Secara etimologi, term taqwa—yang terrulang dalam Al-Qur’an sebanyak 259 kali dengan segala derivasinya—mengandung makna yang cukup beragam, di antaranya: memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan (Ma’luf, t. th, Manzur, 1968), namun demikian, ragam arti tersebut masih tetap mengacu pada satu makna, yaitu antisipasi diri terhadap dunia luar.
Al-Raghib al-Asfahani, dalam bukunya Mu 'jam Mufradat Alfdz Al-Qur’dn, menjelaskan bahwa kalimat taqwa mengandung arti memelihara diri dari hal-hal yang akan membawa kepada kemudharatan (al-Asfahani, 1972).
Muhammad Abduh, dalam kitab Tqfsir al-Manar, juga menyatakan bahwa kalimat taqwa, secara etimologi, dapat diartikan menjauhkan diri dari kemudharatan atau menolaknya. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kalimat taqwa sering disandarkan kepada kalimat Allah (ittaqullah), sehingga artinya menjadi menjauhkan diri dari Allah (Shihab, 1992). Arti semacam ini, jika dipahami secara tekstual, kontradiksi dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain yang memerintahkan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka makna yang sesungguhnya, yang dimaksud oleh kalimat ittaqullah, adalah menjauhkan diri dari siksaan atau azab Allah. Karena, menurut sebahagian ulama tafsir, dalam kalimat ittaqullah tersirat kata yang mengandung arti siksaan atau azab (QS. AlBaqarah/2:196,203, al-Maidah/5:4,7,8).
Usaha untuk menjauhkan diri dari siksaan atau azab Allah tersebut dapat dilakukan dengan cara “meninggalkan larangan Allah dan sekaligus melaksanakan perintah-Nya” (imtisalal-awamirillah wa ajtinab al-nawahihi) (al-Zuhailiy, 1991). Hal itupun dapat terlaksana jika dalam diri seseorang muncul perasaan takut—yang menurut penjelasan Yusuf Ali merupakan awal dari kearifan—terhadap azab dan yang memiliki azab (Allah)
Pada hakikatnya orang yang bertaqwa adalah orang yang menjaga dirinya dari azab Allah, yaitu mereka yang memiliki pandangan dan kesadaran yang tinggi dalam memahami dan menghayati sebab-sebab yang dapat menimbulkan azab tersebut (memahami hukum-hukum Allah) Dalam konteks ini, Tabataba’i menjelaskan bahwa taqwa ini memiliki makna filosofis yang dalam.
Dalam jiwa seseorang terdapat dua potensi, yaitu potensi berbuat baik (ta’at) dan potensi berbuat jahat (ma’siat). Dua potensi tersebut tidak dapat berkumpul dalam satu waktu. Manusia taqwa adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi kebaikan (ta 'at), yang ada dalam dirinya, dengan cara berbuat ihsan (Tabataba’i, 1991).
Pendapat ini tampaknya disepakati oleh Hamka, di mana dia menjelaskan dalam tafsirnya al-Azhar, bahwa dalam kalimat taqwa terkandung arti yang lebih konperehensif, yaitu: cinta, kasih, harap, cemas tawakkal, ridha, sabar, berani, dan Iain-lain.
Intinya, kata Hamka, ungkapan taqwa mengandung makna memelihara hubungan baik dengan Allah, dengan memperbanyak amal saleh. Hal tersebut dilakukan bukan karena takut, tetapi karena ada kesadaran diri sebagai hamba Allah (Hamka, 1988).
Pengertian yang diberikan oleh Hamka di atas memberikan indikasi bahwa taqwa tidak hanya mengandung arti antisipasi diri terhadap hal-hal yang dapat membawa kepada kemudharatan, akan tetapi juga mengandung arti memiliki semangat keberagamaan (religious spirit) yang tinggi untuk selalu ingin memperbaiki hidup dan kehidupannya, baik dalam bentuk vertikal (hubungan dengan Allah) maupun dalam bentuk horizontal (hubungan sesama manusia).
Mencermati beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa di dalam taqwa terkandung pengertian pengendalian diri oleh manusia akan dorongan emosinya dan penguasaan terhadap kecenderungan liawa nafsunya. Hal ini berarti bahwa seorang yang bertaqwa akan memenuhi dorongan-dorongan emosinya hanya sebatas yang diperkenankan oleh agama.
