Hambatan-hambatan apa saja dalam Mendengar secara Empatik?

Mendengarkan secara empati

Mendengarkan secara empati adalah berarti sebagai pendengar yang bersedia tidak menghakimi, menilai, atau mengkritik, tetapi lebih cenderung menerima, memaafkan, dan memahami.

Mendengarkan secara empati dapat diartikan dengan mendengar “yang tersirat”. Dengan mendengarkan yang tersirat, kita meningkatkan kewaspadaan dan kepekaan antar personal kita terhadap seluruh pesan yang dicoba dikomunikasikan dengan seseorang.

Hambatan-hambatan apa saja dalam mendengar secara empatik ?

Kemampuan mendengar secara empatik tidak muncul begitu saja dalam diri seseorang. Ia harus berangkat dari sebuah kesadaran akan kebutuhan psikologis dan kebutuhan untuk berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif kepada orang lain. Mendengar secara empatik memerlukan perubahan paradigma yang sangat mendalam, karena pada umumnya kita berusaha terlebih dahulu untuk minta didengarkan dan dimengerti. Jika kita ingin berkomunikasi secara efektif untuk memengaruhi orang lain seperti pasangan kita, anak-anak kita, tetangga kita, rekan kerja kita, atau atasan kita maka kita harus terlebih dahulu mendengarkan dan mengerti mereka.

Berdasarkan hasil penelitian Goleman (1997), sebenarnya akar empati itu sudah ada pada seseorang sejak mereka masih bayi atau sejak mereka lahir. Tanda-tanda awal empati ini dicontohkan sebagaimana bayi akan menangis ketika mereka mendengar bayi lain menangis. Seorang anak umur satu tahun akan mengulum jarinya sendiri untuk mengetahui apakah ia juga terluka, ketika melihat bayi lain terluka jarinya. Dan seorang anak akan menghapus matanya meskipun ia tak menangis, ketika melihat ibunya menangis.

Kepekaan empati anak ini akan mulai lenyap saat anak berusia sekitar dua setengah tahun, ketika mereka mulai menyadari bahwa kepedihan orang lain berbeda dengan kepedihan mereka sendiri, dan mereka sudah pintar mencari penghiburan. Pada tahap ini dalam perkembangannya, anak-anak mulai berbeda kepekaan empatinya terhadap orang lain. Ada anak-anak yang amat peduli terhadap kondisi orang lain, namun anak-anak lain tidak demikian. Adanya perbedaan dalam kepekaan empati pada anak ini, ada kaitannya dengan pola asuh orangtua dalam menerapkan disiplin pada anak-anaknya.

Dari realitas yang ada, kita akan banyak menyaksikan bahwa banyak orang yang tidak dapat memaksimalkan kemampuan mendengar secara empatik. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut.

Faktor Lingkungan

Sikap empati sulit bagi orang yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak punya empatik. Apabila orangtua terus-menerus gagal memperlihatkan empati apapun dalam bentuk emosi tertentu pada anak (misalkan dalam kebahagiaan, kesedihan, kebutuhan membelai), anak pun akan mulai menghindar untuk mengungkapkan, dan barangkali bahkan untuk merasakan emosi-emosi yang sama dari orangtua maupun orang lain. Penganiayaan emosi pada anak dari lingkungan sekitar mereka, akan dapat menumpulkan empati dalam diri anak.

Menurut Goleman (1997), anak-anak yang secara terus menerus mengalami penganiayaan emosi, termasuk perlakuan kejam, sadis, penghinaan, dan kekasaran, maka ia dapat menjadi hiperwaspada akan emosi orang di sekitar mereka. Dalam pertumbuhannya, anak-anak yang sering mengalami penganiayaan psikologis, ada kemungkinan kelak pada saat dewasa nanti akan menderita pola perubahan emosi yang hebat dan berubah-ubah yang sering didiagnosis sebagai “kepribadian di ambang batas”.

