Preman Semena-Mena, Perlukan Petrus Diterapkan Kembali?

Petrus adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-ornag yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat di era pemerintahan Suharto. Petrus merupakan operasi rahasia di tahun 1980-an untuk menanggulangi kejahatan yang begitu tinggi kala itu. Mereka menangkap preman, perampok, gali, pokoknya orang-orang yang dianggap mengganggu ketentraman masyarakat. Akan tetapi, petrus tidak berjalan lagi ketika rezim Suharto mundur di tahun 1998.

Preman kembali berlaku semena-mena. Seperti yang terjadi di Pasar Gambir, Kecamatan Percut Seituan, yang menganiaya perempuan bernama Lili Wati Gea dan anaknya. Kronologinya, ketika Lili Wati berjualan sayur di Pasar, ia didatangi oleh sekelompok orang yang meminta “upah” sebesar 500ribu. Karena korban menolka untuk membayar, Liti dikeroyok oleh 4 pelaku dan anaknya ikut dianiaya oleh sekelompk preman tersebut. KKemudian ada Miswanto yang ditangkap polisi lantaran memukuli preman yang sering membuat kerusuhan di warungnya, selain itu preman-preman tersebut juga memukul 2 karyawan Miswanto.

Hanya ada dua pilihan untuk para pedagang seperti contoh kasus di atas. Menyerah dengan membayar upeti seperti yang diminta atau melawan resiko dengan ditangkap polisi.
Ketika kejadian seperti ini, apakah petrus perlu diterapkan kembali untuk menciptakan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat? Bagaimana menurut kalian?

Summary

https://news.detik.com/berita/d-5765534/ibu-pedagang-yang-jadi-tersangka-polisi-baik-prorakyat-bukan-ke-preman

Jujur saja saya walaupun saya tidak pernah mengalami masa-masa itu tapi sering berfikiran bahwa cara seperti itu ada baiknya. Mungkin bila diterapkan saat ini perlunya informasi yang lebih baik bukan hanya sekedar bertato atau keluar malam dianggap preman.

Bagaimana tidak ? Akhir-akhir ini semakin marak kasus-kasus premanisme walaupun sebenarnya bukan hal baru. Seperti yang sudah disampaikan salah satunya kasus di pasar gambir yang mirisnya malah bu lili wati sebagai pedagang yang malah ditetapkan sebagai tersangka.

Mungkin bagi bagi kita tidaklah menjadi masalah premanisme ini, paling kita hanya berhadapan dengan premanisme yang berkedok tukang parkir atau pengamen yang memaksa. Bagi seseorang yang hidup dijalan misalnya bu lili di pasar, lalu preman yang memalak badut hingga duel dengan polisi, pemilik cafe/warung/toko-toko, hingga supir-supir truk. Berapa besar sih penghasilan badut jalanan ? dan sangat sering terlihat badut jalanan tersebut merupakan lansia.

Sumber berita

Sulit menjawab pertanyaan ini karena ada sisi setuju dengan pertanyaannya, namun ada juga sisi tidak setujunya. Saya setuju jika petrus diterapkan kembali untuk membasmi premanisme seperti kasus yang sudah diutarakan sebelumnya. Beberapa berita yang saya juga mengatakan kalau tingkat kriminalitas juga menurun sekitar tahun 80an karena adanya petrus ini. Jikapun kembali diterapkan, setidaknya para pelaku sudah terlebih dahulu didaptkan infonya dan bukti tindakan preman tersebut.

Namun yang saya tidak setuju adalah keberadaan petrus ini seperti mengadili seseorang tanpa membawanya ke ranah hukum. Petrus juga menjadi kenangan buruk era Suharto dan tentunya kita tidak ingin terus mengingat sejarah gelap negeri ini, bukan?. Di sisi lain, ada ketakutan jika ada beberapa oknum atau pemangku kepentingan yang menggunakan petrus ini dengan semena-mena untuk keperluan dirinya sendiri.

