Apakah yang dimaksud dengan Mudharabah dalam Islam?

Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata dharb , berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.

Dalam konteks praktisnya mudharabah adalah akad kerjasama bisnis antara dua pihak, yaitu pihak yang mengelola usaha/pemilik bisnis yang disebut sebagai mudharib dan pihak yang memiliki modal yang disebut sebagai shahibul maal. Dalam akad tersebut poin pentingnya adalah terletak di awal, yaitu kesepakatan atas nisbah bagi hasil.

Apakah yang dimaksud dengan mudhârabah dalam islam?

Mudhârabah dalam istilah fikih adalah perjanjian dimana seseorang sebagai pemilik modal memberikan modalnya kepada orang lain untuk dipakai berdagang (membuka usaha), dan keuntungan yang mereka peroleh akan dibagi dua.

Dengan ungkapan yang lebih jelas, mudhârabah diartikan sebagai akad (persetujuan) dan perjanjian di antara dua orang yang melakukan perjanjian (mun’aqid) dan perjanjian tersebut akan berlangsung dimana orang yang memiliki modal memberikannya kepada pihak kedua untuk dipakai (sebagai modal) dalam melakukan usaha dan transaksi. Adapun keuntungan yang diperoleh dari usaha dan transaksi itu akan dibagi di antara dua orang tersebut dengan jumlah yang telah disepakati, dan orang yang memiliki modal tersebut disebut sebagai mâlik (pemilik modal) dan yang melakukan transaksi dan usaha disebut sebagai ‘âmil (wakil atau agen).

Perlu untuk diingat bahwa sebagaimana agama suci Islam memperhatikan ibadah dan persoalan-persoalan yang menyangkut peribadatan, juga memperhatikan ekonomi dan nafkah penghidupan umatnya.

Jelas bahwa inti dari kebahagiaan individu dan masyarakat terletak pada ibadah dan penghambaan kepada-Nya yang menyeluruh dengan melalui pekerjaan dan kegiatan perekonomian. Inti dasar kehormatan dan kemuliaan (izzah) orang-orang Muslim terletak pada hubungan mereka dengan sang Khalik dan juga hubungan dengan sesama manusia, bahkan dalam kebersamaan tersebut hubungan perdagangan, perekonomian secara adil. Sudah sewajarnya ada ayat yang menyatakan:

“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan sholat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat).” (Qs. al-Nur [24]:37)

Atau pada ayat lainnya, Allah Swt berfirman:

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Qs. al-Jumuah’ [62]:10)

Dalam riwayat disebutkan bahwa barang siapa bangun untuk mencari karunia Allah dan memperoleh rizki halal, maka dia pasti akan memperoleh sedekah dari Allah Swt.

Jelas bahwa tujuan dari mudhârabah adalah mengembangkan perekonomian dan perputaran modal serta menghambat penurunan mata pencaharian, minimnya pekerjaan dan nilai pasar orang-orang Muslim. Tujuan dari mudhârabah adalah memanfaatkan tenaga kerja aktif dan potensial dan menghambat pengangguran serta memberdayakan orang-orang Muslim yang cakap dan trampil.

Tujuan dari mudhârabah adalah menghasilkan keuntungan dan penghasilan yang sesuai hukum Islam dan halal, jauh dari riba dan memakan harta yang haram (akl al-mal bil bathil).

Dalam perjanjian mudhârabah, kerugian ditanggung sang pemilik modal (malik), akan tetapi jika perjanjian tersebut menghasilkan keuntungan, maka akan menjadi pengganti kerugian dengan keuntungan tersebut, dan sebagaimana sang amil akan bertanggung jawab atas seluruh atau sebagian dari kerugian tersebut, sebagaimana mengikut dalil yang lebih jelas menegaskan akan keabsahan syarat mudhārabah.

Istilah mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak, sedangkan penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah mudharabah atau qiradh, sehingga dalam perkembangan lebih lanjut mudharabah dan qiradh juga mengacu pada makna yang sama. Secara lughowi mudharabah berasal dari kata ad-dharb yang berarti memukul dan berjalan. Selain ad-dharb ada juga qiradh yang berarti pinjaman atau pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh laba.

