988). Puasa merupakan ibadah untuk melatih kesabaran. Karena, dalam puasa seseorang dilarang makan, minum dan hubungan suami istri. Tiga kebutuhan itu merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Tidak ada manusia yang sanggup berpisah dengan hal tersebut. Maka dengan puasa, manusia dilatih untuk menahan nafsu dari hal-hal tersebut, sebagai ujian keimanan dari Allah. Mungkin tidak semua manusia sanggup melakukannya. Karena godaan nafsu, seks dan perut, manusia sering kalah, bahkan keimananya pun bisa hilang (al-Alusiy, 1994).

Sebab itulah, ayat diatas ditutup oleh Allah dengan kalimat la 'allakum tattaqun, mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa. Artinya, dengan kalimat ini, Allah mengharapkan (memerintahkan) hamba-hamba-Nya agar mampu melewati ujian tersebut dan meraih derajat taqwa. Karena itulah derajat yang paling tinggi di sisi Allah dan manusia yang mampu melaksanakn ibadah puasa dengan sempurna pantas mendapatkan derajat tersebut.

taqwa

5. Jumlah khabariyah yang mengandung makna insyaiyah

Perintah bertaqwa dengan menggunakan jumlah ini cukup banyak, di antara contohnya adalah:

Hai anak Adam sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah mudah-mudahan mereka selalu ingat (QS. al-A’raf/7:26).

Kalimat yang akan menjadi fokus pembahasan di sini adalah jumlah khabariyah libas al-taqwa zalika khair. Dalam kaidah bahasa Arab, jumlah khabariyah bisa berfungsi sebagai insyaiyah, yaitu berupa himbauan atau ajakan (alGhalayiniy, 1987).

Peryataan ini bisa diperkuat lagi dengan melihat kepada kandungan makna serta rangkaian kalimat sebelum dan sesudahnya. Dalam ayat di atas misalnya, jumlah khabariyah libas al-taqwa zalika khair memiliki makna yang sangat penting. Libas atau pakaian merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, selain pangan dan papan (alZuhailiy, 1991). Bahkan untuk membedakan antara manusia waras dan tidak waras, salah satunya adalah pakaian.

Jika ada orang yang berani keluar tanpa pakaian, pasti dicap sebagai orang gila atau tidak waras. Dengan kata lain, pakaian merupakan suatu pertanda bagi seseorang untuk pantas disebut manusia waras. Sejalan dengan pengertian di atas, Allah memberitahukan kepada manusia bahwa di antara pakaian-pakaian yang kamu kenal itu, ada pakaian yang paling bagus, cantik dan menawan, baik bagi si pemakai atau orang lain. Pakaian itu adalah pakaian taqwa. Pakaian ini tidak hanya memberikan manfa’at di dunia, tapi juga di akhirat

Menurut lbnu Abbas, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pakaian taqwa itu adalah iman dan amal saleh.

Jika ditarik benang merah dari keduanya, maka dapat dipahami bahwa keduanya memiliki fungsi yang sama. Pakaian, dalam arti yang kongkrit, berfungsi sebagai pelindung diri dari cuaca panas, dingin dan bahaya-bahaya lain yang dapat mengancam keselamatan diri manusia. Sedangkan pakaian, dalam arti yang abstrak (pakaian taqwa), juga berfungsi sebagai pelindung diri manusia agar tidak terjerumus ke dalam perangkap setan yang akan membawanya ke neraka.

Dengan makna seperti itu, maka sangat tepat kiranya jumlah khabariyah libas al-taqwa zalika khair dipahami dengan makna insyaiyah. Bahkan makna inipun bisa meningkat menjadi makna 'amar (perintah) kerena melihat kandungan isinya.

Contoh lain dalam kaitan tersebut adalah firman Allah:

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. al Baqarah/2:197).

