Apa yang dimaksud dengan Tuberkulosis?

Tuberkulosis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh mycobacterium, yang berkembang biak di dalam bagian tubuh dimana terdapat banyak aliran darah dan oksigen. Infeksi bakteri ini biasanya menyebar melewati pembuluh darah dan kelenjar getah bening, tetapi secara utama menyerang paru-paru.

Apa yang dimaksud dengan Tuberkolosis ?

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Indonesia merupakan negara yang termasuk sebagai 5 besar dari 22 negara di dunia dengan beban TB. Kontribusi TB di Indonesia sebesar 5,8%. Saat ini timbul kedaruratan baru dalam penanggulangan TB, yaitu TB Resisten Obat (Multi Drug Resistance/ MDR).

Hasil Anamnesis (Subjective)

Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang disertai :

  1. Gejala pernapasan (nyeri dada, sesak napas, hemoptisis) dan/atau
  2. Gejala sistemik (demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam dan mudah lelah).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal permulaan perkembangan penyakit umumnya sulit sekali menemukan kelainan. Pada auskultasi terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi basah/suara napas melemah di apex paru, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Pemeriksaan Penunjang

  1. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb turun.
  2. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan Asam/BTA) atau kultur kuman dari spesimen sputum/dahak sewaktu-pagi-sewaktu.
  3. Untuk TB non paru, spesimen dapat diambil dari bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
  4. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.
    Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas (bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus tumpul).

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Pasti TB

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak).

image

Kriteria Diagnosis

Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC 2014), Standar Diagnosis adalah sebagai berikut :

  1. Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus waspada terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan melakukan evaluasi klinis dan pemeriksaaan diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB.

  2. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.

  3. Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan dahak, harus diperiksa mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak minimal 2 kali atau 1 spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF*, yang diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin, salah satu diantaranya adalah spesimen pagi. Pasien dengan risiko resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah sebaiknya melakukan pemeriksan Xpert MTB/RIF* sebagai uji diagnostik awal. Uji serologi darah dan interferon- gamma release assay sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis TB aktif.

  4. Semua pasien yang diduga tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari organ yang terlibat harus diperiksa secara mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert MTB/RIF direkomendasikan sebagai pilihan uji mikrobiologis untuk pasien terduga meningitis karena membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat.

  5. Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji Xpert MTB/RIF* negatif pada pasien denga gejala klinis yang mendukung TB, sebaiknya segera diberikan pengobatan anti tuberkulosis setelah pemeriksaan kultur.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan Tujuan pengobatan:

  1. Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas pasien.
  2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
  3. Mencegah kekambuhan TB.
  4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
  5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya

Prinsip-prinsip terapi:

  1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi.

  2. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose Combination
    (FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.

  3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.

  4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat.

  5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama.

  6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan suatu pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered approach) dan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= directly observed treatment) oleh seorang pengawas menelan obat.

  7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator penilaian terbaik adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan akhir pengobatan.

  8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek samping harus tercatat dan tersimpan.

Tabel Dosis obat antituberkulosis KDT/FDC
image

Tabel Dosis obat TB berdasarkan berat badan (BB)
image

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan

  1. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol.

    • Pada tahap awal pasien mendapat pasien yang terdiri dari 4 jenis obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol), diminum setiap hari dan diawasi secara langsung untuk menjamin kepatuhan minum obat dan mencegah terjadinya kekebalan obat.

    • Bila pengobatan tahap awal diberikan secara adekuat, daya penularan menurun dalam kurun waktu 2 minggu.

    • Pasien TB paru BTA positif sebagian besar menjadi BTA negatif (konversi) setelah menyelesaikan pengobatan tahap awal. Setelah terjadi konversi pengobatan dilanujtkan dengan tahap lanjut.

  2. Tahap lanjutan menggunakan paduan obat rifampisin dan isoniazid

    • Pada tahap lanjutan pasien mendapat 2 jenis obat (rifampisin dan isoniazid), namun dalam jangka waktu yg lebih lama (minimal 4 bulan).

    • Obat dapat diminum secara intermitten yaitu 3x/minggu (obat program) atau tiap hari (obat non program).

    • Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Panduan OAT lini pertama yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :

  1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
    Artinya pengobatan tahap awal selama 2 bulan diberikan tiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu. Jadi lama pengobatan seluruhnya 6 bulan.

  2. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
    Diberikan pada TB paru pengobatan ulang (TB kambuh, gagal pengobatan, putus berobat/default). Pada kategori 2, tahap awal pengobatan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari. Tahap lanjutan diberikan HRE selama 5 bulan, 3 kali seminggu. Jadi lama pengobatan 8 bulan.

  3. OAT sisipan : HRZE
    Apabila pemeriksaan dahak masih positif (belum konversi) pada akhir pengobatan tahap awal kategori 1 maupun kategori 2, maka diberikan pengobatan sisipan selama 1 bulan dengan HRZE.

Konseling dan Edukasi

  1. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit tuberkulosis
  2. Pengawasan ketaatan minum obat dan kontrol secara teratur.
  3. Pola hidup sehat dan sanitasi lingkungan

Kriteria Rujukan

  1. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (+) tapi tidak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dalam jangka waktu tertentu
  2. Pasien dengan sputum BTA (-), klinis (-/ meragukan)
  3. Pasien dengan sputum BTA tetap (+) setelah jangka waktu tertentu
  4. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan komorbid)
  5. Suspek TB – MDR harus dirujuk ke pusat rujukan TB-MDR.