Muhammad Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori Ke Praktek, menuliskan bahwa pengertian berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang dalam menjalankan usaha. Dari sini dapat dipahami bahwa mudharabah secara lughowi adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usahanya dengan berdagang untuk memperoleh laba.

Mudharabah adalah menyerahkan modal kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan.

Definisi mudharabah menurut Sayyid Sabiq adalah :

“Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada lainnya untuk diperdagangkan. Laba dibagi sesuai dengan kesepakatan”.

Adapun definisi mudharabah menurut Wahbah Az-Zuhaili adalah :

“Akad didalamnya pemilik modal memberikan modal (harta) pada ‘amil (pengelola) untuk mengelolanya, dan keuntungannya menjadi milik bersama sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Sedangkan, kerugiannya hanya menjadi tanggungan pemilik modal saja, ‘amil tidak menanggung kerugian apa pun kecuali usaha dan kerjanya saja”.

Sedangkan definisi mudharabah menurut fatwa DSN No. 07/DSN- MUI/IV/2000 adalah :

“Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha”.

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mudharabah yaitu akad yang dilakukan oleh shahibul mal dengan mudharib untuk usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Keuntungan yang dituangkan dalam kontrak ditentukan dalam bentuk nisbah. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian itu bukan akibat kelalaian mudharib. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib , maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Landasan Hukum Mudharabah


Para imam madzhab sepakat bahwa hukum mudharabah adalah boleh, walaupun di dalam Al-Qur’an tidak secara khusus menyebutkan tentang mudharabah dan lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat dan hadits sebagai berikut :

Al-Qur’an

Artinya : Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah (QS. Al-Muzammil : 20)

Dalam ayat di atas dasar dilakukannya akad mudharabah adalah kata “yadhribun” yang sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki makna melakukan suatu perjalanan usaha.

Artinya : Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu’ah : 10)

Artinya : Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu (QS. Al-Baqarah : 198)

Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudarabah , yang menjelaskan bahwa mudharib (pengelola) adalah orang berpergian di bumi untuk mencari karunia Allah.

Hadits

Diantara hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib.

Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain), dan mencampurkan gandum kualitas baik dengan gandum kualitas rendah untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual (HR Ibnu Majah)

Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya (HR. Ad-Darulquthni)

Pada hadits pertama mengandung tentang kebolehan mudharabah , seperti yang sudah di sabdakan oleh nabi, bahwa memberikan modal kepada orang lain termasuk salah satu perbuatan yang berkah, dan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darulquthni menjelaskan bahwa seorang shahibul mal boleh memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh mudharib.

Ijma’ dan Qiyas

Adapun ijma’ dalam mudharabah, adanya hadist riwayat yang menyatakan bahwa golongan dari para sahabat menggunakan harta anak yatim yaitu mudharabah, dan perbuatan tersebut tidak dilarang oleh sahabat lainnya.

Sedangkan Mudharabah diqiyaskan dengan al-musaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun), selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. sedangkan, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal, dengan demikian, adanya mudharabah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan manusia agar mereka saling bermanfaat.

Kaidah fikih

Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Berdasarkan landasan hukum diatas dapat dipahami bahwa mudharabah disyariatkan oleh firman Allah, hadist, ijma’ dan qiyas dan diberlakukan pada masa Rasulullah saw dan beliau tidak melarangnya, karena manusia dapat saling bermanfaat untuk orang lain.

Referensi
  • M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat ), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003
  • Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek , Jakarta: Gema Insani, 2001
  • Abdullah Al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004
  • Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 4 , Jakarta : Darul Fath, 2004
  • Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5 , Jakarta : Gema Insani, 2011
  • Fatwa DSN Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
  • Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
  • Hafidz Abi Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah Jilid 2 , Darul Fikri, 207-275 M
  • Al Imam Al Hafizh Ali bin Umar, Sunan Ad-Daraquthni, Jakarta : Pustaka Azzam, 2008

Mudharabah adalah salah satu bentuk kerja sama dalam menggerakkan antara pemilik modal dan seseorang adalah bagi hasil, yang dilandasi oleh rasa tolong menolong. Sebab ada orang yang mempunyai modal, tetapi tidak mempunyai keahlian dalam menjalankan roda perusahaan. Ada juga orang yang mempunyai modal dan keahlian, tetapi tidak mempunyai waktu. Sebaliknya ada orang yang mempunyai keahlian dan waktu, tetapi tidak mempunyai modal. Dengan demikian, apabila ada kerja sama dalam menggerakkan roda perekonomian, maka kedua belah pihak akan mendapatkan keuntungan modal dan skill (keahlian) dipadukan menjadi satu.

