Apa yang dimaksud dengan optimisme?

Optimisme adalah paham keyakinan atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan dan sikap selalu mempunyai harapan baik dl segala hal.

2 Likes

Optimisme merupakan bagaimana seseorang bereaksi terhadap kegagalan sosial dalam kehidupannya (Myers, 2008).

Dalam keadaan yang memicu stres pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan tetapi adanya rasa optimis yang muncul dapat merubah pencapaian negatif untuk hasil yang lebih maksimal atau mampu membahagiakan individu.

Ubaedy (2007) mengutarakan bahwa optimisme memiliki dua pengertian.

  • Pertama, optimisme adalah doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih baik.

  • Kedua, optimisme berarti kecenderungan batin untuk merencanakan aksi terhadap hasil yang lebih baik. Memikirkan sesuatu yang positif merupakan kekuatan yang luar biasa untuk membangun perkembangan pikiran dan dari pikiran postif tersebut akan menghadirkan kebahagian, suka cita, kesehatan, serta kesuksesan dalam setiap situasi dan tindakan yang ingin dicapai.

Kemudian, Seligman (dalam Myres, 2008) percaya bahwa seseorang cenderung menyalahkan diri sendiri ketika sesuatu tidak berjalan dengan baik. Akan tetapi, semakin banyak pengalaman yang menegangkan dalam hidup seseorang maka ia rentan terhadap rasa pesimis (Segerstrom & Miller, 2004).

Optimisme itu sendiri dapat membantu meningkatkan kesehatan secara psikologis, memiliki perasaan yang baik, melakukan penyelesaian masalah dengan cara yang logis sehingga hal ini dapat meningkatkan kekebalan tubuh (Ghufron Nur et al., 2010).

Semakin tinggi rasa optimis dalam diri individu maka semakin kecil kemungkinan ia akan larut dalam pesimisnya sebab orang pesimis cenderung memikirkan hal-hal kecil yang menghambat atau yang membuatnya tidak bahagia dan ini dapat mengganggu keadaan psikis atau pun mood orang tersebut dalam memecahkan masalah.

Aspek-aspek Optimisme

Menurut Seligman (2005) terdapat beberapa cara individu memandang suatu peristiwa berhubungan erat dengan gaya penjelasan (explanatory style), yaitu:

  1. Permanence

    Bagaimana seseorang melihat peristiwa berdasarkan waktu yang bersifat sementara dan menetap. Orang-orang yang pesimis meyakini bahwa kejadian buruk yang mereka alami bersifat permanen sehingga menghantui hidup mereka.

    Sedangkan, orang yang memiliki rasa optimis percaya bahwa hal buruk hanya bersifat sementara.

  2. Pervasif (spesifik versus universal)

    Gaya penjelasan peristiwa ini berkaitan dengan ruang lingkup peristiwa tersebut. Dari beberapa orang mungkin membiarkan sutu masalah meluas atau membiarkan salah satu aspek penting berlalu dan melanjutkan kehidupan seperti biasa.

  3. Personalization

    Merupakan gaya penjelasan masalah yang berkaitan dengan sumber penyebab terjadinya hal buruk dari internal (dari dalam diri) atau eksternal (luar diri).

Ciri-ciri Optimisme

Menurut McGinnis (1995) terdapat 12 ciri-ciri orang yang optimis, yaitu sebagai berikut:

  • Orang yang optimis jarang merasa terkejut oleh kesulitan.

  • Optimis mencari pemecahan masalahnya.

  • Optimis merasa yakin bahwa mereka mempunyai pengendalian atas masa depan mereka.

  • Optimis memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur.

  • Optimis menghentikan alur pemikiran mereka yang negatif.

  • Optimis meningkatkan kekuatan apresiasi mereka.

  • Optimis menggunakan imajinasi mereka untuk melatih sukses.

  • Optimis selalu gembira bahkan ketika mereka tidak bisa merasa bahagia.

  • Optimis merasa yakin bahwa mereka memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diulur.

  • Optimis membina banyak cinta dalam kehidupan mereka.

  • Optimis suka bertukar berita baik.

  • Optimis menerima apa yang tidak bisa dirubah.

Dari dua belas ciri-ciri tersebut dapat di simpulkan bahwa seseroang yang optimis memiliki keyakinan dalam dirinya bahwa setiap kesulitan pasti ada penyelesaiannya dan tidak ingin berlama-lama memikirkan hal buruk yang menimpa, keinginan untuk selalu bergerak maju tanpa ada batasan mencari informasi atau sumber daya yang dapat meringankan masalah hingga menggapai tujuan utama dalam kehidupannya untuk bahagai (sukses dan berhasil).

Chang (2002) mendefinisikan optimisme sebagai pengharapan individu akan terjadinya hal-hal baik, dengan kata lain individu optimis merupakan individu yang mengharapkan peristiwa baik akan terjadi dalam hidupnya dimasa depan.

Optimisme mengharapkan hal baik akan terjadi dan masalah yang terjadi akan terselesaikan dengan hasil akhir yang baik. Individu optimis juga mempunyai area kepuasan hidup yang lebih luas (Srivasta, McGonigal, Richards, Butler & gross 2006 dalam Amilia 2014).

Optimisme adalah salah satu komponen psikologi positif yang dihubungkan dengan emosi positif dan perilaku positif yang menimbulkan kesehatan, hidup yang bebas stress, hubungan sosial dan fungsi sosial yang baik (Daraei & Ghaderi, 2012).

Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, “the explanatory style”dan “the dispositional optimism view,” yang juga disebut sebagai “the direct belief view” (Caver, 2002):

  1. Explanatory Style

    Explanatory Style merupakan pandangan yang melihat bahwa dalam menentukan kepercayaan seseorang, ditentukan berdasarkan pengalaman masa lampau.

    Pandangan ini didasarkan pada person’s attributional style (Scheier dkk, 2000). Attributional style dibentuk oleh cara kita mempersepsikan, menjelaskan pengalaman masa lampau.

