Istilah mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak, sedangkan penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah mudharabah atau qiradh, sehingga dalam perkembangan lebih lanjut mudharabah dan qiradh juga mengacu pada makna yang sama. Secara lughowi mudharabah berasal dari kata ad-dharb yang berarti memukul dan berjalan. Selain ad-dharb ada juga qiradh yang berarti pinjaman atau pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh laba.
Muhammad Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori Ke Praktek, menuliskan bahwa pengertian berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang dalam menjalankan usaha. Dari sini dapat dipahami bahwa mudharabah secara lughowi adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usahanya dengan berdagang untuk memperoleh laba.
Mudharabah adalah menyerahkan modal kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan.
Definisi mudharabah menurut Sayyid Sabiq adalah :
“Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada lainnya untuk diperdagangkan. Laba dibagi sesuai dengan kesepakatan”.
Adapun definisi mudharabah menurut Wahbah Az-Zuhaili adalah :
“Akad didalamnya pemilik modal memberikan modal (harta) pada ‘amil (pengelola) untuk mengelolanya, dan keuntungannya menjadi milik bersama sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Sedangkan, kerugiannya hanya menjadi tanggungan pemilik modal saja, ‘amil tidak menanggung kerugian apa pun kecuali usaha dan kerjanya saja”.
Sedangkan definisi mudharabah menurut fatwa DSN No. 07/DSN- MUI/IV/2000 adalah :
“Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha”.
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mudharabah yaitu akad yang dilakukan oleh shahibul mal dengan mudharib untuk usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Keuntungan yang dituangkan dalam kontrak ditentukan dalam bentuk nisbah. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib , maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Landasan Hukum Mudharabah
Para imam madzhab sepakat bahwa hukum mudharabah adalah boleh, walaupun di dalam Al-Qur’an tidak secara khusus menyebutkan tentang mudharabah dan lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat dan hadits sebagai berikut :
Al-Qur’an
Artinya : Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah (QS. Al-Muzammil : 20)
Dalam ayat di atas dasar dilakukannya akad mudharabah adalah kata “yadhribun” yang sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki makna melakukan suatu perjalanan usaha.
Artinya : Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu’ah : 10)
Artinya : Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu (QS. Al-Baqarah : 198)
Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudarabah , yang menjelaskan bahwa mudharib (pengelola) adalah orang berpergian di bumi untuk mencari karunia Allah.
Hadits
Diantara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib.
Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan mencampurkan gandum kualitas baik dengan gandum kualitas rendah untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual (HR Ibnu Majah)
Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya (HR. Ad-Darulquthni)
Pada hadits pertama mengandung tentang kebolehan mudharabah , seperti yang sudah di sabdakan oleh nabi, bahwa memberikan modal kepada orang lain termasuk salah satu perbuatan yang berkah, dan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darulquthni menjelaskan bahwa seorang shahibul mal boleh memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh mudharib.
Ijma’ dan Qiyas
Adapun ijma’ dalam mudharabah, adanya hadist riwayat yang menyatakan bahwa golongan dari para sahabat menggunakan harta anak yatim yaitu mudharabah, dan perbuatan tersebut tidak dilarang oleh sahabat lainnya.
Sedangkan Mudharabah diqiyaskan dengan al-musaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun), selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. sedangkan, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal, dengan demikian, adanya mudharabah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan manusia agar mereka saling bermanfaat.
Kaidah fikih
Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berdasarkan landasan hukum diatas dapat dipahami bahwa mudharabah disyariatkan oleh firman Allah, hadist, ijma’ dan qiyas dan diberlakukan pada masa Rasulullah saw dan beliau tidak melarangnya, karena manusia dapat saling bermanfaat untuk orang lain.
Referensi
- M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat ), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003
- Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek , Jakarta: Gema Insani, 2001
- Abdullah Al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004
- Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 4 , Jakarta : Darul Fath, 2004
- Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5 , Jakarta : Gema Insani, 2011
- Fatwa DSN Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
- Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
- Hafidz Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah Jilid 2 , Darul Fikri, 207-275 M
- Al Imam Al Hafizh Ali bin Umar, Sunan Ad-Daraquthni, Jakarta : Pustaka Azzam, 2008