Selain itu, dalam ungkapan taqwa juga terkandung perintah kepada manusia agar mereka senantiasa melakukan aktivitas-aktivitas yang baik yang membawa kepada kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, seperti: bersikap adil dalam bertindak dan berbuat, suka membantu orang-orang yang membutuhkan secara moril atau materiil, mau mengembangkan potensi diri atau intelektualitas demi mencapai kehidupan yang baik dan bermanfaat.
Dari latar belakang di atas secara eksplisit dapat dipahami bahwa perintah ('amar) taqwa dalam Al-Qur’an memiliki makna yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia di dunia dan bahkan di akhirat. Karena itulah perintah ('amar) taqwa dalam Al-Qur’an tidak hanya datang dalam satu bentuk kalimat perintah (ittaqullah)., tetapi datang dalam berbagai bentuk.
Dalam redaksi ayat-ayat al-Qur’an, kalimat perintah, khususnya yang berkaitan dengan perintah bertaqwa, bisa datang dalam berbagai bentuk, seperti fi’il 'amar, lam 'amar, istifham, kalimat tarajji, dan jumlah khabariyah yang mengandung makna insyaiyyah.
Di bawah ini akan diuraikan satu per satu dari berbagai bentuk tersebut.
1. Fi’il 'amar.
Perintah bertaqwa yang datang dalam bentak fi’il 'amar terulang sebanyak 54 kali dalam Al-Qur’an (al-Baqiy, 1945). Sekedar contoh dapat dilihat dalam redaksi ayat berikut ini:
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalanNya supaya kamu mendapat keberuntungan (QS. Al-Maidah/5: 35).
Dalam ayat tersebut terdapat tiga kalimat perintah, yaitu ittaqullah (bertaqwalah kepada Allah) yang dikaitkan dengan kalimat ibtaghu ilaihi al-wasilah (carilah jalan yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya) dan kalimat jahidu fi sabllillah (berjihadlah di jalan Allah).
Jika diamati redaksi ayat di atas terdapat suatu penegasan yang sama antara perintah untuk bertaqwa dengan perintah untuk mencari wasllah dan berjihad. Imam Syaukani (al-Syaukaniy, 1992), ketika menjelaskan keterkaitan antara kalimat perintah tersebut, manyatakan bahwa taqwa merupakan puncak dan segala sesuatu atau tujuan dari setiap amal kebaikan yang dilakukan manusia.
Mencari wasilah dan berjihad di jalan Allah merupakan bahagian dari amal kebaikan yang harus dilaksanakan oleh manusia. Di samping itu, Said Hawwa (Hawwa, 1989) berpendapat bahwa redaksi ayat tersebut mengindikasikan adanya keseimbangan antara ke-taqwa-an dengan pelaksanaan amal saleh (mencari wasilah) dan berjihad. Karena yang menjadi tujuan akhirnya adalah kesuksesan hidup (tuflihun), baik di dunia maupun akhirat.
Dua pendapat di atas sesungguhnya tidak jauh berbeda, karena kesuksesan atau kebahagiaan itu hanya bisa dicapai oleh orang yang benar-benar melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangannya. Dan puncak dari kebahagiaan atau kesuksesan itu adalah tercapainya derajat ketaqwaan.
Contoh lainnya adalah didalam ayat berikut :
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS. AH Imran/3: 130).
Dalam ayat di atas terdapat dua bentuk tuntutan, yaitu larangan memakan riba (la ta 'kulu al-riba), dan perintah untuk bertaqwa (ittaqullah). Dua tuntutan ini merupakan dua ajaran yang sama pentingnya, karena itulah Allah menggandengkannya dalam satu kalimat.
Larangan memakan riba, menurut al-Maraghi (al-Maraghi, t.th, IV), didasarkan kepada kenyataan yang sudah berjalan selama ini pada masyarakat Arab Jahiliyah. Dalam proses utang piutang, mereka telah mempraktekkan riba yang berlipat ganda (riba fahsy atau nasi 'ah).
