New normal adalah sebuah istilah yang menggambarkan suatu kondisi baru dimana kita semua harus bisa “beradaptasi” di tengah pandemi Covid-19 agar kita dapat beraktivitas seperti dalam keadaan “normal”. Keadaan menjadi normal (tanpa tanda kutip) kembali akan terjadi apabila telah ditemukan vaksin dari Covid-19 itu sendiri.
Terkait dengan kegiatan akademik, disinilah kemampuan para pimpinan sekolah dan perguruan tinggi diuji untuk dapat melakukan inovasi dan kreasi dalam rangka mengatasi permasalahan ini. Para pimpinan sekolah dan perguruan tinggi dipaksa untuk berpikir out of the box, yang mungkin selama ini mereka terbiasa dengan cara berpikir “tradisional”.
Lalu, pendekatan seperti apa yang perlu dilakukan ?
Pendekatan terbaik adalah pendekatan karakter, seperti yang sudah dicanangkan pemerintah selama ini. Siswa dan Mahasiswa sebaiknya dijadikan Subyek didalam pendidikan itu sendiri, bukan menjadi obyek pendidikan, sehingga segala aturan dan kebijakan pendidikan haruslah menempatkan siswa dan mahasiswa menjadi prioritas utamanya.
Khusus dalam konteks new normal ini, ada dua softskills utama yang harus menjadi perhatian khusus, yaitu kemandirian dan kemampuan berdiskusi. Kedua softskils tersebut, selain sangat diperlukan di era inovasi saat ini, penerapannya juga dapat dilakukan ditengah pandemi Covid-19.
Kemandirian
Kemandirian merupakan softskill utama yang harus dimiliki seluruh civitas akademik, baik siswa dan mahasiswa maupun guru dan dosen. Kemandirian, didalam istilah bahasa Inggris, memiliki dua padanan kata, yaitu autonomy dan independence.
-
Autonomy mempunyai makna bahwa seorang individu dapat berdaulat (otonom) terhadap apa pemikirannya dan apa yang dilakukannya, tanpa perlu dipengaruhi oleh orang lain.
Sebagai contoh, seorang siswa atau mahasiswa, tanpa harus “dipengaruhi” oleh guru atau dosen, harus banyak membaca dan berlatih, karena memang menurut siswa atau mahasiswa sendiri kedua hal tersebut adalah hal yang penting bagi mereka. Mereka mempunyai pemikiran seperti itu dan melakukannya bukan karena semata-mata nasehat guru dan dosen, ataupun dipaksa oleh guru atau dosen dengan pemberian tugas-tugas sekolah atau kuliah, tetapi karena pikirannya sendiri. Ada atau tidak adanya tugas, mereka akan tetap belajar dengan cara mereka masing-masing.
-
Independence mempunyai makna bahwa seorang individu tidak terlalu bergantung terhadap “bantuan” orang lain dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kata “bantuan” saya beri tanda kutip, mengingat tidak ada seorangpun yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Sebagai contoh, seorang siswa atau mahasiswa tidak hanya mengandalkan guru dan dosen dalam menuntut ilmu. Mereka bisa mencari “bantuan” di tempat lain, dimana, di era teknologi informasi seperti saat ini, semuanya dapat dilakukan dengan lebih mudah. Independence disini bisa juga bermakna kemampuan untuk dapat mencari jalan keluar secara fleksibel, tidak hanya bergantung pada suatu cara tertentu.
Seorang guru atau dosen berkewajiban untuk menunjukkan jalan menuju sesuatu dan seorang siswa atau mahasiswa berkewajiban untuk mencari cara, dengan caranya sendiri, agar dapat menuju tujuan tersebut.
Yang perlu menjadi catatan penting adalah lingkungan antara sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksa siswa sekolah dasar untuk menjadi individu yang mandiri, karena bagaimanapun kemandirian sangat bergantung pada tingkat kedewasaan seseorang. Siswa sekolah dasar sebaiknya diajari bagaimana menjadi seorang individu yang mandiri. Siswa sekolah menengah sebaiknya diajari untuk dapat beradaptasi dalam masa peralihan, dari individu yang tidak mandiri menjadi individu yang mandiri. Mahasiswa sebaiknya dituntut untuk menjadi individu yang mandiri.
