Tuberkulosis (Tuberculosis) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacteri yang merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian di sebagaian besar Negara di seluruh dunia.
Agent tuberculosis sangat banyak antara lain M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis dan M. leprae. Infeksi awal biasanya tanpa gejala, tes tuberculin akan menunjukkan hasil positif pada 2 – 10 minggu kemudian. Sekitar 90 -95% orang yang mengalami infeksi awal, akan memasuki masa laten dengan risiko terjadi reaktivasi seumur hidup.
Infeksi Tuberkulosis dapat juga menyerang organ-organ lain dalam tubuh manusia, seperti kelenjar limfe, pleura, perikadium, ginjal, tulang dan sendi, laring, telinga bagian tengah, kulit, usus, peritoneum dan mata. Penderita Tuberkulosis progresif jika tidak diobati dengan benar akan meninggal dalam waktu 5 tahun, rata-rata dalam waktu 18 bulan. Status klinis ditentukan dengan ditemukannya basil Tuberkulosis dalam sputum atau gambaran thorax sebagai tanda adanya infiltrasi pada paru, kavitasi dan fibrosis. (Kandun, 2006)
Gambar. Bakteri Mycobacterium.
Bakteri Mycobacterium berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron tebal 0,3 – 0,6 mikron, dan tahan terhadap asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri Tuberkulosis dapat menyerang semua bagian tubuh manusia, dan yang paling sering (90 %) menyerang paru-paru. Untuk menentukan seorang suspek positif menderita Tuberkulosis paru, maka harus ditegakkan diagnose melalui pemeriksaan laboratorium sputum SPS (sewaktu-pagi- sewaktu) dengan hasil positif, sehingga dikenal dengan sebutan Tuberkulosis paru BTA (+).
Mekanisme Terjadinya Tuberkulosis paru
Penyakit Tuberkulosis paru disebarkan melalui udara yang tercemar dengan basil Tuberkulosis, yang dilepaskan pada saat penderita Tuberkulosis paru BTA (+) batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita Tuberkulosis paru BTA (+) dewasa. Bakteri ini masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi Tuberkulosis dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain- lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru- paru.
Adapun penyebaran bakteri Tuberkulosis paru seperti pada gambar berikut :
Gambar. Penyebaran Bakteri Tuberkulosis paru.
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri Tuberkulosis ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri Tuberkulosis akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TuberkulosisC. (www.Tuberkulosiscindonesia.or.id)
Masa inkubasi, dimulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tuberculosis positif, kira-kira 2 – 10 minggu. Risiko menjadi Tuberkulosis paru dan Tuberkulosis ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi HIV meningkatkan risiko terhadap infeksi Tuberkulosis dan memperpendek masa inkubasi.
Masa penularan seorang penderita Tuberkulosis paru adalah tetap menular sepanjang ditemukan basil Tuberkulosis didalam sputum. Penderita yang tidak diobati atau yang tidak diobati dengan sempurna, dahaknya tetap mengandung basil Tuberkulosis selama bertahun-tahun. Tingkat penularan sangat tergantung dari jumlah basil Tuberkulosis yang dikeluarkan, tingkat virulensi, terpanjannya basil Tuberkulosis dengan sinar ultraviolet, terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau menyanyi. (Kandun, 2006)
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada penderita dengan BTA negatif. Infeksi Tuberkulosis dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin negative menjadi positif. (Kemenkes, 2010)
Gejala-gejala dan Tanda-tanda Tuberkulosis Paru
Gejala penyakit Tuberkulosis paru dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. (Kemenkes, 2010)
Gejala sistemik/umum
-
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
-
Penurunan nafsu makan dan berat badan.
-
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
-
Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
Gejala khusus
-
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
-
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
-
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
-
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
-
Pada penderita anak yang tidak menimbulkan gejala, Tuberkulosis dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan penderita Tuberkulosis paru BTA (+) dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita Tuberkulosis paru BTA (+) dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita Tuberkulosis paru BTA (+) dewasa, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.
Riwayat alamiah penderita Tuberkulosis BTA (+) yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan 50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.