Peralatan

  1. Laboratorium untuk pemeriksaan sputum, darah rutin.
  2. Radiologi
  3. Uji Gen Xpert-Rif Mtb jika fasilitas tersedia

Prognosis

Prognosis pada umumnya baik apabila pasien melakukan terapi sesuai dengan ketentuan pengobatan. Untuk TB dengan komorbid, prognosis menjadi kurang baik.
Kriteria hasil pengobatan:

  1. Sembuh: pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up), hasilnya negatif pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

  2. Pengobatan lengkap: pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada foto toraks AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

  3. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

  4. Putus berobat (default): pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

  5. Gagal: Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau selama pengobatan.

  6. Pindah (transfer out): pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

Infographic

Referensi

  1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. PDPI. Jakarta. 2011. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
  2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011. (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011)
  3. Panduan tata laksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk praktik dokter swasta (DPS). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan DOkter Indonesia. Jakarta. 2012. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
  4. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance. International standards for tuberkulosis tare (ISTC). 3nd Ed. Tuberkulosis Coalition for Technical Assistance. The Hague. 2014. (Tuberculosis Coalition for Technical Assistance , 2014)
  5. Braunwald, E. Fauci, A.S. Kasper, D.L. Hauser, S.L. et al. Mycobacterial disease: Tuberkulosis. Harrisson’s: principle of internal medicine. 17th Ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009: hal. 1006 - 1020. (Braunwald, et al., 2009)

Tuberkulosis (Tuberculosis) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacteri yang merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian di sebagaian besar Negara di seluruh dunia.

Agent tuberculosis sangat banyak antara lain M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis dan M. leprae. Infeksi awal biasanya tanpa gejala, tes tuberculin akan menunjukkan hasil positif pada 2 – 10 minggu kemudian. Sekitar 90 -95% orang yang mengalami infeksi awal, akan memasuki masa laten dengan risiko terjadi reaktivasi seumur hidup.

Infeksi Tuberkulosis dapat juga menyerang organ-organ lain dalam tubuh manusia, seperti kelenjar limfe, pleura, perikadium, ginjal, tulang dan sendi, laring, telinga bagian tengah, kulit, usus, peritoneum dan mata. Penderita Tuberkulosis progresif jika tidak diobati dengan benar akan meninggal dalam waktu 5 tahun, rata-rata dalam waktu 18 bulan. Status klinis ditentukan dengan ditemukannya basil Tuberkulosis dalam sputum atau gambaran thorax sebagai tanda adanya infiltrasi pada paru, kavitasi dan fibrosis. (Kandun, 2006)


Gambar. Bakteri Mycobacterium.

Bakteri Mycobacterium berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron tebal 0,3 – 0,6 mikron, dan tahan terhadap asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri Tuberkulosis dapat menyerang semua bagian tubuh manusia, dan yang paling sering (90 %) menyerang paru-paru. Untuk menentukan seorang suspek positif menderita Tuberkulosis paru, maka harus ditegakkan diagnose melalui pemeriksaan laboratorium sputum SPS (sewaktu-pagi- sewaktu) dengan hasil positif, sehingga dikenal dengan sebutan Tuberkulosis paru BTA (+).

Mekanisme Terjadinya Tuberkulosis paru


Penyakit Tuberkulosis paru disebarkan melalui udara yang tercemar dengan basil Tuberkulosis, yang dilepaskan pada saat penderita Tuberkulosis paru BTA (+) batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita Tuberkulosis paru BTA (+) dewasa. Bakteri ini masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi Tuberkulosis dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain- lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru- paru.

Adapun penyebaran bakteri Tuberkulosis paru seperti pada gambar berikut :


Gambar. Penyebaran Bakteri Tuberkulosis paru.

Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri Tuberkulosis ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri Tuberkulosis akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TuberkulosisC. (www.Tuberkulosiscindonesia.or.id)

Masa inkubasi, dimulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tuberculosis positif, kira-kira 2 – 10 minggu. Risiko menjadi Tuberkulosis paru dan Tuberkulosis ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi HIV meningkatkan risiko terhadap infeksi Tuberkulosis dan memperpendek masa inkubasi.

Masa penularan seorang penderita Tuberkulosis paru adalah tetap menular sepanjang ditemukan basil Tuberkulosis didalam sputum. Penderita yang tidak diobati atau yang tidak diobati dengan sempurna, dahaknya tetap mengandung basil Tuberkulosis selama bertahun-tahun. Tingkat penularan sangat tergantung dari jumlah basil Tuberkulosis yang dikeluarkan, tingkat virulensi, terpanjannya basil Tuberkulosis dengan sinar ultraviolet, terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau menyanyi. (Kandun, 2006)

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada penderita dengan BTA negatif. Infeksi Tuberkulosis dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin negative menjadi positif. (Kemenkes, 2010)

Gejala-gejala dan Tanda-tanda Tuberkulosis Paru


Gejala penyakit Tuberkulosis paru dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. (Kemenkes, 2010)

Gejala sistemik/umum

  • Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

  • Penurunan nafsu makan dan berat badan.

  • Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).

  • Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

Gejala khusus

  • Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.

  • Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

  • Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

  • Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

  • Pada penderita anak yang tidak menimbulkan gejala, Tuberkulosis dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan penderita Tuberkulosis paru BTA (+) dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita Tuberkulosis paru BTA (+) dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita Tuberkulosis paru BTA (+) dewasa, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

Riwayat alamiah penderita Tuberkulosis BTA (+) yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan 50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.