Dari pemaparan diatas, setiap pimpinan sekolah dan perguruan tinggi harus mampu membuat strategi tertentu dalam membentuk kemandirian bagi civitas akademik di lingkungannya. Dengan adanya kemandirian, maka softskills lainnya akan dituntut untuk berkembang, misalnya resiliensi, fleksibilitas, akuntabilitas, kerja keras, inisiatif, kegigihan, percaya diri, dan lain sebagainya.
Catatan khusus : Terdapat fakta yang menarik, berdasarkan informasi yang saya dapat dari seorang guru di Jerman, bahwa di Jerman, semakin rendah tingkatan siswanya, maka semakin tinggi tuntutan kualitas gurunya. Sebagai contoh, guru SD merupakan guru-guru pilihan dimana mereka diambil dari lulusan-lulusan terbaik dari Fakultas Keguruan. Guru SD mempunyai gengsi tertinggi dan tentunya mempunyai gaji tertinggi pula, dibandingkan guru sekolah menengah. Alasan utamanya adalah mendidik siswa SD jauh lebih sulit dibandingkan mendidik sekolah menengah, walaupun mengajar materi pelajaran SD relatif lebih mudah dibandingkan mengajar materi pelajaran siswa menengah, karena mendidik softskills jauh lebih sulit dibandingkan mengajar hardskills
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa mendidik softskills mempunyai nilai yang lebih dibanding mengajar hardskills
Diskusi
Softskill kedua yang sangat penting adalah kemampuan berdiskusi dengan baik. Mengapa kemampuan ini menjadi penting ? Karena hanya dengan berdiskusi kita bisa berlatih untuk melakukan analisis terhadap ilmu dan informasi yang sudah kita dapat selama ini. Sayangnya berdiskusi menjadi hal yang langka di Indonesia. Kita lebih banyak melihat dan mendengar, baik di media sosial maupun di media televisi, perdebatan-perdebatan yang menjurus pada debat kusir, dimana hal tersebut malah berakibat pada rusaknya pola pikir seseorang. Debat kusir adalah antitesis dari berpikir logis dan analitis.
Saya pernah bertanya kepada salah satu dosen Ilmu Komputer, Universitas Stanford, "Apa rahasianya mahasiswa Stanford bisa membuat produk-produk yang luar biasa ?
Beliau menjawab bahwa mereka bisa menjadi pribadi yang kreatif karena banyak melakukan diskusi. Dimanapun dan kapanpun, mereka akan berdiskusi dengan team mereka. Hanya dengan berdiskusi maka ide-ide kreatif dan inovatif akan muncul. Diskusi sudah menjadi budaya bagi para civitas akademik di Universitas Stanford.
Catatan : Pendapatan alumni Stanford per tahun adalah ratusan Triliun rupiah. Data itu tidak mengagetkan mengingat banyak alumni Stanford yang sukse membuat produk, misalnya Evan Spiegel (Pendiri Snapchat), Larry Page dan Sergey Brin (Pendiri Google), Mukesh Ambani (Orang terkaya di India), Marissa Mayer (Yahoo CEO), Peter Thiel (pendiri PayPal), Reed Hastings (Pendiri Netflix), Kevin Systrom dan Mike Krieger (Pendiri Instagram ), Reid Hoffman (Pendiri LinkedIn), Steve Ballmer (CEO Microsoft), Phil Knight (Pendiri Nike), Mary Barra (General Motors CEO), Bill Hewlett dan David Packard (Pendiri Hewlett-Packard) dan masih banyak lagi…
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Bill Gates ketika ditanya apakah kuliah itu penting? Beliau menjawab, banyak orang yang salah kira bahwa kuliah itu tidak penting dengan mengambil saya sebagai kasusnya. Seorang Bill Gates yang tidak lulus kuliah bisa menjadi orang terkaya se-Dunia. Anggapan itu salah besar, karena saya tidak akan menjadi orang terkaya se-Dunia kalau saya tidak pernah masuk kampus.
Mengapa demikian ? Karena saya mendapatkan ide membuat Microsoft (sistem operasi yang user friendly) ketika berdiskusi dengan teman-teman saya setelah melihat bagaimana teman-teman saya yang bukan dari jurusan ilmu komputer harus belajar komputer hanya untuk menggunakannya.