    Jika persepsi atau penjelasan yang dipegang adalah negatif maka individu akan mengharapkan hasil yang negatif pada masa depan.

    Perasaan learned helplessness berlebihan dan kita percaya bahwa kita tidak dapat merubah pandangan kita terhadap dunia. Attributional style secara khusus diukur dengan dengan menggunakan Attributional Style Questionnaire (ASQ).

    Dengan ASQ, individu merespon terhadap apa penyebab yang mereka yakini munculnya kejadian yang berbeda. Respon individu dirating berdasarkan persepsi mereka terhadap penyebab (internal vs external, stable vs unstable, global vs specific) (Seligman, 1988).

    Masalah dengan menggunakan attributional theory dalam memahami optimisme adalah bahwa hal tersebut dapat menjadi sangat kompleks dan bersifat subjektif didasarkan pada self report pengalaman masa lampau (Scheier et al., 2000).

    Berdasarkan explanatory style, individu yang percaya pengalaman masa lampaunya positif dan ingatan-ingatan negatif adalah di luar kontrol mereka (faktor eksternal) dikatakan bahwa mereka mereka memiliki positive explanatory style atau orang yang optimistik.

    Sedangkan orang yang menyalahkan diri sendiri terhadap kemalangan (faktor internal) dan percaya bahwa mereka tidak akan pernah mendapat sesuatu dikatakan memiliki negative explanatory style atau orang yang pessimistic.

  2. Dispositional Optimism or Direct Belief Model

    Konstruksi ini berusaha untuk mempelajari optimisme melalui kepercayaan langsung individu mengenai kejadian masa depan.

    Pendekatan ini lebih fokus pada kepercayaan optimistik mengenai masa depan, dibanding dengan attributional theory yang berusaha memahami mengapa individu optimis atau pesimis dan bagaimana mereka bisa menjadi seperti itu.

    Scheier & Carver (2002) menyatakan bahwa optimisme adalah kecenderungan disposisional individu untuk memiliki ekspektasi positif secara menyeluruh meskipun individu menghadapi kemalangan atau kesulitan dalam kehidupan.

    Optimisme merupakan sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver & Scheier 1993).

    Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002).

image

Konsep optimisme dan pesimisme fokus kepada ekspektasi individu terhadap masa depan. Konsep ini memiliki ikatan dengan teori psikologi mengenai motivasi, yang disebut dengan expectancy-value theories.

Beberapa teori juga menyatakan optimisme dan pesimisme mempengaruhi perilaku dan emosi seseorang.

Expectancy-value theories, yaitu teori yang dimulai dengan ide bahwa perilaku ditujukan untuk pencapaian tujuan (goal) yang dinginkan (Carver & Scheier, 1998).

Goal adalah tindakan, state akhir, atau nilai yang individu lihat sebagai sesuatu yang diinginkan atau tidak diinginkan.

Individu akan akan mencoba mencocokkan perilaku, mencocokkan dengan diri mereka sendiri terhadap apa yang mereka lihat yang mereka inginkan, dan mereka akan mencoba untuk menghindari yang tidak mereka inginkan.

Konsep utama lainnya adalah expectancies: perasaan percaya diri atau ragu-ragu mengenai kemampuan meraih tujuan (goal). Hanya dengan kepercayaan diri yang cukup yang individu berusaha mencapai tujuan.

Optimisme akan mengarahkan individu untuk selalu memiliki hasil yang baik dan menyenangkan akan masa depannya. Dari prinsip ini, muncul beberapa prediksi mengenai orang yang optimis dan orang yang pesimis. Ketika berhadapan dengan sebuah tantangan, orang yang optimis lebih percaya diri dan persisten, meskipun progresnya sulit dan lambat. Orang yang pesimis lebih ragu-ragu dan tidak percaya diri.

Perbedaan juga jelas terlihat dalam menghadapi kesengsaraan. Orang yang optimis percaya bahwa kesengsaraan dapat ditangani dengan berhasil. Orang yang pesimis menganggap sebagai bencana.

Hal ini dapat mengarahkan pada perbedaan tingkah laku yang berhubungan dengan resiko kesehatan, mengambil pencegahan pada lingkungan yang berisiko, kegigihan dalam mencoba mengatasi ancaman kesehatan.

Hal ini juga dapat mengarahkan pada perbedaan respon coping apa yang individu lakukan ketika berhadapan dengan ancaman seperti diagnosa kanker (Carver et al., 1993; Stanton & Snider, 1993).

Selain respon perilaku, individu juga mengalami pengalaman emosi pada kejadian dalam kehidupan. Kesulitan-kesulitan merangsang beberapa perasaan yang merefleksikan baik distres dan tantangan.

Keseimbangan antara perasaan-perasaan tersebut berbeda antara orang yang optimis dan pesimis. Karena orang yang optimis mengharapkan good outcome, mereka cenderung mengalami perpaduan emosi yang lebih positif. Karena orang yang pesimis mengharapkan bad outcome, mereka mengalami perasaan-perasaan yang lebih negatif–kecemasan, kesedihan, keputusasaan (Scheier, 2001).

image

Penelitian menunjukkan optimisme memiliki efek moderasi terhadap bagaimana individu menghadapi situasi baru atau sulit. Ketika berhadapan dengan situasi sulit, orang yang optimis akan lebih memiliki reaksi emosi dan harapan yang positif, mereka berharap akan memperoleh hasil yang positif meskipun hal tersebut sulit, mereka cenderung menunjukkan sikap percaya diri dan persisten.

Orang yang optimis juga cenderung untuk menganggap kesulitan dapat ditangani dengan berhasil dengan suatu cara atau cara lain dan mereka lebih melakukan active dan problem-focused coping strategy dari pada menghindar atau menarik diri (Carver & Scheier, 1985; Chemers, Hu, & Garcia, 2001; Scheier et al., 1986).

Optimisme hampir mirip dengan beberapa konstruk, tetapi sesungguhnya berbeda. Dua konstruk yang memiliki hubungan dekat adalah sense of control (Thompson, 2002) dan sense of personal efficacy (Bandura, 1997). Konsep-konsep ini memiliki nada yang sama kuat dalam mengharapkan hasil yang diinginkan, seperti optimisme. Tetapi perbedaannya terletak pada asumsi yang dibuat (atau tidak dibuat) mengenai bagaimana hasil yang diinginkan tersebut diekspektasikan terjadi.

Self efficacy adalah konsep dimana self sebagai agen penyebab adalah yang terpenting (Bandura, 1997).

Jika individu memiliki high self- efficacy expectancies, mereka kiranya percaya usaha personal mereka (atau personal skill) adalah yang menentukan hasil. Sama halnya dengan konsep control. Ketika individu melihat diri mereka sendiri terkontrol, mereka percaya bahwa hasil yang baik akan terjadi lewat usaha personal mereka.

Sebaliknya, optimisme mengambil pandangan yang lebih luas atas penyebab potensial yang menjadi kekuatan. Individu dapat menjadi optimistis karena mereka berbakat sekali, karena mereka pekerja keras, karena mereka diberkahi, karena mereka beruntung karena mereka memiliki teman yang tepat, atau kombinasi yang lain atau faktor lain yang menghasilkan hasil yang baik (Murphy et al., 2000).

Contohnya, seseorang dapat menjadi optimistis, dapat mengatasi efek samping chemotherapy salah satu karena ketabahannya personalnya atau karena tim medisnya memiliki trik yang berguna mengatasi efek samping. Yang terakhir dapat menjadi optimistis, tetapi bukan karena peran self sebagai agen hasil. Konstruk yang lain yang mirip dengan optimism adalah hope (Snyder, 1994, 2002).

Hope dikatakan memiliki dua bagian.

  • Pertama adalah persepsi individu pada kehadiran pathways yang dibutuhkan individu untuk mencapai tujuannya.

  • Kedua adalah tingkat percaya diri individu dalam kemampuannya menggunakan pathways untuk mencapai tujuan.

Jadi, hope memiliki karakterikstik keduanya yaitu will (confidence) dan the ways (pathways).

Dimensi percaya diri (confidence) sama dengan yang di optimisme, dengan lebih dulu menekankan pada agen personal.

Komponen pathway adalah sebuah kualitas dimana konsep optimisme tidak beralamat.

Dapat dilihat terlebih dahulu, bahwa seseorang yang melihat beberapa jalan untuk hasil spesifik yang diharapkan akan terus mencoba cara yang tersisa jika salah satu cara tidak bisa. Dicatat juga bahwa pesimisme juga mirip dengan konstruk neurotism (Smith, Pope, Rhodewalt, & Poulton, 1989).

Neorotism (emotional instability) didefinisikan sebagai kecenderungan untuk cemas, mengalami emosi yang tidak menyenangkan, dan pesimistik.

Dilihat dari segi bahasa optimisme berasal dari bahasa latin yaitu “Optima” yang berarti terbaik menjadi optimis, dalam arti khas kata, pada akhirnya berarti satu harapkan untuk mendapatkan hasil terbaik dari situasi tertentu. Optimisme dalam bahasa inggris optimism (harapan) optimistic yang artinya berharap baik. Maka optimisme meyakini apa yang kita kerjakan akan berhasil adalah suatu modal utama. Sebaliknya kalau kita meyakini usaha kita akan berhasil, maka kita akan terdorong untuk bersungguh-sungguh berusaha untuk mencapai apa yang diinginkan. Dengan catatan bahwa apabila usaha kita belum mencapai hasil, telusuri apa penyebab-penyebabnya. Selain itu kita tidak boleh berputus asa atas kegagalan yang kita alami.

Harap (optimisme) merupakan kekuataan yang dapat membawa kepada kondisi mental yang sehat.

Optimisme tidak berarti kepercayaan diri berlebih, bukan pula kepasrahan jiwa. Namun, berbentuk semangat yang bersemayam dalam hari untuk senantiasa berusaha dan berupaya ketika kesulitan menimpa. Di samping itu, optimisme merupakan pemicu kita agar bersungguh-sungguh. Sepatutnya sikap optimisme tetap tersemai di hati umat Islam untuk membangun sikap optimisme.

Sikap optimisme memberi semangat yang akhirnya menghasilkan stamina untuk mencapai sesuatu hal yang diinginkan. Disebabkan sikap optimisme melahirkan kepercayaan diri yang dapat digunakan untuk meraih tujuan dalam mengatur diri sendiri. Tanpa adanya harapan seseorang akan tetap merasa tak mampu berbuat apa-apa dan cepat frustasi.

Orang yang tidak memiliki sikap optimisme akan melihat mengapa sesuatu tak dapat dilakukan, dan tidak melihat kemungkinan dapatnya sesuatu hal yang dilakukan, orang yang ragu-ragu terhadap suatu perubahan, biasanya merendahkan nilai usahanya sendiri. Seberapa pun besarnya keinginan untuk menjadi leih kuat dan efektif tetap tidak meraihnya tanpa memiliki kecenderungan sikap akhirnya memancarkan keyakinan. Optimisme itu hebat pengaruhnya. Manusia menyukai orang yang memiliki pandangan terang dan berpikir positif yang dapat melampaui batu sandungan yang ada dihadapannya.

Menurut Armor & Taylor, optimisme pasti mengalahkan pesimisme dalam meningkatkan keyakinan, kesehatan dan kesejahteraan. Banyak orang yang optimisme akan menjadi lebih bahagia dengan kehidupan mereka, sebuah keyakinan yang membantu menciptakan kebahagiaan saat ini.

Sedangkan menurut Ekasari & Susanti adalah optimisme mendorong individu untuk selalu berpikir bahwa sesuatu terjadi adalah hal yang terbaik bagi dirinya. Optimisme tersebut akan membantu seseorang untuk bisa mengatasi hambatan- hambatan yang muncul dalam pencapaian tujuan atau target seorang individu.

