Konten tidak mendidik: kreator atau netizen yang harus dikontrol?

Banyaknya konten tidak mendidik terdapat pada media sosial yang semua orang dari berbagai usia dapat melihatnya. Mulai dari konten drama, sindir-sindiran, dan prank, bahkan konten-konten seperti ini ternyata memiliki penonton yang sangat banyak. Salah satu konten Youtube milik Uya Kuya yang bertengkar dengan Denise selebgram viral, dalam konten youtube tersebut Uya Kuya memanfaatkan pertengkarannya dengan denise sebagai konten di youtubenya. Banyaknya konten yang tidak mendidik berkeliaran di media sosial, menurutmu siapakah yang harus dikontrol?

1 Like

Menurut saya yang harus dikontrol ya konten kreatornya. Karena dalam konteks ini adalah masyarakat sebagai konsumennya, dan para konten kreator merupakan produsennya. Nah, maka sudah seharusnya sebagai produsen, mereka harus memiliki prinsip untuk memberikan “produk” yang berkualitas, informatif dan edukatif. Namun, saat ini algoritma youtube memang sangat masif, bahkan tidak jarang semakin banyak “artis TV” yang mulai hijrah ke youtube untuk mendapatkan tambahan pundi-pundi uang dari youtube adsense. Pada mulanya youtube digunakan sebagai sarana mengekspresikan diri. Harapannya, sebagai konten yang mudah dibuat dan bebas untuk berekspresi, Vlog atau konten yang sejenisnya menjadi sarana yang kreatif bagi para Vlogger maupun penontonnya. Namun, kenyataannya, muncul tren-tren kontroversial yang berpotensi menjadi pengaruh buruk bagi penonton.
Kembali pada pernyataan saya di awal, bahwa konten kreator adalah produsen, masyarakat hanyalah receiver atau penerima. Para konten kretaor memiliki kendali penuh atas apa yang akan mereka suguhkan untuk masyarakat, ibarat kata “tidak ada asap kalo tidak ada api” disini jelas bahwa jika tidak ingin kontenya dianggap tidak mendidik, maka dari hulu juga harus memberikan konten yang berkualitas juga agar asap atau hilirnya menerima dampak positif

Menurut saya, sebenarnya keduanya harus sama-sama dikontrol, penonton harus pandai memilih jenis tontonan yang setidaknya baik untuk ditonton, syukur-syukur yang memang memiliki dampak dan manfaat yang baik bagi yang menonton, akan tetapi, di Indonesia kuantitas penonton jauh lebih banyak (bahkan mulai usia anak-anak) dibandingkan dengan konten kreatornya, kemudian minimnya edukasi kepada mereka mengenai jenis tontonan yang harus dipilih, maka saya rasa untuk lebih mengoptimalkan itu semua, saat ini yang harus dikontrol jelas kreatornya agar lebih efektif dan efisien.

Seharusnya peraturan-peraturan yang ditujukan kepada seluruh konten kreator pada berbagi platform media sosial lebih diketatkan dan diperjelas lagi, mengenai apa saja yang seharusnya layak dijadikan ‘konten’ dan tidak, karena mungkin saja, sang konten kreator juga tidak memiliki bekal yang cukup untuk mengetahui apa saja hal-hal yang di kategorikan mendidik dan tidak, atau sederhananya apa saja sih yang lebih baik diberikan kepada orang lain dan tidak, karena saat inipun mulai banyak bermunculan konten kreator yang memang hanya mementingkan pendapatan dan hanya mengetahui kebijakan boleh dan tidaknya sebuah tayangan tontonan secara garis besar, misalnya yang penting tidak mengandung unsur pornografi dan lainnya.

Maka intinya, menurut saya, kebijakan-kebijakan secara tertulis harus lebih diperjelas dan diketatkan kepada para konten krator, mengingat juga pada situasi pandemi seperti saat ini, intensitas masyarakat menggunakan media sosial lebih banyak daripada sebelumnya.

