Apa yang dimaksud dengan mendengar secara empati?

mendengarkan secara empati

Mendengarkan secara empati adalah berarti sebagai pendengar yang bersedia tidak menghakimi, menilai, atau mengkritik, tetapi lebih cenderung menerima, memaafkan, dan memahami.

Mendengarkan secara empati dapat diartikan dengan mendengar “yang tersirat”. Dengan mendengarkan yang tersirat, kita meningkatkan kewaspadaan dan kepekaan antar personal kita terhadap seluruh pesan yang dicoba dikomunikasikan dengan seseorang.

Apa yang dimaksud dengan mendengarkan secara empati ?

Menurut Covey (1997), terdapat empat jenis dasar komunikasi, yakni; membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Berdasarkan fakta, bahwa seseorang cukup banyak menghabiskan waktu belajar untuk membaca dan menulis, begitu pula dengan berbicara. Akan tetapi, jarang atau bahkan tidak sama sekali mereka memerhatikan bagaimana cara mendengar yang baik. Oleh karena itu, sama seperti keterampilan yang lain, maka keterampilan mendengar juga mutlak diperlukan agar komunikasi dapat berjalan dengan efektif dan konflik bisa dihindari.

Beberapa survei dan penelitian menguatkan bahwa betapa penting kemampuan untuk bisa mendengar, bahkan banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa kemampuan seseorang untuk mendengar jauh lebih penting dan berharga daripada kemampuan berbicara (Bramantyo & Prasetyo, 2007). Walaupun banyak survei menempatkan kemampuan untuk mendengar sebagai kemampuan yang wajib dimiliki, ternyata banyak orang yang tidak menyadarinya. Kalaupun mereka menyadarinya, jarang di antara mereka yang berusaha untuk meningkatkan kemampuan tersebut.

Mendengar secara empati


Mendengar secara empati

Istilah empati berasal dari bahasa Yunani yakni empatheia, yang berarti “ikut merasakan”. Istilah ini pada awalnya digunakan oleh para teoretikus estetika untuk menjelaskan tentang kemampuan untuk memahami pengalaman subjektif orang lain. Pada 1920-an, istilah empati dikenalkan kembali dalam bahasa Inggris oleh E.B.

Titchener, seorang ahli psikologi Amerika, dengan makna yang sedikit berbeda. Pada teori Tichener dikatakan, bahwa empati berasal dari semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain yang kemudian menimbulkan perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Ia mencoba menggunakan kata empati untuk membedakan dengan kata simpati yang bermakna lebih dekat sebagai bentuk perhatian terhadap “kemalangan” orang lain tanpa ikut merasakan apapun yang dirasakan oleh orang lain itu (Goleman, 1997).

Empati didefinisikan sebagai kemampuan atau kecakapan untuk mengidentifikasi atau memahami dengan cara seolah mengalami sendiri perasaan, pikiran, atau sikap orang lain. Empati dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan seperti ”berjalan dengan memakai sepatu orang lain” atau ”memandang dunia melalui mata orang lain” (Brooks & Goldstein, 2009).

Menurut Goleman (1997), kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain. Empati merupakan akar kepedulian dan kasih sayang dalam setiap hubungan emosional seseorang dalam upayanya untuk menyesuaikan emosionalnya dengan emosional orang lain. Menurutnya, kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan non-verbal seperti nada bicara, gerak- gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya. Ia menggambarkan empati sebagai sebuah ciri penting dari kecerdasan emosional dan itu dapat dipelajari. Mempunyai rasa empati tidak berarti bahwa seseorang setuju dengan orang lain, tetapi hal ini semata-mata menunjukkan bahwa seseorang menghargai dan mendukung sudut pandang orang itu.

Mendengar secara empatik adalah mendengar dengan maksud untuk mengerti, baik secara emosional maupun intelektual, bukan dengan maksud untuk menjawab, mengendalikan atau memanipulasi orang lain.

Kita masuk ke dalam kerangka acuan orang lain. Melihat dunia dengan cara mereka melihat dunia, mengerti paradigma mereka dan mengerti perasaan mereka. Kita memerlukan jauh lebih banyak energi dari sekedar merekam pembicaraan, merenungkan bahkan mengerti kata-kata yang mereka ucapkan. Para ahli komunikasi memperkirakan bahwa hanya 10% komunikasi kita diwakili dengan kata-kata yang kita ucapkan, 30% diwakili oleh suara kita, dan 60% oleh bahasa tubuh kita. Oleh karena itu, mendengar secara empatik tidak terbatas pada mendengar dengan telinga, namun mendengar dengan mata dan hati. Hati kita merasakan, memahami, menyelami, dan berintuisi.

Mata kita mengamati pesan-pesan non-verbal pembicara. Dalam hal ini, kita tidak hanya menggunakan otak kanan, tetapi sekaligus juga mengasah kemampuan otak kiri (Covey, 1997).

Mendengar secara empatik

Mendengar secara empatik merupakan deposito luar biasa dalam rekening bank emosi. Ia memberi terapi dan menyembuhkan karena memberi udara psikologis pada seseorang. Sama halnya dengan udara yang merupakan kebutuhan fisiologis bagi manusia, maka keinginan untuk dimengerti, diteguhkan, diakui, dan dihargai merupakan kebutuhan psikologis bagi manusia. Jika kebutuhan ini sudah terpenuhi, komunikasi dapat berjalan dengan mudah, lancar, dan efektif. Sebaliknya, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, kegagalan komunikasi akan terjadi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa empati adalah kunci untuk mendengar secara efektif sehingga menghasilkan komunikasi yang efektif pula (Covey, 1997).