Jika seseorang berhutang, kemudian ditetapkanlah jumlah pembayaran dan jangka waktunya. Seteiah jangka waktunya habis, ternyata yang berhutang belum sanggup membayarnya, maka dibuat lagi kesepakatan untuk penangguhan pembayaran dengan syarat bunganya bertambah. Dengan demikian, semakin lama seseorang berhutang semakin besar jumlah yang harus dibayarnya.
Melihat kondisi yang seperti itulah, Allah melarang secara tegas praktek riba tersebut dalam kehidupan masyarakat. Karena, praktek utang piutang seperti itu sama dengan melakukan penyiksaan, penyengsaraan atau bahkan pembunuhan secara perlahan-lahan (al-AIusiy, 1994). Orang yang mempiutangi akan dapat meraup keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan penderitaan orang lain. Sementara, orang yang berhutang dengan susah payah berusaha memenuhi janjinya untuk melakukan pembayaran pada waktunya, sebab jika tidak dibayar bunganya akan bertambah.
Proses ini jelas membuat kehidupan dalam masyarakat semakin timpang, yang kaya semakin kaya dan yang miskin bertambah miskin. Penegasan larangan itu kemudian diikuti dengan kalimat perintah ittaquttah, bertaqwalah kamu kepada Allah. Ada makna yang terkandung di sini bahwa setelah Allah melarang seseorang melakukan praktek riba, Allah menunjukkan jalan yang bisa membawa kepada kebaikan dan kesejahteraan dalam masyrakat, yaitu jalan taqwa. Begitu indah dan sempumanya ajaran Allah.
Dia tidak membiarkan hambanya berada dalam kebingungan dan kekosongan jiwa. Kalimat ittaqullah merupakan petunjuk sekaligus perintah untuk meiigikuti cara-cara hidup bermasyarakat yang diajarkan oleh Allah, yaitu bersikap lemah lembut (QS. Ali Imran/3:153), menebarkan kasih sayang (QS. Al-Fatihah/1:1), tolong menolong atas dasar perikemanusiaan (QS. Al-Maidah/5:2), dan begitu seterusnya
2. Lam’ amar.
Perintah bertaqwa yang datang dalam bentuk lam amar terulang sebanyak satu kali dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS. An-Nisa/4:9).
Dalam ayat di atas ada tiga bentuk perintah yang disampaikan, yaitu wa al-yakhsyallazina…, fa al-yattaqullah dan wa al-yaqulu. Kalimat perintah tersebut datang dalam bentuk gabungan lam amar dan fi’il mudhari.
Sesuai dengan kaidah bahasa Arab bahwa fi’il mudhari’ berfungsi sebagai fi’il mustaqbal dan lam amar yang terletak di depannya juga berfungsi sebagai huruf istiqbal (Ghalayiniy, 1987). Dengan demikian, makna yang terkandung dalam kalimat perintah tersebut mengacu kepada persoalan yang akan datang.
Perintah pertama mengisyaratkan kepada seseorang jika menjadi wali anak yatim agar melaksanakan tanggungjawabnya dengan sebaik-baiknya. Rasyid Ridha menegaskan bahwa jangan sampai mereka merampas harta anak yatim yang mengakibatkan mereka terlantar, sengsara atau bahkan miskin setelah mereka meninggal. Bukankah mereka juga akan merasa sedih jika anak-anak mereka ditinggalkan dalam kondisi yang lemah, miskin atau ditelantarkan. Mereka tidak dilarang mengambil manfa’at dari harta tersebut, namun dengan syarat sesuai dengan kebutuhan dan tidak berlebihan.
Fa al-yattaquttah, hendaklah kalian bertaqwa, kata Allah, agar kalian bisa lebih arif dan bijaksana dalam memelihara anak yatim. Karena, sikap taqwa ini bisa menuntun seseorang agar selalu berada pada jalan yang benar, terutama yang berkaitan dengan harta anak yatim. Agar tidak timbul watak keserakahan dan ketamakan dalam diri manusia (al-Alusiy, 1994).
