Setujukah kamu dengan statement "tidak masalah mulut kotor asal hati baik"?

Saat ini sepertinya ucapan kasar, makian dan umpatan lebih bebas digunakan, baik di media sosial maupun di pergaulan sehari-hari. Kata-kata yang dulunya dianggap kasar atau bahkan jorok banyak yang dinormalisasi, jadi meskipun tetap tergolong kasar atupun jorok, tapi orang sudah lebih memaklumi. Para influencer dari berbagai daerah juga ikut mengenalkan umpatan dari daerahnya masing-masing, sehingga nggak jarang ditemui contoh semacam bocah Jawa ikut menggunakan umpatan ala Jakarta (yang hampir setiap kalimat diselingi penyebutan hewan tertentu hehe).

Kata orang “nggak masalah mulutnya kotor asal hatinya baik”. Tapi, in contrast, kemarin saya dapat ceramah kalau lisan adalah cerminan hati. Otomatis dalam pendapat kedua, kalau mulutnya kotor, hatinya terindikasi kotor juga. Apalagi terdapat sebuah hadits yang kurang lebih menganjurkan seseorang untuk berkata baik atau diam. Bahkan dalam ceramah tersebut dikatakan kalau lisan juga mempengaruhi kualitas iman. Nah, bagaimana menutmu mengenai hal ini?

5 Likes

Sepertinya pendapat seperti itu muncul karena umpatan (ucapan kasar) itu merupakan salah satu indikator kedekatan personal seseorang dengan orang lain. Seseorang bisa berkata bahwa “nggak masalah mulutnya kotor asal hatinya baik” karena telah mengenal orang tersebut. Saya jadi teringat tulisan Jay (2009) yang berjudul The Utility and Ubiquity of Taboo Words. Pada penelitian tersebut Jay menemukan bahwa seseorang yang sering berkata umpatan merupakan pribadi dominan dan menunjukan kedekatan personal dengan lawan bicara.

Swearing is positively correlated with extraversion and Type A hostility but negatively correlated with agreeableness, conscientiousness, religiosity, and sexual anxiety. The uniquely human facility for swearing evolved and persists because taboo words can communicate emotion information (anger, frustration) more readily than nontaboo words, allowing speakers to achieve a variety of personal and social goals with them (utility). Jay, 2009

Coba ingat momen awal mula kedekatanmu dengan teman akrabmu, pasti ada hubungannya dengan umpatan. Seseorang mengumpat karena situasi yang menjengkelkan, kita tidak bisa jengkel dengan orang asing kan? kalau jengkel dengan orang asing ujung-ujungnya nanti cerita dengan mengumpat ke teman akrab kita. Hayo, iya kaan?

Referensi

Jay T. The Utility and Ubiquity of Taboo Words. Perspectives on Psychological Science. 2009;4(2):153-161. doi:10.1111/j.1745-6924.2009.01115.x

3 Likes

Kalau dalam pergaulan memang begitu sih kak @Olapradipta . Semakin akrab semakin bebas ngomong sembarangan hehe. Tapi di pembahasan ceramah yang saya ceritakan di atas tadi disampaikan kalau memang seseorang harus menjaga lisan. Kira-kira seprti ini sih, apa yang sering diucapkan lisan akan mengendap di hati dan iman tempatnya ada di hati. Jadi kalau hatinya nggak baik, kualitas imannya nggak akan baik juga. Tapi saya sebetulnya juga berpandangan seperti kakak. Ada aja orang yang omongannya kacau tapi perbuatannya baik. Sebaliknya ada juga orang yang kata-katanya baik tapi berlaku buruk. Bisa jadi itu memang gaya komunikasi dalam pergaulan saja. Makanya saya menanyakan hal ini barangkali bisa mendapatkan perspektif spiritualnya.

1 Like

Saya kurang setuju dg statement itu karena akhlak seseorang dpt dilihat dr ucapannya. Ketika dia suka berkata kotor maka dapat diindikasikan hatinya jg kotor walau kita tdk tau pasti juga isi hati seseorang itu tp kalau dia senang berkata kotor kmngkinan jg dalam hatinya sperti itu dan tidak sesuai dg yg ad d dalam al-Quran dimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَا فُوْا عَلَيْهِمْ ۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوا قَوْلًا سَدِيْدًا
walyakhsyallaziina lau tarokuu min kholfihim zurriyyatang dhi’aafan khoofuu 'alaihim falyattaqulloha walyaquuluu qoulang sadiidaa

“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”
(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 9)

D dalam al -Quran jelae bahwa kita harus brusaha untuk bertutur kata yg baik dan benar shg tidak menyakiti lawan bicara kita.