Penemuan kasus dan diagnosis Tuberkulosis paru
1. Strategi penemuan
Penemuan penderita Tuberkulosis BTA (+) dilakukan secara pasif tetapi dengan promotif yang aktif. Penjaringan tersangka (suspek) penderita dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita Tuberkulosis BTA (+). Kontak penderita Tuberkulosis Paru BTA (+), terutama mereka yang menunjukkan gejala sama, harus dilakukan pemeriksaan dahak. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah dianggap tidak cost effective. (Kemenkes, 2011)
2. Gejala klinis penderita Tuberkulosis paru BTA (+)
Gejala utama penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) adalah batuk berdahak selama 2 – 3 minggu atau lebih. Setiap orang dengan gejala tersebut dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita Tuberkulosis BTA (+) dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari sebulan. (Kemenkes, 2011)
3. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnose, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan Pemeriksaan dahak untuk penegakaan diagnose dilakukan dengan mengumpulkan 3 specimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan beruntun berupa sewaktu- pagi-sewaktu (SPS).
Hari pertama S (sewaktu datang pertama). Dahak dikumpulkan pada saat berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat pulang, suspek diberi sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi hari kedua. Hari kedua P (pagi) dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari, segera setelah bangun tidur, pot dahak dibawa dan diserahkan ke petugas. S (sewaktu kedua) dahak dikumpulkan di fasilitas pelayanan kesehatan pada saat menyerahkan dahak pagi. (Kemenkes, 2011)
4. Diagnosis Tuberkulosis paru pada orang dewasa
Diagnosis Tuberkulosis Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman Tuberkulosis BTA positif. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lainnya adalah foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. (Kemenkes, 2011)
5. Diagnosis Tuberkulosis pada anak-anak
Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring sistim), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk diagnosis Tuberkulosis paru anak, sesuai
Tabel. Sistim Skor Gejala dan Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis Paru Pada Anak-Anak
Parameter |
0 |
1 |
2 |
3 |
Jumlah |
Kontak Tuberkulosis |
Tidak jelas |
|
Laporan keluarga, BTA negative atau tidak tahu, BTA tidak jelas |
BTA positif |
|
Uji tuberculin |
Negative |
|
|
Positif (10 mm atau 5 mm pada keadaan imunosupresi) |
|
Berat badan/ keadaan gizi |
|
BB/Tuberkulosis<90% atau BB/U<80% |
Klinis gizi buruk atau BB/Tuberkulosis<70% atau BB/U<60% |
|
|
Demam tanpa sebab jelas |
|
≥2 minggu |
|
|
|
Batuk |
|
≥ 3 minggu |
|
|
|
Pembesaran kelenjar limfe koli, aksila, inguinal |
|
≥ 1 cm jumlah>1 tidak nyeri |
|
|
|
Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang |
|
Ada pembengkakan |
|
|
|
Foto toraks |
Normal/ tidak jelas |
Kesan Tuberkulosis |
|
|
|
Jumlah |
|
|
|
Skor total |
|
Sumber : Kemenkes 2011
Catatan :
-
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
-
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
-
Jika dijumpai skrofuloderma (Tuberkulosis pada kelenjar dan kulit), penderita dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
-
Berat badan dinilai saat penderita datang (moment opname) : lampirkan tabel berat badan.
-
Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada Tuberkulosis anak.
-
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring Tuberkulosis anak.
-
Anak didiagnosis Tuberkulosis jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
-
Penderita usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Penderita dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6, harus ditatalaksana sebagai penderita Tuberkulosis BTA (+) dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah Tuberkulosis kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
6. Diagnosa Tuberkulosis MDR (Multi Drug Resisten)
Diagnosis Tuberkulosis MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberkulosis. Semua suspek Tuberkulosis MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M. tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek Tuberkulosis MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian Tuberkulosis Nasional. (Kemenkes, 2011)
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
1. Tuberkulosis paru BTA positif.
-
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
-
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
-
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.
-
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis Paru BTA (+). Kriteria diagnostik Tuberkulosis Paru BTA negatif harus meliputi:
-
Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
-
Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
-
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi penderita dengan HIV negatif.
-
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Catatan:
-
Penderita Tuberkulosis Paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat diklasifikasikan sebagai BTA negative, lebih baik dicatat sebagai “pemeriksaaan dahak tidak dilakukan”.
-
Bila seorang penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) juga mempunyai Tuberkulosis ekstra paru, maka untuk kepentingan pencatatan, penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita Tuberkulosis Paru BTA (+).
-
Bila seorang penderita dengan Tuberkulosis ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai Tuberkulosis ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
3. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe penderita, yaitu:
-
Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negative
-
Kasus yang sebelumnya diobati
-
Kasus kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
-
Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah penderita yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
-
Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
-
Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan pengobatannya.
-
Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti :
- Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
- Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
- Kembali diobati dengan BTA negative.
Catatan:
- Penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) BTA negatif dan Tuberkulosis ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.
Pengobatan penderita Tuberkulosis paru BTA (+)
Pengobatan penderita Tuberkulosis paru BTA (+) bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, menegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).
Prinsip pengobatan, OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat dilakukan pengawasan langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO). Pengobatan Tuberkulosis diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal (intensif) adalah penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat, dan tahap lanjut adalah penderita mendapat jenis obat yang lebih sedikit namun jangka panjang (4 bulan). Tahap ini untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah kekambuhan. (Kemenkes, 2011)
Hasil Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru BTA (+)
-
Sembuh, adalah Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
-
Pengobatan Lengkap, adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.
-
Meninggal, adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun, antara lain :
-
Putus berobat (Default), adalah penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
-
Gagal, adalah Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
-
Pindah (Transfer out), adalah penderita yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit Tuberkulosis
1. Karakteristik individu
Karakteristik individu yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain :
-
Jenis kelamin
Penyakit Tuberkulosis paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, karena kebiasaan merokok dan minum alcohol sehingga system pertahanan tubuh menurun dan lebih mudah terpapar dengan agen penyebab Tuberkulosis paru (Aditama, 2000) sedangkan menurut Crofton (2002) hampir tidak ada perbedaan diantara anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas. Bayi dan anak kecil pada kedua jenis kelamin sama-sama memiliki daya tahan tubuh yang lemah.
Hasil Riskesdas 2007 menyatakan bahwa prevalensi Tuberkulosis paru BTA (+) pada laki-laki sebesar 1,08% dan pada perempuan sebesar 0.90%. Sedangkan Riskesdas tahun 2010 dilaporkan bahwa periode prevalensi Tuberkulosis paru BTA (+) laki-laki sebesar 0,819% dan perempuan 0,634%.
Penelitian Desy di RS. Khusus paru Surabaya menunjukkan bahwa jenis kelamin anak laki-laki lebih berisiko (OR=0,7) dari pada anak perempuan.
-
Umur
Umur termasuk variable penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan daya tahan tubuh, ancaman kesehatan dan kebiasaan hidup (Azwar, 1999 dalam Octaviany, 2008). Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit penyebab kesakitan dan kematian pada semua usia di seluruh negara terutama negara berkembang. Insiden tertinggi tuberculosis biasanya banyak mengenai usia dewasa muda. Angka pada pria selalu lebih tinggi pada semua kelompok usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui masa subur. Pada wanita, prevalensi mencapai maksimum pada usia 40 – 50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria, prevalensi terus meningkat sampai mencapai 60 tahun (Crofton, 2002). Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun, system imunologis seseorang menurun, sehingga rentan terhadap berbagai penyakit , termasuk penyakit Tuberkulosis paru (Helen, 2006).
Infeksi pada anak tidak mengenal usia (0-14), tetapi sebagian besar kasus terjadi pada usia antara 1 – 14 tahun (WHO, 2006a). hal ini disebabkan pada usia yang sangat muda, awal kelahiran dan pada usia 10 tahun pertama kehidupan, system pertahanan tubuh sangat lemah. Kemungkinan anak untuk terinfeksi menjadi sangat tinggi (Crofton, 2002).
Resiko infeksi tersebut berkembang menjadi Tuberkulosis paru BTA (+) juga tergantung pada pertahanan imun host (Varaine, Henkes, Grouzard, 2010). Risiko berkembangnya penyakit paling tinggi pada anak di bawah usia 5 tahun (biasanya terjadi dalam jangka waktu 2 tahun, namun pada bayi terinfeksi dapat berubah menjadi sakit Tuberkulosis dalam beberapa minggu saja) (WHO, 2006a), dan paling rendah pada usia akhir masa kanak-kanak. Hasil penelitian yang dilakukan di 7 RS Pusat Pendidikan di Indonesia selama tahun 1998 – 2002 menyebutkan bahwa kelompok usia terbanyak penderita Tuberkulosis 12 – 60 bulan (42,9%) (Depkes RI, 2008).
