Apakah terdapat paradoks didalam teori Resource Based View?

Resource Based View

Paradoks merupakan kalimat yang disatu sisi mengandung kebohongan dan disisi lain mengandung kebenaran. Paradoks tidak selamanya buruk, karena dengan pemahaman paradoks malah dapat menumbuhkan kreativitas.

Teori Resource Based View telah mambangkitkan banyak minat di antara para peneliti dalam manajemen strategis dan dalam bidang terkait, seperti manajemen sumber daya manusia, manajemen operasi, pemasaran dan sistem informasi manajemen.

Sinergi antar para peneliti timbul antara lain karena adanya integrasi antara wawasan RBV dengan ide-ide yang berasal dari ekonomi organisasi, teori pelembagaan teori ekologi populasi (Oliver, 1997), dan teori pembelajaran organisasi (Lei, Hitt, & Bettis, 1996).

Para kritikus memandang logika RBV sebagai paradoks, dipenuhi dengan kontradiksi dan ambiguitas.

Logika RBV telah menghasilkan implikasi yang tampaknya tidak sesuai untuk penelitan dan praktik manajerial (Priem & Butler, 2001). Misalnya, logika RBV menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengukur sumber daya mempunyai arti bahwa sumber daya tersebut kurang sesuai untuk dijadikan sebagai sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Logika ini menunjukkan bahwa tidak mungkin ada “rules for riches”, namun RBV dapat digunakan untuk menghasilkan “resep” oleh manajer mengenai bagaimana perusahaan dapat mencapai keuntungan strategis melalui penyebaran sumber daya mereka.

Selain itu, adanya Causal ambiguity membuat manajer mempunyai keterbatasan dalam kemampuan mereka untuk memahami sumber-sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

“Variabel yang paling menarik secara teoritis adalah variabel yang paling tidak dapat diidentifikasi dan diukur” (Spender & Grant, 1996: 8). Jika suatu sumber daya tidak dapat diobservasi, ia tidak dapat dengan mudah ditiru dan, dengan demikian, membentuk dasar keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Barney, 1991; Reed & DeFillippi, 1990). Namun jika sumber daya tidak dapat diamati, tidak dapat diukur secara akurat dan diverifikasi secara empiris (Godfrey & Hill, 1995); maka kemampuannya untuk menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan akan selalu diperdebatkan.

Selain tak dapat ditiru, Priem dan Butler (2001) mempertanyakan nilai teoretis RBV, terutama gagasan Barney (1991) bahwa sumber daya harus bernilai, langka, dan tidak dapat diganti untuk menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Berdasarkan pada ide Popper (1959) tentang falsifikasi, mereka berpendapat bahwa proposisi RBV ini adalah tautologis — yaitu, mereka benar berdasarkan definisi dan tidak dapat dikenai pengujian empiris.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa RBV dapat tergelincir kepada “kemunduran tak terbatas” (Collis, 1994). Logika RBV dapat mengarah pada pencarian yang tidak ada habisnya dan sia-sia terhadap stok sumber daya dan kapabilitas yang menghasilkan keunggulan kompetitif berkelanjutan.

Sebagai contoh, ketika pembelajaran organisasi diidentifikasi sebagai “kompetensi inti” (Lei et al., 1996; Prahalad & Hamel, 1990), maka hal itu dapat memicu proses “belajar tentang mempelajari cara belajar” yang tidak akan pernah berakhir (Collis, 1994) ).

Masalah kemunduran tak terbatas ini dapat merusak kegunaan teoritis RBV dalam menjelaskan dan memprediksi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Teka-teki ini mencerminkan paradoks epistemologi RBV, sehingga berdasarkan ide-ide Lakatos (1978), terdapat peran teka-teki dalam memajukan pengetahuan RBV, yaitu :

  • Pertama, sejauh falsifikasi digunakan untuk menilai klaim pengetahuan, sophisticated falsifikasi (bukan naive) mungkin cocok digunakan untuk menilai RBV sebagai sistem yang terdiri dari beberapa teori dimana teori-teori tersebut saling bergantung.

    RBV telah mengalami proliferasi (perkembangan) mazhab pemikiran, bergantung pada serangkaian asumsi teoretis, alat analitis serta kahzanah yang berbeda didalam mengungkap fenomena didalam manajemen strategis.

    Proliferasi semacam itu mencerminkan persaingan yang sehat di antara pengetahuan RBV, kami menganggapnya sebagai tanda kemajuan teoretis.

  • Kedua, hard core dari penelitian RBV tampaknya telah muncul. Para peneliti yang bekerja dalam RBV telah menggunakan konstruksi yang tampaknya paradoks (seperti ambiguitas sebab akibat) dan tautologi yang jelas dalam RBV untuk memperluas cakupan program penelitian di bidang ini.

    Konsep seperti tacitness, specificity, dan path dependence (Dierickx & Cool, 1989; Reed & DeFillippi, 1990; Schoemaker, 1990; Teece et al., 1997) telah menjadi bahan pokok dalam konteks berteori RBV.

  • Ketiga, Lakatos (1976) menunjukkan bagaimana sebuah sistem teoretis berkembang dari kebenaran atau tautologi yang terbukti dengan sendirinya dapat berkembang dengan menetapkan asumsi baru, hipotesis tambahan, dan / atau batas penerapan yang kontekstual, atau dengan memperkenalkan persyaratan baru atau mendefinisikan kembali persyaratan yang lama.

Para peneliti yang menggunakan paradoks mungkin menggunakan sudut pandang “logika digunakan (logic in use)” (Kaplan, 1964), yang mengakui indeterminacy dan open-endedness dari konstruksi manajemen strategis sebagai keutamaan sebuah teoritis (mis., Bobko, 1985). Logika semacam itu mendorong para peneliti untuk menyelidiki fenomena RBV sebagai proses dialektik dibandingkan proses penginderaan (Weick, 1995).

Dalam pandangan ini, konsep-konsep teoretis diperkenalkan, dimodifikasi, dan diubah seiring berjalannya waktu ketika para peneliti dan praktisi memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru tentang bagaimana perusahaan menghasilkan kinerja yang unggul.

Paradoks “pembelajaran organisasi” memberikan contoh bagaimana gagasan “logic in use” mendorong pemahaman yang lebih rumit tentang dinamika pengembangan pengetahuan dalam mencapai keunggulan strategis (Leonard-Barton, 1992). Dikonseptualisasikan sebagai “single-loop learning” (Argyris & Schon, 1978), pembelajaran organisasi dapat meningkatkan efisiensi, memungkinkan eksploitasi kompetensi organisasi untuk mencapai keunggulan kompetitif (misalnya, Fiol & Lyles, 1985; Lei et al., 1996; March, 1991).

Meskipun “single-loop learning” dapat meningkatkan adaptasi organisasi, hal itu dapat mengancam kemampuan beradaptasi, menjadi “rigidity trap” (Levitt & March, 1988) dan menjadi sumber kelemahan kompetitif ketika lingkungan organisasi berubah secara drastis (Leonard-Barton, 1992).

Sebaliknya, apabila pembelajaran organisasi dipandang sebagai “double-loop learning” (Argyris & Schon, 1978), pembelajaran organisasi dapat membuat perusahaan menjadi inovatif dan memungkinkan untuk melakukan eksplorasi kompetensi organisasi. Namun “double-loop learning” dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi tetapi mengancam adaptasi (Weick, 1979), membuat penggunaan sumber daya organisasi yang langka menjadi tidak efisiensi .

Ordinary-language paradoxes


Ordinary-language paradoxes didalam RBV :

  • Causal ambiguity,
  • Imitation/innovation,
  • “Rules for riches.”

Causal ambiguity paradox.

Keberlanjutan keunggulan kompetitif dapat ditingkatkan ketika sumber daya dan kapabilitas perusahaan “buram” atau tidak jelas dimana tidak seorang pun (termasuk manajer atau karyawan perusahaan fokus) dapat memahami atribut peningkatan nilai mereka.

Di sisi lain, opacity dari sumber daya dan kesulitan dalam menguraikan hubungan sebab-akibat dapat membuat perusahaan gagal untuk mendapatkan keuntungan strategis (Szulanski, 1996).

Paradoks : Ambiguitas kausal memungkinkan terjadinya keberlanjutan keunggulan strategis tetapi disaat yang sama juga dapat menggagalkan keberlanjutan keunggulan strategis.