Wa al-yaqulu qaulan syadid, maka hendaklah berbicara (memperlakukan mereka) dengan perlakuan yang baik. Menurut Zamakhsyari (al-Zamakhsyari, 1977), yang dimaksud dengan qaulan syadid adalah perkataan yang baik dan menyenangkan, seperti yang mereka dapat dari orang tua mereka. Qaulan syadid juga mengandung makna berlaku adil terhadap mereka dalam pemeliliaraan harta mereka.
Ridha (Ridha, t.th, IV) menambahkan bahwa perintah tersebut mengisyaratkan agar dalam pemeliliaraan anak yatim senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan serta menjauhkan diri dari sikap pemeras dan perampas.
3. Istifham
Dalam Al-Qur’an, perintah bertaqwa juga datang dalam bentuk kalimat istifham, yang terulang sebanyak lima (5) kali (QS. al-A’raf 7: 65, Yunus/10: 3 1, al-Mu’minun/ 23:23,32,87).
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Ad saudara mereka (Hud). Dia berkata: Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepadanya (QS. al-A’raf 7:65).
Afala tattaqun, demikian kalimat penutup dalam rangkaian ayat di atas. Dalam kaidah bahasa Arab, kalimat afala merupakan gabungan dari tiga kata atau huruf, yaitu a, fa dan la. A merupakan huruf istifham (hamzah istifham), yang artinya apakah (yang menyebabkan). Sedangkan fa merupakan fa zaidah, dan la merupakan la nafi (huruf nafi), yang artinya maka (kamu) tidak (mau) (al Ghalayiniy, 1987, al-Alusiy, 1994). Jadi jika digabungkan menjadi kalimat afala tattaqun, maka artinya menjadi apakah (yang menyebabkan kamu) tidak (mau) bertaqwa. Kalimat ini (istifham) jika dicermati lebih jauh sesungguhnya mengandung makna amar (perintah). Karena, bentuk pertanyaan (istifham) yang diajukan itu tidak membutuhkan jawaban, yang dibutuhkan adalah perenungan.
Dengan kata lain, secara implisit, kalimat tersebut mengandung makna ittaqullah (karena itu, ber-taqwa-lah kamu kepada Allah).
Ayat di atas mengandung ajaran tauhid, perintah untuk mengabdi atau menyembah hanya kepada Allah. Karena, sesungguhnya, tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Ayat ini ditutup dengan kalimat afala tattaqun, kenapa kamu tidak mau bertaqwa, padahal Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah, Tidak ada tuhan selain Dia (al-Maraghiy, t.t, VIII).
Penggunaan kalimat istifham di sini, dengan fungsi amar, bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada manusia untuk berfikir dan merenungi apa yang disampaikan itu.
Setiap ayat yang ditutup dengan kalimat istifham, senantiasa diawali oleh kalimat yang mengandung makna perenungan.
Contoh yang lain adalah firman Allah:
Katakanlah: siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Maka mereka akan menjawab: Allah. Maka katakanlah: mengapa kamu tidak bertaqwa (QS.Yunus/10:31).
Ayat di atas ternyata juga masih ditutup dengan kalimat istifham, afala tattaqun. Sesuai dengan makna sebelumnya, bahwa jika suatu ayat ditutup dengan kalimat istifham, itu artinya pada rangkaian kalimat sebelumnya terdapat uraian yang membutuhkan pemikiran dan perenungan.
Seperti ayat di atas, berbicara tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala-galanya, terutama yang berkaitan dengan manusia, seperti kehidupan dan kematian (al-Zuhailiy, 1991, XI), rezeki, nikmat pendengaran dan penglihatan, dan begitu seterusnya. Begitu juga dengan proses alam atau yang lebih dikenal dengan sunnatullah.
Jika manusia mau berfikir dan merenungi apa yang diuraikan dalam rangkaian ayat tersebut, maka mereka pasti akan menyadari dan mengakui bahwa yang menguasai semuanya itu adalah Allah.
4. Kalimat Tarajji
Bentuk lain dari kalimat perintah bertaqwa adalah dengan kalimat tarajji, yang terulang dalam Al-Qur’an sebanyak dua belas kali ; (QS. al-Baqarah / 2: 21,51, 64,69,179,183, l87, al-An’am / 6:153, al-A’raf / 7:164,171, Rum / 30 : 113, Lukman/ 39 : 28).
Contohnya:
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan jangalah kamu mengikuti jalan-jalan (yang Iain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa (QS.al-An’am/6:153).