WHO menyatakan bahwa penderita Tuberkulosis paru BTA (+) paling banyak pada umur produktif yaitu pada umur 15-55 tahun. Di Indonesia 75% penderita Tuberkulosis paru BTA (+) adalah kelompok usia produktif 15 – 55 tahun.
-
Pendidikan
Tingkat pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menyerap dan menerima informasi. Mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi umumnya lebih mudah menyerap dan menerima informasi masalah kesehatan disbanding dengan yang berpendidikan lebih rendah, sehingga berpengaruh terhadap keputusan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia (Mahpudin, 2006)
Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang, diantaranya pengetahuan mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan terhadap Tuberkulosis Paru. Sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaanya. (Prabu, 2008).
Kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat antara lain penyuluhan kesehatan masyarakat melalui berbagai jalur dan media, sehingga masyarakat tahu, paham dan sadar terhadap penyakit Tuberkulosis paru BTA (+).
-
Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita Tuberkulosis paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit yang pada akhirnya berakibat menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya
Perilaku merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatnya risiko untuk mendapatkan kanker paru-pau, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena Tuberkulosis paru sebanyak 2,2 kali.
Kegiatan yang menunjang untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan merokok adalah dengan memberikan penyuluhan kesehatan masyarakat melalui berbagai jalur dan media, sehingga diharapkan masyarakat tahu, dan sadar bahaya merokok terutama sebagai faktor yang memperparah kejadian penyakit Tuberkulosis paru BTA (+).
-
Status imunisasi BCG
BCG (Bacille Calmette Guerin) adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dihilangkan virulensinya (attenuated) (Crofton, 2002). Vaksin hidup yang dilemahkan diproduksi dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit di laboratorium. Mikroorganisme vaksin yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menimbulkan penyakit. Walau vaksin hidup dilemahkan menyebabkan penyakit, umumnya bersifat ringan dibandingkan dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian samping (Suyitno, 2001). Basil ini berasal dari suatu strain Tuberkulosis bovin yang dibiakkan selama beberapa tahun dalam laboratorium (Crofton, 2002).
Vaksin BCG merupakan salah satu vaksin tertua yang mulai dikembangkan sejak tahun 1921 (WHO, 2006a). Sejak ditemukannya vaksin ini, dunia merasa optimis bahwa penyakit Tuberkulosis akan dapat dieliminasi dengan segera. Kasus Tuberkulosis mengalami penurunan. Namun 50 tahun kemudian, Tuberkulosis meningkat lagi (disamping karena muncul penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah penderita Tuberkulosis seperti HIV/AIDS, serta banyaknya kasusTuberkulosis yang resisten terhadap obat-obatan), sehingga timbul pertanyaan apakah kasus Tuberkulosis bisa dikurangi hanya dengan vaksin BCG (Achmadi, 2006)
Kontroversi dari penggunaan vaksin tersebut dalam mencegah penyakit Tuberkulosis hingga kini masih dipertanyakan. Efikasi dari vaksin tersebut berkisar antara 0 – 80% pada beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia. Alasan dari variasi efikasi ini sangat beragam, termasuk di antaranya perbedaan tipe BCG yang digunakan di beberapa wilayah, perbedaan strains M. tuberculosis di berbagai daerah, perbedaan level keterpaparan dan status imunisasi terhadap Mikobakteria dan perbedaan praktek imunisasi (WHO, 2006)
Meskipun terdapat kontroversi terhadap pemberian vaksin BCG, terutama dalam hal kemampuan perlindungan terhadap serangan Tuberkulosis, ada kesepakatan bahwa pemberian vaksin BCG dapat mencegah timbulnya komplikasi seperti radang otak atau meningitis yang diakibatkan oleh Tuberkulosis anak. Dengan demikian, BCG masih bermanfaat khususnya dalam menegah timbulnya cacat pasca meningitis (Achmadi, 2006). Dengan alasan tersebut The WHO Expandee Programme on Imunization tetap merekomendasikan vaksinasi BCG pada bayi segera setelah lahir terutama pada negara dengan prevalensi Tuberkulosis tinggi (WHO, 2006).