2 Likes

Izin kasih pendapat ka,

Menurut saya kurang setuju kalau “gapapa ngomong kotor/kasar asal hati baik” karena kalau hati kita baik otomatis lisan kitapun baik begitupun sebaliknya kalau lisan kita kotor, berarti ada salah didalam hatinya.

Tapi kalau contoh kasusnya seseorang baru belajar menjadi lebih baik hal ini mungkin bisa dipakai tapi tidak bisa selamanya seperti itu karena dengan kita memperbaiki diri insyaallah lisan dan hati kita bakalan baik pula.

2 Likes

Kalau menurut saya, itu tetap saja buruk. Hati baik tapi mulut kotor, mungkin dalam dirinya sendiri terpendam sebagai orang yang baik hatinya; akan tetapi mulutnya yang kotor membuatnya terlihat buruk dihadapan orang lain. Kenapa? ya karena omong kotor kan memang buruk. Jadi percuma menurut saya kalau hati baik tapi dia mempunyai mulut kotor. Sama halnya dengan mempunyai mulut bersih tetapi hati kotor, mungkin ini lebih buruk lagi sih haha!

Itu saja pendapat saya, terima kasih.
silahkan dikoreksi.

1 Like

Menurutku, ini cuma berlaku bagi orang jujur, kak.
Lihat aja koruptor di luar sana hehehehehe, canda koruptor. Eh, tapi serius deng. :crazy_face:

Ini valid ga masalah selama si lawan bicara fine-fine saja.
Tapi untuk orang macam saya, jujur agak sakit hati kalo ada lawan bicara yang ngomong kasar atau kotor walaupun itu bukan untuk saya. Bahkan ketika mereka mengejek si A dengan kata kasar/kotor, saya tidak tega mendengarnya. Yang tadinya saya hanya illfeel dengan A, malah jadi illfeel dengan si komentator juga.

"Lisan adalah cerminan hati." dan "Mata adalah jendela batin." udah ga berlaku lagi disini.

Sekarang manusia udah jago acting.

Kebaikan seseorang tak bisa diukur melalui ucapannya,
dan ketulusannya tak bisa dilihat dari matanya.

3 Likes

tidak setuju ka.
Karena apa yang terucap oleh lisan adalah apa yang ada di pikiran. Lisan hanya mengungkapkan apa yang ingin disampaikan. Hingga diumpamakan seperti teko hanya mengeluarkan isinya. Menurut saya baik tidak bisa hanya diungkapkan dengan perbuatan tapi juga harus dengan ucapan sebagaimana iman. Iman adalah suatu keyakinan yang diaplikasikan lewat perkataan dan perbuatan. Tapi, bukan berarti kita menjauhi teman-teman kita yang masih belum bisa meninggalkan kata-kata kotornya. lebih baik lagi jika kita selalu membersamainya dan bisa mempengaruhinya agar lebih baik. Namun, bila kita yang punya kemungkinan untuk terpengaruh, barulah kita mencari teman yang bisa membuat kita lebih baik

1 Like

Wkwk. Buat saya komentar ini sangat menarik. Menurut saya saat ini tidak banyak hal yang bisa kita lihat sebagaimana adanya. Terutama manusia. Banyak manusia yang saat ini hidup bukan sebagai seseorang yang memang dirinya, melainkan sebagai sosok yang ia ingin orang lain lihat dari dirinya. Dengan kata lain, ia menjalani hidup dengan menyembunyikan dirinya dalam citra yang ingin ia perlihatkan kepada orang lain, sehingga perkataan dan laku yang ditunjukkan tidak bisa mendefinisikan siapa dia sebenarnya, siapa dia di dalam hati dan diri sejatinya.

Tapi menurut saya, seseorang punya daya yang terbatas dalam berpura-pura sehingga lakon yang ia perankan, yang tidak sesuai dengan hatinya, tidak bisa dimainkan selamanya. Saat orang berhati baik melakukan hal-hal yang buruk, akan ada pertentangan dalam dirinya. Ia bisa berpura-pura baik-baik saja dan menikmati hal itu, tapi di satu titik ia harus memutuskan untuk kembali ke hati baiknya atau membiarkan dirinya tenggelam dalam keburukan yang ia lakukan. Menurut saya, meskipun dunia tidak hitam putih, bagaimanapun manusia tidak bisa condong pada kebaikan dan keburukan secara bersamaan.

Mungkin yang saya bahas tadi kelihatannya terlalu jauh untuk kasus omongan kotor yang ditanyakan, tapi menurut saya justru sangat erat kaitannya. Di sini mulut kotor saya terjemahkan sebagai suka mengumpat, mencela, membicarakan hal-hal jorok dan berghibah. Menurut saya mungkin sesekali orang berhati baik melakukan hal itu, entah karena tidak disengaja atau karena tuntutan pergaulan. Tapi tidak mungkin ia terus menerus melakukannya. Kalau ia benar-benar baik, maka ia setidaknya akan merasa tidak nyaman dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan dirinya.