Jumlah khabariyah dalam ayat di atas adalah fainna khaira al-zadi al-taqwa. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah khabariyah bisa berfungsi sebagai insyaiyah, jika melihat kepada makna yang dikandungnya. Ayat di atas misalnya, menyatakan bahwa sebaik-baiknya bekal adalah taqwa. Dalam ayat tersebut, hal itu berkaitan erat dengan proses pelaksanaan ibadah haji. Syarat utama dalam melaksanakan ibadah haji adalah memiliki kemampuan (bekal) (QS. Ali Imran/3:97), baik selama dalam perjalanan maupun setelah kembali nantinya. Kemampuan itu mencakup segala-galanya, seperti kesehatan, biaya serta perbekalan lain yang dibutuhkan.

Namun, kata Allah, bekal yang paling utama yang harus disiapkan adalah bekal yang berkaitan dengan rohani, yaitu bekal taqwa. Karena, seperti yang dijelaskan Hamka, tidak ada artinya bekal yang bersifat jasmani dan materi itu, jika tidak memiliki bekal taqwa.

Haji yang dilaksanakan tidak mencapai haji yang mabrur. Karena, mungkin uangnya diambilkan dari uang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika ditarik kepada makna yang lebih luas, maka perbekalan yang dimaksud dalam ayat tersebut tidak hanya terbatas pada perbekalan haji, tetapi juga mencakup perbekalan selama hidup di dunia menuju akhirat. Allah tidak melarang manusia untuk memenuhi bekal hidupnya yang bersifat jasmani dan materi (QS. al-Qasas/ 28: 77). Karena, hal itu juga berfungsi sebagai shirat al-mustaqim, di samping fungsi materiilnya.

Namun, tetap saja bekal taqwa menempati posisi yang paling utama untuk dipenuhi. Jika bekal taqwa sudah terpenuhi, maka perjalanan hidup manusia akan terpelihara dan terjamin. Setiap kaki yang dilangkahkan dan tangan yang diayunkan akan selalu membawa berkah. Harta yang diperoleh pun suci dan terhindar dari proses-proses yang diharamkan. Dengan kata lain bekal taqwa akan mampu membawa manusia mencapai keselamatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (al-Alusiy, 1994).

Dengan perluasan makna seperti itu, maka tidak berlebihan rasanya jika jumlah khabariyah, dalam ayat di atas, bisa juga dipandang memiliki fungsi insyaiyyah, menghimbau manusia agar senantiasa membekali dirinya dengan taqwa.

Sumber : Irsyadunnas, Kajian tentang Ayat-ayat Taqwa

Dalam bahasa arab, kata taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayatan-waqyan-waqiyatan-waqan.

Waqaitu fulanan artinya menjaga sifulan, menutupi dia dari penyakit. Di dalam Al qur’an terdapat 242 kosa kata “Taqwa” delapan puluh satu ayat diantaranya berisi perintah dan anjuran agar bertaqwa. Dari segi ini saja kita dapat melihat betapa pentingnya posisi taqwa dalam ajaran Islam.

Oleh sebab itu sekalipun taqwa termasuk klasifikasi akhlak, namun disini dikaji secara khusus makna taqwa. Prof. M. Dawam Raharjo mengatakan bahwa kata taqwa sangat sentral dan akrab dalam kehidupan kaum muslimin.

Di kalangan para orientalis, shihiko Izutsu seorang guru besar linguistic Universitas Keio, Tokyo yang sangat menguasai bahasa arab dan Al qur’an, banyak tertarik dalam istilah taqwa ini seperti ditulis dalam bukunya yang terkenal “Ethico religious Concepts in the Qur’an”. (Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989, Jakarta).

Menurut Prof. Izutsu yang dikutip oleh Dawam Raharjo, bahwa taqwa ini sama sekali bukan takut dalam arti yang biasa, karena takut punya kata sendiri dalam Al Qur’an yaitu “Khasyiyah dan khauf. (Lembaga studi agama dan filsafat, Jakarta 1998).

Ibnu Katsir mengutip riwayat ibnu Hatim, bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud berkenaan dengan maksud ayat : ”Ittaqullaha haqqa tukatih” berkata:

Allah itu ditaati dan jangan dimaksiati, diingat jangan dilupakan, disyukuri jangan diingkari (Ibnu Katsir, Bairut, 1981:388). Penafsiran seperti ini sama dengan pendapat Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Jarir At-Thabari, (Fairuzzabady tt.).