Pandangan beberapa ahli tentang optimisme dalam perspektif psikologi barat:

  • Duffy, berpendapat bahwa optimisme membuat individu mengetahui apa yang diinginkan. Individu tersebut dapat dengan cepat mengubah diri agar mudah menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi sehingga diri tidak menjadi kosong. Perasaan optimis membawa individu pada tujuan yang diinginkan, yakni percaya pada diri dan kemampuan yang dimiliki. Masyarakat yang optimis siap memiliki prestasi yang tinggi, dan seseorang itu mampu memprediksi bahwa dengan kemampuan yang dimiliki cita-citanya akan tercapai.

  • Goleman, melihat optimisme melalui sudut pandang kecerdasan emosional, yakni suatu pertahanan diri pada seseorang agar jangan sampai terjatuh dalam masa kebodohan, putus asa, dan depresi bila menghadapi kesulitan.

  • Segerestrom, optimisme adalah cara berpikir yang positif dan realistis dalam memandang suatu masalah. Berpikir positif adalah berusaha mencapai hal terbaik dari keadaan terburuk. Optimisme mendorong individu untuk selalu berpikir bahwa sesuatu yang terjadi adalah hal yang terbaik bagi dirinya.

Jadi kesimpulannya bahwa optimisme adalah suatu keyakinan/harapan untuk mencapai hasil yang lebih baik, pantang menyerah, serta berfikir positif dalam mengatasi kesulitan dalam permasalahan yang dihadapinya agar dapat sukses dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Aspek- Aspek Optimisme Individu

Aspek-aspek optimisme Individu antara lain :

  • Permanent adalah individu selalu menampilkan sikap hidup ke arah kematangan dan akan berubah sedikit saja dari biasanya dan ini tidak bersifat lama.

  • Pervasive artinya gaya penjelasan yang berkaitan dengan demensi ruang lingkup, yang dibedakan menjadi spesifik dan universal.

  • Personalization merupakan gaya penjelasan yang berkaitan dengan sumber penyebab dan dibedakan menjadi internal dan eksternal

Ciri-ciri Individu yang Optimisme

Robinson dkk, menyatakan individu yang memiliki sikap optimisme jarang menderita depresi dan lebih mudah mencapai kesuksesan dalam hidup, memiliki kepercayaan, dapat berubah ke arah yang lebih baik, adanya pemikiran dan kepercayaan mencapai sesuatu yang lebih baik, dan selalu berjuang dengan kesadaran penuh.

Mc Ginnis menyatakan orang-orang optimis jarang merasa terkejut oleh kesulitan. Mereka merasa yakin memiliki kekuatan untuk menghilangkan pemikiran negatif, berusaha meningkatkan kekuatan diri, menggunakan pemikiran yang inovatif untuk menggapai kesuksesan, dan berusaha gembira, meskipun tidak dalam kondisi bahagia.

Scheiver dan Carter menegasakn bahwa individu yang optimis akan berusaha menggapai pengharapan dengan pemikiran positif, yakin akan kelebihan yang dimiliki.

Mereka yang optimisme dalam hidup orang-orang yang mampu menyelami makna doa, mereka akan jauh dari sikap pesimisme yang menghancurkan. Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang datang, mereka menanggapinya secara positif, tidak menjadi beban yang memberatkan. Mereka dengan percaya diri dan sikap optimisme yang penuh, berusaha dengan sekuat tenaga serta tak mudah putus asa. Dengan doa, pada jiwa seseorang akan tumbuh sikap optimisme. Padahal sikap optimisme inilah, seseorang akan menjadi sehat jiwanya.

Salah satu teori berpendapat bahwa sikap optimisme ternyata dapat menghindarkan seseorang dari depresi, cemas dan stres maupun rentan untuk terkena penyakit stroke.

Pengaruh Sikap Optimisme pada Kehidupan Manusia

Dalam sistem tubuh yang rusak karena berbagai macam penyakit, keharmonisan pemikiran yang dimiliki seseorang juga akan rusak karena berbagai faktor yang berbeda-beda dan sifat-sifat yang buruk. Dua unsur yang membantu menciptakan pemikiran harmonis adalah optimisme dan harapan-harapan yang positif tentang kehidupan dan lain-lainnya. Optimisme dan harapan-harapan yang positif tentang hal-hal disekeliling, merupakan jaminan kesenangan atas mereka yang hidup dalam lingkungan kemanusiaan.

Terdapat tiga pengaruh sikap optimisme dalam kehidupan, yaitu :

  • Dapat menumbuhkan cinta akan kebaikan di dalam diri manusia dan menumbuhkan perkembangan baru dalam pandangan tentang kehidupan.

  • Mampu mengurangi sejumlah problema dalam kehidupan manusia. Wajah-wajah optimisme akan memancarkan kebahagiaan. Tidak saja dalam kepuasaan dan segala situasi.

  • Orang yang menjadikan sikap optimisme sebagai bagian dari kehidupannya, maka akan tumbuh kepercayaan diantara anggota masyarakat. Kepercayaan tersebut merupakan sebab yang mendesak dalam memulihkan dan memajukan umat (bangsa) yang sedang “sakit” seperti saat ini.

Setelah kita mampu bersikap optimisme, lalu pola pikir kita juga harus dibiasakan berpikir secara positif dan percaya diri. Untuk memaksimalkan potensi optimisme yang ada pada diri seseorang, kuncinya adalah diri kita perlu dibangun dengan kebiasaan positif. Dan kita berdoa, agar sang penguasa diri ini memberi kemampuan kepada kita untuk membangun pribadi yang tangguh dan pantang menyerah.

Referensi
  • Nur Ghufron, Rini Risnawati, Teori-Teori Psikologi (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010).
  • Sayyid Mujtaba Musavi Lari, psikologi Islam Membangun Kembali Moral Generasi Muda (Suka Luyu: Pustaka Hidayah, 1990).
  • Patricia Patton, EQ Kecerdasan Emosional Perkembangan Sukses lebih Bermakna (Jakarta: Mitra Media, 2002).
  • David G, Myers, Psikologi Sosial (Jagakarsa: Selemba Humanika, 2010).

