Apa pentingnya selalu belajar dan mengambil hikmah dan pelajaran dari umat terdahulu ?

PENTINGNYA BELAJAR DARI SEJARAH

Oleh
Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA


Sejarah dan peradaban Islam merupakan bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kaum Muslimin dari masa ke masa. Betapa tidak, dengan memahami sejarah dengan baik dan benar, kaum Muslimin bisa bercermin untuk mengambil banyak pelajaran dan membenahi kekurangan atau kesalahan mereka guna meraih kejayaan dan kemuliaan dunia dan akhirat.

Semoga Allâh Azza wa Jalla meridhai sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu yang mengungkapkan hal ini dalam ucapannya, “Orang yang berbahagia (beruntung) adalah orang yang mengambil nasehat (pelajaran) dari (peristiwa yang dialami) orang lain.” [1]

Dalam al-Qur’ân Allâh Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan al-‘ashr (masa/jaman) karena padanya banyak terdapat peristiwa-peristiwa yang bisa menjadi bahan renungan dan pelajaran bagi manusia. Itulah jaman meraih keberuntungan dan amal shaleh bagi orang-orang yang beriman, serta saat mendapatkan kerugiaan dan kecelakaan bagi orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya [2] . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa ! Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, saling menasehati supaya mentaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran [al-‘Ashr/103:1-3]

Oleh karena itulah, Imam asy-Syâfi’i rahimahullah menggambarkan agungnya kedudukan surah al-‘Ashr ini dengan ucapannya, “Seandainya Allâh Azza wa Jalla tidak menurunkan (dalam al-Qur’ân) sebuah argumentasi bagi semua makhluk-Nya kecuali surah ini (saja) maka itu cukup bagi mereka.”

KISAH-KISAH DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS-HADITS YANG SHAHIH

Sebaik-baik kisah sejarah yang dapat diambil pelajaran dan hikmah berharga darinya adalah kisah-kisah yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena kisah-kisah tersebut disamping sudah pasti benar, bersumber dari wahyu Allâh Azza wa Jalla yang maha benar, juga karena kisah-kisah tersebut memang disampaikan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat). al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yusuf/12:111]

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah menjelaskan bahwa diantara manfaat memahami kisah-kisah tersebut adalah bisa menjadi sebab untuk meraih ridha Allâh Azza wa Jalla . Beliau rahimahullah berkata, “Termasuk hal yang paling jelas (manfaatnya dalam kebaikan) bagi orang-orang (beriman) yang memiliki pemahaman (yang benar) adalah (merenungkan) kisah-kisah orang-orang yang terdahulu maupun orang-orang jaman sekarang, (yaitu) kisah orang-orang yang taat kepada Allâh dan kemuliaan yang Dia berikan kepada mereka, serta kisah orang-orang yang durhaka kepada-Nya dan kehinaan yang Dia timpakan kepada mereka. Barangsiapa yang tidak bisa memahami kisah-kisah tersebut dan tidak dapat mengambil manfaat darinya maka (sungguh) tidak ada jalan (kebaikan) untuknya.

Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)? [Qaaf/50: 36].

Salah seorang ulama salaf berkata, “Kisah-kisah (dalam al-Qur’an) adalah tentara-tentara Allâh”, artinya: kisah-kisah tersebut tidak bisa disanggah oleh para penentang kebenaran…

Oleh karena itu, wahai hamba Allâh ! Bersungguh-sungguhlah untuk memahami tali yang menghubungkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hamba-hamba-Nya ini, karena barangsiapa yang berpegangteguh dengannya maka dia akan selamat (dari kebinasaan) dan barangsiapa yang berpaling darinya maka dia akan binasa”[5] .

KISAH-KISAH KETELADANAN DAN PENEGUH KEIMANAN

Kisah-kisah sejarah para Nabi adalah termasuk sebab utama untuk mengokohkan dan menyempurnakan keimanan dalam hati orang-orang yang beriman.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman [Hûd/11:120]

Khususnya yang berhubungan dengan Nabi kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani kehidupan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beragama merupakan kewajiban dan keutamaan besar bagi orang-orang beriman yang ingin meraih ridha Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21].

Keutamaan besar ini tentu tidak dapat diraih oleh seorang Muslim kecuali dengan memahami sirah (sejarah perjalanan hidup) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena sejarah perjalanan hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan petunjuk terbesar untuk memahami dan megikuti jalan kebaikan yang pernah ditempuh oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [8].

Itulah sebabnya mengapa para Ulama memberikan perhatian besar dalam hal ini, dengan menulis kitab-kitab khusus tentang sirah (sejarah perjalanan hidup) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir sampai wafat. Demikian pula biografi orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, dari kalangan para sahabat Radhiyallahu anhum dan para ulama salaf setelah mereka.