Menurutku keduanya memiliki peran penting untuk mengontrol diri mereka masing-masing. Seorang konten creator seharusnya perlu mempertimbangkan konten yang ia akan buat terlebih dahulu sebelum di publish melalui media sosial mereka. Apakah konten tersebut pantas untuk dipublish atau tidak. Terlebih jika mereka adalah seorang influencer ataupun orang yang memiliki status penting dan dikenal oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Untuk itu, sepatutnya pun mereka perlu memberikan konten-konten yang baik dan bermanfaat bagi para penontonnya. Sebab yang aku perhatikan belakangan ini, semakin banyak muncul berbagai konten yang tidak mengedukasi atau bahkan kurang pantas untuk dipublish. Terlebih juga, di era digital ini semakin banyak anak-anak usia dini yang sudah memiliki gadget pribadi sehingga mereka dapat mudah untuk melihat dan mengetahui berbagai aktivitas atau fenomena diluar lingkungan mereka. Dimana hal ini tentunya secara tidak langsung dapat menjadi sebuah contoh bagi mereka.

Selain itu, netizen atau seseorang pengguna internet pun perlu membatasi dan mengontrol diri mereka dalam mengonsumsi berbagai konten yang ada. Sebab yang aku amati, banyak sekali netizen yang melontarkan komentar tidak pantas hingga membuat sakit hati orang yang membuat konten tersebut. Bahkan tidak jarak pula banyak orang yang membully ataupun memfitnah seorang konten creator. Untuk itu, jika dirasa konten tersebut tidak pantas untuk ditonton maka sebaiknya kita hindari. Hal ini guna untuk menghindari kita melontarkan komentar-komentar negative.

Saya setuju dengan pendapat @dinarizki , saya rasa yang harus pertama dikontrol adalah para konten kreator. meningkatnya popularitas para konten kreatif, khususnya untuk platform media sosal dan youtube, banyak orang berlomba menciptakan konten yang dapat menarik banyak penonton. apalagi banyak anak-anak muda bahkan anak dibawah umur yang kini telah dibebaskan menggunakan smartphone membuat mereka telah dapat mengakses konten-konten dengan mudah. Sunyoto Usman, sosiolog dari UGM menyatakan, munculnya YouTubers dengan konten tidak mendidik sebagai bentuk tidak kuatnya mental dan pondasi anak muda di Indonesia. Termasuk hilangnya sosok idola yang patut dijadikan panutan. Sehingga ketika melihat sosok yang dianggap “berbeda”, banyak anak muda terpengaruh serta menjiplak gaya sang idola. konten-koten tersebut itu dianggap memberikan pengaruh negatif kepada anak bangsa. Wacana pemblokiran pun diserukan karena tak sesuai dengan kaidah bangsa Indonesia. namun. [emerintah tetap tidak bisa menyaring konten-konten tersebut karena belum ada payung hukum yang menaunginya.

Sumber

https://tirto.id/yang-negatif-yang-diminati-bL9D

Menurut saya yang seharusnya dikontrol adalah penontonnya. Seorang konten kreator, mereka bisa membuat sebuah konten dengan berbagai banyak jenisnya itu adalah sebuah permintaan dari penontonnya sendiri. Seperti prinsip dasar ekonomi, ada permintaan maka ada penawaran. Mereka melihat itu dari sebuah statistik akun dan konten-konten mereka tersendiri. Terkadang, masyarakat Indonesia tetap menonton sebuah konsen tidak mendidik seperti itu untuk menjadi bahan bercandaan dengan teman-temannya, dan konten kreator tersebut tidak peduli apapun tujuan dari penonton untuk menyaksikan kontennya, selama kontennya menghasilkan banyak views dan banyak dikenal maka ia berhasil. Jadi menurut saya, selama masih ada masyarakat Indonesia yang menonton tontonan yang tidak mendidik maka konten-konten seperti itu akan ada terus. Penting untuk kita, para penonton yang memilih apa yang pantas dan layak untuk kita konsumsi.

Saya juga sependapat dengan @dinarizki , menurut saya hal pertama yang perlu dibenahi adalah kreatornya, walaupun konten yang kurang mendidik banyak digemari oleh masyarakat yang menjadikan banyak para kreator yang mengikuti pasar sehingga membuat konten yang hanya didasari hiburan semata dan tidak terdapat nilai edukatif.