Masalahnya apabila suatu hal dilakukan berulang-ulang, yang tadinya dirasa tidak nyaman akan menjadi nyaman atau biasa, dan kebiasaan yang diulang-ulang akan menjadi karakter. Karakter seseorang ini akan menjadi jati dirinya.

Kalau begitu logikanya, tentu akan berkaitan dengan iman yang ditanyakan di awal. Iman itu tidak hanya ucapan tapi juga tindakan yang dijalankan dengan konsistemsi dan komitmen. Hasil dari iman adalah karakter. Kebiasaan buruk seperti berkata kotor tentu saja bertentangan dengan pembentukan karakter oleh iman. Jadi kalau mau kualitas imannya baik maka seharusnya seseorang menghindari perbuatan-perbuatan buruk, apalagi yang dijadikan kebiasaan.

Sebagai tambahan, ada perbuatan buruk yang dampaknya hanya pada pribadi seseorang, ada juga yang dampaknya dirasakan juga oleh orang lain. Ucapan yang tidak terjaga termasuk perbuatan buruk yang berpotensi besar untuk berdampak pada orang lain. Hmm, bukankah tidak akan sempurna iman seseorang kalau ia masih menyakiti saudaranya dengan lisannya?

2 Likes

Kalau dari lirik lagu Raisa dan isyana “setiap katamu cerminan hatimu” dan memang benar Rasulullah juga lebih menyarankan untuk diam dari pada berkata yang tidak pantas

Kalo saya sih dari dulu paling nggak suka dengerin orang ngomong kasar, ngomong kotor… walaupun dari kecil saya tumbuh di lingkungan orang-orang yang suka ngomong kotor gitu, tapi saya tidak bisa menormalisasikannya. Karena menurut saya orang yang suka ngomong seperti itu di depan umum, berarti dia orang yang kurang sopan dan tidak menghargai orang lain. Kita harus mengakui bahwasannya omongan yang kasar memang pada dasarnya tidak disukai oleh kebanyakan orang…

Terlepas dia berhati baik… saya juga mengapresiasinya. Namun tidak seharusnya dijadikan sebuah pembanding. Karena berhati baik sudah seharusnya dimilikii oleh semua orang. Saya memahami memang tidak semua bia mengendalikan perkataannya, atau tidak semua orang bisa hanya mengatakan hal-hal yang baik saya. Tetapi minimal dia bisa melihat situasi dan kondisi, serta menghargai orang lain untuk tidak berkata kasar.

2 Likes

Kalau dari pendapat kak @Ariana_Belle, berarti kakak sepakat kalau orang yang suka ngomong kasar bisa jadi berhati baik ya kak? Hanya saja, ada orang-orang berhati baik yang tidak bisa mengendalikan ucapannya. Jadi, orang berhati baik tidak selalu ucapannya baik?

Menurut saya, tidak ada masalah sama sekali dalam pergaulan kata kasar, masalahnya adalah pergaulan itu dilakukan sejak dini dan dibangga-banggakan oleh masyarakat jaman now. Coba saja bagi para Youdis yang mungkin pernah melihat anak kecil menyanyikan lagu unsur keras atau berbicara kata kasar. Lihat saja berapa like-nya, biasanya lebih dari seribuan. Komennya? lebih banyak netizen yang “kocak” dengan tingkah laku anak-anak tersebut.

Kata orang “nggak masalah mulutnya kotor asal hatinya baik”. Tapi, in contrast, kemarin saya dapat ceramah kalau lisan adalah cerminan hati. Otomatis dalam pendapat kedua, kalau mulutnya kotor, hatinya terindikasi kotor juga.

Ini saya kurang setuju gan magdalaura, ngomong kasar tidak ada salahnya jika berhubungan dengan orang-orang yang bisa mengancam harta, privasi atau ada ambigu hati. Berkata demikian malah merupakan tindakan bela diri + menghilangkan rasa stres karena merupakan teknik bela diri secara verbal. Berkata kasar ironisnya lebih efektif dilakukan secara langsung daripada di media sosial, karena lewat media sosial berkata sedemikian bukan memebela diri, malah minta masuk penjara wkwk.

Halo kak…
Saya tidak setuju dengan statement tersebut. Kenapa?
Karena mulut juga merupakan cerminan diri kita, jika kita berbicara dengan Sloan maka banyak orang akan menghargai Kita, dibandingkan dengan berkata kotor, akan banyak yang tidak menyukai dan bahkan akan dijauhkan.

