Apa yang dimaksud dengan Radang atau inflamasi?

Radang (inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi.

Apa yang dimaksud dengan Radang atau inflamasi ?

Radang adalah reaksi setempat dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau injury (Sudiono dkk., 2003).

Jaringan yang mengalami radang dapat ditemukan tanda-tanda kardinal klasik, seperti kalor atau panas, rubor atau merah, tumor atau bengkak, dolor atau rasa sakit dan functiolaesa atau gangguan fungsi. Tanda–tanda tersebut di atas dijumpai pada kondisi radang akut. Namun bila fokus radang sudah mulai berkurang, tanda tersebut akan menghilang. Hal ini dijumpai pada radang kronik (Mitchell & Cotran, 2003).

Secara mikroskopik, pada radang akut dijumpai serbukan sel leukosit PMN yang lebih menyolok dibandingkan dengan sel–sel mononukleus, dan sebaliknya pada radang kronik dijumpai serbukan sel–sel mononukleus, terutama sel limfosit lebih mencolok dibandingkan sel lekosit PMN (Sulistiawati, 2011).

Etiologi Radang


Radang dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain adalah benda yang mati maupun benda yang hidup. Penjelasan mengenai benda tersebut adalah:

  1. Benda mati dapat berupa rangsangan fisik dan kimia. Yang termasuk rangsang fisik adalah trauma, benda asing, rangsang termis, listrik, tekanan, dan radiasi. Rangsangan kimia yang dimaksud adalah asam dan basa yang kuat, dan obat.

  2. Benda hidup dapat berupa kuman patogen, bakteri, virus, parasit.

Selain itu juga ada reaksi imunologi dan gangguan vaskuler serta hormonal yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Kuman dan parasit mengiritasi jaringan melalui zat kimia yang dilepaskan atau diproduksi berupa toksin dan juga bertindak sebagai rangsang mekanis akibat adanya benda tersebut dalam sel atau jaringan.

Tanda Utama Radang


Tanda utama radang (cardinal symptom) yang ditetapkan oleh Cornelius Celsus antara lain (Sudiono dkk., 2003):

  1. Rubor atau kemerahan, disebabkan karena adanya hiperemia aktif karena bertambah banyaknya vaskularisasi di daerah cedera tersebut.

  2. Kalor atau panas, disebabkan karena hiperemia aktif.

  3. Tumor atau bengkak, sebagian disebabkan karena hiperemia aktif dan sebagian disebabkan karena edema setempat serta stasis darah.

  4. Dolor atau sakit, disebabkan karena terangsangnya serabut saraf pada daerah radang. Belum jelas apakah karena terangsangnya serabut saraf ataukah karena iritasi zat kimia yang terlepas, misalnya asetilkolin dan histamin. Zat ini berguna untuk meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah. Bahan lain yang berperan penting adalah bradikinin, dimana jika seseorang disuntik bradikinin tidak murni, zat ini akan menyebabkan rasa nyeri pada permukaan kulit sebelum terjadi migrasi sel darah putih.

  5. Fungtiolaesa, yaitu berkurangnya fungsi. Radang merupakan proses yang kompleks, yang menyebabkan terjadinya perubahan di dalam jaringan tubuh.

Mekanisme Radang


radang

Perubahan vaskuler pada radang yaitu dapat terjadi proses berupa perubahan pembuluh darah dengan dilatasi arteri lokal sehingga aliran darah bertambah yang disusul dengan perlambatan aliran darah sehingga sel darah putih akan berkumpul sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara menempel.

Hal ini menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lama menjadi longgar sehingga memungkinkan sel darah putih untuk keluar. Dan sel darah putih disini bertindak sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi serangan benda asing.

Proses lain yang terjadi adalah pembentukan cairan inflamasi yaitu dengan peningkatan permeabilitas kapiler pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan yang disebut eksudasi, cara ini yang menjadi dasar pembengkakan sehingga terjadi tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga terasa nyeri.

Urutan perubahan pada pembuluh darah karena pelepasan substansi vaso aktif adalah sebagai berikut (Price &Wilson, 2005):

  1. Dilatasi arteriol yang kadang–kadang didahului vasokontriksi singkat.

  2. Aliran darah menjadi cepat dalam arteriol, kapiler, dan venula.

  3. Dilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas kapiler.

  4. Eksudasi cairan yaitu keluarnya cairan radang melalui membran luka termasuk semua protein plasma seperti albumin, globulin, dan fibrinogen.

