Sutherland menyatakan a person who commits a crime (seseorang yang melakukan perbuatan kejahatan), Istilah penjahat tidak ada dalam hukum pidana, penjahat istilah dalam ilmu sosil (kriminologi) sedangkan dalam hukum pidana istilah tersebut sesuai dengan tingkatannya, tersangka kalau perkaranya masih di tingkat penyidikan, terdakwa apabila telah sampai ke persidangan dan jaksa penuntut umum telah mendakwanya dengan suatu pasal, terpidana apabila hakim berpendapat ia bersalah dan cukup alat bukti untuk membuktikan kesalahannya dan narapidana apabila ia menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan. Hal tersebut dikarenakan “asas pruduga tak bersalah” sehingga apabila belum ada putusan yang in kracht yang bersangkutan belum bisa dinyatakan sebagai orang yang melakukan perbuatan kejahatan.
Parsons menyatakan penjahat adalah orang yang mengancam kehidupan dan kebahagiaan orang lain dan membebankan kepentingan ekonominya. Mabel Elliot penjahat adalah orang-orang yang gagal dalam menyesuaikan dirinya dengan norma-norma masyarakat sehingga tingkah lakunya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat.
Hari Saheroedji menyimpulkan semua defenisi tersebut bahwa penjahat adalah orang yang berkelakuan anti sosial, bertentangan dengan norma-norma kemasyarakatan dan agama, serta merugikan dan mengganggu ketertiban umum. Kejahatan bukan merupakan peristiwa hereditas (bawaan sejak lahir, warisan), juga bukan merupakan warisan biologis. Tindak kejahatan bisa dilakukan siapapun, baik wanita maupun pria, dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar yaitu difikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Kejahatan merupakan suatu konsepsi yang bersifat abstrak, dimana kejahatan tidak dapat diraba dan dilihat kecuali akibatnya saja. Definisi kejahatan menurut Kartono bahwa:
“Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril) merupakan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta undangundang pidana”.
Kompleksitas permasalahan masyarakat kota sebagai akibat dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan globalisasi memicu terjadinya berbagai tindakan sosial yang tidak selaras dengan aturan hukum dan norma sosial yang berlaku. Ketidakmampuan seorang individu untuk beradaptasi dalam lingkungan sosial masyarakat perkotaan yang hiperkompleks menyebabkan kebingungan, kecemasan dan berbagai konflik baik secara eksternal maupun internal. Maka terjadilah tindakantindakan sosial yang menyalahi aturan dan menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat atau sering disebut dengan kriminalitas.
Kriminalitas merupakan suatu bentuk tindakan sosial yang tidak sesuai dengan dengan aturan hukum dan norma sosial yang berlaku, sehingga mengakibatkan adanya ketidakselarasan dalam kehidupan sosial. Kriminalitas sendiri merupakan suatu permasalahan yang komplek dan saling terkait dengan permasalahan sosial yang lain.
Menurut asalnya, tidak ada pembatasan secara resmi dan juga tidak ada campur tangan dari penguasa terhadap kejahatan, melainkan kejahatan semata-mata dipandang sebagai persoalan pribadi atau persoalan keluarga. Individu yang merasa dirinya menjadi korban perbuatan orang lain akan mencari balasan terhadap pelaku atau keluarganya. Konsep peradilan ini dapat kita temui pada Perundangundangan lama, seperti Code Hammurabi (1900 SM), Perundangundangan Romawi Kuno (450 SM), dan pada Masyarakat Romawi Kuno, seperti contohnya “mencuri sapi bayar sapi”.Konsep perjanjian seperti itu juga terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama " eye for eye ".
Kemudian konsep ini berkembang untuk perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada raja, seperti pengkhianatan, sedangkan perbuatan- perbuatan yang ditujukan kepada individu masih menjadi urusan pribadi masing-masing. Seiring berjalannya waktu, maka kejahatan kemudian menjadi urusan raja (sekarang negara), yaitu dengan mulai berkembangnya dengan apa yang disebut Parent Parties , Konsekuensi selanjutnya dengan dioper tugas ini oleh negara, maka apa yang sering kita sebut sebagai “main hakim sendiri” itu dilarang.
Pada Abad 18 munculah para penulis yang kemudian disebut sebagai Mazhab Klasik, sebagai reaksi atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan penguasa pada waktu ancient regime . Mazhab Klasik ini mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar Undang-undang. Ajaran yang terpenting adalah doktrin " nullum crimen sine lege " yang artinya yaitu tidak ada kejahatan apabila undangundang tidak menyatakan perbuatan itu sebagai perbuatan yang dilarang. Takut terhadap timbulnya ketidakpastian dan timbulnya kesewenangwenangan dari penguasa (hakim), maka mazhab ini berpendapat, hakim hanyalah sebagai mulut atau corong undang-undang saja (legisme). Lama kelamaan timbul ketidakpuasan terhadap ajaran mahzab ini dan pada akhir abad 18 munculnya pandangan baru yang lebih menitikberatkan pada pelakunya dalam studi terhadap kejahatan. Mahzab ini muncul diantara para penstudi kejahatan di Italia yang kemudian disebut sebagai Mazhab Positif. Mazhab ini dipelopori oleh C.Lambroso seorang ahli ilmu kedokteran kehakiman. Aliran ini berusaha untuk mengatasi relativitas dari hukum pidana dengan mengajukan konsep kejahatan yang non-hukum, serta mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar hukum alam ( natural law ).