Penemuan kasus dan diagnosis Tuberkulosis paru


1. Strategi penemuan

Penemuan penderita Tuberkulosis BTA (+) dilakukan secara pasif tetapi dengan promotif yang aktif. Penjaringan tersangka (suspek) penderita dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita Tuberkulosis BTA (+). Kontak penderita Tuberkulosis Paru BTA (+), terutama mereka yang menunjukkan gejala sama, harus dilakukan pemeriksaan dahak. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah dianggap tidak cost effective. (Kemenkes, 2011)

2. Gejala klinis penderita Tuberkulosis paru BTA (+)

Gejala utama penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) adalah batuk berdahak selama 2 – 3 minggu atau lebih. Setiap orang dengan gejala tersebut dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) penderita Tuberkulosis BTA (+) dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari sebulan. (Kemenkes, 2011)

3. Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnose, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan Pemeriksaan dahak untuk penegakaan diagnose dilakukan dengan mengumpulkan 3 specimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan beruntun berupa sewaktu- pagi-sewaktu (SPS).
Hari pertama S (sewaktu datang pertama). Dahak dikumpulkan pada saat berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat pulang, suspek diberi sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi hari kedua. Hari kedua P (pagi) dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari, segera setelah bangun tidur, pot dahak dibawa dan diserahkan ke petugas. S (sewaktu kedua) dahak dikumpulkan di fasilitas pelayanan kesehatan pada saat menyerahkan dahak pagi. (Kemenkes, 2011)

4. Diagnosis Tuberkulosis paru pada orang dewasa

Diagnosis Tuberkulosis Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman Tuberkulosis BTA positif. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lainnya adalah foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. (Kemenkes, 2011)

5. Diagnosis Tuberkulosis pada anak-anak

Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring sistim), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk diagnosis Tuberkulosis paru anak, sesuai

Tabel. Sistim Skor Gejala dan Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis Paru Pada Anak-Anak

Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak Tuberkulosis Tidak jelas Laporan keluarga, BTA negative atau tidak tahu, BTA tidak jelas BTA positif
Uji tuberculin Negative Positif (10 mm atau 5 mm pada keadaan imunosupresi)
Berat badan/ keadaan gizi BB/Tuberkulosis<90% atau BB/U<80% Klinis gizi buruk atau BB/Tuberkulosis<70% atau BB/U<60%
Demam tanpa sebab jelas ≥2 minggu
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran kelenjar limfe koli, aksila, inguinal ≥ 1 cm jumlah>1 tidak nyeri
Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang Ada pembengkakan
Foto toraks Normal/ tidak jelas Kesan Tuberkulosis
Jumlah Skor total

Sumber : Kemenkes 2011

Catatan :

  • Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

  • Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.

  • Jika dijumpai skrofuloderma (Tuberkulosis pada kelenjar dan kulit), penderita dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.

  • Berat badan dinilai saat penderita datang (moment opname) : lampirkan tabel berat badan.

  • Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada Tuberkulosis anak.

  • Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring Tuberkulosis anak.

  • Anak didiagnosis Tuberkulosis jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)

  • Penderita usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Penderita dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6, harus ditatalaksana sebagai penderita Tuberkulosis BTA (+) dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah Tuberkulosis kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.

6. Diagnosa Tuberkulosis MDR (Multi Drug Resisten)

Diagnosis Tuberkulosis MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberkulosis. Semua suspek Tuberkulosis MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M. tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek Tuberkulosis MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian Tuberkulosis Nasional. (Kemenkes, 2011)

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis


1. Tuberkulosis paru BTA positif.

  • Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

  • 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

  • 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.

  • 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada Tuberkulosis Paru BTA (+). Kriteria diagnostik Tuberkulosis Paru BTA negatif harus meliputi:

  • Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative

  • Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

  • Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi penderita dengan HIV negatif.

  • Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Catatan:

  • Penderita Tuberkulosis Paru tanpa hasil pemeriksaan dahak tidak dapat diklasifikasikan sebagai BTA negative, lebih baik dicatat sebagai “pemeriksaaan dahak tidak dilakukan”.

  • Bila seorang penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) juga mempunyai Tuberkulosis ekstra paru, maka untuk kepentingan pencatatan, penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita Tuberkulosis Paru BTA (+).

  • Bila seorang penderita dengan Tuberkulosis ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai Tuberkulosis ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

3. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe penderita, yaitu:

  • Kasus baru

    Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negative

  • Kasus yang sebelumnya diobati

    • Kasus kambuh (Relaps)
      Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

    • Kasus setelah putus berobat (Default )
      Adalah penderita yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

    • Kasus setelah gagal (Failure)
      Adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

  • Kasus Pindahan (Transfer In)
    Adalah penderita yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan pengobatannya.

  • Kasus lain:

    Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti :

    • Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
    • Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
    • Kembali diobati dengan BTA negative.

Catatan:

  • Penderita Tuberkulosis Paru BTA (+) BTA negatif dan Tuberkulosis ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

Pengobatan penderita Tuberkulosis paru BTA (+)


Pengobatan penderita Tuberkulosis paru BTA (+) bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, menegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

Prinsip pengobatan, OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat dilakukan pengawasan langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO). Pengobatan Tuberkulosis diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal (intensif) adalah penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat, dan tahap lanjut adalah penderita mendapat jenis obat yang lebih sedikit namun jangka panjang (4 bulan). Tahap ini untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah kekambuhan. (Kemenkes, 2011)

Hasil Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru BTA (+)


  • Sembuh, adalah Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

  • Pengobatan Lengkap, adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

  • Meninggal, adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun, antara lain :

    • Putus berobat (Default), adalah penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

    • Gagal, adalah Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

    • Pindah (Transfer out), adalah penderita yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit Tuberkulosis


1. Karakteristik individu

Karakteristik individu yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain :

  • Jenis kelamin
    Penyakit Tuberkulosis paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, karena kebiasaan merokok dan minum alcohol sehingga system pertahanan tubuh menurun dan lebih mudah terpapar dengan agen penyebab Tuberkulosis paru (Aditama, 2000) sedangkan menurut Crofton (2002) hampir tidak ada perbedaan diantara anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas. Bayi dan anak kecil pada kedua jenis kelamin sama-sama memiliki daya tahan tubuh yang lemah.

    Hasil Riskesdas 2007 menyatakan bahwa prevalensi Tuberkulosis paru BTA (+) pada laki-laki sebesar 1,08% dan pada perempuan sebesar 0.90%. Sedangkan Riskesdas tahun 2010 dilaporkan bahwa periode prevalensi Tuberkulosis paru BTA (+) laki-laki sebesar 0,819% dan perempuan 0,634%.