Kalimat kunci dalam ayat di atas adalah la’allakum tattaqun, mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dalam kaidah bahasa Arab, kata la 'alla termasuk ke dalam kelompok huruf tarajji yang fungsinya adalah menuntut sesuatu yang baik dan mungkin dilakukan (pengharapan) (al-Ghalayiniy, 1978).
Jika kata la 'alla digabungkan dengan kata taqwa, la’allakum tattaqun, maka artinya menjadi mudah-mudahan kamu bertaqwa, yaitu suatu pengharapan yang lebih mendekati kepada tercapainya tujuan yang dimaksud yaitu derajat taqwa. Dengan kata lain, kalimat ini lebih mendekati kepada kalimat 'amar (perintah).
Hal ini didukung oleh rangkaian kalimat sebelumnya yang selalu didahului oleh kalimat perintah, seperti ayat di atas yang didahului oleh kalimat perintah fattabi’uhu. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengikuti shirat al-mustaqim. Perintah ini begitu tegas, sehingga Allah langsung menyebutkan antitesanya, yaitu berupa larangan mengikuti jalan-jalan yang tidak diridhai oleh Allah.
Dengan perintah yang tegas seperti itu, dapat dipahami bahwa kalimat la 'alla, dalam ayat di atas, lebih dekat maknanya kepada makna 'amar.
Contoh lain dapat dilihat dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (QS.al-Baqarah/2:183).
Sama dengan ayat sebelumnya, ayat ini juga ditutup dengan kalimat la 'allakum tattaqun. Kalimat inipun sebelumnya diawali oleh kalimat perintah kutiba. Dengan demikian,tak jauh berbeda dengan ayat sebelumnya, kalimat la 'alla, yang terdapat dalam ayat di atas, bisa dipandang mengandung makna 'amar (perintah).
Dalam ayat di atas, Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa. Ibadah ini merupakan ibadah yang sudah berlangsung sekian lama dan dikenal oleh hampir semua agama (Hamka, 1988). Puasa merupakan ibadah untuk melatih kesabaran. Karena, dalam puasa seseorang dilarang makan, minum dan hubungan suami istri. Tiga kebutuhan itu merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Tidak ada manusia yang sanggup berpisah dengan hal tersebut. Maka dengan puasa, manusia dilatih untuk menahan nafsu dari hal-hal tersebut, sebagai ujian keimanan dari Allah. Mungkin tidak semua manusia sanggup melakukannya. Karena godaan nafsu, seks dan perut, manusia sering kalah, bahkan keimananya pun bisa hilang (al-Alusiy, 1994).
Sebab itulah, ayat diatas ditutup oleh Allah dengan kalimat la 'allakum tattaqun, mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa. Artinya, dengan kalimat ini, Allah mengharapkan (memerintahkan) hamba-hamba-Nya agar mampu melewati ujian tersebut dan meraih derajat taqwa. Karena itulah derajat yang paling tinggi di sisi Allah dan manusia yang mampu melaksanakn ibadah puasa dengan sempurna pantas mendapatkan derajat tersebut.
5. Jumlah khabariyah yang mengandung makna insyaiyah
Perintah bertaqwa dengan menggunakan jumlah ini cukup banyak, di antara contohnya adalah:
Hai anak Adam sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah mudah-mudahan mereka selalu ingat (QS. al-A’raf/7:26).
Kalimat yang akan menjadi fokus pembahasan di sini adalah jumlah khabariyah libas al-taqwa zalika khair. Dalam kaidah bahasa Arab, jumlah khabariyah bisa berfungsi sebagai insyaiyah, yaitu berupa himbauan atau ajakan (alGhalayiniy, 1987).
Peryataan ini bisa diperkuat lagi dengan melihat kepada kandungan makna serta rangkaian kalimat sebelum dan sesudahnya. Dalam ayat di atas misalnya, jumlah khabariyah libas al-taqwa zalika khair memiliki makna yang sangat penting. Libas atau pakaian merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, selain pangan dan papan (alZuhailiy, 1991). Bahkan untuk membedakan antara manusia waras dan tidak waras, salah satunya adalah pakaian.