Terdapat 2 hal yang harus dipisahkan ketika membahas kegunaan BCG, yaitu keefektifannya pada level individu dan pengaruh epidemiologi Tuberkulosis dengan adanya vaksin tersebut.
-
Efektivitas BCG pada level individu
BCG tidak memberikan kekebalan seumur hidup. 85% daya kekebalan yang ditimbulkan oleh pemberian vaksin BCG semasa lahir akan menurun efektivitasnya ketika anak menjelang dewasa. Penelitian lain mengatakan rata-rata kekebalan ketika dewasa hanya tinggal 50% (Achmadi, 2006). Meskipun demikian, harus diakui bahwa pemberian BCG sebelum adanya infeksi primer (misalnya sesaat setelah bayi lahir), memberikan daya lindung hingga 40 - 70% untuk periode 10 hingga 15 tahun. Vaksin ini juga memberikan proteksi berkembangnya bentuk Tuberkulosis yang lebih parah pada anak-anak (Tuberkulosis milier atau Tuberkulosis meningitis) hingga 80% (Varaine, Henkes, Guozard, 2010).
-
Pengaruh vaksin BCG terhadap epidemiologi Tuberkulosis
Analisis data statistic kesehatan dari beberapa Negara di Eropa menunjukkan bahwa vaksin BCG menurunkan jumlah kasus Tuberkulosis pada subyek yang divaksin dibandingkan dengan subyek yang tidak di vaksin. Namun penurunan kasus ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap transmisi basil Tuberkulosis di populasi dan tidak berdampak pada Annual Risk of Tuberkulosis Infection (ARTI). sehingga diambil kesimpulan bahwa dari sudut pandang epidemiologi, vaksin BCG hanya terbukti memiliki efek proteksi terhadap Tuberkulosis berat pada anak, tetapi tidak dapat dijadikan sebagai alat yang tepat untuk mengurangi transmisi (Varaine, Henkes, Guozard, 2010).
Dosis BCG untuk bayi dan anak < 1 tahun adalah 0,05 ml. cara pemberian BCG adalah dengan melakukan penyuntikan pada intrakutan didaerah insersio M. deltodeus kanan. Apabila BCG diberikan pada umur >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu (Hadinegoro, 2001). 2-6 minggu setelah imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi selama 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut/scar BCG. Vaksin ini juga menimbulkan sensitivitas terhadap tuberculin (Rahajoe, 2001).
Kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan cakupan imunisasi BCG antara lain dengan imunisasi keliling di Posyandu dan juga pemberian penyuluhan kepada ibu-ibu hamil di BKIA ataupun Posyandu agar masyarakat tahu dan sadar pentingnya imunisasi BCG untuk mencegah terjadinya penularan TuberkulosisC kepada bayi yang baru lahir.
-
Status gizi
Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Kedua-duanya juga dapat bermula dari hal yang sama, yaitu kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk. Infeksi dapat berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, misalnya dengan mempengaruhi nafsu makan, kehilangan bahan makanan karena diare atau muntah, mempengaruhi metabolisme makanan dan banyak cara lainnya lagi. Sebaliknya defisiensi gizi meningkatkan risiko infeksi. Defisiensi gizi merupakan awal gangguan defisiensi sistem kekebalan, hal ini menyebabkan terhambatnya reaksi imunologis dan bertambah buruknya kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi, sehingga meningkatkan prevalensi dan keparahan penyakit infeksi (Alisyahbana, 1985). Oleh Karena itu salah salah satu daya tangkal yang baik terhadap penyakit atau infeksi adalah status gizi yang baik pada perempuan, laki-laki, anak-anak maupun dewasa (Achmadi, 2005).