Para peneliti telah berusaha untuk “menyelesaikan” paradoks ambiguitas sebab akibat dengan mengklarifikasi asumsi tentang waktu atau tingkat analisis. Sebagai contoh, Mosakowski (1997) telah mengidentifikasi empat “jenis” ambiguitas kausal, berdasarkan apakah struktur kausal dari keputusan strategis dapat dipastikan sebelum atau setelah fakta implementasi.

Secara empiris, King dan Zeithaml (2001) mengklaim telah menyelesaikan paradoks ambiguitas sebab akibat dengan mengidentifikasi dan memisahkan dua dimensi:

  • ambiguitas karakteristik — sejauh mana manajer memahami atribut sumber daya spesifik untuk kinerja perusahaan yang unggul, dan

  • ambiguitas keterkaitan — sejauh mana manajer memahami struktur sebab akibat yang menghubungkan sumber daya dengan kinerja perusahaan yang unggul.

Penelitian mereka menunjukkan bahwa ambiguitas keterkaitan, dibandingkan dengan ambiguitas karakteristik, secara positif terkait dengan kinerja perusahaan yang unggul.
Ambiguitas kausal dipandang sebagai ketidakpastian relatif - sebuah situasi yang ditandai dengan kurangnya pengetahuan yang lengkap.

Daft dan Lengel berpendapat bahwa ambiguitas juga muncul dalam situasi equivocality (terbuka untuk dua atau lebih interpretasi dan sering dimaksudkan untuk menyembunyikan kebenaran), mengacu pada konteks keputusan dengan adanya “interpretasi ganda dan saling bertentangan”(1986).

Equivocality mencerminkan kurangnya kejelasan informasi, bukan karena kurangnya informasi.

Pengambilan keputusan di bawah situasi equivocality serupa dengan model “garbage can” (Cohen, March, & Olsen, 1972), di mana para partisipan mungkin tidak tahu pertanyaan apa yang harus diajukan dan mungkin akan menghasilkan “solusi” bahkan ketika "masalah"nya tidak segera terbukti.

Situasi ketidakpastian dapat diselesaikan dengan memperoleh informasi yang lebih lengkap dan obyektif, situasi equivocality hanya dapat diselesaikan melalui pertukaran informasi yang ada dan dengan diberlakukannya interpretasi dan pemahaman bersama (Daft & Weick, 1984; Weick, 1979). Konseptualisasi ambiguitas sebab akibat sebagai situasi yang ditandai dengan kurangnya pengetahuan objektif hanya akan memberikan penjelasan parsial.

Daripada mencari determinasi kausal melalui pengukuran yang presisi, peneliti dan manajer mungkin dapat melakukannya dengan cara mengeksplorasi ambiguitas secara strategis (Burke, 1969; Eisenberg, 1985). Sebagai contoh, dengan mengambil perspektif berbasis proses, Eisenberg (1985) menunjukkan bagaimana manajer dapat menggunakan ambiguitas secara diskursif untuk mempromosikan keragaman yang terpadu, memfasilitasi perubahan organisasi, dan memperkuat atribusi yang ada dari para aktor terkait hubungan sebab-akibat.

Burke (1969) berpendapat bahwa mengelola (manage) dalam konteks equivocal memerlukan penyebaran “resources of ambiguity,” mengacu pada penggunaan kiasan linguistik, seperti metafora, analogi, perumpamaan, dan skrip yang menyampaikan deskripsi ringkas dari fenomena sosial dimana memungkinkan terjadinya interpretasi dan pemahaman kolektif (Weick, 1989).

Paradox of imitation/innovation

Premis utama para peneliti strategi adalah bahwa inovasi perusahaan harus dilindungi dari imitasi, karena imitasi mengancam keberlanjutan keunggulan kompetitif (Porter, 1980; Rumelt, 1984, 1987).

Hambatan untuk meniru sumber daya perusahaan dapat menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan antara lain ; kondisi sejarah yang unik, dependensi jalur, kompleksitas sosial, dan ambiguitas sebab akibat (Barney, 1991; Reed & DeFillippi, 1990),

Akan tetapi, para peneliti lain memandang peniruan sebagai “handmaiden” (sesuatu, seperti ide, yang membantu dan mendukung sesuatu yang lain) inovasi (Haunschild & Miner, 1997); Didalam sistem kapitalis, keduanya cenderung berjalan bersama (Schumpeter, 1934).