Hal tersebut seperti memakan junkfood, walaupun banyak digemari, tetapi kita tidak boleh untuk mengkonsumsinya setiap hari karena akan berdampak buruk untuk kedepannya. Salah satu contoh yang sudah terjadi kepada anak-anak di Tangerang yang terlindas truk hanya untuk membuat konten. Jika konten yang mendidik banyak diberikan kepada netizen, maka para pengikutnya pun akan menyesuaikan dan dapat memberikan contoh yang baik pula.

Disamping itu, pemerintah harus ikut andil dalam hal ini, seperti yang dikatakan ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti bahwa literasi digital dibutuhkan sebelum permasalahan tersebut semakin meluas pada ranah lainnya.

“Literasi digital dapat masuk kurikulum muatan lokal. Namun, tentunya hal ini pun harus dipahami oleh guru dan orang tua. Keterlibatan kedua komponen ini merupakan faktor terpenting,” ujarnya.

Referensi

https://www.tribunnews.com/dpd-ri/2021/03/30/ketua-dpd-ri-sorot-maraknya-konten-yang-tidak-mendidik

Dari pertanyaan diatas, ya sudah sangat jelas sang content creator. Bagus atau tidaknya sebuah tayangan yang ditampilkan, ya semua tergantung pada sang contect creator. Sebagai konsumen, masyarakat “hanya” bisa memilah mana konten yang layak untuk dilihat mana yang tidak. Apalagi dengan perkembangan pesat dunia teknologi masa kini, seakan akan membuat dunia tanpa batas. Seakan segala yang tayang dimedia sosial tidak terfilter dengan baik. Banyak content creator yang seakan “menghalalkan” segala cara untuk meraih popularitas dan mengabaikan moralitas untuk membuat konten yang mendidik. Lucunya, content creator yang seperti ini malah “digandrungi” masyarakat ketimbang content creator yang jelas jelas mendidik. Ya, kembali lagi, sebagai konsumen, masyarakat harus pandai memilah mana konten yang benar benar mendidik mana yang tidak. Takutnya, hal hal yang buruk tersebut malah ditiru dan diikuti di dunia nyata yang dikhawatirkan membuat moralitas semakin rendah.

Media Sosial memiliki kekuatan tersendiri yang mampu menyihir dan menghipnotis penontonnya. Konten-konten hiburan, edukasi, traveling, hingga sejarah di kanal seperti YouTube tidak sedikit mampu mempengaruhi cara berpikir dan pandangan terhadap suatu hal.

Konten yang kini beredar di media sosial seperti YouTube, TikTok, Facebook Live, dan sebagainya merupakan salah satu bagian dari dinamika dan realitas faktual masa kini. Dinamika ini juga bagian yang tak terhindarkan dan terpisahkan dari pekembangan tren, pesatnya teknologi, dan digitalisasi yang kian meluas.

Dengan demikian, seorang konten kreator yang berkecimpung di dalamnya, memiliki tugas dan tanggung jawab besar mendidik penonton, mendorongnya untuk maju, sehingga memacu cara dan sikap positif dan membangun. Ini harus dimanifestasikan dalam karya cipta dan produk konten yang akan diungggah di media sosial tersebut. Namun demikian, tak semuanya konten yang bersliweran di YouTube dan semacamnya memiliki kualitas seperti ini. Tidak sedikit yang justru yang mengandung konten negatif dan tidak mendidik.

Demi menciptakan sebuah kreasi dan ciptaan konten membangun dan bermanfaat seperti itu, sudah semestinya para konten kreator merancang dan menciptakan aturan atau kaidah yang disepakati, agar isi konten tetap berjalan dalam relnya. Jangan sampai ini dibiarkan bebas hingga tidak memberi manfaat sama sekali bagi penonton.