  5. Konsentrasi sel darah merah dalam kapiler.

  6. Stasis atau aliran darah menjadi lambat, kadang–kadang aliran darah berhenti atau yang disebut stagnasi komplit.

  7. Orientasi periferal sel darah putih pada dinding kapiler.

  8. Eksudat dari sel darah putih dari dalam pembuluh darah ke fokus radang. Sel darah putih yang pertama keluar adalah polimorfonuklear, kemudian monosit, limfosit dan sel plasma. Urutan kejadian pada pembuluh darah ini merupakan proses yang kompleks dan dinamis, sehingga sering perubahan di atas terjadi bersamaan. Oleh karena itu, proses radang dikelompokkan dalam tiga kejadian yang saling berhubungan, yaitu perubahan pada pembuluh darah atau perubahan hemodinamik, eksudasi cairan atau perubahan permeabilitas, dan eksudasi seluler atau perubahan sel leukosit. Setiap ada cidera, terjadi rangsangan untuk dilepaskannya zat kimia tertentu yang akan menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut. Walaupun belum diketahui secara pasti, tetapi salah satu zat yang dimaksud adalah histamin.

    Selain itu ada pula zat lainnya misalnya, serotonin atau 5−hidroksitritamin, globulin tertentu, nukleosida, dan nukleotida. Zat–zat ini akan tersebar di dalam jaringan dan menyebabkan dilatasi pada arteriol (Sudiono dkk., 2003; Price & Wilson, 2005).

    Dilatasi kapiler yang segera terjadi setelah itu disebabkan oleh efek langsung dari bahan humoral terhadap dindingnya yang tipis. Selain itu, dilatasi ini juga disebabkan oleh zat kimia dan menimbulkan perubahan pada sel endotel pembuluh darah sehingga permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat. Cairan plasma keluar ke jaringan sehingga tekanan hidrostatik darah lebih tinggi. Dengan keluarnya cairan dari pembuluh darah, sel–sel darah merah akan berubah menjadi lebih lengket satu sama lain dan menggumpal, akibatnya darah menjadi lebih kental dan pergerakan menjadi lebih lambat.

    Aliran darah yang lambat ini akan menyebabkan terjadinya stasis, bahkan kadang−kadang dapat terhenti sama sekali, keadaan ini dinamakan stagnasi total. Pada keadaan normal, sel darah mengalir secara aksial, yaitu berada ditengah pembuluh darah, sedangkan di tepinya berisi cairan bening yang dinamakan zona plasma. Sel darah putih yang lebih besar dari sel darah merah berada paling jauh dari dinding pembuluh darah, dikelilingi oleh sel darah merah. Jika terjadi suatu radang akan terjadi perubahan distribusi sel–sel darah.

    Oleh karena aliran darah yang lambat, sel darah merah akan menggumpal sehingga lebih besar dari sel darah putih. Akibatnya sel darah putih akan terdesak kepinggir, sedangkan sel darah merah pindah ke tengah. Makin lambat aliran darah, sel darah putih akan menempel pada sel endotel dinding pembuluh darah, makin lama makin banyak. Keadaan ini dinamakan pavamenting (Sudiono dkk., 2003; Price & Wilson, 2005).

    Bersamaan dengan itu, terjadi pula perubahan aliran limfe. Makin banyak cairan eksudat terkumpul di jaringan, saluran limfe juga akan melebar. Selain itu, sel endotelium pembuluh limfe menjadi permeabel, sehingga sel dan molekul yang lebih besar dapat melewati dinding pembuluh darah. Hal ini berguna untuk menghilangkan eksudat daerah radang. Sel darah putih yang melekat pada pembuluh darah akan mengeluarkan pseudopodia, bergerak secara amuboid sehingga dapat keluar dari pembuluh darah ke jaringan. Selain itu muatan listrik sel endotel akan berubah. Dalam keadaan normal, sel darah bermuatan negatif, dinding pembuluh darahpun bermuatan negatif sehingga sel darah mengalir ditengah (Sudiono dkk., 2003; Price & Wilson, 2005).

    Jika ada radang, sel darah negatif, tetapi dinding pembuluh darah berubah positif, karena itu sel darah putih tertarik ke pinggir. Sel endotel sendiri mengalami perubahan. Normalnya sel endotel gepeng tetapi dengan adanya radang, sel endotel menjadi lebih besar dan merenggang satu dengan lainnya.

Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).

Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel (Robbins, 2004).

Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan (Corwin, 2008).

Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh mekanisme yang berbeda :

  • Fase akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler.

  • Reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit.

  • Fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis (Wilmana, 2007).

Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah:

  1. Kemerahan (rubor)
    Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin, 2008).

  2. Rasa panas (kalor)
    Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007).

  3. Rasa sakit (dolor)
    Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal:

    1. adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat-zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf-saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).
  4. Pembengkakan (tumor)
    Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).

