Benarkah Jika Kita Bisa Hidup Lebih Bahagia Tanpa Social Media?

Social media merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia di era modern seperti ini. Pada umumnya, sosmed dirancang sebagai wadah untuk mempermudah manusia dalam hal bersosialisasi dan berkomunikasi satu sama lainnya. Selain itu, seiring dengan kemajuan zaman, Sosmed tidak lagi hanya digunakan sebagai media untuk berkomunikasi dan bersosialisasi saja, tetapi juga merambat ke hal - hal lainnya seperti untuk keperluan bisnis, media ekspresi, hiburan, mendapatkan informasi, dan lain sebagainya sehingga social media menjadi bagian yang begitu penting dalam kehidupan sehari - hari.

Tetapi di samping deretan dari kegunaan positif dan perannya dalam mempermudah kehidupan manusia modern, social media tentunya juga memiliki deretan hal negatif di dalamnya. Salah satunya adalah Budaya pamer di social media. Menurut Jean Baudrillard dalam Mahyuddin (2017), social media sendiri merupakan fenomena post-modernisme dengan kajian fenomena sebagai berikut : simbol sosial budaya pamer di ranah sosial dan medan masyarakat maya, gaya hidup masyarakat konsumer dan social climber, dan fenomena konsumerisme. Penelitian tersebut juga menekankan bahwa Telah terjadi polarisasi baru corak perilaku sosial yang ditampakkan oleh masyarakat hari ini. Gejala-gejala tersebut merepresentasikan sebuah realitas sosial tersendiri di mana pemujaan atas konsumsi, kegilaan terhadap gaya hidup, serta benturan identitas sosial (status, citra, diri)
adalah suatu hal yang tidak terelakkan.

Tentunya penelitian ini menjadi sangat relevan mengingat saat ini kita bisa melihat orang memamerkan segalanya di media sosial, seperti contohnya memamerkan tempat liburan, unboxing barang baru, memamerkan tempat kerja, memamerkan barang - barang branded, dan masih banyak lagi. Selain itu media sosial sebagai tempat yang bebas untuk berekspresi juga sangat rentan dengan adanya cyber bullying, toxic comment, dan hate speech yang marak terjadi akhir - akhir ini. Setidaknya hal - hal seperti inilah yang membuat munculnya trend hidup bahagia tanpa social media seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa pesohor tanah air seperti Prilly Latuconsina dan Reza Rahardian.

Nah setelah melihat fenomena di atas, menurut youdics sekalian, Menurut kalian apakah benar jika kita memang bisa hidup lebih bahagia tanpa kehadiran social media atau malah sebaliknya ?

Referensi : Mahyuddin (2017). Social Climber dan Budaya Pamer : Paradoks Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner. 2(2), 117 - 135

1 Like

“Kalau aku bermain social media, maka disitu aku ada”. Ungkapan tersebut rasanya cocok untuk mendeskripsikan kondisi saat ini. Keberadaan media sosial (medsos) bukan hanya memberi esensi , medsos pada saat ini seakan menjadikan seseorang eksis di dunia ini. Ketika seseorang tidak aktif bermain medsos, maka seseorang dianggap tidak eksis . Keberadaan seseorang tersebut menjadi pertanyaan banyak orang, apalagi untuk para selebriti.

Setiap orang apalagi generasi milenial dan generasi Z setidaknya mempunyai satu social media. Bahkan dari bangun tidur sampai tidur kembali kebanyakan orang biasa mengecek notifikasi social media. Dan dari adanya pandemic Covid-19, penggunaan social media semakin meningkat.

Dengan adanya social media, banyak sekali kegiatan yang bisa kita lakukan seperti saling berkomunikasi dengan semua orang, dapat berinteraksi dan menambahkan relasi baru, mampu memberikan berbagai informasi, dan juga bisa digunakan untuk kegiatan sosial seperti menggalang dana.

Namun dibalik itu semua, ada juga dampak negatif yang diberikan seperti jangkauan yang luas bisa menyebabkan informasi pribadi kita ikut tersebar dengan mudahnya dan juga kesehatan mental kita bisa terganggu, kenapa? Setiap orang pastinya mengabadikan pencapaian dalan hidupnya di laman media sosial. Entah itu perihal asmara, karier, pendidikan, atau gaya hidup yang mewah. Disadari atau tidak, hal tersebut hanya akan membuat kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain, atau biasa disebut dengan social comparison.

Bisa ga sih kita hidup tanya social media? Menurut aku, bisa (jika kita memang menginginkan kehiduapan yang jauh lebih baik). Menurut aku pribadi, sebenarnya social media itu hanya memberikan kesenangan semata, justru faktor lebih banyaknya adalah kita semakin mudah untuk membandingan kehidupan kita dengan orang lain dan itu cukup mengganggu dan membuat kita tidak bisa bahagia.

Nah dengan tidak adanya social media, kita bisa lebih nyaman, tenang, bahagia dalam menjalani hidup karna tidak ada pembanding, dan juga kesehatan mental kita lebih terjaga.