Menurut saya perama yang harus di kontrol kreatornya. Karena mereka yang memberikan tayangan dan netizen hanya mengkonsumsi. Namun netizen disini juga harus mengontrol, karena biasanya kreator itu membuat konten tentu yang disukai oleh netizen. Dan nyatanya sekarang netizen malah lebih menyukaikonten yang tidak mendidik. Jadi intinya, kembali lagi ke kedua nya sih,dari kreator atau netizen harus sama-sama mengontrol.

Dalam dunia komunikasi terdapat sebut teori bernama teori Uses and Gratification. Teori ini mengatakan bahwa pengguna media adalah khalayak aktif. Dimana mereka menggunakan media karena memiliki tujuan tertentu dan karena mereka memiliki sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka bebas memilih media apa yang ingin mereka gunakan dan konten apa yang mereka tonton. Mereka secara sadar bertanggung jawab atas apa yang mereka akses pada media. Beginilah seharusnya khalayak atau netizen bersikap.

Sehingga dalam kasus di atas, khalayak atau netizenlah yang memegang peran atas maraknya konten yang tidak mendidik. Yang sepatutnya khalayak atau netizen lakukan adalah memilih tontonan apa yang seharusnya mereka konsumsi sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Jika mayoritas netizen telah bersikap bijak dalam hal ini, maka konten-konten yang sifatnya tidak mendidik perlahan akan lenyap dari sorotan media karena khalayak atau netizen sudah beralih ke konten yang memang bermutu dan mendidik.

Konten. Dari situ saja sebenarnya sudah jelas siapa yang harus bertanggung jawab, tentu saja si pembuat konten atau yang biasa disebut dengan kreator. Seorang kreator harusnya paham kalau kontennya yang tersebar luas di internet dapat diakses oleh siapa saja, bahkan berpotensi diakses oleh anak dibawah umur. Seyogyanya ia mempertimbangkan terlebih dahulu konten yang akan ia sebarluaskan. Tidak hanya itu, seorang kreator lazimnya memiliki pengikut, maka ia sudah bisa dikategorikan sebagai public figure yang dapat memberikan pengaruh bagi pengikutnya. Seharusnya dia jauh lebih bijaksana sebelum membuat konten karena secara tidak langsung, mau dia menyadarinya atau tidak, dia memiliki potensi untuk mempengaruhi pengikutnya melalui konten-konten yang dia sajikan.

Menurut saya netizen atau publik yang harus bisa dengan bijak menyikapi beragamnya konten yang ada. Para pembuat konten tidak memiliki kewajiban untuk mendidik, mereka hanya membuat konten dengan salah satu tujuannya yaitu menghibur. Jika publik merasa ada salah satu konten yang tidak mendidik dan menarik, salah satu cara menyikapinya yaitu tidak perlu ditonton. Konten seperti Uya Kuya tersebut hingga kini masih ada menurut saya karena masih banyak yang menonton dan Uya Kuya pun mungkin dapat keuntungan dari konten yang ia buat. Kurang lebih saya setuju dengan pendapat ini:

Menurut saya, para pembuat konten hanya membuat konten untuk ditonton dengan kreativitas masing-masing sehingga untuk masalah mendidik atau tidaknya konten tersebut bukan tanggung jawab mereka. Jika merasa konten yang dibuat kurang mendidik dan tidak bisa mengambil makna dari konten tersebut, lebih baik ditinggalkan saja.

Creator ada dan membuat konten tentunya tidak jauh dari permintaan penontonnya, sehingga kedua hal tersebut sangat berhubungan erat. Menurutku keduanya harus sama-sama dikontrol. Sebagai seorang content creator seharusnya sangat perlu dan penting dalam mempertimbangkan segala konten yang mereka buat sebelum pada akhirnya di publish untuk jadi konsumsi publik. Terlebih lagi sebagai content creator biasanya memiliki insight yang sangat besar sehingga cenderung akan memberikan dampak pada penontonnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya content creator wajib memilah-milah konten apa yang sebaiknya di publish . Selain itu, sebagai netizen atau penonton pun harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Jika melihat atau menemukan konten yang tidak mendidik sebaiknya tindakan yang perlu dilakukan adalah dengan me- report konten tersebut supaya dapat ditindak lanjuti dan bukankah seluruh platform media sosial sudah memiliki fitur report ? jadi sudah seharusnya bagi creator maupun netizen atau penontonnya harus sama sama membatasi diri atau mengontrol dalam bermedia sosial.