Berkaitan tentang penyakit Tuberkulosis, status gizi merupakan variable yang sangat berperan dalam timbulnya penyakit tersebut. (Achmadi, 2005). Tuberkulosis dan kurang gizi seringkali ditemukan bersamaan. Infeksi Tuberkulosis menimbulkan penurunan berat badan dan penyusutan tubuh, sedangkan kekurangan makanan akan meningkatkan risiko infeksi dan penyebaran penyakit Tuberkulosis karena berkurangnya fungsi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini (Crafton, 2002)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai risiko 3,7 kali untuk menderita Tuberkulosis paru berat dibandingkan dengan orang yang gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon imunnologik terhadap penyakit.
Salah satu cara untuk mengukur status gizi anak adalah dengan menggunakan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U). Berat badan (BB) merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran status gizi seseorang saat ini dengan memberikan gambaran perubahan masa tubuh yang sangat sensitive terhadap perubahan yang mendadak karena terinfeksi penyakit. Dalam keadaan normal, dimana status kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin, BB akan mengikuti pertumbuhan umur, sebaliknya dalam keadaan abnormal, BB dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat. Penggunaan indeks BB/U ini dalam pengukuran status gizi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya lebih mudah dan cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut/kronis, dapat berfluktuatif dan sangat sensitive terhadap perubahan kecil. Sedangakan kelemahannya adalah rentan terhadap mis-interpretasi apabila terdapat edema/asites, memerlukan data akurat terutama pada anak balita, sering terjadi kesalahan dalam pengukuran karena pengaruh pakaian atau gerak anak saat penimbangan, selain itu pelaksanaan pengukuran BB/U didaerah terpencil sering menemukan kesulitan dakam menaksir umur anak karena pencatatan umur yang belum baik (Supariasa, Bakri, Fajar, 2002).
-
Status penyakit tertentu
Keberadaan penyakit infeksi lainnya akan memperparah penderita penyakit Tuberkulosis paru. Pada lembar fakta tuberculosis dilaporkan bahwa situasi Tuberkulosis global terdapat 1,4 juta orang yang meninggal karena Tuberkulosis (320.000 diantaranya wanita) termasuk diantaranya 350.000 orang dengan HIV positif atau total 3.800 orang perhari. Pada tahun 2010 terdapat 5,4 juta kasus baru termasuk sejumlah 1,1 juta kasus Tuberkulosis pada orang penderita HIV. (Kemenkes, 2012).
Kegiatan yang harus dilakukan adalah dengan memberikan pengobatan secara bersama, sehingga tidak menanbah parah kondisi umum penderita Tuberkulosis paru BTA (+).
-
Status sosial
Lebih dari 95% kasus yang terjadi pada negara berkembang berasal dari keluarga miskin, sementara itu di negara industri, Tuberkulosis menjangkiti kelompok sosial terpinggirkan (Varaine, Henkes, Gouzard, 2010). WHO juga menyebutkan bahwa 90% penderita Tuberkulosis paru di dunia menyerang sosial ekonomi lemah atau miskin.
Hubungan antara kemiskinan dengan Tuberkulosis bersifat timbal balik, Tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia rentan kena Tuberkulosis (WHO, 2003). Crofton (2002) dalam bukunya yang berjudul Tuberkulosis Klinis, mengemukakan bahwa morbiditas Tuberkulosis lebih banyak pada penduduk miskit dan daerah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.
Kondisi sosial ekonomi sendiri mungkin tidak berhubungan langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan (Achmadi, 2005). Kemiskinan juga mengarah pada perumahan yang terlampau padat atau kondisi kerja yang buruk. Keadaan ini dapat menurunkan daya tahan tubuh, yang berakibat pada mudahnya seseorang terjangkit infeksi. Orang-orang hidup dengan kondisi seperti ini juga sering mengalami gizi buruk. (Crofton, 2002). Berkurangnya asupan gizi oleh karena mahalnya harga pokok secara tidak langsung akan melemahkan daya tahan tubuh sehingga mudah seseorang menderita Tuberkulosis (Antariksa, 2008) kompleks kemiskinan tersebut seluruhnya memudahkan infeksi Tuberkulosis berkembang menjadi penyakit (Crofton, 2002).
Kegiatan yang bisa dilakukan adalah dengan pemberdayaan masyarakat untuk bisa mandiri berupa modal bergilir atau kredit lunak dan pelatihan ketrampilan dalam rangka meningkatkan ekonomi keluarga. Keadaan ekonomi meningkat maka bisa membeli makanan yang bergizi untuk peningkatan daya tahan tubuh terhadap penyakit.
