“Stereotype” berasal dari dua rangkaian kata Yunani, yaitu stereos, yang mermakna “solid,” dan typos, bermakna “the mark of a blow,” atau makna yang lebih umum yaitu “a model”
Di Indonesia secara umum stereotip diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk tetap; berbentuk klise; konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkanprasangka yang subjektif dan tidak tepat
Oleh karena itu, stereotip berkenaan tentang model yang kuat, dan sebenarnya arti awal dalam terminologi bahasa Inggris menunjuk pada suatu lapisan logam yang biasa digunakan untuk mencetak halaman.
Miller (1982) mengungkapkan bahwa stereotip tersebut mengandung dua konotasi, yaitu kekakuan (rigidity) dan salinan atau kesamaan (duplication or sameness), dan ketika diaplikasikan kepada orang, stereotip merupakan sesuatu yang kaku, dan stereotip tersebut menunjuk atau mengecap kepada semua orang yang dituju dengan karakteristik yang sama.
Terminologi stereotip sebenarnya digunakan sejak dahulu yaitu sekitar tahun 1824 untuk menunjukkan pada perilaku yang terbentuk, dan baru pada awal abad ke 20-an, stereotip biasa digunakan untuk menunjukkan pola perilaku yang kaku, berulang-ulang, dan sering mengalami irama (Schneider,2004).
Istilah stereotip paling banyak digunakan untuk menunjukkan karakteristik yang seseorang aplikasikan pada orang lain atas dasar nasionalisme, etnik, atau kelompok jender mereka.
Walter Lippman sampai saat ini dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan stereotip dan membahasnya secara ilmiah dalam bukunya, public opinion, yang terbit tahun 1922. Sejak itulah, stereotip mendapat tempat dalam literatur ilmu-ilmu sosial, baik sebagai konsekuensi maupun sebagai peramal tingkah laku manusia.
Walaupun studi tentang stereotip telah berkembang dengan pesat, pengertian stereotip yang dipergunakan dalam setiap studi itu tidak berbeda dengan ide asli Lippmann. Menurut Lippmann (1922), stereotip adalah gambar di kepala yang merupakan rekonstruksi dari keadaan lingkungan yang sebenarnya. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa stereotip merupakan salah satu mekanisme penyederhana untuk mengendalikan lingkungan, karena keadaan lingkungan yang sebenarnya terlalu luas, terlalu majemuk, dan bergerak terlalu cepat untuk bisa dikenali dengan segera. Gambaran tentang keadaan lingkungan itulah yang menentukan apa yang seseorang lakukan. Dengan demikian, tindakan-tindakan seseorang tidaklah didasarkan pada pengenalan langsung terhadap keadaan lingkungan sebenarnya, namun berdasarkan gambaran yang dibuatnya sendiri atau yang diberikan kepadanya oleh orang lain.
Stereotip merupakan suatu bentuk kategorisasi yang kompleks, yang secara mental mengatur pengalaman dan menuntun sikap pada suatu kelompok orang tertentu. Sehingga hal tersebut menjadi alat yang mengatur gambaran ke dalam kategori yang bersifat tetap dan sederhana, di mana digunakannya untuk mewakili seluruh kumpulan orang-orang. Para ahli psikologi seperti Abbate, Boca, dan Bocchiaro (2004) menawarkan suatu definisi yang lebih formal mengenai stereotip, yaitu
“is cognitive structure containing the perceiver’s knowledge, beliefs, and expectancies about some human social groups”.
Alasan bagi yang memandang munculnya stereotip merupakan suatu yang alami adalah manusia mempunyai kebutuhan psikologi untuk mengkategorikan dan mengklasifikasi, karena sangat mustahil bagi seseorang untuk berusaha mengetahui semua dengan detail atas dunia yang sangat besar, kompleks, dan sangat dinamis (Samovar, Porter, & McDaniel, 2009).
Setidaknya terdapat tiga prinsip yang berguna dalam melihat dan mengidentifikasi stereotip, seperti yang dikemukakan oleh Craig McGarty, yaitu: (a) stereotypes are aids to explanation, (b) stereotypes are energy- saving devices, and © stereotypes are shared group beliefs (McGarty, Yzerbyt dan Spears, 2004).
-
Prinsip pertama menyiratkan bahwa stereotip yang terbentuk membantu seseorang dalam memahami atau menjelaskan suatu kondisi tertentu,
-
Prinsip yang kedua menyiratkan bahwa stereotip membantu individu dalam usaha seseorang dalam memahami sesuatu,
-
Prinsip yang ketiga menyiratkan bahwa stereotip terbentuk sesuai dengan pemenerimaan pandangan atau norma-norma dari kelompok sosial yang dimiliki seseorang.
Sedangkan Schneider sendiri mengartikan stereotip sebagai
“qualities perceived to be associated with particular groups or categories of people” (2004),
dari definisi ini, stereotip diartikan sebagai persepsi terhadap kelompok tertentu yang mempunyai tingkatan, atau dengan kata lain, stereotip merupakan pandangan atau kepercayaan yang memiliki variasi keakuratan, tergantung sejauh mana individu dalam melihat sifat-sifat pada anggota kelompok tersebut.
Sedangkan Martin dan Nakayama melihatnya sebagai
“widely held beliefs about a group of people” (2007),
yaitu suatu kepercayaan luas mengenai kelompok budaya tertentu baik kepercayaan yang bersifat positif maupun negatif.
Stereotip adalah kepercayaan atau gambaran umum yang dimiliki oleh individu terhadap anggota kelompok tertentu sebagai sesuatu yang bersifat normal, karena melihat individu sebagai makhluk yang selalu memproduksi dan mereproduksi pesan (West & Turner, 2004) dalam kehidupan sehari-hari.
Kepercayaan dan gambaran umum atas suatu kelompok tersebut mempunyai perbedaan kualitas pengetahuan individu, karena stereotip yang bisa didapat dari media, keluarga ataupun teman sebaya (Martin dan Nakayama, 2007).
D. T. Campbell (1967) memberikan petunjuk bahwa semakin besar perbedaan yang nyata tentang kebiasaan-kebiasaan tertentu, segi penampilan fisik, atau benda-benda kebudayaan, semakin besar kemungkinan hal-hal itu tampil pada gambaran stereotip dari kelompok tertentu tentang kelompok lain.
Permasalahan stereotip ini tidak bisa hanya dipandang sebatas permasalahan sosial semata, melainkan sering dikaitkan dengan permasalahan komunikasi antarbudaya
Pembelajaran komunikasi antarbudaya sering berfokus pada pada bagaimana suatu kelompok budaya berbebeda dengan kelompok budaya lainnya (Martin dan Nayama, 2007). Dalam komunikasi antarbudaya tersebut, stereotip memainkan fungsinya sebagai pengetahuan (knowledge) (Macrae, Stangor, & Hewstone, 1996; Martin dan Nayama, 2007) yang membantu individu dalam mengorganisir dan mengkategorisasi pemahaman terhadap kelompok budaya tertentu tanpa harus menguras banyak energi ketika bertemu secara langsung, sehingga seringkali tanpa disadari menjadikan tema stereotip merupakan bagian dari bahasa sehari-hari (Nelson, 2009).
Terkait dengan kajian komunikasi antabudaya, Schneider (2004) mengungkapkan bahwa ternyata budaya menyediakan sejumlah stereotip bagi seseorang untuk menyebarkannya secara strategis, menyediakan sejumlah motif untuk menjelaskan beberapa perbedaan kelompok, atau sebuah saluran pengalaman sosial seseorang dalam cara-cara yang mendorong beberapa stereotip. Dengan demikian, peran budaya dan pengalaman individu tidak dapat dipisahkan dalam membentuk stereotip atau berbagai produk yang lain dari sistem berfikir manusia, yaitu di mana budaya menyediakan berbagai kategori bagi aktifitas kognitif individu.
Sejalan dengan tema dalam penelitian ini yang membahas mengenai etnis, Warnaen (2002) mendefinisikan stereotip sebagai “kategori khusus tentang keyakinan yang mengaitkan golongan-golongan etnis dengan atribut- atribut pribadi.”
Selanjutnya, dari stereotip yang masih bersifat umum ini, Warnaen mencoba untuk lebih spesifik lagi dengan mendefinisikan stereotip etnis sebagai “kepercayaan yang dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis tentang sifat-sifat khas dari berbagai golongan etnis, termasuk golongan etnis mereka sendiri” (2002).
Dari definisi yang diberikan Warnaen ini, kemudian ia mengatakan bahwa terdapat empat unsur penting yang terkandung dalam definisi tersebut, yaitu:
- Stereotip termasuk kategori kepercayaan. 2. Stereotip yang dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis yang disebut konsensus. Hal ini adalah unsur yang sangat penting untuk membedakan stereotip dan sikap mental yang mencakup prasangka.
- Sifat-sifat khas yang diatribusikan, ada yang bersifat esensial dan ada yang tidak.
- Golongan etnisnya sendiri bisa dikenai stereotip yang dinamakan otostereotip (Warnaen, 2002).
Walaupun telah dikatakan bahwa stereotip merupakan sesuatu yang bersifat normalitas yang dimiliki individu, akan tetapi seringkali stereotip atas suatu kelompok budaya tertentu sulit sekali untuk dirubah, sebagaimana yang dikatakan oleh Meshel dan McGlynn (2004: 461) bahwa,
“Once formed, stereotypes are resistant to change, and direct contact often strengthens the pre-existing association between the target group and the stereotypical properties”.
Bahkan setelah bertemu secara tatap muka diantara kelompok, stereotip yang ada menjadi semakin kuat. Seperti yang juga dikatakan oleh Yehuda Amir (1969 dalam Warnaen, 2002: 93-94) dalam membuat tinjauan terhadap penelitian-penelitian tentang pengaruh kontak terhadap stereotip, yang menarik kesimpulan bahwa hubungan antara kontak dan stereotip tidak sederhana. Sikap yang melandasi stereotip dipengaruhi oleh kontak, tidak hanya dalam arahnya tetapi juga intensitasnya.
Biasanya stereotip (stereotype) sering disamakan dengan prasangka (prejudice) maupun diskriminasi (discrimination). Walaupun ketiga hal ini terdapat suatu hubungan yang dekat dalam konteks interaksi antarindividu maupun kelompok, akan tetapi sebenarnya ketiga hal tersebut berbeda dalam prakteknya.
Seperti yang dijelaskan oleh Schneider (2004) bahwa stereotip (stereotype) diartikan sebagai suatu bentuk keyakinan yang seseorang miliki mengenai orang lain yang didasarkan pada kategori; sedangkan prasangka (prejudice) merupakan sekumpulan reaksi atau sikap yang bersifat afektif; dan diskriminasi (discrimination) menunjuk pada kecenderungan tingkah laku.
Tingkatan Stereotip
Terkadang stereotip digambarkan dengan baik melalui struktur- struktur pengetahuan yang mempelajari mengenai kelompok sosial yang secara sederahana kemudian dimunculkan dipermukaan, akan tetapi dilain waktu stereotip tersebut di konstruksi di dalam suatu koteks dari sumber yang tersedia.
Russell Spears beragumen bahwa jika yang diinginkan adalah melihat bagaimana stereotip terbentuk, maka seseorang seharusnya menganggapnya lebih dinamis dan proses sosial yang menentukan hubungan diantara kelompok, bagaimana makna yang digali, dikonstruksi dan berkembang dari waktu ke waktu (McGarty, Yzerbyt dan Spears, 2004).
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa terbentuknya stereotip selalu berkenaan pada permulaan kehidupan kelompok, melainkan stereotip dapat berkembang dan berubah berdasarkan konteks yang komparatif.
Teori kategori diri (self-categorization), dengan tradisinya yang sudah umum, telah banyak berbicara mengenai bagaimana seseorang menggali dan mengembangkan makna yang membentuk dasar bagi identitas kelompok dan stereotipisasi sosial. Kekuatan pertama dari pendekatan ini bahwa mereka bersifat dinamis (McGarty, Yzerbyt dan Spears, 2004), dalam arti pendekatan tersebut terkait dengan perbandingan antarkelompok dan sehingga berubah-ubah berdasarkan konteks, dengan hasil bahwa pendekatan ini tidak menganggap isi stereotip sebagai sesuatu yang bersifat tetap. Terdapat hal penting yang patut diketahui sebagaimana Spears mengatakan, bahwa orang-orang tidak hanya menemukan perbedaan kelompok dan isi stereotip secara induktif dan dari pengalaman sendiri (at first hand), melainkan belajar berbagai perbedaan dari di luar dirinya (at second hand) dan dari berbagai sumber sosial (McGarty, Yzerbyt, & Spears, 2004).
Dalam pembentukan stereotip, menurut Spears terdapat empat tingkatan stereotipe yang didasarkan pada: pertama, pada sumber atau data yang tersedia sebagai rangsangan di dunia sosial, dan kedua pada pengetahuan dan harapan (dugaan). Empat tingkatan tersebut yaitu: (1) “Buttom up”; (2) A bit of “buttom up”; (3) A bit of “top down”; (4) Neither up nor down.