Dalam riwayat Ali ibnu Abi Thalhah, Ibnu Abbas berkata tentang maksud ayat haqqa tuqatih: yaitu hendaklah kamu berjihad di jalan Allah dengan jihad yang sebenarnya, jangan hiraukan para pencela perjuangan kamu menuju Allah, tegakkan keadilan walau terhadap diri, orang tua atau anak kalian. (Fairuzzabady, tt,).

Quraisyi Shihab (Jakarta) berkata bersama ulama-ulama tafsir mengatakan ungkapan kata yakni “siksa dan hukuman” sehingga maksud kata-kata tersebut adalah hindarilah siksa atau hukuman kepada Allah. Menjauhi siksa dan hukuman Allah sudah barang tentu dengan cara menghindari apa yang dilarangnya dan mematuhi perintahnya.

Quraisyi shihab setelah mengkaji beberapa pendapat mengatakan bahwa taqwa pada dasarnya bersumber dari rasa takut, namun dapat meningkat dan meningkat sehingga mencapai puncaknya sebagaimana yang dimiliki oleh para Nabi, dan oleh karena itu para nabipun diberi predikat orang-orang bertaqwa

Para ulama Mutaakhir memandang taqwa sebagai “Kesadaran Ketuhanan”, yaitu kesadaran tentang adanya Tuhan yang maha hadir dalam setiap saat perjalanan hidup manusia. Makna seperti inilah yang dinyatakan dalam firman Allah

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Surat Al-Hasyr, 59: 18

Penegasan bahwa Allah maha khabir, maha awas, maha mengetahui apa saja yang dilakukan. Kesadara bahwa Allah maha awas (mengetahui) dan hadir dalam kehidupan kita sampai pada keyakinan bahwa: tak ada jalan untuk menghindar dari Tuhan dari penglihatan dan pengawasannya. Kesadaran ini yang mendorong kita untuk menjauhi larangannnya, mengetahui perintahnya, dan senantiasa berjalan menempuh kehidupan yang lurus, seraya menjauhi diri dari segala kejahatan dan kesesatan yang justru merugikan diri manusia sendiri.

Ciri-ciri Khusus Orang-orang yang Bertaqwa

  1. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, 3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. 4. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelumm, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 5. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. QS. Al Baqoroh : 2-5

Berdasarkan ayat-ayat diatas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri orang yang bertaqwa adalah:

  1. Beriman kepada yang ghaib (Allah SWT, malaikatmalaikat dan hari akhir.
  2. Mendirikan shalat, dan membelanjakan hartanya di jalan Allah.
  3. Beriman kepada kitab-kitab Allah.

Kemudian di dalam Al qur’an surat Ali Imran ayat 136 disebutkan bahwa ciri-ciri orang yang bertaqwa itu adalah:

  1. Orang yang selalu menuju kepada ampunan Allah.
  2. Suka menginfakkan sebagian rezeki yang diberikan Allah kepadanya, baik di waktu lapang ataupun di waktu sempit.
  3. Sanggup menahan amarahnya.
  4. Memaafkan kesalahan orang lain, berbuat baik, jujur.
  5. Apabila berbuat kesalahan, keji dan menganiaya diri sendiri, segera bertaubat dan mengingat Allah, dan tidak lagi meneruskan perbuatan keji ataupun kesalahan-kesalahan lainnya.

Berdasarkan ayat-ayat diatas menegaskan bahwa taqwa itu adalah sikap hidup dan akhlak seorang muslim, yang merupakan buah dan hasil didikan ibadahibadah pokok. Sedang ibadah-ibadah itu sendiri adalah pancaran keluar dari pada iman. Maka dapatlah kita memahami, bahwa taqwa itu adalah hasil daripada ibadah kepada tuhan, karenanya tidak mungkin ada taqwa tanpa ada ibadah.

Seperti firman Allah surat Al Baqarah ayat 21 yang berbunyi :

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.