Optimis merupakan salah satu aspek kepribadian yang penting pada seseorang. Optimisme membuat individu mengetahui apa yang diinginkan dan cepat mengubah diri agar mudah menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi. keberhasilan seseorang di masa depan akan diperoleh bila seseorang memiliki optimisme dan semangat yang tinggi dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik. Orang-orang yang memiliki pola pikir optimis dalam hidupnya akan memiliki kepercayaan diri dalam melaksanakan pekerjannya sehari-hari, mereka juga cenderung lebih berbahagia dlam menjalani kehidupan.

Lopez dan Snyder (2003) berpendapat optimisme adalah suatu harapan yang ada pada individu bahwa segala sesuatu akan berjalan menuju kearah kebaikan. Perasaan optimis membawa individu pada tujuan yang diinginkan, yakni percaya pada diri dan kemampuan yang dimiliki. Sikap optimis menjadikan seseorang keluar dengan cepat dari permasalahan yang dihadapi karena adanya pemikiran dan perasaan memiliki kemampuan juga didukung anggapan bahwa setiap orang memiliki keberuntungan sendiri- sendiri (dalam Ghufron, 2011).

Amirta (2008) optimisme adalah wujud prasangka baik kepada Tuhan atas pertolongan-Nya. Orang yag memiliki sikap optimis akan tetap berdiri tegak dan kokoh ketika penderitaan menimpanya. Mereka mengambil cara pandang yang positif karena mereka yakin bahwa Tuhan senantiasa memberikan kebaikan dan bukan menyengsarakan.

Scheier & Carver (2002) menjelaskan bahwa individu yang memiliki optimis adalah individu yang mengharapkan hal-hal yang baik terjadi pada mereka, sedangkan individu yang pesimis cenderung mengharapkan hal-hal buruk terjadi kepada mereka (dalam Nurtjahjanti & Ika, 2011). Manusia sebagai makhluk yang berkembang dan aktif, berbuat dan bertindak sesuai dengan adanya faktor-faktor yang datang dari luar dirinya dan juga dari dalam dirinya sendiri.

image

Menurut Seligman (1991) mendefinisikan optimisme adalah suatu padangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik, berpikir positif, dan mudah memberikan makna bagi diri. Individu yang optimis mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang telah lalu, dan berusaha untuk tetap bangkit mencoba kembali bila gagal (dalam Ghufron, 2011).

Seligman (1991) juga menjelaskan terbentuknya pola pikir optimis tergantung juga pada cara pandang seseorang pada perasaan dirinya bernilai atau tidak optimisme yang tinggi berasal dari dalam diri individu dan dukungan yang berupa penghargaan dari orang-orang tertentu membuat individu merasa dihargai dan berarti (dalam Ghufron, 2011). Menurut Chang (dalam Taylor, 2009) optimisme memampukan seseorang untuk menilai kejadian yang menekan secara lebih positif dan membantu memobilisasi sumber dayanya untuk mengambil langkah guna menghadapi stressor.

Aspek-Aspek Optimisme


Menurut Seligman (2005) ada tiga dimensi cara menerangkan suatu peristiwa baik atau buruk terjadi untuk mengetahui individu tersebut pesimis atau optimis, yaitu sebagai berikut:

1. Permanence

Individu yang pesimis dengan mudah mempercayai penyebab dari banyak kejadian buruk yang terjadi pada mereka secara permanensi. Kejadian-kejadian buruk itu akan tetap berlangsung dan akan selalu mempengaruhi kehidupan mereka.

Sedangkan individu yang optimis akan melawan ketidakberdayaan dan percaya bahwa penyebab dari banyak kejadian buruk hanya bersifat sementara. Ketika individu memikirkan hal hal buruk dengan kata “selalu” dan “tidak pernah” secara menetap maka individu tersebut memiliki gaya pesimisme.

Sementara itu ketika individu tersebut berpikir dengan kata kata “kadang kadang” dan belakangan ini”, serta menganggap kejadian kejadian buruk tersebut hanya terjadi pada kondisi yang sementara maka individu tersebut memiliki gaya optimisme. Seperti contoh gaya penjelasan permanence pada kejadian buruk adalah sebagai berikut.

Apabila individu tersebut pesimis maka akan memberikan penjelasan “kamu selalu mengomel”, sebaliknya jika individu tersebut optimis maka akan menjelaskan “kamu mengomel jika saya tidak membersihkan kamarku”.

Gaya optimisme dari penjelasan kejadian-kejadian baik merupakan lawan dari gaya optimisme dari penjelasan kejadian-kejadian buruk. Individu yang percaya bahwa kejadian baik mempunyai penyebab permanen bersifat lebih optimis daripada individu yang percaya bahwa mereka mempunyai penyebab sementara.

Misalnya individu yang optimis akan menjelaskan kejadian kejadian baik pada diri mereka sendiri dengan penyebab yang permanensi; karakter, kemampuan, selalu. Seperti contoh “Saya selalu beruntung”. Sedangkan individu yang pesimis memberikan penyebab penyebab yang sementara; suasana hati, usaha, kadang kadang. Dapat dicontohkan seperti ini “Ini adalah hari keberuntunganku”.

2. Pervasiveness

Menerangkan bagaimana pengaruh peristiwa yang dialami terhadap suatu situasi yang berbeda dalam hidup, yaitu spesifik (khusus) atau universal (menyeluruh). Individu yang membuat penjelasan yang universal untuk kegagalan mereka dan menyerah pada segala hal yang saat kegagalan menyerang maka individu tersebut memiliki gaya pesimisme, contohnya “semua atasan tidak adil” atau “semua buku tidak berguna”.