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Husain Zainul ‘Abidin rahimahullah bahwa beliau berkata, “Dulu kami diajarkan tentang (sejarah) peperangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana al-Qur’an diajarkan kepada kami.”[9]

Imam Abu Hanifah rahimahullah mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau yang terkenal, “Kisah-kisah (keteladanan) para Ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikih, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani).”[10]

Lebih lanjut, imam as-Sakhawi rahimahullah menukil keterangan Abu Ishâk Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa’labi rahimahullah tentang beberapa manfaat dan hikmah dari kisah-kisah dalam al-Qur’an yang Allâh Azza wa Jalla sampaikan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keadaan para Nabi dan umat-umat yang terdahulu, yaitu:

  1. Sebagai argumentasi dan bukti yang menunjukkan kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan risalah yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dari Allâh Azza wa Jalla .

  2. Untuk meneladani sifat-sifat mereka yang dipuji oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi sifat-sifat yang dicela-Nya.

  3. Untuk meneguhkan jiwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menampakkan kemuliaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat beliau, karena umat ini dilindungi Allâh Azza wa Jalla dari berbagai ujian yang ditimpakan-Nya kepada umat-umat terdahulu, diberi keringanan dalam beberapa hukum syariat dan diistimewakan dengan berbagai kemuliaan yang tidak diberiakan-Nya kepada umat-umat lain.

  4. Sebagai pelajaran dan pendidikan bagi umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana yang diisyaratkan dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya :

    Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat) [Yûsuf/12:111]

  5. Untuk mengabadikan nama baik dan mengenang jejak-jejak terpuji mereka, sebagaimana doa Nabi Ibrahim Alaihissallam dalam al-Qur’ân :

    Dan jadikanlah aku (ya Allâh) buah tutur yang baik bagi orang-orang yang (datang) kemudian. [As-Syu’arâ/26:84] ”[11]

[Dikutip dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Referensi

[1]. HSR Muslim , no. 2645
[2]. Lihat kitab Hâsyiyatu Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 12
[3]. Dinukil oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Hâsyiyatu Tsalâtsatil Ushûl, hlm. 14
[4]. Lihat kitab Aisarut Tafâsîr (2/236).
[5]. Mukhtasharu Sîratir Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 9
[6]. Kitab Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir (2/611).
[7]. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir (3/626)
[8]. Lihat kitab Marwiyyâtu Ghazwatil Hudaibiyyah, hlm. 8
[9]. Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi (2/252).
[10]. Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab Jâmi’u Bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (no. 595).
[11]. Kitab al-I’lânu bit Taubîkhi liman Dzâmat Târîkh, hlm. 36-37), dengan ringkas dan penyesuaian.
[12]. HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).
[13]. HSR al-Bukhari (no. 3485) dan Muslim (no. 2639).


Apa pentingnya selalu belajar dan mengambil hikmah dan pelajaran dari umat terdahulu?

Islam menaruh perhatian yang besar terhadap sejarah, meskipun disadari bahwa al-Quran sebagai pedoman dalam ajaran Islam bukanlah buku kesejarahan. Murtadha Muthahhari mengatakan dalam al-Quran masalah kesejarahan tidak dibahas secara teknis kesejarahan namun, di dalamnya terdapat sekitar dua per tiga dari keseluruhan ayat al-Quran yang berkaitan dan berhubungan dengan atau memilki nilai-nilai sejarah (Esha, 2011).

Hal ini ditujukan agar manusia diharapkan mampu mengambil pelajaran dari padanya. Manna al-Qaththan membagi kisah dalam al-Quran kepada tiga kategori (al-Qaththan, 1993):

  • Kisah para Nabi yang berisi usaha, tahap-tahap dan perkembangan dakwah mereka dan sikap orang-orang yang menentang mereka.

  • Kisah orang terdahulu yang tidak termasuk kategori Nabi, seperti kisah Thalut, Ashab al-Kahfi, Luqman, dan seterusnya.

  • Kisah yang berhubungan dengan peristiwa di masa Nabi Muhammad seperti perang Badar, Hijrah Nabi, Isra Mi’raj, dan seterusnya.

Al-Qur’an telah banyak mendorong manusia agar memperhatikan perjalanan umat masa lalu agar diambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan selanjutnya. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi misalnya, menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an tidak kurang sebanyak 7 (tujuh) kali Allah SWT. menyuruh manusia untuk mempelajari kehidupan umat masa lampau (al-Baqi, 1987). Berkenaan hal ini al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa memperhatikan kehidupan orang-orang terdahulu, baik yang shalih maupun yang durhaka dapat memberikan petunjuk pada jalan yang lurus. Jika seseorang mengambil jalan kehidupan orang-orang yang shalih, maka akibatnya akan seperti apa yang dirasakan oleh orang shalih tersebut dan sebaliknya jika seseorang mengambil jalan hidup orang yang durhaka, maka akibatnya pun seperti yang dialami oleh orang yang durhaka (al-Maraghi, t.t).