Hmm…Ini pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab mengingat Petrus (Penembakan Misterius) merupakan operasi pembasmian kejahatan yang hingga hari ini masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang pernah hidup di masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Wajar saja memang rakyat Indonesia masih merasa " gimana gitu " jika mendengar operasi Petrus mengingat Operasi Petrus sendiri dalam angka - angka, telah merengut sebanyak 532 nyawa yang 367 di antaranya tewas karena luka tembak. Petrus juga merupakan operasi yang memburu preman tanpa pengadilan dan asas praduga dan di duga, Operasi Petrus ini berada langsung di bawah perintah Pangkopkambtib dengan arahan dari Presiden Suharto. Karena tekanan internasional, Petrus berakhir pada tahun 1985.

Okei, sekarang mari kita lihat " sisi baik " dari dijalankannya Petrus. Semenjak Petrus mulai dijalankan, terutamanya pada tahun 1983 sebagai " percobaan awal " Operasi Petrus ternyata berdampak pada penurunan tingkat kejahatan di beberapa daerah di Indonesia terutama di kota - kota besar seperti Yogyakarta dan Semarang sehingga pemerintah memutuskan untuk melanjutkan operasi tersebut. Cara kerjanya adalah sebagai berikut : Intelijen kepolisian memberi Komandan Garnisun daftar orang-orang yang termasuk jadi tersangka kejahatan. Garnisun kemudian membuat daftar baru dan mengeluarkan ultimatum publik kepada semua galis (preman) untuk segera menyerah ke markas garnisun, tanpa perlu menyebutkan nama. Mereka yang merasa preman, harus menandatangani pernyataan setuju menahan diri dari kegiatan kriminal. Jika tidak, mereka akan menghadapi tindakan tegas dari pihak berwajib.

Tetapi masalahnya adalah daftar tersebut diliputi misteri dan juga tak jarang tanpa nama yang membuat masyarakat mulai bertanya - tanya apakah mereka juga termasuk golongan yang dicari oleh Garnisun dan intel kepolisian dan juga orang - orang di masa itu yang memiliki tatoo berusaha menyembunyikannya atau bahkan menghilangkannya supaya tidak menjadi target operasi Petrus.

Saat ini memang keadaan preman mulai kembali merajelela di berbagai daerah dan seringkali meresahkan warga. Lalu apakah Petrus dapat menjadi solusi untuk mengatasi preman - preman ini ? jawabannya saya rasa tidak, karena walaupun memiliki tujuan yang " baik " tetapi ada kemungkinan masyarakat sebagaian besar akan menolak mentah - mentah rencana tersebut karena trauma dengan kejadian tahun 80’an yang masih membekas hingga hari ini. Tetapi saya setuju jika lembaga kepolisian sebagai lembaga utama yang menangani urusan keamanan dan ketertiban membuat gebrakan dengan membuat program yang menciptakan rasa takut bagi para pelaku kriminal terutama preman tapi tanpa menggunakan pembunuhan tanpa pengadilan seperti Petrus. Ketika kita berhasil menciptakan atmosfir dimana para penjahat tidak akan berani macam - macam, maka otomatis angka kejahatan pun turun dengan sendirinya. Hal ini memerlukan penegakakan hukum yang jelas, tegas, dan tidak pandang bulu.

Saya sama sekali tidak setuju jika hal-hal sejenis Petrus dilaksanakan kembali di negara kita yang demokratis ini.

“Mengganggu keamanan dan kententraman masyarakat” merupakan definisi yang amat sangat luas dan dapat dibelok-belokan dengan sangat mudahnya, terutama dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk membungkam oposisi. bayangkan, misalnya kita mengkritik atau menegur pemerintah yang berlaku tirani, pemerintah dapat dengan mudahnya mengkategorikan kita sebagai oknum yang “Mengganggu keamanan dan kententraman masyarakat” lalu mengirim Petrus untuk “membungkam” kita.

Petrus bukanlah fenomena yang terjadi secara tulus untuk membantu masyarakat di era Soeharto, melainkan salahsatu dari sekian alat yang digunakan Soeharto untuk terus berkuasa dan melawan oposisinya, dalam kasus ini oposisinya yang termasuk dalam dunia bawah tanah.

Indoensia dibawah Soeharto merupakan negara Otoriter… Apakah praktek eksekusi tanpa pengadilan, sebuah aksi bar-bar yang hanya dilandasi praduga hasil era otoriter Soeharto, harus dibawa kembali pada era demokrasi, hasil susah payah generasi sebelum kita dalam menjunjung keadlian dan kebebasan semua orang? Tentu tidak!

1 Like