Berikut ini penjelasan dari setiap tingkatan pembentukan stereotip:
1. “Bottom up”
Pada tingkatan ini juga disebut sebagai “information rich”, yang mempertimbangkan bahwa orang-orang menghasilkan stereotip berasal dari suatu data atau fakta-fakta atas suatu kelompok, atau bisa dikatakan perbedaan diantara kelompok sangat jelas terlihat karena tersedianya banyak informasi atau data sehingga hal tersebut menjadi dasar dari pembentukan stereotip, tanpa membuat atau menggunakan aumsi mengenai perbedaan kelompok.
Pada tingkatan ini bisa dikatakan alasan yang paling langsung berterus terang dari pembentukan stereotip, dan yang mungkin paling umum dipahami untuk merepresentasikan proses ini (dan tingkatan yang mempersatukan pendekatan proses informasi dari tradisi kognisi sosial dengan analisis para penteori self-categorization.
Ketika stereotip ini menimpa anggota kelompoknya sendiri maka prinsip self-enhancement (dimana seseorang untuk lebih menyukai identitas sosial yang positif dari pada yang bersifat negatif.) dan dimensi evaluasi menjadi hal yang lebih penting dalam membentuk stereotip. Prinsip teori identitas sosial yang ketika melihat sesuatu bersifat sama atau sederajat, maka kelompok akan cenderung untuk melihat kelompok mereka sendiri secara positif dalam sebuah arena perbedaan.
Dalam tingkatan pembentukan stereotip jenis “buttom up” ini, keterangan maupun data-data dari pembelajaran di mana orang-orang di kenalkan dengan beberapa informasi maka menggunakan informasi ini sebagai dasar dari perbedaan stereotip diantara kelompok, khususnya kebaikan di dalam kelompok. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip kesesuaian perbandingan (comparative fit) dan meta-contrast yang kemudian di elaborasi dalam teori kategorisasi diri (self-categorization), yang secara umum mengatakan semakin baik dan semakin jelas perbedaan kelompok, maka semakin hal tersebut akan digunakan sebagai dasar-dasar pembentukan stereotip, yang sesuai dengan pandangan bahwa perbedaan tersebut menjadi dasar pemaknaan untuk mengintepretasi realitas sosial.
Ketika teori Identitas Sosial (Social Identity Theory) menegaskan fakta bahwa kesamaan kelompok dapat meningkatkan perbedaan (karena ancaman pada kekhususan atau kejelasan kelompok), teori kategorisasi diri (Self-Catecorization Theory) secara khusus menekankan perbedaan kelompok sebagai sebuah dasar untuk penonjolan kategori dan stereotipisasi
2. A bit of “bottom up”
Secara umum, A bit of “bottom up” dipahami sebagai tingkatan di mana data atau informasi yang dipakai untuk pembeda, pada salah satu atau kedua kelompok, terbatas akan tetapi dapat di pakai sebagai pengambil keputusan sebagai proses pembentukan stereotip.
Dengan kata lain, beberapa dasar untuk penggalian stereotip kelompok mungkin saja ditemukan di dalam suatu data yang hampir tidak kelihatan secara jelas atau menjadi kesimpulan dalam suatu perbandingan konteks (McGarty, Yzerbyt dan Spears, 2004).
Hal ini menunjukkan bahwa data yang sedikit saja sering menjadi pijakan seseorang (a little data can often go a long away), dan memungkinkan seseorang untuk melewati data dalam menarik kesimpulan stereotip. Beberapa bentuk stereotip kelompok luar (out-group) yang tidak diketahui sering kali dihasilkan, pada banyak cara yang sama, dalam membandingkan pengetahuan dari kelompok dalam (in-group).
Perlu diperhatikan bahwa isi dari stereotip kemungkinan besar di informasikan oleh apa yang seorang ketahui mengenai kelompoknya sendiri, dan secara evaluatif berkemungkinan akan dibedakan dari atribut-atribut pada sesuatu perbandingan yang terkait.
3. A bit of “top down”
Di mana terdapat informasi atau data hanya secukupnya untuk mengkonstruksi atau menduga stereotip dalam suatu konteks yang berkaitan. Maksudnya, stereotip dapat juga dihasilkan dari beberapa bentuk pengetahuan atau dari suatu harapan (bisa disebut “top down”), sekalipun dari informasi yang sangat terbatas seperti latarbelakang pengetahuan atau penamaan ketegori.