Mudharabah berasal dari kata ضرب yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Ulama Mazhab Hanafi memberikan definisi bahwa mudharabah merupakan akad perjanjian untuk bersama-sama dalam membagi keuntungan dengan lantaran modal dari satu pihak dan pekerjaan dari pihak lain. Ulama Mazhab Maliki menerangkan bahwa mudharabah atau qiradh menurut syara‟ ialah akad perjanjian mewakilkan dari pihak pemilik modal kepada lainnya untuk meniagakannya secara khusus pada emas dan perak yang telah dicetak dengan cetakan yang sah untuk tukar menukar kebutuhan hidup.

Menurut Sayyid Sabiq, dalam bukunya yang berjudul “Fiqh alSunnah”, menjelaskan bahwa mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan dan keuntungannya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan.

Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam bukunya yang berjudul “Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah”, menjelaskan bahwa mudharabah adalah akad antara dua orang yang berisi kesepakatan bahwa salah seorang dari mereka akan memberikan modal usaha produktif dan keuntungan usaha itu diberikan sebagian kepada pemilik modal dalam jumlah tertentu dengan kesepakatan yang sudah disetujui bersama.

Rukun dan Syarat Mudharabah


Dalam hal ini ketentuan-ketentuan tersebut dibahas dalam rukun dan syarat mudharabah. Adapun rukun dan syarat mudharabah adalah sebagai berikut:

  • Pelaku (Pemilik Modal dan Pelaksana Usaha);
    Dalam akad mudharabah, minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Pelaku dalam akad mudharabah harus cakap hukum.

  • Objek Mudharabah (Modal dan Kerja);
    Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan dapat berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.

  • Persetujuan Kedua Belah Pihak (Ijab Qabul);
    Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu: pertama, Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki; kedua, Tawafud, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul; ketiga, Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.25 Persetujuan kedua belah merupakan konsekuensi dari prinsip an-taradhin minkum (sama-sama rela). Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana. Sedangkan pelaksana usaha setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.

  • Nisbah Keuntungan
    Nisbah keuntungan merupakan rukun yang khas dalam akad mudharabah. nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang ber-mudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul maal berhak mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.26 Salah satu segi penting dalam mudharabah adalah pembagian keuntungan diantara dua pihak harus secara proporsional dan tidak dapat memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti kepada pemilik modal (shahibul maal) (Mervyn K. Lewis dan Lativa M. Algaoud, 2004).

Macam-macam Mudharabah dan Aplikasinya


Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak yaitu shahibul maal tidak menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada mudharib. Namun, dalam praktik perbankan syariah modern, terdapat dua kewenangan yang diberikan oleh pihak pemilik dana dalam mengaplikasikan akad mudharabah, yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account atau URIA) dan mudharabah muqayyadah (Restricted Investment Account atau RIA).

  • Mudharabah Mutlaqah (Unrestricted Investment Account atau URIA)
    Mudharabah mutlaqah (investasi tidak terikat) yaitu pihak pengusaha diberi kuasa penuh untuk menjalankan proyek tanpa larangan atau gangguan apapun urusan yang berkaitan dengan proyek itu dan tidak terkait dengan waktu, tempat, jenis, perusahaan dan pelanggan. Investasi tidak terkait ini pada Bank Syari‟ah diaplikasikan pada produk tabungan dan deposito. Dari penerapan mudharabah muthlaqah ini dikembangkan produk tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis produk penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Adapun ketentuan umum dalam produk ini adalah sebagai berikut:

    • Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.

    • Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan (bilyet) deposito kepada deposan.

    • Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenakan mengalami saldo negatif.

    • Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.

    • Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari‟ah.

  • Mudharabah Muqayyadah (Restricted Investment Account atau RIA)
    Jenis mudharabah Muqayyadah ini dibedakan menjadi dua yaitu:

    • Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet. Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu

    • Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet. Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet merupakan jenis mudharabah yang penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, bank bertindak sebagai perantara

Mudharabah berasal dari kata ضرب yang berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini maksudnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.