Imitasi dapat memvalidasi suatu inovasi (misalnya, Rogers, 1995), meningkatkan legitimasi inovator di pasar (DiMaggio & Powell, 1983; Tolbert & Zucker, 1983), dan memungkinkan adopsi dan penggunaan inovasi dalam masyarakat secara lebih luas (Farrell & Saloner , 1985; Rogers, 1995).

Sebaliknya, hambatan untuk meniru dapat menimbulkan substitusi kompetensi, di mana pesaing membuat dan menggunakan sumber daya dan kemampuan alternatif untuk mencapai keunggulan strategis, sehingga menghindarkan kebutuhan untuk meniru (McEvily et al., 2000).

Apakah imitasi menghilangkan manfaat yang timbul karena kecerdikan perusahaan, atau apakah imitasi meningkatkan inovasi dengan mendorong sumber daya pelengkap?

Dalam RBV, salah satu pandangannya berpendapat bahwa hal yang tak dapat ditiru adalah elemen penting dari keunggulan kompetitif berkelanjutan, namun hambatan untuk meniru dapat memunculkan inovasi yang kemudian mengikis keunggulan kompetitif yang disebabkan oleh kompetensi khas perusahaan.

Menyadari paradoks ini, Conner (1995) telah mengidentifikasi kondisi di mana inovator mungkin ingin mendorong imitasi melalui pengembangan “clones” produknya. Situasi seperti itu mungkin ada ketika “suatu industri dicirikan oleh eksternalitas jaringan positifnya, yaitu, ketika konsumen lebih menghargai suatu produk, maka semakin banyak konsumen lain menggunakannya” (Conner, 1995).

McEvily et al. (2000) membahas cara untuk menghindari atau menunda penggantian kompetensi adalah melalui berbagi pengetahuan. Mereka menyarankan bahwa, dalam kondisi tertentu, “pengetahuan eksplisit mungkin lebih berharga jika dipublikasikan, di mana hal itu dapat mempengaruhi harapan dan perilaku pesaing, pelanggan, dan pemasok perusahaan” (2000).

Dengan demikian, ketika eksternalitas jaringan positif hadir, pesaing mungkin ingin menghindari persaingan teknologi melalui penggunaan komponen produk yang umum, tetapi menggunakan model bisnis yang unik.

Pandangan imitasi dan inovasi sebagai pelengkap dapat menghasilkan pemahaman yang lebih luas tentang penciptaan nilai. Imitasi dapat memacu inovasi dan mendorong pengembangan dan penggunaan pengetahuan. Late movers dapat memperoleh keuntungan strategis dari first movers melalui adopsi dan penggunaan inovasi teknologi perintis (Shankar, Carpenter, & Krishnamurthi, 1998).

First movers yang menggabungkan perbaikan produk baru yang berasal dari imitasi kompetitif (Lieberman & Montgomery, 1998) dan terus memperbarui dan meningkatkan kompetensi inti mereka (Eisenhardt & Martin, 2000) dapat menikmati keunggulan kompetitif yang tahan lama dari inovasi awal.

Paradoks imitasi / inovasi menunjukkan bahwa ketika suatu perusahaan berusaha menghindari peniruan dengan mendirikan penghalang, itu mungkin sebenarnya mendorong perusahaan pesaing melakukan yang dapat menggantikan inovasi asli, sehingga mendorong perusahaan pesaing untuk mengembangkan inovasi baru untuk mendapatkan kembali keunggulan kompetitifnya.

Tekanan kompetitif akan mendorong pencarian cara untuk meningkatkan kinerja, menghasilkan pembelajaran organisasi yang mendorong pengembangan dan penggunaan pengetahuan yang lebih besar, sehingga mengarah ke posisi kompetitif yang lebih kuat bagi perusahaan.

Keberhasilan ini memicu perusahaan pesaing untuk menduplikasi sumber kesuksesan perusahaan, “membuat mereka menjadi pesaing yang lebih kuat, dan dengan demikian lagi memicu pembelajaran dalam organisasi pertama” (Barnett & Hansen, 1996: 139).

Rules for riches paradox.


Kritik terhadap RBV adalah teori ini menawarkan sedikit panduan praktis tentang bagaimana manajer harus membangun dan mempertahankan keunggulan strategis (Priem & Butler, 2001).
Pendukung RBV tidak setuju, RBV dimana dapat menunjukkan sejumlah cara agar manajer dapat menggunakan wawasan RBV untuk mencapai keunggulan kompetitif atau menetralisir kerugian kompetitif. Tetapi mereka umumnya setuju bahwa sekumpulan casual ambiguitas menentukan batasan pada penerapan praktis RBV untuk menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Barney, 2001).