Sedangkan individu yang membuat penjelasan yang spesifik mugkin terjadi, kapan mereka masih kuat pada bagian kehidupan yang lainnya, maka orang tersebut memiliki gaya optimisme, seperti contoh “atasan saya tidak adil” atau “buku ini tidak berguna”.

Penjelasan-penjelasan universal menciptakan ketidak berdayaan pada berbagai situasi dan penjelasan penjelasan yang spesifik hanya menciptakan ketidakberdayaan pada daerah yang tertimpa masalah saja.

Demikian pula sebaiknya, gaya penjelasan optimis untuk kejadian- kejadian baik bertentangan dengan gaya penjelasan optimis untuk kejadian kejadian buruk. Individu optimis percaya bahwa kejadian kejadian buruk memiliki penyebab yang spesifik.
Sedangkan kejadian baik akan memperbaiki segala sesuatu yang dikerjakannya, contohnya “Saya memang mengesankan”. Individu pesimis percaya bahwa kejadian kejadian buruk memiliki penyebab yang universal. Sedangkan kejadian kejadian baik disebabkan oleh faktor faktor yang spesifik, contohnya “Saya mengesankan baginya”.

Berdasarkan berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek pervasiveness dalam optimisme menerangkan mengenai bagaimana pengaruh peristiwa yang dialami seseorang terhadap suatu situasi yang berbeda dalam hidup, yaitu spesifik atau universal.

Semakin spesifik atau detail individu mampu mengetahui penyebab dari suatu peristiwa yang terjadi maka ia termasuk individu yang optimis. Sedangkan individu yang pesimis membuat penjelasan penjelasan yang universal untuk kegagalan mereka dan menyerah pada segala hal saat kegagalan menyerang.

3. Personalization

Internal atau eksternal, individu dalam menjelaskan siapa yang menjadi penyebab suatu peristiwa, diri sendiri (internal) atau orang lain (eksternal). Saat hal buruk terjadi, biasanya individu menyalahkan diri sendiri (internal) atau menyalahkan orang lain atau keadaan (eksternal). Individu yang menyalahkan dirinya sendiri saat mereka gagal membuat rasa penghargaan terhadap diri mereka sendiri rendah. Individu pikir dirinya tidak berguna, tidak punya kemampuan dan tidak dicintai.

Individu yang menyalahkan kejadian kejadian eksternal tidak kehilangan rasa penghargaan terhadap dirinya sendiri saat kejadian kejadian buruk menimpa mereka. Secara keseluruhan mereka lebih banyak suka terhadap diri mereka sendiri daripada orang yang menyalahkan diri mereka sendiri menyukai diri mereka (Seligman, 2008).

Rasa penghargaan diri biasanya datang dari sebuah gaya internal untuk kejadian kejadian buruk. Dapat dicontohkan dalam gaya penjelasan Personalization kejadian buruk individu yang pesimis akan memberikan penjelasan “Saya tidak memiliki bakat dalam bermain kartu”. Sedangkan individu yang optimis akan memberikan penjelasan “Saya tidak memiliki keberuntungan dalam bermain kartu”.

Gaya optimisme menjelaskan kejadian baik berlawanan dengan yang digunakan untuk menjelaskan kejadian buruk, lebih bersifat internal dari pada eksternal. Individu yang percaya bahwa mereka menyebabkan kejadian baik cenderung lebih menyukai diri mereka sendiri dari pada individu yang percaya bahwa hal-hal yang baik datang dari orang lain atau keadaan.

Individu yang optimis menganggap bahwa kejadian baik itu dari dirinya sendiri atau internal, seperti contoh penjelasan “Saya bisa mengambil keuntungan dari keberuntungan”. Sedangkan ndividu yang pesimis menganggap bahwa kejadian baik itu dari luar dirinya atau eksternal, seperti cotoh penjelasan “Keberuntungan yang tiba-tiba”.

Ciri-ciri Optimisme


Adapun ciri-ciri menurut pandangan para ahli. Seligman (2005) mengatakan bahwa orang yang optimis percaya bahwa kegagalan hanyalah suatu kemunduran yang bersifat sementara dan penyebabnya pun tak terbatas, mereka juga percaya bahwa hal tersebut muncul bukan dikatakan oleh faktor diri dalamnya, melainkan akibatkan oleh faktor luar.

Menurut Sheiver dan Carter (dalam Ghufron, 2011) menegaskan bahwa individu yang optimis akan berusaha menggapai pengharapan dengan pemikiran yang positif, yakni akan kelebihan yang dimiliki. Individu optimisme biasanya bekerja keras menghadapi stres dan tantangan sehari- hari secara efektif, berdoa, dan mengakui adanya faktor keberuntungan dan faktor lain yang turut mendukung keberhasilannya.

Sedangkan menurut McGinnis (1995) mengatakan ada 12 ciri-ciri orang yang optimis, yaitu:

  1. Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan yang optimis berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada hari esok.

  2. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang optimis berpandangan bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil. Mereka membagi pekerjaan menjadi kepingan- kepingan yang bisa ditangani.

  3. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan mereka. Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilingnya. Keyakinan bahwa individu menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama stelah lain-lainnya menyerah.

  4. Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang menjaga optimisnya dan merawat atusiasmenya dalam waktu bertahun- tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan) pribadi, untuk memastikan bahwa sistem tidak meninggalkan mereka.

  5. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran yang lebih logi, mereka juga berusaha melihat banyak hal sedapat mungkin dari segi pandangan yang menguntungkan.

  6. Meningkatkan kekuatan apresiasi, yang kita ketahui bahwa dunia ini, dengan semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh dengan hal- hal baik untuk dirasakan dan dinikmati.

  7. Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya. Mereka belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif.

  8. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis berpandangan bahwa degan perilaku ceria akan lebih merasa optimis.

  9. Mereka yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun umurnya, inividu mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari dirinya belum tercapai.

  10. Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita bicarakan dengan orang lain mepunyai pengaruh yang penting terhadap suasana hati kita. Orang yang optimis dapat memberikan kalimat- kalimat yang positif terhadap orang lain yang mengalami permasalah.