Secara terminologis, pengertian mudharabah adalah sebagai berikut: Ulama‟ fiqih memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang mudharabah. Ulama‟ Mazhab Hanafi memberikan definisi bahwa mudharabah merupakan akad perjanjian untuk bersama-sama dalam membagi keuntungan dengan lantaran modal dari satu pihak dan pekerjaan dari pihak lain.

Ulama‟ Mazhab Maliki menerangkan bahwa mudharabah atau qiradh menurut syara‟ ialah akad perjanjian mewakilkan dari pihak pemilik modal kepada lainnya untuk meniagakannya secara khusus pada emas dan perak yang telah dicetak dengan cetakan yang sah untuk tukar menukar kebutuhan hidup.

Pemilik modal secara segera memberikan kepada pihak penerima sejumlah modal yang ia kehendaki untuk diniagakan. Ulama‟ Mazhab Hambali menjelaskan bahwa mudharabah atau kerjasama perniagaan adalah suatu pernyataan tentang pemilik modal menyerahkan sejumlah modal tertentu dari hartanya kepada orang yang meniagakannya dengan imbalan bagian tertentu dari keuntungannya.

Dan Ulama‟ Mazhab Syafi‟i menerangkan bahwa mudharabah atau qiradh ialah suatu perjanjian kerjasama yang menghendaki agar seseorang menyerahkan modal kepada orang lain agar ia melakukan niaga dengannya dan masing-masing pihak akan memperoleh keuntungan dengan beberapa persyaratan yang ditentukan.

Menurut Sayyid Sabiq, dalam bukunya yang berjudul “Fiqh alSunnah”, menjelaskan bahwa mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk diperdagangkan dan keuntungannya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan.

Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam bukunya yang berjudul “Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah”, menjelaskan bahwa mudharabah adalah akad antara dua orang yang berisi kesepakatan bahwa salah seorang dari mereka akan memberikan modal usaha produktif dan keuntungan usaha itu diberikan sebagian kepada pemilik modal dalam jumlah tertentu dengan kesepakatan yang sudah disetujui bersama.

Menurut The New Encyclopedia of Islam: Mudarabah is a business partnership where one partner puts up the capital and the other puts up the labour.

Mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak yang satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan seluruh modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yaitu pengelola usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola usaha.

Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat Muslim sejak zaman Nabi, ketika itu Nabi melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam, praktek mudharabah dibolehkan, baik menurut al-Qur‟an, Sunnah maupun Ijma‟.

Rukun dan Syarat Mudharabah


Untuk menjamin kebaikan dan kemaslahatan antara para pihak yang berakad maka kedua belah pihak harus memperhatikan ketentuanketentuan yang berlaku. Dengan adanya ketentuan yang berlaku diharapakan antara pihak yang berakad dapat memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Dalam hal ini ketentuan-ketentuan tersebut dibahas dalam rukun dan syarat mudharabah. Adapun rukun dan syarat mudharabah adalah sebagai berikut:

  1. Pelaku (Pemilik Modal dan Pelaksana Usaha); Dalam akad mudharabah, minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Pelaku dalam akad mudharabah harus cakap hukum.

  2. Objek Mudharabah (Modal dan Kerja); Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan dapat berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.

    Para fuqaha telah sepakat bahwa tidak boleh mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apapun. Ulama‟ Syafi‟i dan Maliki melarang hal itu, karena merusak akad. Para fuqaha juga tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Modal harus berbentuk uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal mudharabah. Namun, para ulama‟ mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul maal.

  3. Persetujuan Kedua Belah Pihak (Ijab Qabul); Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu: pertama, Jala’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki; kedua, Tawafud, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul; ketiga, Jazmul Iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.

    Persetujuan kedua belah merupakan konsekuensi dari prinsip an-taradhin minkum (sama-sama rela). Kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana. Sedangkan pelaksana usaha setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.

  4. Nisbah Keuntungan; Nisbah keuntungan merupakan rukun yang khas dalam akad mudharabah. nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang ber-mudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul maal berhak mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

    Salah satu segi penting dalam mudharabah adalah pembagian keuntungan diantara dua pihak harus secara proporsional dan tidak dapat memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti kepada pemilik modal (shahibul maal).