Faktor Adanya Kebiasaan Buruk dalam Proses Mendengarkan

Kebiasaan buruk yang terjadi dalam sebuah komunikasi, antara lain:

  • Pseudo Listening; menunjukkan kepalsuan, orang yang terlihat seolah-olah mendengarkan pembicaraan, mengangguk setuju dan memahami apa yang disampaikan padahal semua itu palsu. Pada hakikatnya, ia tidak setuju dan tidak mau melakukan sesuatu yang disampaikan pembicara.

  • Stage Hogging; hanya tertarik pada ide dan konsep pemikiran diri sendiri dan tidak peduli pada apa yang disampaikan orang lain.

  • Selective Listening; hanya memberikan respons terhadap apa yang menjadi perhatiannya dan mengabaikan yang lain.

  • Filling in Gaps; orang dengan tipe seperti ini mendengarkan sedikit dan selanjutnya merekayasa informasinya sendiri berdasarkan konsep yang ada pada dirinya.

  • Insulated Listening; kebiasaan ini hampir merupakan kebalikan dari selective listening. Orang dengan tipe seperti ini memiliki kebiasaan jika mendapatkan topik yang tidak menarik baginya maka ia cenderung untuk tidak mendengar keseluruhan informasi yang disampaikan.

  • Defensive Listening; orang yang tidak percaya diri atau merasa tidak aman. Orang ini cenderung menyampaikan komentar-komentar yang menyerang untuk mempertahankan dirinya.

  • Ambushing; kebiasaan mendengarkan pembicara secara saksama dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang dapat dipergunakan olehnya untuk menyerang kembali apa yang disampaikan oleh pembicara. Kebiasaan ini juga sebagai bentuk untuk mempertahankan diri. (Bramantyo & Prasetyo, 2007)

Faktor Kecewa dan Marah

Ada orang yang mudah sekali berempati terutama kepada orang yang bersikap dan berperilaku baik padanya. Namun apabila sikap temannya tidak sesuai dengan keinginannya, ia pun kurang berempati kepadanya. Rasa marah dan kecewa yang tersembunyi dapat meredupkan empati dan membutakan dari dampak negatif perkataan serta perbuatan seseorang.

Faktor Prasangka dan Terlalu Berempati

Disadari atau tidak, seseorang sering menilai motif perilaku orang lain berupa prasangka negatif. Prasangka adalah sikap negatif terhadap kelompok tertentu atau seseorang. Hal ini karena semata-mata “keanggotaannya” dalam kelompok tertentu (Sarwono, 1999).

Meskipun prasangka tidak selalu salah atau irasional, ia dapat juga positif. Hanya saja prasangka yang positif tidak menimbulkan masalah dalam hubungan sosial. Perasaan empati berkurang bila prasangka (negatif) muncul dalam komunikasi. Hal ini akan mendistorsi hubungan dan mengakibatkan komunikasi menjadi rusak.

Sikap empati sering dirancukan dengan sikap mengalah, tidak jujur mengutarakan perasaan, tidak tegas atau tidak terus terang. Orang yang empati tidak menahan diri dari memberikan umpan balik kepada orang lain. Empati bukanlah sikap sentimentil ”saya oke, kamu oke.” Hal itu tidak berarti bahwa setiap komunikator memakai perasaan orang lain dan berusaha menyenangkan setiap orang. Hal itu akan menjadi pengalaman yang tidak nyaman dan akan menutup berbagai kemungkinan tindakan yang seharusnya dilakukan. Sebaliknya, empati berarti mempertimbangkan secara mendalam perasaan orang lain dan kemudian membuat keputusan-keputusan cerdas sebagai keberhasilan merespons perasaan-perasaan itu (Masturi, 2010).

Sumber : Sukron Makmun, Memahami orang lain melalui keterampilan mendengar secara empatik, Character Building Development Center, BINUS University