Ada lagi beberapa kriteria/ciri-ciri orang yang bertaqwa yang disebutkan didalam Al Qur’an, yaitu:

  1. Ali Imran Ayat 76, Barangsiapa menepati janjinya, maka Tuhan menyukai orang-orang yang bertaqwa.
  2. Al Maidah Ayat 8, Tegakkanlah keadilan, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
  3. Al Baqarah ayat 273, Kalau kamu memaafkan, maaf itu lebih dekat kepada taqwa.
  4. At Taubah ayat 7, Selama mereka bersifat lurus kepadamu, hendaklah kamu bersikap teguh hati (istiqamah) kepada mereka, sesungguhnya Tuhan itu menyukai orang-orang yang taqwa.
  5. Ali Imran ayat 200, Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetap bersiap siaga, dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.

Taqwa adalah puncak kehidupan Ibadah, yang selalu dicari oleh setiap muslim. Tuhan selalu mendorong manusia untuk mencapai tingkatan itu dan berusaha mempertahankannya setelah mendapatkannya. Sebab taqwa itu akan menanamkan akhlak mulia, yang efeknya bukan saja untuk menyelamatkan diri sendiri tapi juga untuk seluruh ummat manusia dimanapun ia berada.

Istiqamah Dalam Bertaqwa Firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 102:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Ayat ini memuat perintah kepada orang-orang yang beriman, agar bertaqwa dengan sebenar-benar taqwa, secara harfiyah dapat dipahami bahwa Allah menginginkan agar dalam bertaqwa jangan setenga-hsetengah.

Ibnu Abbas mengatakan tentang makna ”Haqqa tuqatih” ialah kita berjihad dengan sebenarbenar jihad. Tegakkan keadilan sekalipun pahit yang mengenai dirimu, keluargamu dan anak-anakmu sendiri.

Syekh Tantawi Jauhari, (1350) dalam tafsirnya al jawahir, beliau mengatakan “Ittaqullaha Haqqa tuqatih” pada zahirnya adalah diluar batas kemampuan hamba, tetapi hakikatnya ialah, mereka pikul taqwa itu dalam kadar seorang hamba, maka jika sekiranya manusia lalai dan lupa niscaya diampuni oleh Allah.

Oleh karena itu, kata Tantawi, menafsirkan ayat ini dihubungkan dengan ayat: ”Fattaqullaha mastatha’tum” yang terdapat dalam surat At Taghabun. Ayat selanjutnya ”Wala tamutunna illa waantum muslimun” Ibnu Jarir menafsirkannya, janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam dan atas kehormatan Islam. (Ibnu Jarir At Thabari, 1978).

Berdasarkan pendapat At Thabari ini ada dua hal yang ingin kita ketahui:

  1. Mati Dalam Keadaan Muslim
    Ummat Islam yang sekarang mengalami hidup dan berada di alam dunia ini, menurut tuntunan agama Islam adalah dalam suatu keadaan/proses untuk menghadapi kehidupan di alam akhirat yang riel dan abadi. Setiap individu pastilah berproses menghadapi alam akhirat, tidak ada kecualinya. Segala macam perbuatan kita hidup di dunia merupakan tabungan yang akan kita ambil sendiri, dunia merupakan tempat menabung dan menanam, sedang akhirat merupakan tempat, mengabil tabungan dan memetik hasil.

    Ibnu Abbas mengatakan: Apa saja yang dikerjakan untuk hari kiamat, ialah apa yang ia kerjakan di dunia, jika di dunia berbuat baik, maka kebaikan yang akan ia terima, jika ia berbuat jahat, maka keburukan dan kejahatan yang ia terima (fairuzzabadi).