    Penelitian Desy di RS. Khusus paru Surabaya menunjukkan bahwa jenis kelamin anak laki-laki lebih berisiko (OR=0,7) dari pada anak perempuan.

  • Umur
    Umur termasuk variable penting dalam mempelajari suatu masalah kesehatan karena ada kaitannya dengan daya tahan tubuh, ancaman kesehatan dan kebiasaan hidup (Azwar, 1999 dalam Octaviany, 2008). Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit penyebab kesakitan dan kematian pada semua usia di seluruh negara terutama negara berkembang. Insiden tertinggi tuberculosis biasanya banyak mengenai usia dewasa muda. Angka pada pria selalu lebih tinggi pada semua kelompok usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui masa subur. Pada wanita, prevalensi mencapai maksimum pada usia 40 – 50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria, prevalensi terus meningkat sampai mencapai 60 tahun (Crofton, 2002). Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun, system imunologis seseorang menurun, sehingga rentan terhadap berbagai penyakit , termasuk penyakit Tuberkulosis paru (Helen, 2006).

    Infeksi pada anak tidak mengenal usia (0-14), tetapi sebagian besar kasus terjadi pada usia antara 1 – 14 tahun (WHO, 2006a). hal ini disebabkan pada usia yang sangat muda, awal kelahiran dan pada usia 10 tahun pertama kehidupan, system pertahanan tubuh sangat lemah. Kemungkinan anak untuk terinfeksi menjadi sangat tinggi (Crofton, 2002).

    Resiko infeksi tersebut berkembang menjadi Tuberkulosis paru BTA (+) juga tergantung pada pertahanan imun host (Varaine, Henkes, Grouzard, 2010). Risiko berkembangnya penyakit paling tinggi pada anak di bawah usia 5 tahun (biasanya terjadi dalam jangka waktu 2 tahun, namun pada bayi terinfeksi dapat berubah menjadi sakit Tuberkulosis dalam beberapa minggu saja) (WHO, 2006a), dan paling rendah pada usia akhir masa kanak-kanak. Hasil penelitian yang dilakukan di 7 RS Pusat Pendidikan di Indonesia selama tahun 1998 – 2002 menyebutkan bahwa kelompok usia terbanyak penderita Tuberkulosis 12 – 60 bulan (42,9%) (Depkes RI, 2008).

    WHO menyatakan bahwa penderita Tuberkulosis paru BTA (+) paling banyak pada umur produktif yaitu pada umur 15-55 tahun. Di Indonesia 75% penderita Tuberkulosis paru BTA (+) adalah kelompok usia produktif 15 – 55 tahun.

  • Pendidikan
    Tingkat pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menyerap dan menerima informasi. Mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi umumnya lebih mudah menyerap dan menerima informasi masalah kesehatan disbanding dengan yang berpendidikan lebih rendah, sehingga berpengaruh terhadap keputusan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia (Mahpudin, 2006)

    Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang, diantaranya pengetahuan mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan terhadap Tuberkulosis Paru. Sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaanya. (Prabu, 2008).

    Kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat antara lain penyuluhan kesehatan masyarakat melalui berbagai jalur dan media, sehingga masyarakat tahu, paham dan sadar terhadap penyakit Tuberkulosis paru BTA (+).

  • Perilaku
    Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita Tuberkulosis paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit yang pada akhirnya berakibat menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya

    Perilaku merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatnya risiko untuk mendapatkan kanker paru-pau, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko untuk terkena Tuberkulosis paru sebanyak 2,2 kali.

    Kegiatan yang menunjang untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan merokok adalah dengan memberikan penyuluhan kesehatan masyarakat melalui berbagai jalur dan media, sehingga diharapkan masyarakat tahu, dan sadar bahaya merokok terutama sebagai faktor yang memperparah kejadian penyakit Tuberkulosis paru BTA (+).

  • Status imunisasi BCG
    BCG (Bacille Calmette Guerin) adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dihilangkan virulensinya (attenuated) (Crofton, 2002). Vaksin hidup yang dilemahkan diproduksi dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit di laboratorium. Mikroorganisme vaksin yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menimbulkan penyakit. Walau vaksin hidup dilemahkan menyebabkan penyakit, umumnya bersifat ringan dibandingkan dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian samping (Suyitno, 2001). Basil ini berasal dari suatu strain Tuberkulosis bovin yang dibiakkan selama beberapa tahun dalam laboratorium (Crofton, 2002).

    Vaksin BCG merupakan salah satu vaksin tertua yang mulai dikembangkan sejak tahun 1921 (WHO, 2006a). Sejak ditemukannya vaksin ini, dunia merasa optimis bahwa penyakit Tuberkulosis akan dapat dieliminasi dengan segera. Kasus Tuberkulosis mengalami penurunan. Namun 50 tahun kemudian, Tuberkulosis meningkat lagi (disamping karena muncul penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan peningkatan jumlah penderita Tuberkulosis seperti HIV/AIDS, serta banyaknya kasusTuberkulosis yang resisten terhadap obat-obatan), sehingga timbul pertanyaan apakah kasus Tuberkulosis bisa dikurangi hanya dengan vaksin BCG (Achmadi, 2006)

    Kontroversi dari penggunaan vaksin tersebut dalam mencegah penyakit Tuberkulosis hingga kini masih dipertanyakan. Efikasi dari vaksin tersebut berkisar antara 0 – 80% pada beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai belahan dunia. Alasan dari variasi efikasi ini sangat beragam, termasuk di antaranya perbedaan tipe BCG yang digunakan di beberapa wilayah, perbedaan strains M. tuberculosis di berbagai daerah, perbedaan level keterpaparan dan status imunisasi terhadap Mikobakteria dan perbedaan praktek imunisasi (WHO, 2006)

    Meskipun terdapat kontroversi terhadap pemberian vaksin BCG, terutama dalam hal kemampuan perlindungan terhadap serangan Tuberkulosis, ada kesepakatan bahwa pemberian vaksin BCG dapat mencegah timbulnya komplikasi seperti radang otak atau meningitis yang diakibatkan oleh Tuberkulosis anak. Dengan demikian, BCG masih bermanfaat khususnya dalam menegah timbulnya cacat pasca meningitis (Achmadi, 2006). Dengan alasan tersebut The WHO Expandee Programme on Imunization tetap merekomendasikan vaksinasi BCG pada bayi segera setelah lahir terutama pada negara dengan prevalensi Tuberkulosis tinggi (WHO, 2006).

