Pola asuh Tiger Parenting; Benarkah dapat merusak kesehatan mental anak?

image

Pola asuh Tiger Parenting pertama kali diperkenalkan oleh Amy Chua, seorang profesor hukum di Sekolah Hukum Yale dalam bukunya Battle Hymn of the Tiger Mother (2011). Amy Chua menerapkan pola asuh ini dengan melarang dua anaknya menonton televisi, tidak boleh main gim, dilarang menginap di rumah temannya, hingga tuntutan prestasi akademik yang tinggi. Dalam “Why Chinese Mothers Are Superior” yang terbit di The Wall Street Journal, Amy Chua mengklaim terang-terangan bahwa pola asuh tiger parenting yang ia gunakan efektif dan berhasil. Dua anaknya, Sophia dan Louisa memperoleh nilai akademik tinggi dan tergolong sukses di karier mereka.

Pola asuh Tiger Parenting menerapkan cara yang ekstrem dan mengontrol anak agar berhasil di kehidupannya. Bentuk pola asuh ini tergolong ketat, di mana para orang tua sangat berinvestasi dalam memastikan kesuksesan anak-anak mereka. Secara khusus, mendorong anak-anak mereka untuk mencapai prestasi akademik tingkat tinggi atau keberhasilan dalam kegiatan ekstrakurikuler berstatus tinggi seperti musik atau olahraga.

Jadi apa yang kalian ketahui tentang tiger parenting? benarkah pola asuh tiger parenting dapat merusak kesehatan mental anak? atau malah sangat bagus untuk di terapkan kepada anak demi masa depan mereka?

Sumber

Tirto.id/apa-itu-pola-asuh-tiger-parenting-perpaduan-suportif-otoriter
Wikipedia/Tiger_parenting

memang jika dilihat sekilas bahwa tiger parenting ini terlihat sangat kejam dan tidak memerdulikan kebahagian dan keinginan anak sehingga anak menjadi tertutup dan tidak bisa menentukan siapa diri mereka sebenarnya. semua jalan kehidupan mereka di dikte oleh orangtua dengan harapan bisa mendapatkan kehidupan yang layak kedepannya.

Namun sebenarnya orang tua menginginkan kualitas pergaulan anaknya yang tinggi. dalam ekstrakulikuler misalnya orang tua memilih ekstrakulikuler yang elit agar mereka mendapatkan pergaulan yang elit pula, sekolah gitu juga semua yang dilakukan oleh orang tua ini untuk menjaga kualitas pergaulan anak mereka agar terhindar dari pergaulan yang buruk dan negatif.

tidak boleh bermain gim karena gim dapat merusak mental anak juga yang membuat kecanduan akan gim tersebut yang membuat mereka merupakan kewajiban mreka sebagai anak untuk belajar. tidak boleh menonton televisi karena karena menonton dapat membuang waktu yang bermafaat yang seharusnya waktu tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan soft skill dan hard skill jadi terbuang sia-sia. tidak boleh menginap dirumah teman karena akan merepotkan dan juga orang tua tidak dapat mengawasi anak mereka. bisa jadi mereka berbohong kepada orang tua mereka dan terjadi hal buruk. semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya itulah mengapa pola asuh tiger parenting kerap kali diterapkan oleh orangtua yang berada dikalangan atas.

Mungkin banyak anak yang dulunya diasuh dengan model tiger parenting yang sekarang menjadi orang sukses. Namun, apakah mereka benar-benar dan selalu bahagia? Sebuah studi pada tahun 2013 untuk Asian-American Journal of Psychology menemukan bahwa metode pengasuhan tiger parenting adalah menggabungkan cara yang positif dan negatif dalam waktu bersamaan.

Makanya, orang tua tipe ini sering disalahpahami sebagai sosok yang kasar dan tidak berperasaan. Padahal, maksud mereka adalah agar anak terus berprestasi. Namun, sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti dari Queen Mary University London membuktikan bahwa tiger parenting juga rentan membuat anak stres dan tidak bahagia di rumah. Bahkan, anak pun jadi mempunyai kesulitan untuk mengungkapkan pendapat dan perasaan mereka.

  • Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik bagi anak-anak mereka. Berbagai pertimbangan, seperti latar belakang budaya, kebiasaan keluarga, hingga karakter orang tua, memengaruhi pilihan orang tua akan metode pengasuhan anak.

Agar kesehatan mental anak tetap terjaga dan anak tumbuh dengan perasaan bahagia, sesuaikan metode pengasuhan dengan usia mereka. Misalnya,untuk mengajarkan struktur disiplin dan tanggung jawab sejak kecil, metode tiger parenting memang layak dipilih.