1 Like

Menurutku ini pertanyaan yang subjektif ya karena setiap orang punya kebutuhan yang berbeda-beda dan tentunya intensitas penggunaan media sosial yang berbeda juga. Perbedaan generasi juga berpeluang besar membentuk perbedaan terhadap media sosial. Aku memang setuju jika penggunaan media sosial secara berlebihan dapat menimbulkan banyak dampak buruk bagi penggunanya seperti yang telah disebutkan di deskripsi. Dan aku setuju juga jika terdapat beberapa orang yang tidak menggunakan media sosial seperti Instagram, Twitter, dan sebagainya karena orang di sekitarku juga ada yang demikian. Namun, untuk tidak menggunakan media sosial sama sekali agar bisa hidup bahagia terutama generasi milenial aku rasa sangat tidak memungkinkan untuk zaman sekarang karena telah menjadi kebutuhan dasar hampir setiap orang. Mungkin kita tidak sadar bahwa Whatsapp atau aplikasi chatting lainnya juga termasuk sebagai media sosial karena memenuhi kriteria dari pengertian media sosial itu sendiri, yaitu media berbasis daring yang digunakan untuk berinteraksi dengan satu orang atau lebih.

Menurut Trisnani (2017), Whatsapp sebagai salah satu media sosial saat ini digunakan oleh hampir seluruh pengguna ponsel cerdas untuk kepentingan bersosialisasi maupun sebagai penyampaian pesan baik oleh individu maupun kelompok. Whatsapp, Telegram, Line, dan sebagainya seakan telah menjadi kebutuhan pokok hampir setiap orang karena menjadi tuntutan dalam menjalankan komunikasi dalam keluarga, pekerjaan, koneksi dan pertemanan, kehidupan bermasyarakat, dan masih banyak lagi.

Jadi kesimpulannya, aku kurang setuju jika kita akan bahagia saat hidup benar-benar tanpa media sosial karena kenyataannya kita juga masih membutuhkan media sosial minimal untuk kebutuhan komunikasi yang telah menjadi kebutuhan dasar kita.

Sumber

Trisnani, T. (2017). Pemanfaatan Whatsapp sebagai Media Komunikasi dan Kepuasan dalam Penyampaian Pesan di Kalangan Tokoh Masyarakat. Jurnal Komunikasi, Media, dan Informatika, 6(3), 1-12.

Menururtku ini tidak benar yaa, di zaman yang sudah dikelilingi dengan teknologi berbasis internet ini justru rasanya akan lebih kesulitan jika kita benar-benar tanpa sosial media. Kebahagian apa yang sebenarnya kita dapatkan jika kita hidup tanpa menggunakan sosial media, bukankah saat ini komunikasi menjadi lebih mudah dengan adanya sosial media? Terlebih dengan sosial media kita dapat memperluas relasi serta menambah pengetahuan untuk membantu tumbuh dan kembangnya diri kita.

Tapi mungkin ada sebagian orang yang menganggap dengan berpuasa bermain sosial media menjadi lebih peduli dengan dunia nyata, ya boleh saja. Tapi perlu diingat hal tersebut juga menyulitkan orang sekitar untuk mencari keberadaan kita ketika mereka membutuhkan kita. Lagi pula sosial media itu adalah media yang sudah canggih, kita dapat memfilter konten apa saja yang bisa kita nikmati. Jika meman dirasa sosial media adalah hal yang memicu tumbuhnya rasa insecure karena melihat kepemilikan orang lain yang jauh didepan kita, atau merasa sosial media itu toxic karena banyak konten yang tidak mendidik. Yaa kita bisa memfilter itu dengan memilih tombol tidak tertarik/ tidak menyukai konten tersebut. Dan sudah dipastikan konten yang serupa akan kecil kesempatannya untuk masuk ke sosial media milikmu. Jadi kita bisa menikmati sosial media tanpa terganggu apalagi sampai hidup merasa tidak bahagia.

Saya setuju dengan pernyataan ka @muthiagustina bahwa perkembangan teknologi saat ini sudah sangat pesat, jika kita tidak bisa mengikutinya maka kita akan tertinggal dari yang lain. Salah satu perkembangan teknologi ialah social media. Social media saat ini bukan hanya sekedar untuk hiburan semata tapi bisa menjadi media belajar yang gratis, mencari lowongan pekerjaan, membrandinng diri, dll. Hal tersebut sangat menunjang karir dan pekerjaan kita untuk kedepannya.

Walaupun masih terdapat sisi negatif dari social media itu sendiri, kita tidak bisa terlepas dengan mudah. Oleh karena itu, kita sebagai pengguna social media sebaiknya bisa memfilter hal tersebut dengan baik. Dan memanfaatkan teknologi saat ini dengan baik, agar bisa memberi contoh untuk generasi kita selanjutnya.

Saya setuju dengan pernyataan @angeline.29
Meski sudah dianggap jadi bagian hidup manusia, tetapi media sosial mesti bisa digunakan sebaik dan sebijak mungkin oleh penggunanya. Bukanlah sebuah kabar baru bahwa media sosial justru jadi sumber permasalahan stres hingga muncul bentuk kejahatan baru.

Barangkali hanya di media sosial bisa jadi “panggung” untuk setiap orang mengekspresikan diri. Sehingga apa yang tampak di sana kerap membuat cemburu secara tidak langsung atas apa yang dicapai orang lain. Tidak perlu terlalu jauh jika media sosial tidak pernah ada, tapi bisakah kita sebenarnya hidup bahagia tanpa media sosial?

Jika ada ungkapan yang tepat atas perilaku pengguna media sosial, inilah yang paling tepat :
Saat aku bermain media sosial, maka aku ada

Keberadaan media sosial (medsos) bukan hanya memberi esensi, medsos pada saat ini seakan menjadikan seseorang eksis di dunia ini. Ketika seseorang tidak aktif bermain medsos, maka bisa jadi seseorang dianggap tidak eksis. Justru dipertanyakan keberadaannya.

Disadari atau tidak, hal tersebut hanya akan membuat kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain, atau biasa disebut dengan social comparison

2 Likes