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep kejahatan yang nonhukum tersebut banyak menguasai para sarjana kriminologi di Amerika, terutama sampai pertengahan abad ke-20. Beberapa kritik yang diajukan terhadap mazhab tersebut antara lain oleh Ray Jeffery yang menyatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana, sebab dari hukum pidana kita dapat mengetahui dengan pasti, mengetahui kondisi yang bagaimanakah suatu tingkah laku yang dikatakan dipandang sebagai kejahatan dan bagaimana peraturan Perundang-undangan berinteraksi dengan sistem norma yang lain. George C. Vold mengatakan dalam mempelajari kejahatan terdapat persoalan rangkap, artinya kejahatan selalu menunjuk kepada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang baik dan apa yang tidak buruk, tentang apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, yang semuannya itu terdapat dalam undangundang, kebiasaan ( custom ) dan adat istiadat.
E.Durkheim, seorang pakar sosiologi menyatakan kejahatan bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan, bahkan beliau menambahkan kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis dan perbuatan yang menggerakan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan, misalnya dengan dijatuhkannya hukuman mati terhadap Socrates dan Galileo-galilea atas buah pikirnya.
Perlu ditegaskan bahwa kejahatan bukanlah fenomena alamiah, melainkan fenomena sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal, diberi cap dan ditanggapi sebagai kejahatan, disana harus ada masyarakat yang norma aturannya dan hukumnya dilanggar, disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan norma-norma dan menghukum pelanggarnya.
Bagaimanapun juga kejahatan dalam arti hukum adalah yaitu perbuatan manusia yang dapat dipidana oleh hukum pidana. Tetapi kejahatan bukan semata-mata merupakan batasan undang-undang, artinya ada perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat dipandang sebagai jahat, tetapi oleh undang-undang tidak menyatakan sebagai kejahatan (tidak dinyatakan sebagai tidak pidana) dan begitu pula sebaliknya.
Dalam hukum pidana orang seringkali membedakan antara delik hukum ( rechtsdelicten atau mala per se ), khususnya tindak pidana yang disebut “kejahatan” (buku ke II KUHP) dan delik undang-undang ( wetsdelicten atau mala prohibita ) yang berupa “pelanggaran” (buku ke III KUHP) mengenai perbedaan antara mala per se dengan mala probibita dewasa ini banyak dipertanyakan orang, yaitu apakah semua tindak pidana itu sebenarnya adalah merupakan mala probibita , artinya perbuatan-perbuatan tertentu merupakan kejahatan, oleh karena perbuatan tersebut oleh undang-undang ditunjuk atau dijadikan kejahatan (tindak pidana)
Oleh karena mengenai pandangan orang mengenai hubungan antara Undang-undang dengan organisasi sosial mempunyai pengaruh yang penting dalam penyelidikan kriminologi selanjutnya, maka perlu diketahui pandangan-pandangan yang ada mengenai hubungan antara keduanya. Secara umum terdapat 3 perspektif mengenai pembentukan Undang-undang yang dapat dipakai untuk menjelaskan antara hubungan hukum (undang-undang) dengan masyarakat, yaitu model Konsesus, Pluralis, dan Konflik. Masing-masing model tersebut telah mencerminkan perbedaan pandangan mengenai asal pembuatan aturan dan nilai-nilai dasar kehidupan sosial. Penerapan undang-undang dipandang sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif.
Apabila model Konsesus menganggap adanya persetujuan umum atas kepentingan dari nilai-nilai dasar manusia, sebaiknya model Pluralis menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai. Menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik, orang-orang sepakat terhadap struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik-konflik tersebut tanpa membahayakan kesejahteraan masyarakat.
Menurut perspektif tersebut konflik dapat timbul karena adanya ketidaksetujuan dalam substansinya, akan tetapi mereka setuju mengenai asal dan bekerjanya hukum. Sebagai model untuk mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik menekankan pada adanya paksaan dan tekanan yang berasal dari sistem hukum. Sistem Hukum tidak dipandang sebagai alat yang netral untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi sebagai mekanisme yang diciptakan oleh kelompok politisi yang paling berkuasa untuk melindungi dan mencapai kepentingan-kepentingannya sendiri. Hukum bukan saja untuk melayani pencapaian kepentingan-kepentingan tertentu bagi kelompok yang memiliki kekuasaan, akan tetapi Hukum juga melayani kepentingan mereka untuk mempertahankan kekuasaannya.