Seorang yang mempunyai sejumlah pengetahuan dari suatu kelompok memperkenankan stereotip di konstruksi dalam suatu konteks walapun orang tesebut hanya mempunyai pengetahuan yang sangat sedikit, bahkan terkadang orang yang berpengetahuan sedikit ini mencoba keluar dari informasi yang diberikan, dan membentuk keterkaitan stereotip kelompok dalam pertanyaan .
Keterangan yang menyatakan bahwa seorang yang mahir dapat membentuk stereotip dari informasi yang sangat sedikit, bertolak belakang dengan ide yang menyatakan bahwa stereotip merefleksi pengetahuan yang tersimpan yang secara langsung ditujukan pada kelompok merupakan suatu yang sudah tetap.
Seseorang dapat menghasilkan perbedaan stereotip dari potongan dan kepingan pengetahuan yang dimiliki dari kelompok (dari mana dia berasal atau sejarahnya) dan pengetahuan ini menolong seorang tersebut untuk mengkonstruksi pebedaan diantara kelompok, bahkan ketika tidak ada data yang secara langsung yang menunjukkan perbedaan. Pembentukan stereotip pada tingkatan ini dapat dihasilkan dari sejumlah teori dan harapan (sesuatu yang juga disebut dengan normative fit), dan pengetahuan umum yang menyediakan sebuah alasan dalam realitas sosial yang, jika tidak langsung pada data, merupakan “penantian dalam rencana” (waiting in the wings) yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk berbicara (McGarty, Yzerbyt dan Spears, 2004).
4. Neither up nor down
Spears mengatakan bahwa tingkatan ini juga disebut dengan “information poor” di mana tidak terdapat data maupun informasi yang jelas dan nyata (absence of either “bottom up” or “top down”) mengenai perbedaan diantara kelompok sebagai dasar untuk pembeda (McGarty, Yzerbyt & Spears, 2004).
Terdapat pertanyaan pada jenis tingkatan pembentukan stereotip ini, apa yang terjadi ketika suatu kelompok tidak mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan kelompok tersebut baik dari segi hubungan harapan stereotip yang sudah ada sebelumnya maupun dalam hal data?
Terdapat satu jawaban untuk merespon pertanyaan ini, yaitu terkait dengan prinsip dari kategori diri (self-categorization) yang secara sederhana tidak menetapkan suatu dasar untuk perbedaan kategori (baik itu berhubungan dengan normative fit maupun comparative fit), yaitu menggali sesuatu yang bersifat menonjol dari perbedaan kelompok.
Hal ini seperti yang juga dikatakan oleh Gaetner dan koleganya (1993), dan Turner dengan kolega (1987) bahwa tidak adanya suatu perbedaan kelompok mungkin memunculkan pertimbangan kategori diri dan sosial lebih pada tingkatan interpersonal dan antarkelompok. Apakah ini berarti kelompok-kelompok yang tidak mempunyai perbedaan yang jelas tidak akan terbedakan? Para peneliti mengatakan bahwa, dalam faktanya, kesamaan kelompok dapat mendorong (stimulate) kebutuhan untuk mengadakan perbedaan diantara mereka sebagai alasan baik yang bersifat peningkatan (peninggian) maupun kekhasan (McGarty, Yzerbyt & Spears, 2004).
Lebih jauh lagi, Spears menjelaskan bahwa ketiadaan perbedaan diantara kelompok memungkinkan seseorang untuk lebih memotivasi prinsip-prinsip kekhasan dan peningkatan dalam perkembangan ke depannya, yang tentu saja mengasumsikan terdapat tanggungjawab kelompok untuk cukup untuk mengendalikan pergantian menuju identitas yang lain (McGarty, Yzerbyt & Spears, 2004). Yang menarik dari tingkatan pembentukan stereotip ini bahwa ketiadaan perbedaan stereotip dapat memunculkan suatu kondisi bagi terbentuknya perbedaan secara sangat kuat, dalam hal ini terjadi bias kelompok dalam (ingroup).
Dari keempat tingkatan di atas, suatu stereotip yang berasal dari proses kategorisasi dalam diri individu dapat diketahui secara jelas berada pada tingkatakan tertentu. Hal ini terlihat dari sumber-sumber data (pengetahuan) yang dimiliki seseorang untuk mendorong memunculkan suatu stereotip. Suatu data pengetahuan seseorang dapat didapatkan dari pengalaman peribadi maupun informasi eksternal seperti keluarga, teman dan media massa, bahkan ketika tidak adanya suatu data yang dimiliki seseorang, suatu data pengetahuan dapat dibangun atas dasar suatu tujuan tertentu.