Maksud saya berbicara dengan sopan kak. Maaf…
Dan setiap orang juga berbeda-beda perasaan, mungkin ada yang mudah terbawa perasaan, Dan jika kita berbicara kotor dia akan sakit hati, otomatis akan menjauh dari kita. Sementara kita di dunia ini membutuhkan teman. Dan jika sangat baik lagi jika mulut bersih Dan hati juga baik :hugs:

saya pribadi kurang setuju dengan statement tersebut, karena hendaknya kita sebagai seorang muslim sepatutnya menjaga mulut/lisan kita seperti ungkapan mulut mu harimau mu, lisan kita sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita dan orang-orang sekitar, karena orang-orang bisa menilai hati kita melalui lisan yang kita ucapkan baik atau buruknnya lisan kita, jika lisan kita baik niscaya hati kita baik, namun apabila lisan kita kotor tetapi memiliki hati baik orang-orang akan sungkan untuk berteman ataupun percaya dengan kita

1 Like

Menurut saya pendapat kak @Pippo dalam hal ini kontradiktif. Di awal dikatakan tidak masalah sama sekali dalam pergaulan, asalkan tidak dilakukan sejak dini. Bagaimana mungkin kita bisa menghindarkan anak-anak dari hal buruk seperti berkata kasar apabila orang dewasa yang menjadi contoh berlaku demikian. Apalagi di media sosial. Siapa yang menganggap konten anak kecil yang berkata kasar sebagai hiburan? Orang dewasa juga. Jadi kita tidak boleh double standard kalau dalam pergaulan orang dewasa boleh tapi kalau di usia dini tidak boleh wkwk.

Setuju dengan pendapat @Sarahintan karena ketika berbicara kotor kepada orang lain, bisa jadi dia sedan dalam kondisi badmood malah akan membuat dia sakit hati. Mungkin maksut ia yang berbicara kotor hanya bercanda saja, tapi kan penerimaan tiap orang berbeda-beda. Jadi alangkah baiknya jangan terbiasa berbicara kotor, jika terbiasa yang dikhawatirkan ketika ia mendapat musibah bukan nama Tuhan yang disebut malah ucapan kotor yang dilanturkan.

“Mulutmu harimaumu”

Pepatah tersebut yang sampai saat ini selalu saya ingat, jadi pandai-pandailah menjaga lisanmu. Lisan juga dapat mejadi gambaran umum seseorang dalam menilai kita.

“Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang paling berat ditimbangan kebaikan seorang mu’min pada hari kiamat seperti akhlaq yang mulia, dan sungguh-sungguh (benar-benar) Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.”
(Hadits Riwayat At Tirmidzi nomor 2002, hadits ini hasan shahh, lafazh ini milik At Tirmidzi, lihat Silsilatul Ahadits Ash Shahihah No 876).

Dalam Islampun telah dijelaskan bahwa Allah membenci orang yang lisannya kotor dan kasar, sehingga alangkah baiknya kita menjaga lisan untuk diri kita sendiri pastinya dan agar tidak menyakiti orang lain.

menurut saya berkta kotor sudah termasuk dari bad attitude karena tidak sopan apabilaperkataan tsb dilontarkan di depan umum. Walaupun dia memang baik hatinya, berkata kotor juga tidak bisa dibenarkan. Tidak berkata kotor juga salah satu dari menghargai orang lain, apabila mulutnya saja tidak bisa dijaga ya bisa dikatakan dia tidak bisa menghagai orang lain, karena tidak semua orang nyaman mendengar perkataan kotor.

1 Like

Sampai sekarang pun, saya masih meragukan statement ini

Menurut saya, banyak orang berkata manis. berucap hal-hal baik, tetapi sebenarnya dalam hatinya dia mengumpat dan mengutuki lawan bicaranya. Jika kita menilai seseorang berdasarkan perkataannya atau apa yang dia ucapkan maka kita akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui karakter aslinya, karena sering kali demi mendapat perhatian dari orang lain atau demi mendapat hal yang dinginkan dia akan berucap hal-hal baik.

Ada teman saya yang bahkan diakhir setiap perkataannya ada kata “…ing”, cuk, bangsat, k****l, tetapi dia adalah orang yang sangat suka membantu orang lain. dia tidak bisa melihat kesusahan orang lain bahkan ga pernah absen buat menyisihkan sedekah bagi pengamen atau pengemis jalanan.

Saya menilai karakter seseorang itu dengan perbuatannya atau perilakunya kepada teman-teman atau orang sekitarnya. Apalagi era sekarang memang perilaku berbahasa kotor atau mulut kotor bukan menjadi hal yang tabu selama itu digunakan dikondisi yang tepat, maksudnya tidak mengungkapkan nya kepada orang tua.