Aturan untuk paradoks “kekayaan” menggarisbawahi ketegangan diantara teori deskriptif dan preskriptif dalam RBV.

Sebagai cendekiawan organisasi yang hidup di dua dunia — yang “menuntut dan menghargai kepatuhan terhadap standar penelitian yang ketat” dan lainnnya “menuntut dan menghargai spekulasi tentang cara meningkatkan kinerja [perusahaan]” (March & Sutton, 1997)

Oleh karena itu, para peneliti RBV harus menjaga keseimbangan tuntutan antara komunitas penelitian dan komunitas praktik yang saling bertentangan.

Seorang eksekutif yang memiliki misi untuk mendapatkan dan mempertahankan keunggulan strategis tidak mungkin mencari petunjuk dalam jurnal akademik (atau bahkan buku bisnis populer yang ditulis oleh para akademisi); dia akan mengerti bahwa jika ada aturan untuk mencapai “kekayaan”, orang lain juga dapat menggunakannya secara sama untuk mendapatkan keuntungan strategis, dan, dalam jangka panjang, tidak ada yang lebih baik (Barney, 2001a).

Eksekutif lebih cenderung mencari pengecualian terhadap aturan kekayaan (atau memberlakukan aturannya sendiri) yang berpotensi menghasilkan keuntungan strategis yang lebih besar, daripada sekadar mengikuti atau mengadopsi aturan yang ada untuk kekayaan (Brandenburger & Nalebuff, 1995).

Dalam konteks ini, Farson (1996) mengemukakan bahwa sekali seorang manajer menemukan teknik manajerial yang dapat “berfungsi”, ia harus meninggalkannya.

Astley dan Zammuto (1992) mengemukakan bahwa peneliti organisasi lebih seperti “dukun” daripada seorang “insinyur,” yang dilengkapi dengan teknik untuk meningkatkan daya saing perusahaan.

Mengutip Andreski (1972), mereka mencatat bahwa peneliti organisasi,

“…hanya memiliki pengetahuan yang sangat bersifat perkiraan dan tentatif, sebagian besar berjenis “rule-of-thumb”, namun mampu memberikan banyak pengaruh melalui ucapannya … mirip seperti dukun yang berbicara dengan maksud untuk melihat efek kata-katanya daripada mengatakan kebenaran faktual mereka; dan kemudian menciptakan dongeng untuk mendukung apa yang dia katakan, dan untuk membenarkan posisinya di masyarakat (Astley & Zammuto, 1992).

Para teoritis RBV dapat bekerja secara kooperatif dengan para praktisi dan bersama-sama memberlakukan pemahaman baru tentang bagaimana keuntungan strategis diperoleh atau hilang. Ketika seorang ahli teori dan praktisi strategi menunjukkan keinginan yang tulus untuk belajar, mereka dapat memperoleh pemahaman yang lebih besar (Argyris & Schon, 1978).

Sebagai contoh, Rouse dan Daellenbach (1999) mencatat bagaimana pemahaman tentang fenomena RBV dapat ditingkatkan ketika peneliti dan aktor organisasi terlibat dalam dialog.
Mereka menggambarkan bagaimana perusahaan pemasok linen di Inggris hampir “mengalihdayakan” apa yang ternyata menjadi sumber keunggulan strategis perusahaan yang paling penting — hubungan antara perusahaan (melalui drivernya) dan pelanggannya.
Pemahaman ini muncul secara kebetulan melalui percakapan antara seorang konsultan yang disewa oleh manajemen puncak perusahaan dan seorang sopir truk, yang diduga kurang pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif.
Dimasukkannya semua pihak ke dalam percakapan menghasilkan pemahaman yang lebih besar terkait masalah persaingan perusahaan ini.

Rhetorical Paradoxes in the RBV


Dari perspektif retoris, ilmu yang baik adalah percakapan yang baik (Mahoney, 1993; McCloskey, 1985), yang dimulai dengan persuasi diri dan berakhir dengan persuasi orang lain (Gross, 1990).

Persuasi diri melibatkan, antara lain, mempertanyakan nilai-nilai dan anggapan mendasar yang mendorong teori kita, dengan tujuan membuka wacana.