Sumber

Sukron Makmun, Memahami orang lain melalui keterampilan mendengar secara empatik, Character Building Development Center, BINUS University

Mendengarkan dengan empati (emphatic listening) adalah memahami perasaan, kebutuhan, dan keinginan pembicara sehingga seseorang dapat menghargai sudut pandangnya, terlepas dari apakah seseorang tersebut mempunyai perspektif yang sama dengannya.

Berusaha benar-benar mengerti orang lain adalah dasar apa yang disebut dengan mendengar secara empatik. Ketika orang lain sedang berbicara, terkadang kita meletakkan proses mendengar dalam salah satu dari empat tingkat komunikasi tidak empatik, yakni :

  • Pertama, kita mungkin mengabaikan, dengan tidak benar-benar mendengarkan.

  • Kedua, kita mungkin berpura-pura, kita sebenarnya tidak mendengarkan yang diucapkan.

  • Ketiga, kita mungkin selektif, kita mendengarkan hanya bagian- bagian tertentu dari percakapan.

  • Keempat, kita mungkin atentif, yakni kita hanya menaruh perhatian dan memfokuskan energi pada kata-kata yang diucapkan. Oleh karena itu dalam hal berkomunikasi, mungkin masih sedikit dari kita yang mempraktikkan bentuk tertinggi dari mendengar yaitu empati, kita benar-benar mendengar untuk mengerti dan memahami orang lain (Covey, 1997).

Mendengar secara empatik merupakan salah satu keterampilan berkomunikasi untuk mendukung pencapaian tujuan komunikasi, baik dari sisi persuasif maupun informatif. Banyak orang merasa yakin bahwa mereka berkomunikasi secara efektif. Namun, ketika orang lain tidak merespons dengan cara yang dikehendaki, mereka cenderung menyalahkannya.

Kita mungkin pernah mendengar seseorang berkomentar: “Saya tidak bisa mengerti anak saya. Ia benar-benar tidak mau mendengarkan saya” atau "Mereka sama sekali tidak mengindahkan saya ketika saya berusaha memberi tahu sesuatu pada mereka.” Ketika orang lain tampaknya tidak mendengarkan pesan-pesan yang disampaikan, maka sebagai seorang yang kritis, kita harus bertanya pada diri sendiri: “Bagaimana saya mengubah cara saya dalam menyampaikan sesuatu agar orang lain lebih mau menerima apa yang saya katakan?” (Brooks & Goldstein, 2009).

Menurut Carl Rogers dalam Masturi (2010),

Kendala utama bagi komunikasi antarpribadi satu sama lain adalah kecenderungan alamiah kita untuk menghakimi, menilai, menyetujui atau membantah pernyataan orang lain ataupun pernyataan kelompok. Setiap kali melakukan komunikasi, sesungguhnya bukan hanya sekadar menyampaikan isi pesan, tetapi menentukan kadar hubungan interpersonal.

Dalam menjelaskan hubungan antarmanusia, Covey (1997) menekankan konsep saling ketergantungan (interdependency). Unsur yang terpenting dalam komunikasi bukan sekadar yang kita tuliskan atau yang kita katakan, tetapi bagaimana karakter kita dan bagaimana kita menyampaikan pesan kepada penerima pesan sebagai lawan bicara kita.

Jika tulisan atau kata-kata dapat dibangun dari teknik hubungan manusia yang dangkal (etika kepribadian) dan bukan dari diri kita yang paling dalam (etika karakter), orang lain akan melihat atau membaca sikap kita. Jadi, syarat utama dalam berkomunikasi efektif adalah karakter yang kokoh yang dibangun dari pondasi integritas pribadi yang kuat, baik pembicara maupun orang yang yang diajak bicara.

Melalui mendengar dan memahami orang lain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang memang mutlak dibutuhkan dalam membangun kerja sama dengan orang lain. Rasa empati akan dapat membuat kita mampu untuk dapat menyampaikan pesan dengan cara dan sikap yang akan memudahkan lawan bicara untuk menerima pesan yang disampaikan.

Oleh karena itu, berusaha untuk mengerti adalah prinsip yang benardan perlu dimanifestasikan di banyak bidang kehidupan. Dalam ilmu pemasaran, memahami perilaku konsumen merupakan suatu keharusan. Dengan memahami perilaku konsumen, maka penjual dapat berempati dengan apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, minat, harapan dan kesenangan bagi konsumen.

Empati begitu sangat penting, seperti halnya dalam bidang kesehatan, kita tidak mungkin menaruh kepercayaan pada resep yang dokter berikan jika kita tidak percaya akan diagnosis dokter tersebut (Covey, 1997).

Mendiagnosis sebelum membuat resep juga merupakan hal yang mendasar di bidang hukum. Pengacara profesional lebih dahulu mengumpulkan fakta-fakta untuk mengerti situasinya, untuk mengerti hukum dan presedennya, sebelum menyiapkan kasus. Pengacara yang baik hampir selalu menulis kasus pengacara lawan sebelum menulis kasusnya sendiri. Jadi, berusaha mengerti terlebih dahulu adalah prinsip yang benar dan jelas dalam semua bidang kehidupan. Ia adalah prinsip denominator yang lazim dan generik, tetapi memiliki kekuatan bagi hubungan antarpribadi.

Mendengar secara empatik berarti mendengar yang dilandasi kesadaran untuk memahami dengan perasaan, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang berbicara. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah cara memahami orang lain. Jangan melakukan hal yang sebaliknya, yakni mengharapkan orang lain yang harus lebih dahulu memahami kita.

Sikap mau memahami tentu saja harus timbal balik, barulah kemudian akan muncul saling pemahaman. Dengan dasar berpikir ini, tidak terlalu sulit bagi pihak-pihak yang saling berhubungan untuk menumbuhkan pengertian dan saling menghormati dalam tindakan komunikasi.