    Terdapat 2 hal yang harus dipisahkan ketika membahas kegunaan BCG, yaitu keefektifannya pada level individu dan pengaruh epidemiologi Tuberkulosis dengan adanya vaksin tersebut.

    1. Efektivitas BCG pada level individu
      BCG tidak memberikan kekebalan seumur hidup. 85% daya kekebalan yang ditimbulkan oleh pemberian vaksin BCG semasa lahir akan menurun efektivitasnya ketika anak menjelang dewasa. Penelitian lain mengatakan rata-rata kekebalan ketika dewasa hanya tinggal 50% (Achmadi, 2006). Meskipun demikian, harus diakui bahwa pemberian BCG sebelum adanya infeksi primer (misalnya sesaat setelah bayi lahir), memberikan daya lindung hingga 40 - 70% untuk periode 10 hingga 15 tahun. Vaksin ini juga memberikan proteksi berkembangnya bentuk Tuberkulosis yang lebih parah pada anak-anak (Tuberkulosis milier atau Tuberkulosis meningitis) hingga 80% (Varaine, Henkes, Guozard, 2010).

    2. Pengaruh vaksin BCG terhadap epidemiologi Tuberkulosis
      Analisis data statistic kesehatan dari beberapa Negara di Eropa menunjukkan bahwa vaksin BCG menurunkan jumlah kasus Tuberkulosis pada subyek yang divaksin dibandingkan dengan subyek yang tidak di vaksin. Namun penurunan kasus ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap transmisi basil Tuberkulosis di populasi dan tidak berdampak pada Annual Risk of Tuberkulosis Infection (ARTI). sehingga diambil kesimpulan bahwa dari sudut pandang epidemiologi, vaksin BCG hanya terbukti memiliki efek proteksi terhadap Tuberkulosis berat pada anak, tetapi tidak dapat dijadikan sebagai alat yang tepat untuk mengurangi transmisi (Varaine, Henkes, Guozard, 2010).

    Dosis BCG untuk bayi dan anak < 1 tahun adalah 0,05 ml. cara pemberian BCG adalah dengan melakukan penyuntikan pada intrakutan didaerah insersio M. deltodeus kanan. Apabila BCG diberikan pada umur >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu (Hadinegoro, 2001). 2-6 minggu setelah imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi selama 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut/scar BCG. Vaksin ini juga menimbulkan sensitivitas terhadap tuberculin (Rahajoe, 2001).

    Kegiatan yang bisa dilakukan untuk meningkatkan cakupan imunisasi BCG antara lain dengan imunisasi keliling di Posyandu dan juga pemberian penyuluhan kepada ibu-ibu hamil di BKIA ataupun Posyandu agar masyarakat tahu dan sadar pentingnya imunisasi BCG untuk mencegah terjadinya penularan TuberkulosisC kepada bayi yang baru lahir.

  • Status gizi
    Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Kedua-duanya juga dapat bermula dari hal yang sama, yaitu kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk. Infeksi dapat berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, misalnya dengan mempengaruhi nafsu makan, kehilangan bahan makanan karena diare atau muntah, mempengaruhi metabolisme makanan dan banyak cara lainnya lagi. Sebaliknya defisiensi gizi meningkatkan risiko infeksi. Defisiensi gizi merupakan awal gangguan defisiensi sistem kekebalan, hal ini menyebabkan terhambatnya reaksi imunologis dan bertambah buruknya kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi, sehingga meningkatkan prevalensi dan keparahan penyakit infeksi (Alisyahbana, 1985). Oleh Karena itu salah salah satu daya tangkal yang baik terhadap penyakit atau infeksi adalah status gizi yang baik pada perempuan, laki-laki, anak-anak maupun dewasa (Achmadi, 2005).

    Berkaitan tentang penyakit Tuberkulosis, status gizi merupakan variable yang sangat berperan dalam timbulnya penyakit tersebut. (Achmadi, 2005). Tuberkulosis dan kurang gizi seringkali ditemukan bersamaan. Infeksi Tuberkulosis menimbulkan penurunan berat badan dan penyusutan tubuh, sedangkan kekurangan makanan akan meningkatkan risiko infeksi dan penyebaran penyakit Tuberkulosis karena berkurangnya fungsi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini (Crafton, 2002)

    Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai risiko 3,7 kali untuk menderita Tuberkulosis paru berat dibandingkan dengan orang yang gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon imunnologik terhadap penyakit.

    Salah satu cara untuk mengukur status gizi anak adalah dengan menggunakan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U). Berat badan (BB) merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran status gizi seseorang saat ini dengan memberikan gambaran perubahan masa tubuh yang sangat sensitive terhadap perubahan yang mendadak karena terinfeksi penyakit. Dalam keadaan normal, dimana status kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin, BB akan mengikuti pertumbuhan umur, sebaliknya dalam keadaan abnormal, BB dapat berkembang lebih cepat atau lebih lambat. Penggunaan indeks BB/U ini dalam pengukuran status gizi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya lebih mudah dan cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut/kronis, dapat berfluktuatif dan sangat sensitive terhadap perubahan kecil. Sedangakan kelemahannya adalah rentan terhadap mis-interpretasi apabila terdapat edema/asites, memerlukan data akurat terutama pada anak balita, sering terjadi kesalahan dalam pengukuran karena pengaruh pakaian atau gerak anak saat penimbangan, selain itu pelaksanaan pengukuran BB/U didaerah terpencil sering menemukan kesulitan dakam menaksir umur anak karena pencatatan umur yang belum baik (Supariasa, Bakri, Fajar, 2002).

