Seringkali kebanyakan orang beranggapan bahwa tindakan pelecehan dilakukan oleh orang asing. Namun, kenyataannya tindakan pelecehan banyak dilakukan oleh orang terdekat yang sudah dikenal seperti saudara, guru, tetangga, teman, asisten rumah tangga, dan sebagainya. Beberapa ahli menunjukkan bahwa tindakan pelecehan paling sering terjadi di lingkungan keluarga dan lingkungan yang orang tersebut kenal dekat dengan korban. Sedangkan tindakan pelecehan yang dilakukan oleh orang asing justru terlihat minoritas di beberapa penelitian, namun menjadi mayoritas di beberapa negara seperti Jepang dan Bangladesh (Goessmann et al., 2020).
Tindakan pelecehan biasanya diawali dengan pelaku membuat anak tidak peka terhadap kontak seksual melalui verbal dan fisik. Lalu, pelaku mencoba mengetes anak melalui menyentuh area terlarang ketika mereka bermain. Alasan pelaku melakukan hal tersebut adalah untuk memeriksa respon anak terhadap konten seksual, lingkungan seksual, atau sentuhan seksual untuk menciptakan lingkungan seksual yang dianggap normal oleh anak. Kemudian, sentuhan atau konten pornografi yang diperlihatkan secara “tidak sengaja” bertujuan untuk mengurangi kepekaan dan perlawanan dari anak sehingga menjadi sinyal bagi pelaku untuk terus-menerus melakukan tindakan pencabulan (Katz & Field, 2020).
Terdapat empat motif yang melatarbelakangi terjadinya tindakan pelecehan diantaranya adalah adanya distorsi kognitif yang didefinisikan sebagai sikap dan keyakinan yang melanggar norma, interpretasi yang bias, minimalisasi, rasionalisasi, dan justifikasi. Distorsi kognitif memungkinkan pelaku untuk membenarkan perilaku pelecehan yang sedang terjadi. Lalu yang kedua adalah adanya masalah pengaturan diri pada pelaku sehingga secara impulsif mereka melakukan perilaku pelecehan. Selanjutnya motif yang ketiga adalah adanya defisit keintiman yang menunjukkan ketidakmampuan individu untuk keintiman yang sesuai dan kurangnya dukungan dan kesempatan interpersonal. Dan yang terakhir adalah adanya penyimpangan seksual pada diri pelaku (Heffernan & Ward, 2015). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kasus pelecehan yang terjadi pada anak merupakan 100% kesalahan pelaku, karena mereka memiliki kelainan fantasi seksual yang menyimpang.
Referensi:
Goessmann, K., Ssenyonga, J., Nkuba, M., Hermenau, K., & Hecker, T. (2020). Characterizing the prevalence and contributing factors of sexual violence: A representative cross-sectional study among school-going adolescents in two East African countries. Child Abuse & Neglect , 109 , 104711. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2020.104711
Heffernan, R., & Ward, T. (2015). The conceptualization of dynamic risk factors in child sex offenders: An agency model. Aggression and Violent Behavior , 24 . https://doi.org/10.1016/j.avb.2015.07.001
Katz, C., & Field, N. (2020). Unspoken: Child-Perpetrator Dynamic in the Context of Intrafamilial Child Sexual Abuse. Journal of Interpersonal Violence , 886260520943723. https://doi.org/10.1177/0886260520943723