Schulze (1994) membedakan dua perspektif dalam RBV, yaitu :

  • Perspektif pertama, para peneliti mengasumsikan keadaan setimbang dan fokus pada bagaimana perusahaan memperoleh dan mempertahankan keunggulan kompetitif menggunakan sumber daya mereka yang unik, berharga, dan sulit ditiru (Barney, 1991; Wernerfelt, 1984).

  • Perspektif kedua mengasumsikan proses yang dinamis dan fokus pada bagaimana stok aset diakumulasikan, dimobilisasi, dan dikembangkan seiring waktu untuk menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Dierickx & Cool, 1989; Teece et al., 1997).

Conflicts among RBV schools of thought


Meskipun beberapa proposisi dari teori-teori ini mungkin kontradiktif dan bahkan paradoks ketika dilihat bersama, para peneliti cenderung menghindari konflik atau konfrontasi mengenai perbedaan-perbedaan ini.

Di satu sisi, keragaman perspektif ini mencerminkan kekuatan dan ketahanan logika RBV. Di sisi lain, kecenderungan untuk menghindari konflik pada akhirnya mungkin menghasilkan "versi khusus dari teori [berbasis sumber daya] yang menghambat pengakuan hubungan dan menghasilkan kecaman di antara para pendukung horn of the dilemma (harus memilih antara dua hal, yang keduanya tidak menyenangkan atau sulit)‘yang benar’ "(Poole & Van de Ven, 1989).

Logika inti dari teori berbasis sumber daya berakar pada ortodoksi ekonomi yang cenderung mengistimewakan institusi “pasar” dan “hierarki” sebagai mekanisme dalam memerintah yang efektif (Williamson, 1985). Seperti yang dicatat oleh Shrivastava (1986), manajemen strategis berisiko menjadi ideologis apabila :

  • ketika ia menggambarkan sebagian kepentingan sebagai hal yang universal,

  • ketika ia mengidealkan tujuan-tujuan yang tersekat (seperti maksimalisasi kekayaan pemegang saham),

  • ketika ia menganut status quo (yaitu, keseimbangan) sebagai kondisi yang alamiah dan yang diinginkan,

  • ketika hal itu membantah kontradiksi dan konflik.

The performance paradox


Perspektif retorika juga mendorong kita untuk terus mempertanyakan asumsi kita tentang apa yang kita ketahui tentang kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan atau keunggulan kompetitif adalah konstruksi “licin” untuk dioperasionalkan dan diukur. Meyer dan Gupta mencatat bahwa, seiring berjalannya waktu, ukuran kinerja cenderung “menurun atau kehilangan kapasitas mereka untuk membedakan yang baik dari kinerja yang buruk, [dan] memicu penciptaan berkelanjutan dari langkah-langkah baru yang berbeda dari dan, oleh karena itu, berkorelasi lemah dengan langkah-langkah yang ada” (1995).

Perspektif paradoks juga memungkinkan kita untuk mengeksplorasi ketegangan antara pengetahuan tentang kinerja organisasi dan struktur kekuasaan yang melegitimasi dan “menormalkan” pengetahuan semacam itu.

“Kekuatan mereka yang memegang kendali menghasilkan pengetahuan tentang cara bertindak, dan mendapatkan pengetahuan tentang ‘bertindak normal’ mereproduksi struktur kekuatan” (Bradbury dan Lichenstein, 2000).

Peneliti yang menggunakan RBV harus menyadari peran mereka dalam reproduksi struktur kekuasaan yang mempromosikan dan mempertahankan sebagian kepentingan dari pemangku kepentingan terpilih (mis., Manajer dan pemegang saham).

Dengan melihat organisasi sebagai arena untuk “organized dissonance” (Ashcraft, 2001), atau sebagai “ruang sosial yang dirusak oleh anggota dalam arah yang bertentangan” oleh pemilik sumber daya dengan kepentingan dan nilai yang bersaing (Bouchikhi, 1998), peneliti RBV dapat lebih hati-hati dalam menyelidiki proses dialektik yang terkait dengan penciptaan nilai, penghancuran, dan apropriasi di antara para pemangku kepentingan perusahaan (Moran & Ghoshal, 1999).

Ringkasan

Lado, A.A., Boyd, N.G., Wright, P., and Kroll, M. (2006). Paradox and theorizing within the resource-based view. Academy of Management Review, 31(1), 115-131