  • Status penyakit tertentu
    Keberadaan penyakit infeksi lainnya akan memperparah penderita penyakit Tuberkulosis paru. Pada lembar fakta tuberculosis dilaporkan bahwa situasi Tuberkulosis global terdapat 1,4 juta orang yang meninggal karena Tuberkulosis (320.000 diantaranya wanita) termasuk diantaranya 350.000 orang dengan HIV positif atau total 3.800 orang perhari. Pada tahun 2010 terdapat 5,4 juta kasus baru termasuk sejumlah 1,1 juta kasus Tuberkulosis pada orang penderita HIV. (Kemenkes, 2012).

    Kegiatan yang harus dilakukan adalah dengan memberikan pengobatan secara bersama, sehingga tidak menanbah parah kondisi umum penderita Tuberkulosis paru BTA (+).

  • Status sosial
    Lebih dari 95% kasus yang terjadi pada negara berkembang berasal dari keluarga miskin, sementara itu di negara industri, Tuberkulosis menjangkiti kelompok sosial terpinggirkan (Varaine, Henkes, Gouzard, 2010). WHO juga menyebutkan bahwa 90% penderita Tuberkulosis paru di dunia menyerang sosial ekonomi lemah atau miskin.

    Hubungan antara kemiskinan dengan Tuberkulosis bersifat timbal balik, Tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia rentan kena Tuberkulosis (WHO, 2003). Crofton (2002) dalam bukunya yang berjudul Tuberkulosis Klinis, mengemukakan bahwa morbiditas Tuberkulosis lebih banyak pada penduduk miskit dan daerah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.

    Kondisi sosial ekonomi sendiri mungkin tidak berhubungan langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan (Achmadi, 2005). Kemiskinan juga mengarah pada perumahan yang terlampau padat atau kondisi kerja yang buruk. Keadaan ini dapat menurunkan daya tahan tubuh, yang berakibat pada mudahnya seseorang terjangkit infeksi. Orang-orang hidup dengan kondisi seperti ini juga sering mengalami gizi buruk. (Crofton, 2002). Berkurangnya asupan gizi oleh karena mahalnya harga pokok secara tidak langsung akan melemahkan daya tahan tubuh sehingga mudah seseorang menderita Tuberkulosis (Antariksa, 2008) kompleks kemiskinan tersebut seluruhnya memudahkan infeksi Tuberkulosis berkembang menjadi penyakit (Crofton, 2002).

    Kegiatan yang bisa dilakukan adalah dengan pemberdayaan masyarakat untuk bisa mandiri berupa modal bergilir atau kredit lunak dan pelatihan ketrampilan dalam rangka meningkatkan ekonomi keluarga. Keadaan ekonomi meningkat maka bisa membeli makanan yang bergizi untuk peningkatan daya tahan tubuh terhadap penyakit.

2. Faktor kontak

Faktor kontak/hubungan yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain :

  • Lama kontak
  • Keeratan kontak

Penelitian Musdad (2002) di Tangerang melaporkan bahwa rumah tangga yang penderitanya memiliki kebiasan tidur dengan balita mempunyait risiko 2,8 kali dibandingkan yang tidurnya terpisah. Risiko terjadinya Tuberkulosis paru pada Balita yang dirumahnya ada penderita Tuberkulosis paru sebesar 49,762 kali dibandingkan yang tidak ada penderita Tuberkulosis. (Suhardi, 2006).
Kegiatan yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan sosiallisasi kepada penderita dan keluarga untuk mengurangi berdekatan dalam jarak yang bisa dijangkau tangan atau memberikan penutup mulut kepada penderita Tuberkulosis paru BTA (+) serta tidak tidur dalam satu kamar untuk menghindari penularan.

3. Sumber penularan

Sumber penularan yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain :

  • Sumber penularan serumah
  • Sumber penularan tidak serumah

Penelitian Musadad (2002) di Tangerang dilaporkan angka kejadian penularan Tuberkulosis paru didalam rumah tangga sebesar 13 % (33 kasus). Faktor keberadaan penderita Tuberkulosis paru serumah dengan penderita lebih dari 1 sebesar 4 kali.

4. Kondisi fisik lingkungan rumah tempat tinggal

Kondisi fisik lingkungan tempat tinggal yang sehat akan mengurangi risiko terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis. Syarat-syarat rumah yang sehat, antara lain (Depkes, 1999) :

  • Kondisi lantai rumah
    Kondisi lantai ubin atau semen adalah lebih baik daripada lantai tanah. Syarat terpenting adalah tidak berdebu dan basah atau lembab karena sebagai sarang penyakit.

  • Pencahayaan rumah dan kamar
    Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit, seperti bakteri Tuberkulosis paru. Sebaliknya terlalu banyak cahaya akan menyebabkan silau dan akhirnya merusak mata.

    Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60 – 120 lux. Luas jendela yang baik minimal 10 - 20 dari luas lantai.

  • Ventilasi rumah dan kamar
    Ventilasi mempunyai banyak fungsi, antara lain :

    1. Untuk menjaga aliran O2 (oksigen) dalam rumah tetap terjaga, sehingga menimbulkan udara segar didalam rumah,

    2. Untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri pathogen,

    3. Untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban optimum.

    Ukuran ventilasi minimum yang memenuhi syarat sehat adalah 10 % dari luas lantai.

  • Suhu udara
    Suhu udara didalam rumah berfungsi untuk memberikan rasa nyaman pada penghuninya. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah bertemperatur 18o – 30oC

  • Kelembaban udara
    Kelembaban udara merupakan salah satu media yang baik untuk berkembangbiaknya bakteri-bakteri pathogen didalam rumah. Kelembaban udara yang optimum dan memenuhi syarat sehat berkisar 40% - 70%

  • Kepadatan penghuni rumah
    Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya. Artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan overcrowded . kondisi ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5 – 3m2 untuk tiap anggota keluarga.