  11. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi dan menikmati banyak hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat kuat yang membantu mereka memperoleh optimisme. Cinta optimisme memelihara kesejahteraan dengan membatu orang yang membutuhkan.

  12. Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang berhasrat mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat frustasi dan mereka melihat orang-orang ini tidak akan berubah, mereka menerima orang-orang itu apa adanya dan bersikap santai. Mereka berprinsip “Ubalah apa yang bisa anda ubah dan terimalah apa yang tidak bisa anda ubah”.

Optimisme adalah kepercayaan bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang positif (Scheier, Carver, & Bridges, 2000). Shapiro (2003) menjelaskan bahwa optimisme adalah kebiasaan berfikir positif. Konseptualisasi optimisme merupakan cakupan dari variabel- variabel biologis dimana optimism dianggap sebagai hasil dari gaya penjelasan tertentu ( explonatory style ) dan lebih pada pendekatan kognitif. (Franken 2002, dalam Amilia 2013)

Chang (2002) mendefinisikan optimisme sebagai pengharapan individu akan terjadinya hal- hal baik, dengan kata lain individu optimis merupakan individu yang mengharapkan peristiwa baik akan terjadi dalam hidupnya dimasa depan. Optimisme mengharapkan hal baik akan terjadi dan masalah yang terjadi akan terselesaikan dengan hasil akhir yang baik. Individu optimis juga mempunyai area kepuasan hidup yang lebih luas (Srivasta, McGonigal, Richards, Butler & gross 2006 dalam Amilia 2014).

Optimisme adalah salah satu komponen psikologi positif yang dihubungkan dengan emosi positif dan perilaku positif yang menimbulkan kesehatan, hidup yang bebas stress, hubungan sosial dan fungsi sosial yang baik (Daraei & Ghaderi, 2012). Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, “ the explanatory style ”dan “ the dispositional optimism view ,” yang juga disebut sebagai “ the direct belief view ” (Caver, 2002):

1. Explanatory Style

Explanatory Style merupakan pandangan yang melihat bahwa dalam menentukan kepercayaan seseorang, ditentukan berdasarkan pengalaman masa lampau. Pandangan ini didasarkan pada person’s attributional style (Scheier dkk, 2000).

2. Dispositional Optimism or Direct Belief Model

Konstruk ini berusaha untuk mempelajari optimisme melalui kepercayaan langsung individu mengenai kejadian masa depan. Pendekatan ini lebih fokus pada kepercayaan optimistik mengenai masa depan, dibanding dengan attributional theory yang berusaha memahami mengapa individu optimis atau pesimis dan bagaimana mereka bisa menjadi seperti itu.

Optimisme hampir mirip dengan beberapa konstruk, tetapi sesungguhnya berbeda. Dua konstruk yang memiliki hubungan dekat adalah sense of control (Thompson, 2002) dan sense of personal efficacy (Bandura, 1997). Konsep-konsep ini memiliki nada yang sama kuat dalam mengharapkan hasil yang diinginkan, seperti optimisme. Tetapi perbedaannya terletak pada asumsi yang dibuat (atau tidak dibuat) mengenai bagaimana hasil yang diinginkan tersebut diekspektasikan terjadi.

Konstruk yang lain yang mirip dengan optimism adalah hope (Snyder, 1994, 2002). Hope dikatakan memiliki dua bagian. Bagian pertama adalah persepsi individu pada kehadiran pathways yang dibutuhkan individu untuk mencapai tujuannya.

Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat optimisme individu terhadap masa depannya daripada menjelaskan penyebab individu menjadi optimis.

Seligman (2008) telah menguraikan optimisme sebagai gaya penjelasan yang berakar dari teori atribusi. Menurut pendekatan ini, gaya penjelasan optimis menghubungkan peristiwa baik yang terjadi pada dirinya bersifat pribadi, permanen dan pervasive, sedangkan kejadian buruk yang terjadi pada dirinya bersifat eksternal (bersumber dari luar), sementara dan spesifik.

Ciri- Ciri Optimisme

Sedangkan menurut Ginnis, 1995 (Shofia, 2009 dalam Ika & Harlina, 2011) orang optimis mempunyai ciri-ciri khas, yaitu :

  1. Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang optimis berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada hari esok.

  2. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang optimis berpandangan bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil. Mereka membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang bisa ditangani.

  3. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan mereka. Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa individu menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama setelah lain-lainnya menyerah.

  4. Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang menjaga optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu bertahun-tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan) pribadi, untuk memastikan bahwa sistem tidak meninggalkan mereka.

  5. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran yang lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak hal sedapat mungkin dari segi pandangan yang menguntungkan.

  6. Meningkatkan kekuatan apresiasi. Yang kita ketahui bahwa dunia ini, dengan semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh dengan hal-hal baik untuk dirasakan dan dinikmati.

  7. Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya. Mereka belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif.

  8. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis.

  9. Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun umurnya, individu mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari dirinya belum tercapai (Ginnis 1995).

  10. Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita bicarakan dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting terhadap suasana hati kita.

  11. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat.

  12. Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang berhasrat mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah sistem lama tidak berjalan.

Aspek- Aspek Optimisme

Menurut Seligman (2006), terdapat beberapa aspek dalam individu memandang suatu peristiwa/masalah berhubungan erat dengan gaya penjelasan ( explanatory style ), yaitu:

1. Permanence

Gaya penjelasan peristiwa ini menggambarkan bagaimana individu melihat peristiwa berdasarkan waktu, yaitu bersifat sementara ( temporary ) dan menetap ( permanence ).

2. Pervasif ( Universal- Spesific )

Permanen adalah masalah waktu, pervasive adalah masalah ruang.Individu yang pesimis, menyerah di segala area ketika kegagalan menimpa satu area. Individu yang optimis mungkin memang tidak berdaya pada satu bagian kehidupan, tapi ia melangkah dengan mantap pada bagian lain (Seligman, 2006).