    Perjuangan hidup untuk bertaqwa yang diperintahkan dalam ayat yang terdahulu tujuannya adalah mati dalam keadaan islam, artinya setiap orang mukmin yang bertaqwa harus istiqamah dalam bertaqwa sampai akhirnya ia mencapai tingkat husnul khatimah (akhir hidup yang baik)

    Menurut hadits Rasulullah SAW, akhir kehidupan yang baik adalah, apabila seseorang muslim mati mampu mengucapkan zikrullah: ”La ilaha Illa-allah”, dijamin masuk surga. Keadaan itu tentu saja dapat dicapai bilamana dalam kehidupannya sebelum kematian datang dipenuhi dengan iman dan amal saleh, dan di dalam hidupnya selalu dihiasi dengan zikrullah yang menghiasi batin seorang muslim sehingga Allah ridha kepadanya, zikir yang dilakukan bukan hanya dibibir saja, atau dihati saja tetapi seluruh kehidupannya tergambar kehidupan Islam yang kaffah, yang berarti mematuhi dan melaksanakan ajaran Islam secara total, tidak setengah setengah.

    Dengan kata lain, melaksanakan Islam secara utuh yang meliputi semua fungsi hidup, jasmani dan rohani dan sanggup menyesuaikan diri dengan cara hidup Islam yang sebenarnya. Mati dalam khusnul khatimah menurut sebagian ulama, menunjuk kepada sahih Bukhari dan Muslim terbagi atas tiga bagian:

    • Mati dalam iman yaitu mati dalam keyakinan kepada Allah, Rasul-Rasul Allah, Kitab Kitabnya, Malaikat-malaikatnya, hari kiamat, qadar baik dan qadar buruk dari Allah.

    • Mati dalam Iman dan Islam, yaitu selain beriman iapun melaksanakan syariat Islam, syahadatain, shalat, zakat, puasa dan haji.

    • Mati dalam keadaan iman Islam dan Ihsan, yaitu selain beriman dan melaksanakan syariat Islam, iapun beribadah seolah-olah melihat Tuhan atau senantiasa Allah melihat segala perbuatan yang dilakukannya. Aspihan

    Jarman, (1994) mengatakan, tingkat yang ketiga inilah yang banyak dibicarakan di kalangan sufi, yang oleh mereka disebut sebagai maqam khawas al khawas atau maqam musyahadah atau maqam nafsul muthmainnah. Akan tetapi jika kita telaah Al-Qur’an dan hadits hadits yang lain, maka makna iman, islam dan ihsan mempunyai dimensi yang luas.

    Makna ihsan lebih diartikan sebagai perbuatan baik atau kebajikan, ibadah dan amal saleh yang berdimensi vertikal dan horisontal, hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia dan alam yang serasi dan terpadu serta harmonis.

  2. Mati Dalam Memperjuangkan Kehormatan Islam
    Yang kedua ini adalah dimensi jihad dalam arti yang luas untuk menegakkan Islam dalam diri pribadi, keluarga, Masyarakat dan bangsa. Mati dalam perjuangan ini adalah sangat mulia.

    Seperti firman Allah dalam surat An Nisa ayat 69-70 yang artinya:

    ”Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasulnya, mereka itulah yang berada dalam jajaran orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu para Nabi, para pencinta kebenaran (shiddiqin) syuhada dan orang-orang yang saleh, dan mereka adalah teman yang terbaik, itulah puncak karunia dari Allah, cukuplah Allah yang maha tahu segalanya”.

    Kualitas para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin inilah puncak kualitas hidup yang di citacitakan setiap muslim ketika dia berdo’a: ”Ya Allah tunjukilah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah engkau limpahkan nikmat kepada mereka. Do’a ini kita ucapkan minimal tujuh belas kali sehari dan semalam. Shiddiqin adalah gambaran pencinta dan penegak kebenaran

    Kebenaran” dalam hubungan dengan Allah adalah shiddiqin seperti diungkapkan oleh Al Ghazali: ”Si pencari kebenaran tak melihat” sesuatupun di dalam eksistensi ini kecuali yang maha esa. Inilah tingkat shiddiqin yang disebut oleh para shufi sebagai leburan dalam keesaan, karena bila si pencari kebenaran tak melihat sesuatupun kecuali yang maha esa, maka ia tidak melihat dirinya sendiri. (Ali Isa Usman, 1981).

    Seperti yang terjadi pada sosok Abubakar Ash shiddiq yang menerima langsung kebenaran Isra mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Syuhada adalah sosok kualitas manusia yang perjuangannya membela Islam disaksikan oleh para malaikat dan manusia, bahwa ia telah mengorbankan harta dan jiwanya untuk agama Allah, dan ia sendiri sebagai syahid, orang yang telah menyaksikan sendiri kebenaran Islam. Kualitas syahid ini ada pada sosok sahabat Nabi: Abu Bakar Umar bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib serta berjuta-juta kaum syuhada di seluruh dunia Islam sepanjang sejarah.

    Para Shalihin adalah orang yang banyak beribadah dan beramal shalih, sosok manusia yang hidupnya sepenuhnya dia abdikan hanya kepada Allah dan kemanusiaan. Kualitas manusia shaleh adalah perpaduan iman, Islam dan Ihsan, mati dalam kualitas golongan inilah yang dikehendaki oleh ayat: Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.

Realisasi Taqwa

1. Hubungan Dengan Allah

Menurut Tuntunan Agama Islam, tiap-tiap pribadi mausia mempunyai hubungan langsung dengan Allah SWT, selaku pencipta segala makhluk, termasuk prbadi-pribadi manusia. Banyak sekali ayat-ayat Alqur’an yang menjelaskan, bahwa kewajiban, kepantasan dan kewajaran taqwa kita hadapkan kehadirat Allah SWT dzat yang menciptakan kita, yang menjadi tuhan kita, yang memelihara kita disetiap saat sejak nutfah hingga sekarang dan selanjutnya, yang menyediakan segala keperluan kita, yang sepantasnya kita tunduk kepada perintahnya, kita sebut namanya, yang memiliki asmaul husna, kita puji karena karunianya yang tak terbatas, kita mohon perlindungannya dari godaan syaithan penggoda serta segala bala bencana, kita mohon pertolongannya.

Taqwa kepada Allah kita realisir dengan semangat pengabdian dan penghambaan, keikhlasan dan ketundukan, kepatuhan dan ketaatan, kehangatan cinta yang membara di dalam hati sanubari kita sekalian.

Berzikir mengingat Allah dengan penuh kerinduan, menyembahnya dengan penuh tawadlu dan kekhusyuan, memelihara diri dari segala sesuatu yang mendatangkan kemurkaan dan azab siksaan, memelihara diri agar selalu mendapat ridla Tuhan.

Dalam bidang keimanan, taqwa kita realisir dengan keyakinan hati yang membaja kepada keagungan Allah, tekun beribadah berdasarkan cinta, asyik berzikir disetiap waktu, terutama di malam buta dikala orang lain tidur nyenyak, bangun berwudhu, bersujud syukur shalat tahajjud secara teratur beraudensi dan bermuraqabah dengan bertafakkur, tangan menengadah hati terhibur, nikmat Allah diterima dengan penuh tasyakkur, pohon taqwa tumbuh subur, karena ditanam dalam hati yang penuh syukur.

2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan hati nurani

Hubungan manusia dengan dirinya sendiri taqwa direalisir dengan cara-cara yang disebutkan di dalam ayat-ayat taqwa dan dicontohkan dengan keteladanan Nabi Muhammad SAW, diantaranya dengan senantiasa berlaku: sabar, adil, pemaaf, mawas diri, berani memegang amanah, mengembangkan semua sikap yang terkandung di dalam akhlak atau budi pekerti yang baik (Muhammad Daud, 1998).

Di dalam memelihara dan menjaga keselamatan diri pribadi juga dianjurkan untuk mendapatkan rezeki yang halal, pakaian penutup aurat, tempat berlindung dari kehujanan dan kepanasan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan diri sendiri. Dalam memelihara hati nurani dengan menjauhi segala sifat-sifat yang tercela yang perlu dihindarkan seperti: bohong, khianat takabbur, riya, bakhil, malas, pemarah egois yang berlebihan dan lain sebagainya. Selanjutnya sifat-sifat yang terpuji perlu kita kembangkan dalam diri pribadi kita dan perlu ditanamkan di dalam hati nurani, seperti: Adil, amanah, jujur sabar tawakal, tabah, pemaaf, ikhlas tawadhu dan sifat-sifat terpuji lainnya.

3. Dalam Hubungan dengan sesama manusia

Selain membina hubungan kita dengan Allah, dengan diri sendiri yang ketiga adalah membina hubungan manusia dengan manusia, hal ini bisa direalisasikan dengan bermacam usaha kerjasama dan gotong royong mewujudkan kesejahteraan lahir bathin, yang kuat melindungi yang lemah, yang kaya menolong yang miskin, yang pandai mengajar yang bodoh, yang longgar membantu yang kesempitan, saling memperhatikan kepentingan masyarakat berdasar tasamuh dan sosial yang mendalam (Jahri Hamid 1969).

Selain itu hubungan manusia dapat dibina dan dipelihara antara lain dengan mengembangkan cara dan gaya hidup yang selaras dengan nilai dan norma yang disepakati bersama dalam masyarakat dan negara yang sesuai dengan nilai dan norma agama. Hubungan antar manusia dengan manusia lain dalam masyarakat dapat dipelihara antara lain dengan tolong menolong, Bantu membantu, suka memaafkan kesalahan orang lain, menepati janji, lapang dada, menegakkan keadilan dan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain.

Demikianlah gambaran orang yang bertaqwa, dari kerangka ini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang taqwa adalah orang yang selalu memelihara hubungannya dengan Allah, hubungannya dengan diri sendiri dan hubungannya dengan sesama manusia secara baik dan seimbang dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kewajiban-kewajiban ini adalah satu rangkaian kesatuan yang tidak mungkin terpisah pisah.

Apabila dilihat dari segi iman, pelaksanaan kewajiban itu bagi seorang muslim dan muslimat tidak hanya berupa keuntungan dalam bentuk hak di dunia ini, tetapi juga pahala di akhirat kelak yang dijanjikan Allah, janji Allah itu pasti benar.

Taqwa Sumber Kemenangan dan Keselamatan

Dengan tertanamnya pohon taqwa di dalam lubuk hati masing-masing individu dalam suatu masyarakat, tumbuh suburnya pohon taqwa di dalam lubuk hati yang subur yang memberikan kenikmatan kepada seluruh manusia yang bertaqwa, karena itu Tuhan menempatkan manusia taqwa sebagai mausia yang paling mulia di sisi Allah SWT.

Firman Allah dalam surat al Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa0bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Sebab itulah maka derajat taqwa menjadi tujuan hidup kaum muslimin dalam hidupnya di dunia ini, maka tiap-tiap jum’at khatib selalu menasihatkan melalui mimbar jum’at kepada hadirin untuk bertaqwa dengan membacakan firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Hubungan manusia dengan Tuhannya dalam berbagai persoalan hidup, amatlah pentingnya. Orangorang besar yang menjadi pemimpin dunia sangat memahami persoalan ini. Sebagai contoh baiklah disini kita kutip pernyataan dua orang besar, sebagaimana dicatat oleh (Yunan Nasution, 1998).

Mahatma Gandi pemimpin dunia yang dalam perjuangannya dibesarkan dengan ujian berat, pernah menyatakan: Kalau tidaklah karena kepercayaan, sudah lama saya hancur. Dan Arnold Toynbee, Historikus Inggris yang terkenal itu pernah menyatakan antara lain:

”Agama sangat diperlukan bagi hidup manusia. Tanpa agama keadaan manusia tak mungkin bertahan. Agama mutlak untuk memecahkan persoalan-persoalan yang paling ruwet dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Dalam dunia kemajuan pengetahuan modern, agama itu memainkan peranan yang lebih baik dan penting untuk melindungi kepribadian manusia."

Orang-orang yang selalu mendekati Tuhan, tentu Tuhan selalu menyertainya pula, sehingga mudahlah baginya menempuh perjalanan hidupnya. Maka orang-orang mukmin yang bertaqwa, pasti mempunyai kekuatan yang mampu menghadapi segala macam problematika hidup, sanggup mengatasi saat-saat yang kritis, dapat mendobrak jalan-jalan buntu yang menghambat, bisa melihat sinar yang menerangi jalan ditengah malam yang gelap gulita.