    Kondisi fisik lingkungan rumah tempat tinggal besar sekali pengaruhnya terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis paru. Rumah tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat sehat akan meningkatkan risiko penularan ataupun kejadian dari penyakit Tuberkulosis paru.

    Kondisi fisik lingkungan rumah bisa diperbaiki dengan kegiatan penyehatan perumahan atau penyediaan rumah sehat. Penyediaan genteng kaca atau seng plastic bagi rumah penderita Tuberkulosis paru BTA (+) agar matahari bisa masuk ke dalam rumah sangat penting untuk membunuh bakteri Mycobacterium tuberculosis, selain itu juga berfungsi untuk menghilangkan kelembaban ruangan yang mendukung perkembangbiakan bakter tersebut.

5. Kondisi wilayah

Kondisi wilayah yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit Tuberkulosis antara lain:

  • Iklim yang meliputi suhu udara, kelembaban udara, curah hujan
  • Ketinggian tempat dari permukaan laut
  • Ketersediaan unit pelayanan kesehatan (UPK)
  • Infrastruktur wilayah

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (Siswanto, 2008).

Etilogi

Penyebab terjadinya penyakit tuberkulosis adalah basil tuberculosis yang termasuk dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycoba cterium tuberculosa menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium leprae, Mycobacterium paratuberkulosis dan Mycobacterium yang dianggap seba gai Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan.

Mycobacterium tuberculosis termasuk dalam genus mycobacteria. Mycobacterium adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, non motil, habitatnya di tanah, lingkungan aku atik, air, binatang dan manusia. Mycobacterium sekeluarga dengan Corynebacterium dan Actimomycetes (Nester, 2001).

Karakteristik Kuman Tuberkulosa

Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosa hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar ma tahari (Depkes RI, 2002; Notoatmodjo, 2003; Salvato, J dalam Lubis, 1989; Supraptini, dkk, 1999; Prihardi, 2002). Mycobacterium tuberculosa mempunyai panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2 -0,8 mikron. Kuman ini melayang di udara dan disebut droplet nuclei (Girsang,1999).

Menurut Atmosukarto (2000), kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembaba, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun - tahun lamanya. Tetapi kuman tuberkulosis akan mati bila terke na sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api Atmosukarto & Soewasti, 2000). Menurut Girsang (1999), kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi sela ma 5 menit da n juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 %dalam waktu 24 jam.

Bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban y ang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis.

Menurut Gould & Brooker (2003), bakteri Mycobacterium tuberculosa memiliki rentang suhu yang disukai. Mycobacterium tuberculosa merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 – 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31 -37 C (Gould & Brooker, 2003; Gibson, 1996; Girsang, 1999; Salvato dalam Lubis, 1989).

Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosa (Gibson, 1996; Tambajong, 2000; Atmosukarto, 2000). Kuman tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002). Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991), menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata -rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa ”menangkap” kuman TB (Atmosukarto & Soeswati, 2000).

Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa :

  1. Rumah tangga yang penderitanya mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai resiko 2,8 kali terkena tuberkulosis diband ing dengan yang tidur terpisah.
  2. Tingkat penularan tuberkulosis di lingkugan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata -rata dapat menularkan kepada 2 - 3 orang di dalam rumahnya.
  3. Besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita tuberkulosis.

Cara Penularan

Cara Penularan Penyakit TBC Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru -paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain -lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru -paru (Siswanto, 2007).

Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru -paru, maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel -sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membu at jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk -bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto roentgen (Siswanto, 2007).

Pada sebagian orang dengan sistem i mun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang -orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC (Siswanto, 2007 ).

Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai te mpat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC (Siswanto, 2007).

Penemuan dan diagnosis penderita tuberculosis.

Penemuan penderita tuberkulosis dapat dilakukan pada orang dewasa dan anak. Penemuan tuberkulosis pada orang dewasa dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain itu, semua kontak serumah dengan penderita TBC paru BTA Positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.

Diagnosis paling tepat adalah ditemukannya kuman TBC dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, biopsi dan lain -lain. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat. Sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan pada gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada, dan uji tuberkulin. Untuk itu, penting memikirkan TBC pada anak, jika terdapat gejala seperti berikut :

  1. Diagnosis TB pada anak
    1. Gejala umum TBC :

      • Berat badan turun selama 3 bulan berturut -turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.
      • Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh, dan berat badan tidak naik dengan adekuat.
      • Demam lama berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau ISPA) dapat disertai keringat pada malam hari.
      • Pembesaran kelenjar limfe, superfisialis yang tidak sakit, biasanya multiple, paling sering daerah leher, ketiak dan l ipatan paha (inguinal).
      • Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
      • Gejala-gejala saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan/massa di abdomen dan tanda-tanda cairan dalam abdomen.
    2. Gejala spesifik
      Gejala ini biasanya tergantung pada bagian tubuh mana yang terserang, misalnya :

      • TBC kulit / skrofuloderma

      • TBC tulang dan sendi.

        • Tulang punggung (spondilitas) : gibus.
        • Tulang panggul (koksitis) : pincang, pembengkakan di pinggul
        • Tulang lutut : pincang/bengkak.
        • Tulang kaki dan tangan.
      • TBC otak dan syaraf

        • Meningitis : dengan gejala irritable, kaku kuduk, muntah - muntah dan kesadaran menurun.
      • Gejala mata

        • Konjungtivitis fliktenularis.
        • Tuberkel koroid ( hanya terlihat dengan funduskopi).