3. Personalisasi

Personalisasi adalah bagaimana individu melihat asal masalah, dari dalam dirinya (internal) atau luar dirinya (eksternal).

Manfaat Optimisme

Whelen (1997) melaporkan bahwa optimisme memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan, penyesuaian diri setelah operasi kanker, operasi jantung koroner, penyesuaian di sekolah dan dapat menurunkan depresi serta ketergantungan alkohol. Optimisme dalam jangka panjang juga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kesehatan fisik dan mental, karena membuat individu lebih dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial, pekerjaan, perkawinan, mengurangi depresi dan lebih dapat menikmati kepuasan hidup serta merasa bahagia (Weinstein, 1980 ; Marshall dan Lang, 1990 ; Scheier dkk, 1994).

Menurut Segerstrom, Taylor, Kemeny, dan Fahey (1998), ada 3 pathway optimisme yaitu:

1. Mood.

Optimisme dapat mengurangi mood negative yang dapat merubah imun ketika stress.

2. Coping

Dispositional optimism dapat menghindari penggunaan coping menghindar, pasif, dan menyerah, yang berhubungan dengan memberikannya status imun dan kesehatan

3. Perilaku sehat.

Optimisme dapat meningkatkan fungsi adaptif pada perilaku sehat.

Faktor- Faktor Optimisme

Menurut para ahli ada beberapa faktor yang mempengaruhi optimis, yaitu (Idham, 2011):

  1. Pesimis, banyak orang yang menyatakan mereka ingin bisa lebihpositif. Tanpa berfikir mereka terkutuk dengan sifat pesimistik, dan untuk dapat mengubah dirinya dari peesimis menjadi optimis dapat rencan tindakan yag ditetapkan sendiri.

  2. Pengalaman bergaul dengan orang lain.

  3. Prasangka, prasangka hanyalah prasangkaan, bisa merupakan fakta bisa pula tidak (Seligman, 2005).

Optimis merupakan motivasi di dalam diri yang nampak terlihat pada seseorang saat mengerjakan suatu pekerjaan. Siapa pun yang memiliki rasa optimis akan baik di dalam kinerjanya dan hal ini sangat menguntungkan. Sukses dalam karir, bisnis, dan kehidupan umumnya selalu datang pada orang yang memiliki rasa optimis. Rasa optimis juga menggambarkan tumbuhnya semangat yang tinggi pada seseorang untuk melakukan pekerjaan atau apa yang sesungguhnya dia inginkan.

Pengertian optimisme dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah keyakinan atas segala sesuatu dari segi yang baik dan ,menguntungkan. Orang yang memiliki sikap optimisme disebut orang optimis atau dapat diartikan orang yang selalu semangat berpengharapan baik. Jadi, dapat dikatakan bahwa orang yang optimis tidak mudah putus asa serta mampu bertahan dalam situasi sulit dalam bidang belajar.

Pada era dimana begitu cepatnya terjadi perubahan, perilaku optimis sangat menguntungkan. Sebab, pada era ini berlaku nilai siapa yang mampu dan produktif, dialah yang akan berhasil. Tentu saja, perilaku ini sebagai modal seseorang untuk menghadapi persaingan yang lebih sulit. Menurut Ubaedy (2007), optimisme memiliki dua pengertian.

  • Pertama, optimisme merupakan doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini adanya kehidupan yang lebih bagus buat kita (punya harapan). Orang yang optimis adalah orang yang yakin (dengan alasan-alasan yang dimilikinya) bahwa ada kehidupan yang lebih bagus di hari esok.

  • Kedua, optimisme berarti kecendrungan batin untuk merencanakan aksi peristiwa atau hasil yang lebih bagus. Optimisme berarti menjalankan apa yang kita yakini atau apa yang dibutuhkan oleh harapan kita.

Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa optimis berarti meyakini adanya kehidupan yang lebih bagus dan keyakinan itu digunakan untuk menjalankan aksi yang lebih bagus guna meraih hasil yang lebih bagus. Jika sudah yakin, namun tidak digunakan untuk melakukan aksi untuk membuktikan keyakinan itu, berarti optimisme masih kurang. Pada mahasiswa, optimisme merupakan keyakinan dalam diri akan mampu mencapai hasil belajar yang baik, kemudian melakukan usaha untuk mendapatkan hasilnya.

Cara Membangkitkan Optimisme


Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk dapat membangkitkan optimisme dalam diri antara lain :

  1. Membuat tujuan
    Orang yang tidak memiliki tujuan hidup biasanya tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk mencapai sesuatu yang pantas dan layak untuk diraih sehingga rasa optimisme akan sulit untuk terbangun. Supaya rasa optimisme itu muncul maka seseorang harus berani memutuskan tujuan hidupnya karena tanpa tujuan, resolusi atau komitmen-komitmen pencapaian hidup maka seseorang hanya akan bergerak secara naluriah dan sangat rentan terhadap situasi di sekelilingnya.

  2. Mengasah kemampuan
    Apabila kita sudah berada di “Jalur yang benar” dimana aktivitas-aktivitas pembelajaran dilakukan secara konsisten dengan komitmen sepenuhnya, maka kemampuan kita dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah juga akan meningkat. Hal ini dengan sendirinya akan semakin memperkuat rasa percaya diri, menebalkan komitmen pencapaian tujuan dan membangkitkan optimisme.

  3. Pergaulan dinamis
    Cara ampuh untuk membangkitkan semangat adalah dengan menghampiri orang-orang yang tekun dan bersemangat melakukan sesuatu karena pada umumnya orang yang memiliki rasa optimisme tinggi akan memancarkan aura positif. Pancaran optimisme dan semangat itulah yang bisa menginspirasi orang lain, bahkan akan menularkan semangat yang sama sehingga kita jadi ikut tergerak.

Sumber:
Lusiawati, Ira. 2016. Membangun optimisme pada seseorang ditinjau dari sudut pandang psikologi komunikasi. TEDC. 10:(3). 147-151.