Konsep sejarah dalam Islam, sebagaimana diungkapkan al-Quran, berkaitan dengan fungsi manusia sebagai khalifah. Secara tidak langsung hal ini menyiratkan bahwa manusia berperan untuk menciptakan perubahan. Untuk itu perlu sekali menengok peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau karena sejarah memberikan mau’idzah (pelajaran) yang membuat manusia sadar akan perannya sebagai aktor sejarah. Siratan perintah perlunya belajar sejarah dapat dianalisis dari surat al-Fatihah ayat 6-7. Allah SWT. berfirman yang artinya,

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."

Menurut ayat tersebut umat terdahulu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

  1. Kelompok yang telah diberi nikmat oleh Allah;

  2. Kelompok yang dimurkai Allah;

  3. Kelompok yang sesat.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kelompok pertama (yang diberi nikmat oleh Allah) adalah: para Nabi, shiddiqin, syuhada dan orang shalih. Mereka yang mendapat nikmat adalah mereka yang berhasil menggabungkan antara ilmu dan amal. Adapun kelompok kedua (kelompok yang dimurkai) adalah kelompok yang mempunyai ilmu tetapi kehilangan amal, sehingga mereka dimurkai. Kelompok ini diwakili oleh Yahudi. Sedangkan kelompok ketiga (kelompok yang sesat) adalah masyarakat Nasrani. Mereka adalah orang yang kehilangan ilmu, dan senantiasa dalam kesesatan serta tidak diberikan hidayah (Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah). Perintah tersirat dari ayat 6-7 surat al-Fatihah adalah agar manusia melihat sejarah hidup orang-orang sebelum mereka, sehingga manusia masa kini mampu mengetahui dan meneladani dari kisah hidup umat terdahulu.

Konsep selanjutnya adalah bahwa sejarah dalam al-Quran memiliki historical law atau sunnah tarikhiyyah. Yang dimaksud oleh historical law atau sunnah tarikhiyyah adalah hukum kesejarahan yang berlaku di alam dan masyarakat, yaitu hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan (al-Suyuthi dan al-Mahalli, Maktabah Syamilah). Hukum ini menurut al-Quran bersifat konstan (tetap). Hal ini tersirat dari beberapa ayat dalam al-Quran, di antaranya surat Ali-Imran ayat 137-138 yang artinya,

“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”

Kemudian pada surat Fathir ayat 43 yang artinya,

“… maka apakah yang mereka nantikan selain sunnah yang telah berlaku bagi orang-orang terdahulu. Dan tidak sekali-kali akan kamu dapat pergantian dalam sunnah Allah.”

Selanjutnya, fungsi sejarah dalam Islam menurut yang diungkapkan dalam al-Quran paling tidak ada empat, yaitu sejarah sebagai peneguh hati, sejarah sebagai pengajaran, sejarah sebagai peringatan dan sejarah sebagai pembenaran. Keseluruhannya terangkum pada surat Hud ayat 120.

Artinya: “dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”

AYAT-AYAT YANG BERKAITAN DENGAN SEJARAH

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa dua per tiga dari ayat-ayat al-Quran memiliki nilai-nilai sejarah dan di antara ulama, ada yang menyebutkan sekitar 159 ayat yang memiliki kandungan nilai-nilai sejarah. Adapun beberapa ayat yang memiliki nilai kesejarahan adalah:

Surat al-Hasyr ayat 18

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat di atas berkaitan dengan konsep sejarah tiga dimensi para pakar modern. Perintah “untuk memperhatikan” tertuju kepada setiap insan yang hidup sekarang, dan itu berarti tertuju pada dimensi sekarang. Adapun penyeleksian dan pendeskripsian yang telah dikerjakan merupakan tinjauan dimensi waktu lalu. Sementara “persiapan untuk hari esok” bermakna dimensi waktu mendatang, baik untuk keperluan hidup di dunia maupun di akhirat kelak (Muchsin, 2002).

Al-Ahzab ayat 62

“sebagai sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.”

Ayat 62 surat al-Ahzab ini menjelaskan mengenai konsep hukum kesejarahan menurut al-Quran itu bersifat tetap (konstan) atau dapat dipahami pula hukum kesejarahan itu adalah hukum sebab akibat. Contohnya, sebab suatu kaum berbuat kezaliman, maka mereka dibinasakan. Hal ini tercermin pada ayat selanjutnya, yaitu Surat Hud ayat 117.

“dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.”