Sebuah kampus yang hanya fokus pada proses transfer ilmu pengetahuan (cara tradisional) tanpa mengajarkan dan melatih cara berpikir analitis dan kreatif kepada civitasnya akan menjadi kampus yang “usang”, karena di era digital seperti saat ini, ilmu pengetahuan dapat didapatkan dengan sangat mudah. Siapapun dapat belajar apapun secara mandiri.
Oleh karena itu, setiap pimpinan sekolah dan perguruan tinggi harus mampu membentuk iklim diskusi yang baik didalam lingkungan akademiknya, sehingga diskusi dapat menjadi budaya. Dengan adanya kemampuan diskusi yang baik, maka softskills lainnya juga akan dituntut untuk berkembang, misalnya attention to detail, berpikir konseptual, berpikir praktis, berpikir proaktif, problem solving, berpikir kreatif dan inovatif dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Zaman sudah berubah, dimana era industrialisasi sudah berubah menjadi era teknologi informasi. Tantangan dan peluang yang ada juga sudah berubah. Oleh karena itu, sistem pendidikan-pun sebaiknya juga berubah mengikuti zaman. Selain itu, adanya tantangan dari permasalahan Covid-19 harus dijadikan sebagai trigger dalam melakukan perubahan sistem pendidikan di Indonesia.
Salah satu yang harus berubah secara signifikan adalah sistem pendidikan di Perguruan Tinggi, mengingat Perguruan Tinggi adalah puncak dari sistem pendidikan itu sendiri, mengingat lulusan Perguruan Tinggi, kebanyakan, sudah tidak berkecimpung di dunia pendidikan lagi, tetapi sudah masuk ke dalam dunia profesional yang sangat kompetitif.
Sebagai gambaran, sejak tahun 90-an hingga saat ini, tidak ada perubahan yang berarti terkait dengan sistem pendidikan kita, baik sistem akademik secara keseluruhan maupun metode pembelajaran yang dilakukan. Perguruan Tinggi harus benar-benar serius dalam mempersiapkan anak didiknya untuk menghadapi perubahan zaman dan perubahan lingkungan dengan adanya Covid-19,
Dalam menghadapi Covid-19, kampus lebih banyak membahas hal-hal terkait dengan E learning, Learning Management System, Distance Learning dan lain sebagainya, padahal semua itu hanyalah istilah-istilah yang mengacu pada tools yang digunakan. Tools tidak akan berfungsi dengan baik apabila yang menggunakan tools tersebut tidak dapat memanfaatkannya dengan baik pula.
Kita seharusnya lebih fokus pada penggunanya, yaitu manusianya itu sendiri. Pemberian fasilitas yang berkualitas kepada mahasiswa dan dosen untuk mendukung pembelajaran mandiri dan mendukung terbentuknya budaya diskusi adalah sebuah langkah awal.
Langkah selanjutnya adalah merancang sistem belajar mengajar yang dapat membuat mahasiswa menjadi lebih mandiri dan menumbuhkan budaya diskusi. Problem based learning merupakan cara paling mudah dilakukan. Untuk mendukung meningkatnya kemampuan analisis, kreativitas dan inovasi, bisa dilakukan dengan menerapkan model project/product based learning. Sistem pendidikan dengan kurikulum computational thinking juga bisa menjadi pertimbangan dalam merancang kurikulum yang dapat beradaptasi dengan zaman. Bahkan di negara-negara maju, kurikulum computational thinking sudah diterapkan untuk sekolah menengah (K-12), dimana penerapan kurikulum ini juga didukung oleh perusahaan raksasa seperti Google dan Facebook.
Yang terakhir, pembentukan pusat-pusat studi lintas jurusan perlu dibentuk secara masif, sehingga diskusi yang terjadi tidaklah hanya dipandang dalam satu bidang keilmuan saja. Dengan semakin beragamnya bidang ilmu yang terlibat didalam pusat studi tersebut, maka diskusi-diskusi yang terjadi bisa dilakukan secara lebih komprehensif.
Kesimpulannya adalah, kita, manusia, adalah makhluk yang paling sukses bertahan hidup dalam kondisi lingkungan apapun, karena kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang luar biasa. Selama kita mau berubah, maka kita dapat hidup dalam kondisi apapun. Untuk berubah, agar dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada, dibutuhkan individu-individu yang open minded dan individu-individu yang peka terhadap perubahan itu sendiri.
Pertanyaan terbesarnya adalah, maukah kita berubah dan sudah siapkah kita untuk berubah ?