2. Faktor kontak
Faktor kontak/hubungan yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain :
- Lama kontak
- Keeratan kontak
Penelitian Musdad (2002) di Tangerang melaporkan bahwa rumah tangga yang penderitanya memiliki kebiasan tidur dengan balita mempunyait risiko 2,8 kali dibandingkan yang tidurnya terpisah. Risiko terjadinya Tuberkulosis paru pada Balita yang dirumahnya ada penderita Tuberkulosis paru sebesar 49,762 kali dibandingkan yang tidak ada penderita Tuberkulosis. (Suhardi, 2006).
Kegiatan yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan sosiallisasi kepada penderita dan keluarga untuk mengurangi berdekatan dalam jarak yang bisa dijangkau tangan atau memberikan penutup mulut kepada penderita Tuberkulosis paru BTA (+) serta tidak tidur dalam satu kamar untuk menghindari penularan.
3. Sumber penularan
Sumber penularan yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain :
- Sumber penularan serumah
- Sumber penularan tidak serumah
Penelitian Musadad (2002) di Tangerang dilaporkan angka kejadian penularan Tuberkulosis paru didalam rumah tangga sebesar 13 % (33 kasus). Faktor keberadaan penderita Tuberkulosis paru serumah dengan penderita lebih dari 1 sebesar 4 kali.
4. Kondisi fisik lingkungan rumah tempat tinggal
Kondisi fisik lingkungan tempat tinggal yang sehat akan mengurangi risiko terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis. Syarat-syarat rumah yang sehat, antara lain (Depkes, 1999) :
-
Kondisi lantai rumah
Kondisi lantai ubin atau semen adalah lebih baik daripada lantai tanah. Syarat terpenting adalah tidak berdebu dan basah atau lembab karena sebagai sarang penyakit.
-
Pencahayaan rumah dan kamar
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit, seperti bakteri Tuberkulosis paru. Sebaliknya terlalu banyak cahaya akan menyebabkan silau dan akhirnya merusak mata.
Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60 – 120 lux. Luas jendela yang baik minimal 10 - 20 dari luas lantai.
-
Ventilasi rumah dan kamar
Ventilasi mempunyai banyak fungsi, antara lain :
-
Untuk menjaga aliran O2 (oksigen) dalam rumah tetap terjaga, sehingga menimbulkan udara segar didalam rumah,
-
Untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri pathogen,
-
Untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban optimum.
Ukuran ventilasi minimum yang memenuhi syarat sehat adalah 10 % dari luas lantai.
-
Suhu udara
Suhu udara didalam rumah berfungsi untuk memberikan rasa nyaman pada penghuninya. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah bertemperatur 18o – 30oC
-
Kelembaban udara
Kelembaban udara merupakan salah satu media yang baik untuk berkembangbiaknya bakteri-bakteri pathogen didalam rumah. Kelembaban udara yang optimum dan memenuhi syarat sehat berkisar 40% - 70%
-
Kepadatan penghuni rumah
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya. Artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan overcrowded . kondisi ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3m2 untuk tiap anggota keluarga.
Kondisi fisik lingkungan rumah tempat tinggal besar sekali pengaruhnya terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru. Rumah tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat sehat akan meningkatkan risiko penularan ataupun kejadian dari penyakit Tuberkulosis paru.
Kondisi fisik lingkungan rumah bisa diperbaiki dengan kegiatan penyehatan perumahan atau penyediaan rumah sehat. Penyediaan genteng kaca atau seng plastic bagi rumah penderita Tuberkulosis paru BTA (+) agar matahari bisa masuk ke dalam rumah sangat penting untuk membunuh bakteri Mycobacterium tuberculosis, selain itu juga berfungsi untuk menghilangkan kelembaban ruangan yang mendukung perkembangbiakan bakter tersebut.
5. Kondisi wilayah
Kondisi wilayah yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain:
- Iklim yang meliputi suhu udara, kelembaban udara, curah hujan
- Ketinggian tempat dari permukaan laut
- Ketersediaan unit pelayanan kesehatan (UPK)
- Infrastruktur wilayah