Menurut saya disini yang sebenarnya harus disalahkan dalam banyaknya konten tidak mendidik atau sampah adalah si kreator konten itu sendiri. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa si kreator konten harus disalahkan. Pertama - tama, Kebanyakan dari konten sampah dan tidak mendidik yang beredar di Indonesia berasal dari Youtube. Youtube sendiri merupakan salah satu platform terkenal bagi kreator konten untuk mengupload karyanya dan juga di masa kini juga, pekerjaan sebagai youtuber adalah salah satu pekerjaan yang banyak diminati oleh orang - orang karena prospek keuntungannya. Sebetulnya, ada banyak kreator konten yang kreatif dan memberikan konten yang mendidik dan inspiratif.

Tetapi ada juga konten - konten tidak mendidik seperti prank, sindir - sindiran, toxic content, dan lain sebagainya seperti yang lazim kita temui di channel - channel youtuber terkenal seperti Atta Halilintar, Uya Kuya, dan lain sebagainya. Menurut beberapa referensi yang saya baca, ada sebuah simbiosis mutualisme antara kreator/influencer dengan konten sampah/tidak mendidik. Pertama, tentu saja dengan adanya konten sampah dan tidak mendidik (biasanya yang tengah viral) seperti ini, influencer/kreator konten mendapatkan banyak sekali adsense, endorse, sponsor, dll. kedua, konten sampah dan tidak mendidik itu (entah alay, bodoh, kontroversi, drama, dll) akan menjadi semakin viral karena mendapat eksposure dari para influencer dan kreator konten tadi, dan yang terakhir, netizen yang sebagaian besar hobi nyinyir, akan semakin meramaikan dan ikut campur.

Poin ketiga dalam simbiosis mutualisme tersebut juga menunjukan jika netizen juga menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam penyebaran konten - konten tidak mendidik atau sampah tersebut. karena memang, menurut saya sebagian besar netizen Indonesia memiliki hobi berghibah dan nyinyir di media sosial sehingga cenderung menyukai konten - konten yang berisikan bumbu - bumbu kontroversi, sindir - sindiran, prank, dan lain sebagainya yang sebenarnya merupakan bentuk pembodohan. Lagipula di perspektif para kreator konten atau Influencer tersebut, membuat konten - konten seperti itu tentu akan mendatangkan keuntungan lebih banyak jika melihat dari fenomena netizen Indonesia dan kecenderungan mereka dalam memilih konten ketimbang membuat konten - konten yang mendidik dan bermanfaat.

Berarti intinya disini yang sebenarnya salah dan harus di kontrol adalah kreator konten dan netizen itu sendiri. caranya adalah dengan edukasi sejak dini, terutama mengenai penggunaan internet agar mereka dapat menggunakannya secara positif.

Untuk menghadapi konten-konten yang tidak mendidik menurut saya kitalah yang harus pandai atau mengontrol tontonan kita. Karena platform media yang menyediakan tontonan itu sepertinya sangat membebaskan siapapun untuk membuat media hiburan atau video. Terkecuali unsur sara dan teman-temannya. Selain itu diperbolehkan, dan itu terserah si creator tujuannya untuk mendidik atau hanya untuk penghasilan saja.

Dengan demikian berarti kitalah yang harus bisa mengontrol diri kita untuk bisa memilah tontonan yang menurut kita baik. Lalu untuk mengurangi creator yang membuat konten tidak mendidik menurut saya itu tanggung jawabnya penyiar atau pemilik platform dan atau pemerintah, adapun kita bisa ikut andil dengan cara mengontrol anak didik atau teman, saudara untuk mengurangi menonton karya yang kurang mendidik dan menyadarkannya. Sehingga lama kelamaan creator yang kurang mendidik akan lenyap juga karena tidak ada peminatnya lagi.