  5. Fungsiolaesa
    Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi. (Wilmana, 2007).

Selama berlangsungnya respon inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal antara lain histamin, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (PG). Dengan migrasi sel fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan tidak berefek terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG (Wilmana, 2007).

Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranan dalam inflamasi
Gambar Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranan dalam inflamasi. (Sumber : Robbins, 2004)

Radang adalah reaksi pertahanan tubuh terhadap iritan. Iritan dapat berupa fisik, kimia, atau mikroorganisme. Dalam reaksi ini ikut berperan pembuluh darah, saraf, cairan dan sel-sel tubuh di lokasi injury tersebut. Proses peradangan menghilangkan, melarutkan dan membatasi agen penyebab injury , serta merintis jalan untuk penyembuhan jaringan10.

Walaupun radang dan penyembuhan merupakan dua proses yang berbeda, tapi keduanya saling berkaitan pada reaksi jaringan terhadap injury . Pada tahap awal, reaksi radang lebih berperan, namun kemudian penyembuhan akan lebih berarti. Meskipun demikian penyembuhan telah tampak pada reaksi radang tahap dini, walaupun baru terlihat lengkap bila radang aktif telah berkurang.

Pada banyak kasus, proses peradangan adalah menguntungkan, tetapi terkadang peradangan dapat merugikan. Batasan waktu dalam klasifikasi peradangan tidak banyak artinya. Pembatasan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologik reaksi10.

Radang akut terjadi dalam durasi yang singkat. Berlangsung selama beberapa jam atau hari. Pada radang akut terjadi respon vaskular dan respon selular. Gambaran klasik radang akut adalah kemerahan, edema, panas, dan rasa sakit. Ini menunjukkan dominannya respon vaskular pada radang akut. Selain itu terjadi juga kehilangan fungsi jaringan. Respon selularnya sebagian besar terdiri dari neutrofil, sehingga terjadilah akumulasi pus.

Perubahan paling awal pada pembuluh darah setelah injury adalah vasokonstriksi arteriol dalam waktu yang singkat. Pada injury yang ringan vasokonstriksi berlangsung selama beberapa detik, sedangkan pada injury yang lebih parah berlangsung selama beberapa menit.

Fase selanjutnya adalah vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan aliran darah melewati pembuluh kapiler area yang mengalami radang. Secara klinis hal ini akan tampak sebagai kemerahan dan panas. Pada tahap ini mungkin terdapat transudat yang rendah protein karena peningkatan aliran darah, pembuluh darah di fase ini mempertahankan barrier -nya terhadap molekul besar.

Tahap selanjutnya adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang dramatis, sehingga terjadi peningkatan eksudat tinggi protein. Hasilnya adalah edema, yaitu peningkatan cairan pada ruang antar sel atau ruang ekstraselular. Lalu terjadi reduksi aliran darah dan stasis sel darah. Neutrofil mulai terlihat menempel di permukaan endotel dan beremigrasi di antara celah endote.

Gambaran histologis paling mencolok pada radang akut adalah akumulasi sejumlah besar neutrofil dan sedikit makrofag. Neutrofil muncul melalui proses marginasi, adhesi, dan migrasi sebelum melakukan fagositosis.

Sementara itu, radang kronik berlangsung dalam durasi yang panjang dan berhubungan dengan tingkat kerusakan jaringan yang bervariasi. Radang kronik biasanya terjadi dalam hubungannya dengan respon penyembuhan. Radang kronik dapat terjadi dalam situasi-situasi berikut.

  1. Persistensi Stimulus
    Radang kronik dapat terjadi karena terganggunya penyembuhan yang disebabkan oleh suplai darah yang buruk atau benda asing, seperti jaringan nekrotik. Mungkin juga terdapat gangguan drainase pus atau infeksi yang berlanjut karena peningkatan kerusakan jaringan dan terjadinya abses kronik.

  2. Radang akut berulang
    Radang akut berulang biasanya terjadi karena infeksi yang berulang.

  3. Radang kronik de novo
    Terjadi radang kronik tanpa adanya radang akut sebelumnya. Infeksi yang sulit dibersihkan, biasanya disebabkan organisme, intraselular, cenderung menyebabkan radang kronik.

Respon selular pada radang kronik adalah adanya infiltrasi selular yang sebagian besar terdiri dari sel mononuklear, yaitu makrofag, limfosit, dan sel plasma. Terjadi juga proliferasi pembuluh darah dan terdapat produksi kolagen oleh fibroblas sehingga terjadi fibrosis. Kerusakan jaringan yang digantikan oleh jaringan fibrosa adalah hasil yang biasanya terjadi setelah radang kronik