Hal-hal yang mencurigakan TB:

  1. Mempunyai sejarah kontak erat dengan penderita TB BTA positif
  2. Terdapat reaksi kemerahan lebih cepat (dalam 3 -7 hari) setelah imunisasi dengan BCG
  3. Berat badan turun tanpa sebab jelas atau tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik ( failure to rise)
  4. Sakit dan demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas
  5. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu
  6. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang spesifik/skrofuloderma
  7. Konjungtivitis fliktenularis
  8. Tes tuberkulin yang positif (> 10 mm) 9.Gambar foto rontgen sugestif TB

image
Alur diagnosis TB pada anak

  1. Diagnosis TB pada Orang Dewasa
    Pasien yang mempunyai keluhan batuk terus -menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih, dahak bercampur darah, batuk berdarah, sesak napas dan nyeri dada, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, kurang enak badan, berkeringat pad a malam hari walaupun tidak beraktivitas dan terjadi demam lebih dari sebulan, dianggap sebagai tersangka penderita TB (suspek TB). Semua suspek TB yang ada dicatat dalam formulir daftar tersangka penderita (Formulir TB 06) yang diperiksa dahak SPS. Yang harus dicatat dalam formulir ini adalah nomor urut, nomor identitas sediaan, nama tersangka, umur dan jenis kelamin, alamat, tanggal dan hasil pemeriksaan dahak dan nomor registrasi laboratorium.

    Kemudian pasien dikirim ke bagian laboratorium untuk periks a dahak dengan membawa formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (Formulir TB 05). Selanjutnya dahak dikumpulkan dalam pot yang sudah diberi nomor identitas, nama, umur, alamat suspek dan kode pengambilan dahak (A, B, C). Kode A menunjukkan dahak (S) sewaktu pertama, B untuk dahak § pagi dan C untuk dahak § sewaktu kedua. Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah kemungkinan tertukarnya sediaan yang sama dengan yang tertulis pada label pot, yaitu terdiri dari nama, umu r, alamat dan kode pengambilan dahak.

    Semua suspek TB harus diperiksa 3 spesimen dahak SPS dalam waktu 2 hari kunjungan yang berurutan. Dahak (S) Sewaktu dikumpulkan pada saat suspek datang berkunjung pertama kali ke puskesmas, kemudian suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak hari kedua. Dahak § Pagi dikumpulkan suspek dirumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas laboratorium. Dahak (S) Sewaktu dikumpulkan pada hari kedua, sa at menyerahkan dahak pagi ke laboratorium.

    Di laboratoriun dilakukan pembuatan dan penyimpanan sediaan hapus dahak. Prosedur pembuatan dan penyimpanan sediaan hapus dahak yang dilakukan oleh petugas laboratorium TB yaitu:

    1. Ose dipanaskan di atas nyala api s pirtus sampai merah membara dan dibiarkan dingin.
    2. Dahak diambil sedikit dari bagian yang kental dan kuning kehijau - hijauan menggunakan ose yang telah disterilkan tadi.
    3. Dahak dioleskan secara merata pada permukaan kaca.
    4. Ose dimasukkan ke dalam botol yang berisi pasir dan alkohol 70 % kemudian digoyang-goyang untuk melepas partikel yang melekat pada ose.
    5. Setelah itu ose dipanaskan di atas api spirtus sampai merah membara.
    6. Sediaan dilewatkan di atas api spirtus sebanyak tiga kali untuk fiksasi
    7. Semua sediaan yang sudah difiksasi disimpan dalam kotak sediaan.

    Kemudian dilakukan pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen dan pembacaan sediaan. Hasil pembacaan sediaan dicatat dalam formulir TB 05. Bila hasilnya adalah 1 sediaan yang positif maka perlu dilakukan pemer iksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan SPS ulang. Bila hasil pemeriksaan foto rontgen dada mendukung TB maka penderita didiagnosis penderita BTA positif, tetapi bila hasil tidak mendukung TB maka pemeriksaan SPS diulang. Bila pemeriksaan SPS ulang hasilnya BTA positif maka penderita didiagnosis penderita BTA positif, tetapi bila hasilnya negatif maka dilakukan pemeriksaan rontgen ulang. Bila hasil pemeriksaan rontgen ulang mendukung TB maka penderita didiagnosis penderita BTA negatif r ontgen positif, tetapi bila hasil rontgen negatif maka di diagnosis bukan TB tetapi penyakit lain.

    Bila ketiga sediaan dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya Kotrimoksasol, Amoksilin) selama 1 – 2 minggu. Bila hasil pengobatan tidak ada perubahan maka dilakukan pemeriksaan dahak ulang. Jika hasil SPS positif maka didiagnosis sebagai penderita BTA positif, jika hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif, tetapi bila hasil tidak mendukung TB maka didiagnosis sebagai bukan TB. Pasien didiagnosis penderita TB BTA positif bila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Setiap spesimen dahak yang telah selesai dibaca terlebih dahulu sebelum akhirnya dibuang sebagai sampah infeksius

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paru-paru tetapi dapat juga mengenai organ lainnya seperti selaput otak, tulang, kelenjar superfisialis dan lain-lain.

Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi Mycobacterium tuuberculosis terjadi respon imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji tuberkulin (Ranuh et.al, 2011). Gejala umum TB pada orang dewasa adalah batuk yang terus-menerus selama 2-3 minggu atau lebih, batuk berdahak kadang berdarah, nyeri dada, penurunan berat badan, demam, menggigil, berkeringat malam hari, kelelahan, dan kehilangan selera makan.

Bakteri ini biasanya menyerang orang lain, misalnya ginjal, tulang belakang, otak, kelenjar, dan sebagainya. Pada anak-anak gejala tuberkulosis paru berbeda dengan orang dewasa, keluhan yang sering dijumpai adalah anak tidak mau makan, berat badan jauh di bawah rata-rata anak seumurnya.

Penderita yang sudah positif menderita tuberkulosis diobati melalui Program Nasional Penanggulangan TBC (Strategi DOTS). Penderita harus mengonsumsi OAT (Obat Anti Tuberkulosis) minimal 6 bulan. Cara pencegahan yang paling efektif yaitu dilakukan melalui vaksinasi (Cahyono, 2010).