Jika ada orang yang berani keluar tanpa pakaian, pasti dicap sebagai orang gila atau tidak waras. Dengan kata lain, pakaian merupakan suatu pertanda bagi seseorang untuk pantas disebut manusia waras. Sejalan dengan pengertian di atas, Allah memberitahukan kepada manusia bahwa di antara pakaian-pakaian yang kamu kenal itu, ada pakaian yang paling bagus, cantik dan menawan, baik bagi si pemakai atau orang lain. Pakaian itu adalah pakaian taqwa. Pakaian ini tidak hanya memberikan manfa’at di dunia, tapi juga di akhirat
Menurut lbnu Abbas, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pakaian taqwa itu adalah iman dan amal saleh.
Jika ditarik benang merah dari keduanya, maka dapat dipahami bahwa keduanya memiliki fungsi yang sama. Pakaian, dalam arti yang kongkrit, berfungsi sebagai pelindung diri dari cuaca panas, dingin dan bahaya-bahaya lain yang dapat mengancam keselamatan diri manusia. Sedangkan pakaian, dalam arti yang abstrak (pakaian taqwa), juga berfungsi sebagai pelindung diri manusia agar tidak terjerumus ke dalam perangkap setan yang akan membawanya ke neraka.
Dengan makna seperti itu, maka sangat tepat kiranya jumlah khabariyah libas al-taqwa zalika khair dipahami dengan makna insyaiyah. Bahkan makna inipun bisa meningkat menjadi makna 'amar (perintah) kerena melihat kandungan isinya.
Contoh lain dalam kaitan tersebut adalah firman Allah:
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (QS. al Baqarah/2:197).
Jumlah khabariyah dalam ayat di atas adalah fainna khaira al-zadi al-taqwa. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah khabariyah bisa berfungsi sebagai insyaiyah, jika melihat kepada makna yang dikandungnya. Ayat di atas misalnya, menyatakan bahwa sebaik-baiknya bekal adalah taqwa. Dalam ayat tersebut, hal itu berkaitan erat dengan proses pelaksanaan ibadah haji. Syarat utama dalam melaksanakan ibadah haji adalah memiliki kemampuan (bekal) (QS. Ali Imran/3:97), baik selama dalam perjalanan maupun setelah kembali nantinya. Kemampuan itu mencakup segala-galanya, seperti kesehatan, biaya serta perbekalan lain yang dibutuhkan.
Namun, kata Allah, bekal yang paling utama yang harus disiapkan adalah bekal yang berkaitan dengan rohani, yaitu bekal taqwa. Karena, seperti yang dijelaskan Hamka, tidak ada artinya bekal yang bersifat jasmani dan materi itu, jika tidak memiliki bekal taqwa.
Haji yang dilaksanakan tidak mencapai haji yang mabrur. Karena, mungkin uangnya diambilkan dari uang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jika ditarik kepada makna yang lebih luas, maka perbekalan yang dimaksud dalam ayat tersebut tidak hanya terbatas pada perbekalan haji, tetapi juga mencakup perbekalan selama hidup di dunia menuju akhirat. Allah tidak melarang manusia untuk memenuhi bekal hidupnya yang bersifat jasmani dan materi (QS. al-Qasas/ 28: 77). Karena, hal itu juga berfungsi sebagai shirat al-mustaqim, di samping fungsi materiilnya.
Namun, tetap saja bekal taqwa menempati posisi yang paling utama untuk dipenuhi. Jika bekal taqwa sudah terpenuhi, maka perjalanan hidup manusia akan terpelihara dan terjamin. Setiap kaki yang dilangkahkan dan tangan yang diayunkan akan selalu membawa berkah. Harta yang diperoleh pun suci dan terhindar dari proses-proses yang diharamkan. Dengan kata lain bekal taqwa akan mampu membawa manusia mencapai keselamatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (al-Alusiy, 1994).
Dengan perluasan makna seperti itu, maka tidak berlebihan rasanya jika jumlah khabariyah, dalam ayat di atas, bisa juga dipandang memiliki fungsi insyaiyyah, menghimbau manusia agar senantiasa membekali dirinya dengan taqwa.
Sumber : Irsyadunnas, Kajian tentang Ayat-ayat Taqwa