Takwa membukakan jalan keluar kepadanya dari setiap problem dan situasi yang kritis, firman Allah dalam surat At thalaq ayat 2 dan ayat 4 yang berbunyi:

2. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
4. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Demikianlah Agama Islam ini membina kehidupan manusia, diawali dengan tauhid. Dan dari tauhid menebarkan iman dan aqidah yang membuahkan amal ibadah dan amal shalih. Akhirya amal ibadah yang dijiwai oleh iman dan dipelihara terus menerus, menciptakan suatu sikap hidup muslim yang bernama taqwa.

Maka apabila dalam suatu hidup kenegaraan itu mendapat karunia dan ridha Allah SWT, kalau penguasa suatu negeri yang menjadi suri tauladan rakyat, keamanan dan ketenteramannya memiliki sifat-sifat taqwa,seperti disiplin, menegakkan keadilan, pemaaf, tidak hasad dan balas dendam niscaya akan selalu mudah dalam berbagai persoalan hidup.

Sungguh besar efeknya kalau penguasa minimal mempunyai sifat-sifat yang tersebut diatas. Begitu juga kepada rakyat yang dipinpinnya ditanamkan jiwa istiqamah, yaitu pribadi yang teguh dan kuat, serta tidak ada rasa takut dan duka cita, tetapi selalu oftimis dalam hidup, ketenteraman, keamanan dan hak-hak rakyat dibelanya dengan sesungguhnya.

Jika penguasa dan peminpin menjadi pelopor dalam betaqwa kepada Allah, pastilah akan terwujud suatu negara yang adil dan makmur dibawah naungan ridha Allah SWT itulah kemenangan dan keselamatan yang hakiki sesuai dengan firman Allah surat Al A’raf ayat 96 yang berbunyi:

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Sumber : Ajeng Kartini, Taqwa Penyelamat Ummat

Taqwa itu adalah suatu wujud takut, maka taqwa itu akan selalu mengikuti ketakutan-ketakutan manusia… Dalam suatu peribadatan taqwa akan terbagi dalam sebab sebab ketaqwaan karena sebab ketakutannya…

  1. Taqwa sebab takut dicela manusia. Ini akan menghasilkan orang beribadah jika dilihat manusia, disaksikan orang, dan sebagainya, biar tidak dikatakan kafir…

  2. Taqwa karena takut mati, ini akan menghasilkan dorongan utk beribadah… Karena terteror maut…

  3. Taqwa karena takut masuk neraka. Ini akan menghasilkan rasa terteror dosa, kemudian mendorong orang untuk beribadah.

  4. Taqwa karena takut kalau tidak kebagian surga… Ini akan menghasilkan ketaqwaan atas dorongan itu agar tdk dijauhkan dr surga.

  5. Taqwa karena takut kehilangan Allah, ini pun akan menghasilkan dorongan utk beribadah…

Engkau semua akan bertaqwa karena salah satu ketakutan itu… Apa yang engkau takuti???..

Syeikh Muhammad zuhri ( Abah FK )

Setiap khutbah Jum’at, seorang khatib wajib menyampaikan pesan taqwa. Pada umumnya ia mengatakan :

“wahai manusia, bertaqwa lah kalian kepada Tuhanmu dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim”.

Dan :

وتزودوا فإن خير الزاد التقوى

“Bawalah bekal. Maka bekal yang terbaik adalah taqwa”.

Lalu apakah Taqwa itu?. Ada banyak jawaban. Pada umumnya ia dimaknai : menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya".

Ada yang menjawab : “Jami’ Kill Khair”, segala yang baik-baik.

Ada yang bertanya : "apa saja yang baik itu yang harus diikuti dan apa saja yang harus dihindari?. Kebaikan atau keburukan tentu saja banyak dan bermacam-macam. Beberapa di antaranya sebagaimana disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, melalui ayat ini :

“Dan segeralah kamu meminta ampunan Tuhanmu dan surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Mereka adalah orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan emosi marahnya dan memaafkan (kesalahan) orang (yang menzaliminya). Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan”. (Q. S. Ali Imran 133-134).

Betapa indahnya ayat Al-Qur’an ini.