Menurut saya, terjadinya konten tidak mendidik yang dibuat kreator itu berasalkan dari selera pasar penonton/netizen tersebut. Kreator hanya melakukan apa yang disukai/diminta oleh netizen. Bisa kita lihat di laman trending YT Indonesia yang tak jarang ada video drama, sensasi, prank, settingan, atau sindir-sindiran dari selebriti maupun youtuber. Maka dapat dibuktikan kalau netizen Indonesia lebih menyukai konten yang kurang mendidik seperti itu. Dan menurut mereka konten seperti itu dapat menghibur mereka.
Jadi, kalau sebagian dari kita merasa konten tersebut tidak mendidik, yaa tidak usah ditonton atau diikuti. Abaikan dan pilihlah konten yang mendidik menurut kita. Dan dengan mengabaikannya, menurutku juga bisa mengurangi minat dari konten tidak mendidik tsb. Ketika peminat/penonton konten tidak mendidik tersebut sedikit, maka kreator pun jadi tidak tertarik untuk membuat konten semacam yang tidak mendidik tersebut. Dengan kata lain, jangan kasih panggung lah. Biar tidak semakin menjadi-jadi.
Jadi menurutku, mulai dari diri kita atau netizen yang harus bisa mengontrol dan memilih tontonan dengan sebijak mungkin.

Menurut saya hal yang mendasar dari sebuah konten adalah makna konten itu sendiri, yang mana merupakan sebuah informasi atau tontonan yang turut serta mendidik semua orang yang menikmati hasil karya kreator, sehingga hal tersebut memiliki presentasi yang cukup besar dalam sebuah didikan ataupun percontohan. Karenanya hal positif ataupun hal negatif akan mudah untuk ditiru oleh para penikmat konten tersebut (netizen). Dapat disimpulkan bahwa konten tidak mendidik adalah hasil karya yang tidak baik dari seorang kreator, untuk itu maka yang harus dikontrol adalah sang kreator itu sendiri, karena para kreator lah yang menyediakan opsi-opsi dari konten-konten yang akan dinikmati oleh netizen. Maka, para konten kreator harus mengontrol isi dari konten yang mereka buat, yang mana penikmat dari hasil konten mereka akan berasal dari berbagai usia dan tingkat pendidikan, yang kemungkinan tidak dapat secara khusus menyaring informasi yang mereka temukan.
Akan tetapi dalam dunia era globalisasi ini para netizen juga punya andil untuk menentukan konten seperti apa yang pantas untuk ditonton/ditiru apalagi untuk diviralkan. Contohnya para orang tua yang terus memantau tontonan anak-anaknya secara lebih bijak.

Setuju dengan pendapat kak @ayushintyadewi , dalam komunikasi tepatnya pada teori agenda setting juga ada yang dinamakan “selection exposure”. Penonton bukan khalayak pasif, mereka berhak memilih tontonan mana yang layak. Penonton adalah bagian yang menentukan apa yang akan ditonton. Melalui literasi, upaya untuk menciptakan tujuan itu dapat diwujudkan dengan pembekalan kemampuan dalam menggunakan media dengan baik dan menyeleksi konten media. Dengan emngurangi tontonan yang kurang baik, maka kreator tersebut perlahan lahan akan berhenti memproduksi konten yang kurang bermanfaat dan mendidik.

Menurut saya, kembali dari diri kita sendiri. Saat ini konten kreator diluar sana juga sudah banyak. Dan diluar sana tidak hanya konten yang bagus saja, ada konten yang kurang enak untuk di saksikan. Maka dari itu, lebih baik kita yang mendorong diri kita sendiri untuk memilah konten mana yang baik ditonton dan yang buruk ditonton. Intinya disini dari diri kita sendiri yang mengontrol. Yang namanya konten kreator memiliki sifat yang berbeda-beda, ada yang dikritik jika kontennya buruk dia sadar dan tidak mengulanginya. ada juga konten kreator yang mencari sensasi dan malah mendrama di sosial media. Jadi pintar-pintar lah kita dalam mengontrol sosial media kita dan diri kita sendiri.