Namun, bila anak sudah bertambah usia dan mulai punya keinginan sekaligus mengerti batasan sendiri, bolehlah orang tua sedikit lebih demokratis. Banyak anak yang tetap bisa sukses dengan dukungan, alih-alih paksaan, dari orang tua sendiri.

1 Like

Sangat setuju dengan kak @Auliaptrig bahwa orang tua harus menyesuaikan metode asuh mereka dengan usia.

Sebenarnya semua tidak ada yang murni jelek dan murni bagus, yang penting sesuai dengan porsinya. Pola asuh tiger parenting ini berlaku ketika memang anak sedang di masa sekolah. Dimana anak sedang dididik dan diberi batasan sesuai porsi agar terlatih menjadi pribadi yang disiplin. Penerapan ini sangatlah manjur untuk masa depan mereka.

Namun, jika diterapkan di usia 0-7 sangat tidak cocok, karena diusia tersebut anak harus mendapat kasih sayang. JIka diterapkan di usia >18 juga tidak cocok karena diusia tersebut anak sudah memiliki pertimbangan dan keputusan sendiri yang harus juga dihormati oleh orang tuanya. DIusia tersebut orang tua berperan mengarahkan, tidak memutuskan keputusan sang anak.

Fauziyah dan Maemonah (2020) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa dampak yang ditimbulkan dari penerapan tiger parenting bagi anak khususnya perkembangan emosinya maka ada beberapa hal yang bisa diketahui yaitu kurang bahagia karena tidak mendapat ijin untuk bermain dengan leluasa baik itu bermain dengan teman sebaya maupun sekedar bermain dengan game atau menonton TV, dengan waktu bermain yang leluasa juga anak menjadi jarang memiliki waktu untuk bersenang-senang. Bagi anak yang tidak kuat mendapat tekanan dari tiger mom bisa saja perkembangan emosi negatifnya lebih baik dari emosi positif dan ini jelas bukan hal yang baik mengingat tidak ada keseimbangan dari keduanya. Perkembangan emosi negatif yang berkembang lebih baik pada penerapan tiger parenting ini misalnya marah, sedih, dan takut. Perkembangan emosi negatif ini bisa muncul disebabkan karena tuntutan yang diberikan oleh orangtua begitu besar dan kurang diberikan kesempatan untuk mengutarakan keinginannya. Waktu bermain dan bersenang-senang yang terbatas baik sendiri maupun dengan teman sebayanya juga bisa menjadi penyebab perkembangan emosi positif anak menjadi kurang baik, hal ini bisa terjadi karena anak kurang terbiasa mengekspresikan rasa senangnya dengan bermain secara leluasa. Lebih lanjut, anak juga bisa merasa kurang memiliki wewenang terhadap dirinya sendiri karena berbagai hal telah diatur dan ditentukan
oleh orangtuanya. Hal paling buruk yang bisa terjadi adalah munculnya rasa depresi dari anak karena orang tua dengan tiger parenting berusaha menekan anak dengan segala cara tanpa memperhatikan dampak psikologis anak.

Referensi :
Fauziyah, U. S., & Maemonah, M. (2020). Analisis Tiger Parenting Bagi Perkembangan Emosional Anak. Pedagogi: Jurnal Ilmu Pendidikan , 20 (2), 80-90.

Definisi Tiger parenting digambarkan sebagai penggabungan gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif klasik karena mendapat skor tinggi pada dimensi pengasuhan positif dan negatif. (Kim et al., 2013). perlu digaris bawahi bahwa Tiger Parenting sangat umum terjadi pada orangtua di Asia atau Asian Parents.
Penelitian juga menunjukkan beberapa implikasi yang penting diperhatikan bagi orang tua Cina-Amerika dari anak yang berbakat secara akademis agar mengetahui bahwa meskipun tiger parenting mungkin merupakan pendekatan pengasuhan yang positif untuk penyesuaian akademik dan keterlibatan sekolah, tapi tidak dengan perkembangan lainnya seperti penyesuaian psikologis (Feld & Shusterman, 2015).
Baumrind (1967) menjelaskan beberapa pola asuh yang ada, salah satunya yang paling ideal adalah authoritatif. Anak-anak yang diasuh dengan gaya authoritative akan memiliki ciri
seperti “lebih bahagia, memiliki self control yang baik, kepercayaan diri dan orientasi pada pencapaian prestasi, mereka cenderung ramah dengan teman sebaya, kooperatif dengan orang dewasa dan stres (Santrock, 2010)
Jadi,
Menurut saya setelah membaca beberapa jurnal, tentu saja Tiger Parenting tidak berdampak baik bagi kesehatan mental anak terutama untuk perkembangan sosio emosianalnya, anak bukan miniature adult karena setiap anak dilahirkan dengan kemampuan dan kelebihannya masing-masing. Tugas orangtua adalah menjadi fasilitator bagi anak agar bisa berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya.