Faktor-faktor Apa Saja Yang Dapat Mengakibatkan Penyimpangan Perilaku Makan?

Perilaku makan menyimpang

Perilaku makan menyimpang (eating disorder) merupakan penyakit mental yang mengganggu pola diet yang sehat. Perilaku makan menyimpang adalah kondisi perilaku yang ditandai dengan gangguan parah dan terus-menerus dalam perilaku makan serta pikiran dan emosi yang menyusahkan. Mereka bisa menjadi kondisi yang sangat serius yang mempengaruhi fungsi fisik, psikologis dan sosial. Jenis gangguan makan termasuk anoreksia nervosa, bulimia nervosa, Binge Eating Disorder dan Eating disorder not otherwise specified.

Apa yang menyebabkan sebuah perilaku makan yang eksentrik seperti anoreksia dan bulimia nervosa bisa timbul? Jawabannya masih belum jelas. Sarafino (1998) menyatakan faktor biologis, psikologis dan budaya ada kaitannya dengan timbulnya penyimpangan tersebut. Rosen dan Neumark-Sztainer mengelompokkan faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan penyimpangan perilaku makan menjadi tiga domain, yaitu faktor sosioenvironmental termasuk di dalamnya norma kultur- sosial, norma teman sebaya, pengalaman kekerasan dan pengaruh media. Faktor personal termasuk di dalamnya biologis/gen, IMT, usia, jenis kelamin, rasa percaya diri dan citra tubuh. Faktor ketiga yaitu faktor perilaku termasuk di dalamnya perilaku makan, pola makan, diet, perilaku coping, aktivitas fisik dan ketrampilan dalam sosialisasi (Brown, 2005).

Herzog dan Bradburn dalam Cooper dan Stein (1992) menyatakan faktor kepribadian dan perkembangan, tekanan sosiokultural, hubungan dalam keluarga, predisposisi biologis dan riwayat keluarga akan psikopatologi merupakan faktor-faktor yang bisa meningkatkan risiko remaja untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. Hill menyebutkan bahwa sebuah masyarakat dengan budaya “langsing sebagai sesuatu yang ideal menuju kesuksesan” seperti pada budaya Amerika dan Eropa Barat membuat orang lebih rentan untuk mengalami penyimpangan perilaku makan (Wardlaw dan Kessel, 2002). Sizer dan Whitney (2006) mengatakan bahwa perilaku tertentu terutama perilaku orang tua juga mempengaruhi timbulnya penyimpangan perilaku makan. Keluarga dari penderita penyimpangan perilaku makan cenderung untuk kritis dan berlebihan dalam menilai penampilan fisik anaknya. Faktor genetik, kepercayaan diri yang rendah, pola makan dan citra tubuh juga merupakan faktor penyebab penyimpangan perilaku makan (Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al., 2005).

Field, et al (1999) menyebutkan bahwa teman sebaya dan tren mempengaruhi nilai dan perilaku mengontrol berat badan pada remaja perempuan. Selain itu, dalam laporannya juga disebutkan bahwa studi cross sectional pada remaja SMA dan universitas memperlihatkan bahwa pubertas dini, jenis kelamin perempuan, berdiet secara teratur, perhatian pada berat badan, tekanan teman sebaya, ejekan tentang berat badan, rasa percaya diri yang rendah dan riwayat overweight berhubungan positif dengan penyimpangan perilaku makan.

Tiemeyer (2007) menyebutkan bahwa jenis kelamin, usia, dinamika keluarga, perilaku, diet, pelecehan atau trauma, kejadian pemicu, genetik dan situs pro- anoreksia dan pro-bulimia merupakan faktor risiko bagi penyimpangan perilaku makan. Namun yang juga perlu diperhatikan bahwa beberapa faktor risiko saling tumpang-tindih atau dengan kata lain beberapa faktor risiko berkontribusi untuk menimbulkan faktor risiko yang lainnya.

Usia

Menurut Brown (2005), secara definisi remaja adalah sebuah periode kehidupan yang berlangsung antara usia 11 sampai 21 tahun. Pada fase ini terjadi perubahan yang sangat besar pada aspek biologis, emosional, sosial dan kognitif dimana seorang anak berkembang menjadi dewasa. Sementara itu remaja merupakan fase usia yang rentan untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. ANRED (2005) menyatakan anoreksia dan bulimia terutama mempengaruhi orang pada usia belasan tahun dan usia 20-an. Penelitian Lee, et al (2005) tentang kasus anoreksia nervosa di Singapura memperlihatkan hasil rerata usia onset gejala anoreksia pada usia 15,5 tahun dengan standar deviasi sebesar 3,85.

Pepatah bijak mengatakan bahwa anoreksia dan bulimia paling umum terjadi pada usia remaja. Mereka yang termasuk ke dalam fase remaja, baik itu remaja awal maupun remaja akhir sama-sama berada pada fase berisiko tinggi untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. American Psychiatric Association (1994) mengatakan bahwa rerata usia saat onset anoreksia nervosa terjadi yaitu pada usia 17 tahun dimana banyak kasus mengklaster sekitar usia 14 dan 18 tahun. Sedangkan onset usia untuk bulimia cenderung kurang spesifik. Walaupun kemudian ditemukan bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa bulimia dimulai pada fase remaja lanjut sampai akhir (Tiemeyer, 2007).

Walaupun remaja merupakan usia yang paling rentan untuk mengalami penyimpangan, ada laporan tentang kasus penyimpangan perilaku makan yang dialami oleh anak usia 6 tahun dan orang tua usia 76 tahun (ANRED, 2005). Tiemeyer (2007) mengatakan orang pada usia 60-an masih memiliki kemungkinan untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. Kebanyakan dari kasus penyimpangan tersebut merupakan sisa dari pengalaman penyimpangan perilaku makan yang dimulai beberapa dekade sebelumnya. Namun ada juga yang merupakan kasus baru.

Salah satu penjelasan yang umum untuk menjelaskan mengapa kasus penyimpangan perilaku makan terjadi pada usia remaja salah satunya adalah jumlah stresor yang sangat fantastis yang dihadapi pada usia tersebut (terutama pada remaja putri). Bentuk tubuh berubah pada awal fase remaja. Sehingga bagi orang yang merasa tertekan oleh kebutuhan untuk bertambah dewasa ini kadang menggunakan anoreksia untuk menjaga agar tetap kecil. Bahkan berhenti bertambah tinggi karena kekurangan nutrisi dan remaja biasanya tidak menyadarinya jika ditanyakan mengenai persoalan ini (Tiemeyer, 2007). Penjelasan serupa juga disebutkan dalam Wardlaw dan Kessel (2002) bahwa periode remaja merupakan periode dimana terjadi pergolakan tekanan seksual dan sosial. Remaja mencari dan seringkali mengharapkan untuk memiliki kehidupan yang independen. Mereka juga berusaha diterima dan mendapatkan dukungan dari teman sebaya dan orang tua. Secara bersamaan tubuh mereka mengalami perubahan di luar kendali mereka. Sebagai respon atas tidak adanya kontrol dan mekanisme coping yang dilakukan, berdiet mungkin saja menjadi pelarian. Anoreksia nervosa seringkali dimulai dari sebuah usaha sederhana untuk berdiet.

Jenis Kelamin

Cohen, Brownell dan Felix (1990) dalam Sarafino (1998) menuliskan bahwa mulai usia 11 tahun perempuan lebih menginginkan tubuh mereka untuk menjadi lebih kurus. Fairburn dan Hill dalam Geissler dan Powers (2005) mengestimasi insiden anoreksia nervosa pada wanita sebesar 8 kasus per 100.000 populasi, sedangkan untuk laki-laki kurang dari 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Dari hasil ini terlihat bahwa anoreksia nervosa lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan rasio prevalensi kasus pada laki-laki:perempuan sebesar 1:6 sampai dengan 1:10.

Eating Disorder Coalition (2008) melaporkan bahwa penyimpangan perilaku makan lebih sering terjadi pada perempuan. Tetapi angka kejadian untuk BED cenderung sama antara perempuan dan laki-laki. ANRED (2005) memperkirakan hanya sekitar 10% dari kasus penyimpangan perilaku makan yang dialami oleh laki- laki. Selain itu, ANRED juga menyebutkan bahwa risiko seorang perempuan untuk mengalami penyimpangan perilaku makan 3 kali lebih besar bila dibandingkan dengan laki-laki. Namun data terbaru menyatakan presentase penderita laki-laki pada kasus penyimpangan perilaku makan mendekati angka 25% (ANRED, 2005).

Foley dari ANAD (2008) menyebutkan bahwa 1 dari 100 wanita berusia antara 12-25 tahun mengalami anoreksia dan 1 dari 7 wanita pada rentang usia yang sama mengalami bulimia nervosa. Sementara kejadian anoreksia dan bulimia pada laki-laki lebih jarang, hanya berkisar antara 10-15%. Hampir serupa dengan data statistik yang disebutkan sebelumnya, sekitar 90-95% dari seluruh kasus anoreksia nervosa dan 80% kasus bulimia nervosa dialami oleh perempuan (Tiemeyer, 2007). Tren tersebut juga terlihat pada sebuah studi nasional skala besar dengan sampel sebanyak 6.728 remaja. Hasilnya memperlihatkan 13% remaja perempuan dan 7% remaja laki-laki mengalami EDNOS seperti memuntahkan makanan dengan sengaja, minum obat pencahar, muntah yang disengaja atau binge eating (Brown ,2005). Terlihat bahwa perbandingan kasus EDNOS antara perempuan dengan laki-laki hampir mendekati 2:1. Berarti hanya sepertiga kasus yang dialami oleh laki-laki, sisanya dialami oleh perempuan.

Mengapa penyimpangan perilaku makan lebih banyak dialami oleh perempuan? Salah satu penyebab yang mungkin bisa dijadikan argumen adalah adanya tekanan budaya tentang citra tubuh. Sementara citra tubuh mungkin saja menjadi hal penting bagi laki-laki, citra tubuh memiliki pengaruh yang lebih kuat pada perempuan. Perempuan yang overweight atau memiliki kekurangan lain pada penampilannya seringkali memiliki pilihan yang terbatas karena lingkungan dengan segera mengucilkan mereka (Tiemeyer, 2007). Hal ini juga menunjukkan adanya ketimpangan ekspektasi dari lingkungan antara laki-laki dengan perempuan. Laki- laki cenderung diarahkan untuk menjadi kuat dan bertenaga. Mereka akan merasa malu jika memiliki badan yang kurus dan akan mendambakan memiliki badan yang besar dan kuat. Di lain pihak, perempuan cenderung diarahkan untuk menjadi kecil dan kurus. Mereka kemudian berdiet untuk menurunkan berat badan. Hal ini membuat mereka menjadi rentan untuk mengalami binge-eating. Beberapa diantaranya menciptakan kontrol berlebihan. Berdiet dan kelaparan merupakan dua dari sekian banyak kejadian pemicu yang paling kuat untuk menimbulkan penyimpangan perilaku makan (ANRED, 2005).

Herzog dan Bradburn dalam Cooper dan Stein (1992) mengatakan bahwa tingginya angka insiden kasus penyimpangan perilaku makan pada perempuan mengindikasikan bahwa perempuan lebih berisiko untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. Ada kemungkinan fenomena ini disebabkan oleh lebih besarnya tekanan sosial pada perempuan untuk tampil langsing. Menurut Sarafino (1998), faktor budaya juga menjadi salah satu penyebab lebih banyaknya perempuan mengalami penyimpangan perilaku makan. Kecantikan memegang peranan penting dalam stereotipe perempuan di banyak budaya termasuk budaya Barat. Budaya Barat telah mengalami perubahan mengenai idealisme mereka tentang kecantikan seorang perempuan. Bertahun-tahun lalu, seorang perempuan yang cantik ideal adalah seorang perempuan yang lebih bulat dengan ukuran dada dan pinggul yang lebih besar. Setelah tahun 1960-an, figur ideal seorang perempuan menjadi lebih kurus dan tekanan sosial pada perempuan untuk menjadi langsing meningkat.

Genetik

Terdapat beberapa bukti tentang hubungan antara genetik dengan penyimpangan perilaku makan. Beberapa studi telah memeriksa kejadian anoreksia nervosa dan bulimia nervosa pada anak kembar. Studi tersebut menemukan bahwa anoreksia dan bulimia memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk muncul pada kedua anak kembar jika meraka merupakan kembar identik daripada kembar fraternal (Sarafino, 1998). Romano dalam Goldstein (2005) mencontohkan sebuah studi tentang keterkaitan genetik dengan penyimpangan perilaku makan. Studi oleh Theander memperkirakan 6,6% risiko pada seorang perempuan yang bersaudara kandung dengan penderita anoreksia.

Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al (2005) menyebutkan dari sebuah studi keluarga, ditemukan bahwa risiko untuk mengalami penyimpangan perilaku makan pada perempuan yang mempunyai saudara yang mengalami anoreksia nervosa maupun bulimia nervosa meningkat 5-7 kali lipat. Studi lain menyebutkan 20% saudara perempuan dari penderita anoreksia nervosa mengalami beberapa bentuk penyimpangan perilaku makan dibandingkan dengan 4% grup pembanding dengan perilaku makan normal. Dampak dari garis keturunan diperkirakan lebih dari 50%. McDuffie dan Krikley dalam Krummel dan Etherton (1996) mengatakan para klinisi seringkali menemukan seorang saudara perempuan, bibi atau bahkan ibu dari seorang penderita penyimpangan perilaku makan memiliki sikap atau tindakan abnormal seputar makanan dan citra tubuh. Baik anoreksia maupun bulimia lebih umum terjadi di antara kerabat kandung daripada diharapankan berdasarkan kebetulan. Studi pada orang kembar memperlihatkan bahwa keturunan memiliki nilai 41-56% pada kejadian anoreksia nervosa.

Mekanisme genetik sebagai faktor predisposisi dari kejadian penyimpangan perilaku makan sedikit demi sedikit mulai terkuak. Sebuah studi menemukan bahwa orang yang mengalami anoreksia dua kali kemungkinannya memiliki variasi pada gen yang berfungsi sebagai reseptor serotonin pada bagian yang membantu menentukan nafsu makan. Karena adanya produksi serotonin yang berlebihan, terdapat kemungkinan bahwa orang yang mengalami anoreksia terus-menerus berada dalam keadaan stres seperti stres pada perkelahian atau ketika terbang. Kondisi ini menyebabkan terjadinya rasa cemas yang berlebihan secara konstan (Tiemeyer, 2007).

Studi lain oleh Dr. Kaye yang memeriksa kelainan perilaku, kadar serotonin, dopamin dan norepinefrin sejumlah pasien bulimia nervosa yang telah pulih. Dr. Kaye menemukan bahwa dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat bulimia, para penderita yang telah pulih masih memiliki kadar serotonin yang abnormal, mood yang negatif dan obsesi dengan perfeksionisme dan ketepatan. Kadar substansi kimiawi yang lainnya seperti dopamin dan norepinefrin berada dalam perbandingan yang normal (Tiemeyer, 2007). Salah satu kandidat gen yang diselidiki kemungkinannya dengan kejadian anoreksia nervosa adalah wilayah promotor gen 5HT52A. Beberapa kelompok menemukan bahwa risiko mengalami anoreksia nervosa dua kali lebih besar pada orang dengan promotor gen tersebut bila dibandingkan dengan orang yang tidak memilikinya (Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al., 2005).

Sosiokultural

Lingkungan sosial budaya juga memiliki peran terhadap perkembangan penyimpangan perilaku makan di berbagai populasi. Studi oleh Medscape’s General Medicine (2004), memperlihatkan hasil prevalensi anoreksia nervosa antara negara- negara Barat dengan negara-negara non-Barat. Di negara Barat prevalensi anoreksia nervosa pada perempuan berkisar antara 0,1-5,7% dan prevalensi bulimia nervosa berkisar antara 0,3-7,3%. Sementara itu di negara-negara non-Barat prevalensi bulimia nervosa berkisar antara 0.46-4.32% (ANRED, 2005).

Sebuah studi skala besar membandingkan persepsi tentang citra tubuh antara perempuan Negro yang tinggal di Kanada, Amerika, Afrika dan Karibia. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa seluruh perempuan Negro lebih senang dengan bentuk tubuh yang tegap dan berisi. Sebuah studi lain mencoba membandingkan persepsi citra tubuh, rasa percaya diri dan perilaku makan diantara perempuan Asia, perempuan Asia yang telah terpapar dengan idealisme Barat dan perempuan Australia. Dari studi tersebut terlihat bahwa perilaku makan diantara ketiga kelompok tersebut cenderung sama, tetapi penilaian akan bentuk tubuh sangatlah berbeda. Perempuan Australia lebih tidak puas dengan bentuk tubuhnya bila dibandingkan dengan perempuan Cina. Perempuan Cina yang telah berakulturasi dengan budaya Barat juga memiliki kepuasan yang lebih rendah terhadap bentuk tubuhnya. Pada sebuah studi awalan yang membandingkan antara gadis Asia dengan gadis Kaukasia, didapatkan hasil sebanyak 3,4% gadis Asia dan 0,6% gadis Kaukasia menderita bulimia. Perbedaan ini mengindikasikan adanya perbedaan kejadian penyimpangan perilaku makan antarbudaya (Carlisle, 2008).

Menurut Grange, et al (1998), populasi non-Barat cenderung terlindungi dari tren penyimpangan perilaku makan. Sebuah studi yang mendukung pernyataan ini menemukan bahwa perempuan Kaukasia memiliki perhatian yang lebih tinggi terhadap berat badan dan bentuk tubuh dibandingkan dengan wanita. Fairburn dan Hill dalam Geissler dan Powers (2005) mengatakan bahwa penyimpangan perilaku makan memperlihatkan adanya spesifikasi budaya. Penyimpangan perilaku makan banyak terjadi pada negara dengan jumlah makanan yang melimpah, dimana badan yang kurus dianggap sebagai bentuk tubuh yang ideal dan dimana diet menjadi sebuah kebiasaan yang umum.

Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al (2005) juga mengatakan bahwa terdapat kemungkinan sebuah budaya yang berfokus pada diet akan memicu terjadinya penyimpangan perilaku makan yang lebih banyak. Hill menyatakan bahwa sebuah budaya yang menggariskan kurus sebagai sebuah jalan menuju sukses, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat membuat orang menjadi lebih rentan untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. Pada budaya tersebut, makin kurus seseorang makin bernilai ia di mata masyarakat. Sehingga tidak heran jika orang akan berlomba-lomba menjadi kurus dengan berbagai cara (Wardlaw dan Kessel, 2002).

Read dalam Wahlqvist (1997) mengatakan bahwa tekanan sosial atau lingkungan seperti teman sebaya juga turut berkontribusi terhadap kejadian penyimpangan perilaku makan. Seorang remaja yang menemukan bahwa dengan mengontrol atau memanipulasi berat badannya ia dapat memelihara hubungan pertemanannya, akan cenderung terus mengontrol atau memanipulasi berat badannya agar ia tetap dapat disukai/dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Menurut Fairburn dan Hill dalam Geissler dan Powers (2005), teman sebaya juga berpengaruh dalam membuat seseorang merasa bersalah karena tidak memiliki bentuk tubuh atau berat badan yang ideal menurut mereka.

Perilaku Diet

Menurut Tiemeyer (2007), di antara sejumlah faktor yang memperkuat kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku makan, berdiet mungkin merupakan faktor yang paling berbahaya. Mereka yang berdiet secara moderat memiliki kemungkinan 5 kali lebih besar untuk mengalami penyimpangan perilaku makan dibandingkan dengan orang yang tidak berdiet. Mereka yang berdiet sangat ketat memiliki kemungkinan 18 kali lebih besar.

Patton dan rekan dalam Brown (2005) menemukan dalam studinya bahwa Relative Risk dari orang yang berdiet untuk mengalami penyimpangan perilaku makan 8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak berdiet. Penelitian Krowchuk, et al (1998) menemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara berdiet dengan perilaku muntah yang disengaja atau penggunaan laksatif untuk menurunkn berat badan.

Penelitian Alison, et al (1999) menemukan bahwa frekuensi diet merupakan faktor prediktor bagi dimulainya perilaku purging setidaknya dalam hitungan bulan pada tahun yang sama. Odds Ratio frekuensi diet terhadap perilaku purging sebesar 1,5 dengan nilai 95%CI berkisar antara 1,3-1,7. Sarafino (1998) menyatakan bahwa orang yang mengalami anoreksia ataupun bulimia berawal dari orang yang mencoba berdiet secara normal ttapi cenderung memiliki perhatian yang besar terhadap berat badan mereka. Sehingga lama-kelamaan mereka mulai menggunakan cara-cara yang ekstrim.

Tiemeyer (2007) mengatakan bahwa berdiet menciptakan berbagai dinamika yang dapat memperkuat terjadinya penyimpangan perilaku makan seperti halnya pelecehan seksual dan ejekan dari teman. Perbedaan mendasarnya, yaitu bahwa berdiet merupakan suatu perilaku atau kebiasaan yang dianggap normal dan malah disebarluaskan pada budaya Barat. Pada survei NASH (1988), sebanyak 61% remaja sekolah tingkat delapan dan sepuluh melaporkan melakukan diet selama setahun terakhir. Di tahun 1990, Youth Risk Behavior Survey melaporkan sebanyak 43,7% remaja putri SMA mencoba untuk menurunkan berat badannya. Sebuah studi di awal tahun 90-an melaporkan sebanyak 45% anak perempuan usia 8-13 tahun ingin menjadi lebih kurus dan 37%-nya telah mencoba untuk menurunkan berat badannya (Story dan Alton dalam Krummel dan Etherton, 1996).

Sebuah studi yang melibatkan emapt negara bagian di Amerika Serikat menemukan bahwa sebanyak 44% remaja putri dan 37% remaja putra yang berusia antara 12-17 tahun telah melakukan diet. Fisher dan koleganya menyimpulkan bahwa 50-60% remaja putri menganggap diri mereka kegemukan dan telah berusaha untuk berdiet. Sebuah studi pada anak usia 9-12 tahun menemukan bahwa sebanyak 16-50% anak perempuan telah berdiet (Brown, 2005).

Fairburn, et al (2005) dalam penelitiannya tentang orang yang berdiet menyimpulkan bahwa pembatasan asupan meningkatkan risiko terjadinya penyimpangan perilaku makan melalui mekanisme kognitif dan psikologis. Saat diet dimulai, makanan menjadi musuh. Jika anda melihat makanan yang disukai, anda merasa terganggu karena mungkin makanan tersebut merupakan makanan yang dilarang oleh program diet anda. Jika anda menemukan makanan yang diperbolehkan oleh program diet anda, seringkali anda malah merasa terganggu karena makanan tersebut tidak anda sukai. Keadaan ini akan menimbulkan perasaan putus asa yang lam-kelamaan semakin menumpuk dan akhirnya secara perlahan anda terjerumus ke dalam penyimpangan perilaku makan (Tiemeyer, 2007).

McDuffie dan Kirkley dalam Krummel dan Ehterton (1996) menyatakan pembatasan asupan yang berlebihan akan menimbulkan kekurangan energi dan kelaparan. Rasa lapar tersebut jika dikombinasikan dengan tambahan stres, depresi, kecemasan atau rasa tidak sabar karena program diet yang dijalani tidak berjalan secepat yang diharapkan memicu kepada rasa frustasi dan makan secara berlebihan. Pada orang yang akan mengalami penyimpangan perilaku makan, perilaku makan yang berlebihan secara cepat akan diikuti dengan perasaan bersalah dan kecemasan akan kenaikan berat badan. Reaksi dari rasa takut dan cemas tersebut bisa saja berupa berhenti berdiet dan menjadi obesitas atau berdiet kronis yang diikuti dengan puasa atau perilaku purging.

Citra Tubuh

Citra tubuh adalah sebuah istilah yang mengacu pada persepsi seseorang mengenai tampilan fisik tubuhnya. Secara esensial, citra tubuh seseorang merupakan cara bagaimana mereka mempersepsikan tampilan luar mereka dan pada banyak kasus citra tubuh seseorang bisa sangat berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Citra tubuh seringkali diukur dengan menanyakan kepada subjek bentuk tubuhnya saat ini dengan bentuk tubuh idela yang ditampilkan melalui serangkaian gambar. Perbedaan antara kedua nilai tersebut mengambarkan sejauh mana ketidakpuasan subjek tersebut terhadap tubuhnya sendiri. Perasaan negatif seseorang tentang tubuhnya pada beberapa kasus memicu timbulnya kelainan mental seperti depresi atau penyimpangan perilaku makan. Monteath dan McCabe (2008) menemukan bahwa 44% perempuan mengekspresikan perasaan yang negatif mengenai bentuk tubuh mereka. Studi lainnya menemukan bahwa 56% perempuan dan sekitar 40% laki-laki merasa tidak puas dengan penampilan fisik mereka secara keseluruhan (NN E, 2008).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Davies dan Rurnham (1986) pada anak perempuan berusia 11-13 tahun, sebanyak 45% menganggap diri mereka gemuk dan ingin menjadi lebih kurus. Padahal di antara anak-anak tersebut hanya 4% yang pada kenyataannya memang overweight (NN F, 2008). Tienboon dan rekan dalam Brown (2005) melaporkan bahwa 41% remaja perempuan dan 14% remaja laki-laki merasa diri mereka overweight.

Penelitian oleh Fairburn, et al (1998 & 1999) menyebutkan bahwa evaluasi diri yang negatif berhubungan signifikan dengan kejadian penyimpangan perilaku makan. Orang dengan evaluasi diri yang negatif memiliki risiko 4,4 kali lebih besar untuk mengalami BED dan memiliki risiko 8,2 kali lebih besar untuk mengalami anoreksia nervosa. The McKnight Investigators (2003) menyebutkan dalam studinya tentang onset penyimpangan perilaku makan bahwa keinginan untuk memiliki tubuh kurus berhubungan signifikan dengan onset penyimpangan perilaku makan. Krowchuk dan rekan (1998) juga melaporkan bahwa penggunaan laksatif atau perilaku muntah yang disengaja pada remaja berhubungan secara signifikan dengan merasa diri overweight.

Budaya ”kurus” merupakan bentuk tubuh ideal atau jalan menuju sukses yang diperkenalkan di negara-negara Barat telah merambah ke berbagai belahan dunia menjadi faktor penguat pencitraan tubuh yang salah atau negatif. Bombardir media tentang bentuk tubuh yang kurus membuat orang merasa dirinya gemuk. Studi oleh Stice, (1994) melaporkan bahwa dua karakteristik psikologis individual yang mempunyai potensi kuat dalam membangun citra tubuh yang salah adalah internalisasi nilai ”kurus adalah ideal” dan perbandingan bentuk tubuh. Internalisasi nilai ”kurus adalah ideal” merefleksikan keinginan untuk berusaha menyamai keidealan tersebut dan persepsi pentingnya menjadi kurus demi kesuksesan dan daya tarik. Beberapa studi eksperimental telah membuktikan bahwa internalisasi nilai ”kurus adalah ideal” berhubungan dengan peningkatan ketidakpuasan penampilan dalam jangka pendek pada remaja putri dan mahasiswi terkait dengan media (Thompson, 2004). Makin besar kesenjangan antara berat badan yang sesungguhnya dengan berat badan yang diinginkan, makin besar usaha yang dilakukan untuk memperbaiki penampilannya. Semakin tinggi pula risiko remaja itu melakukan usaha ekstrim dalam rangka mengontrol dan memelihara berat badannya ( Herzog dan Bradburn dalam Cooper dan Stein, 1992).

Sizer dan Whitney (2006) mengilustrasikan sebuah hubungan antara persepsi diri yang negatif dengan perilaku makan menyimpang sebagai siklus seperti di bawah ini.

image
Gambar Siklus Bingeing, Purging dan Persepsi Diri Negatif (Sizer dan Whitney, 2006)

Rasa Percaya Diri

Dalam psikologi, rasa percaya diri merefleksikan penilaian seseorang akan dirinya secara utuh. Rasa percaya diri mencakup kepercayaan dan emosional (NN G, 2008). Rasa percaya diri erat kaitannya dengan citra tubuh. Citra tubuh adalah pesepsi seseorang tentang penampilan fisiknya. Rasa percaya diri adalah persepsi seseorang tentang dirinya sebagai satu kesatuan yang utuh, perasaan seseorang tentang nilai dirinya sebagai seorang manusia.

Rasa percaya diri yang rendah berkontribusi pada terjadinya penyimpangan pada citra tubuh dan citra tubuh yang keliru tidak dapat sepenuhnya dikoreksi sebelum masalah rasa percaya diri dibereskan. Rasa percaya diri yang rendah dapat menyebabkan permasalahan dalam persahabatan, stres dan kecemasan, depresi dan dapat berpengaruh pada perilaku makan seseorang. Rasa percaya diri yang rendah juga merupakan salah satu karakteristik primer dari gadis yang mengalami penyimpangan perilaku makan.

Mereka merasa bahwa mereka tidak dapat mencapai apa yang diinginkan oleh lingkungan sekitarnya. Lalu mereka menjadi ekstrim dalam usahanya untuk menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan sekitar (Eating Disorders Venture, 2006).

Jika pada sebuah populasi remaja putri terdapat mereka yang sangat memperhatikan berat badan dan soal lainnya yang terkait dengan tubuh. Dimana rasa percaya diri mereka berkaitan dengan mencapai dan menjaga tampilan fisik tertentu. Remaja tersebut memiliki risiko tertentu untuk mengalami penyimpangan perilaku makan (Herzog dan Bradburn dalam Cooper dan Stein, 1992).

Thompson (2004) juga menyebutkan bahwa pengaruh negatif dan rasa percaya diri yang rendah secara konsisten memiliki korelasi dengan ketidakpuasan terhadap tubuh. Penelitian Neumark-Sztainer (2000) menyebutkan bahwa tingkat percaya diri yang rendah memiliki hubungan yang signifikan dengan berdiet dan penyimpangan perilaku makan. Orang dengan rasa percaya diri yang rendah memiliki kemungkinan 3,74 kali lebih besar untuk berdiet dan 5,95 kali untuk mengalami penyimpangan perilaku makan.

Aspek Psikologis dan Kepribadian

Pada dasarnya anoreksia nervosa adalah sebuah perasaan takut kehilangan kendali diri atau menjadi di luar kendali. Pada kasus klasik, penderita anoreksia tumbuh di sebuah lingkungan dimana semua hal diputuskan untuknya. Konsekuensinya, konstelasi kepribadian orang tersebut mencakup kebutuhan akan sebuah pengaturan, pola yang kaku tentang berpikir dan perilaku (pemikiran hitam- putih, disiplin diri yang ekstrim), rasa percaya diri yang rendah perfeksionis dan menarik diri dari lingkungan sosial. Kombinasi tersebut merupakan sebuah kombinasi letal sejalan dengan tidak ditoleransinya kegagalan.

Pada kasus bulimia nervosa, karakteristik yang khas adalah dikendalikan oleh penerimaan orang lain, mencari sumber eksternal untuk pembuktian diri karena rasa percaya diri yang kurang. Tetapi penderita bulimia lebih berkembang secara sosial. Kekakuan dan isolasi sosial digantikan oleh sifat impulsif dan emosi yang labil (McDuffie dan Kirklwy dalam Krummel dan Etherton, 1996).

Hampir 70% kasus anoreksia dan bulimia nervosa terjadi setelah si penderita mengalami suatu kejadian yang tidak mengenakan atau kesulitan dalam hidupnya. Terdapat kecenderungan orang-orang tersebut memiliki perilaku coping yang tidak sesuai terkait dengan kejadian hidup yang dialaminya. Kepribadian yang obsesional berkaitan dengan rasa muak pada diri dan terlalu sensitif dengan kritik. Keduanya dapat memicu timbulnya perilaku kompensasi (Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al., 2005).

Menurut Fairburn dan Hill dalam Geissler dan Powers (2005), bawaan kepribadian contohnya perfeksionis sampai pengalaman hidup seseorang seperti pelecehan atau kekerasan berkaitan dengan penyimpangan perilaku makan. Perfeksionis dan obsesivitas merupakan karakteristik yang umum pada penderita anoreksia nervosa. Sementara trauma, pelecehan seksual dan kekerasa fisik berkaitan dengan perilaku bulimik. CNN (2006) melaporkan bahwa orang dengan depresi, kecemasan yang berlebihan dan obsessive compulsive disorder memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. Penderita anoreksia cenderung memiliki kepribadian perfeksionis. Sementara penderita bulimia memiliki masalah dengan kontrol terhadap dorongan kata hati.

Perilaku perfeksionistik merupakan hal yang umum di antara para penderita penyimpangan perilaku makan. Dalam sebuah keluarga dengan jumlah anak yang banyak, terkadang anak berpikir bahwa menjadi sesempurna mungkina merupakan hal yang paling mudah untuk dilakukan. Saat perfeksionisme bersingungan dengan citra tubuh, maka kemungkinan berkembangnya penyimpangan perilaku makan meningkat secara drastis. Tidak ada tubuh manusia yang sempurna, tetapi perfeksionisme menciptakan sebuah kebutuhan untuk membuat tubuh menjadi sempurna walaupun hal tersebut sudah jelas tidak akan tercapai. Pada beberapa kasus, perfeksionisme muncul dalam bentuk kepribadian obsessive compulsive disorder atau OCD (Tiemeyer, 2007).

Orang dengan OCD memiliki kemungkinan terlibat pada perilaku yang ganjil, seperti mengunyah tiap gigitan sebanyak 40 kali atau memotong menjadi sekian banyak potongan tertentu. OCD membuat penyimpangan perilaku makan semakin kuat. Pada hampir semua kasus, seorang perfeksionis mengindikasikan adanya keinginan mendasar untuk menciptakan keteraturan pada apa yang mereka lihat sebagai sesuatu yang kacau (Tiemeyer, 2007).

Banyak dari penderita anoreksia nervosa dan bulimia nervosa mengatakan bahwa mereka depresi. Selain itu juga ditemukan bahwa angka prevalensi yang tinggi kelainan kecemasan yang berlebihan di antara orang yang mengalami penyimpangan perilaku makan (Gilbert dalam Garrow dan James, 1993).

Kelainan kepribadian juga secara relatif umum terjadi pada orang yang mengalami penyimpangan perilaku makan. Terdapat beberapa kelainan kepribadian yang sering ditemukan pada kasus penyimpangan perilaku makan, yaitu borderline personality disorder, obsessive-compulsive personality disorder dan avoidant personality disorder. Borderline personality disorder (BPD) adalah sebuah pola dari perilaku impulsif dan tidak stabil yang mempengaruhi emosi, persabahatan dan situasi kondisi. Seseorang dengan BPD memiliki rasa takut yang amat besar akan keterkucilan. Obesissve compulsive personality disorder (OCPD) sedikit berbeda dari obsesive compulsive disorder (OCD) dimana pada OCPD tidak terdapat obsesi dan dorongan. OCPD merupakan pola dimana kontrol ditegakkan di atas fleksibilitas, aturan diterapkan di atas kenyamanan dan hubungan dikontrol di atas keterbukaan. Hidup orang tersebut didominasi dengan aturan dan kesempurnaan. Avoidant personality disorder (AvPD) bermanifestasi sebagai sebuah pola penghindaran kontak karena adanya perasaan ketidakmampuan. Tujuan utama orang dengan AvPD adalah menghindari kritik dan mereka sangatlah sensitif dengan umpan balik yang negatif (Tiemeyer, 2007).

Kekerasan Fisik

Sebuah studi oleh Fairburn dan rekan (1999) menemukan bahwa kekerasan fisik dan kekerasan fisik yang parah berulang kali yang dalami oleh perempuan berhubungan secara signifikan sebagai salah satu faktor risiko anoreksia nervosa. Perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik berisiko 4,9 kali lebih tinggi untuk menderita anoreksia nervosa. Risiko mengalami anoreksia nervosa meningkat menjadi 14,9 kali pada perempuan yang mengalami kekerasan fisik yang parah berulang kali. Studi lainnya oleh Fairburn, et al (1998) juga menemukan hubungan antara kekerasan fisik dengan kejadian BED.

Perempuan yang mengalami kekerasan fisik yang parah berulang kali memiliki risiko 10 kali lebih tinggi untuk mengalami BED. Penelitian Moore, et al (2002) melaporkan bahwa para perempuan kulit putih dan kulit hitam penderita BED mengalami kekerasan fisik lebih tinggi secara signifikan daripada objek pembanding yang sehat. French, et al (1995) menemukan bahwa kekerasan fisik memiliki hubungan yang bermakan dengan perilaku purging.

Perempuan yang pernah mengalami kekerasan fisik 1,93 kali lebih berisiko untuk melakukan perilaku purging, sementara pada laki-laki risikonya sebesar 1,74 kali.

Rorty, et al (1994) menemukan bahwa angka kekerasan emosional dan fisik lebih tinggi secara signifikan di antara perempuan yang didiagnosis sebagai penderita bulimia nervosa daripada perempuan yang tidak memiliki riwayat penyimpangan perilaku makan. Sebagai tambahan, mereka juga menemukan bahwa perempuan yang didiagnosis menderita bulimia nervosa lebih banyak yang melaporkan pengalaman berbagai bentuk kekerasan/pelecehan di masa kecilnya dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami penyimpangan perilaku makan.

Mirip dengan hasil studi sebelumnya, Kent dan rekan (1999) menginvestigasi pengalaman kekerasan/pelecehan masa kecil dengan kejadian penyimpangan perilaku makan. Mereka menemukan bahwa jika berbagai bentuk kekerasan dievaluasi secara simultan (menggunakan regresi), hanya kekerasan emosional yang secara signifikan berhubungan dengan penyimpangan perilaku makan walaupun hanya dalam besaran yang kecil (Mazzeo dan Espelage, 2002).

Pelecehan Seksual

Penelitian Moore, et al (2002) melaporkan adanya hubungan antara pelecehan seksual dengan penyimpangan perilaku makan baik pada perempuan kulit putih maupun pada perempuan kulit hitam. Fairburn, et al (1998) melaporkan bahwa perempuan yang mengalami pelecehan seksual 5,7 kali lebih berisiko untuk mengalami BED. Di dalam studi lainnya, Fairburn dan rekan (1999) juga melaporkan bahwa perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual 3,4 kali lebih berisiko untuk mengalami anoreksia nervosa. Jika pelecehan yang dialaminya merupakan pelecehan seksual yang parah yang dilakukan berulang kali, risiko perempuan itu untuk mengalami anoreksia nervosa meningkat drastis menjadi 15,3 kali. French, et al (1995) menyebutkan dalam studinya bahwa perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual berisiko 1,6 kali untuk mengadopsi perilaku purging.

Sanci, et al (2008) juga menemukan hubungan yang bermakna pada studinya tentang pengalaman pelecehan seksual sebelum 16 tahun pada remaja putri dengan kasus baru bulimia nervosa dan anoreksia nervosa. Remaja putri yang pernah mengalami dua kali atau lebih pelecehan seksual tanpa kontak fisik sebelum usia 16 tahun memiliki risiko 4,6 kali lebih tinggi untuk menimbulkan kasus baru bulimia nervosa dan 2,4 kali lebih tinggi untuk menimbulkan kasus baru anoreksia nervosa. Remaja putri yang pernah mengalami dua kali atau lebih pelecehan seksual dengan kontak fisik sebelum usia 16 tahun memiliki risiko 5,3 kali lebih tinggi untuk menimbulkan kasus baru bulimia nervosa. Remaja putri yang pernah mengalami dua kali atau lebih pelecehan seksual dalam bentuk apapun sebelum usia 16 tahun memiliki risiko 5,7 kali lebih tinggi untuk menimbulkan kasus baru bulimia nervosa.

Banyak studi memperlihatkan bahwa terdapat hubungan di antara pelecehan seksual dengan perkembangan penyimpangan perilaku makan. Banyak dari orang yang pernah mengalami pelecehan seksual telah berubah menjadi seseorang dengan penyimpangan perilaku makan dan menemukan bahwa penyimpangan tersebut membantu mereka untuk melindungi mereka, membendung kenangan mereka yang menyakitkan dan mematikan perasaan mereka. Korban dari pelecehan seksual seringkali mengembangkan sebuah mekanisme coping untuk bertahan dari kenangan akan pelcehan yang pernah dialami. Penyimpangan perilaku makan merupakan salah satu mekanisme coping yang umum dilakukan bagi para korban pelecehan seksual.

Penyimpangan itu bisa membantu mereka menghalangi kenangan buruk mereka tentang pelcehan yang pernah dialami. Bagi mereka, penyimpangan perilaku makan menjadi alasan satu-satunya untuk bertahan (NN H, 2008).

Tiemeyer (2007) mengatakan kapanpun terjadi efek dari pelecehan seksual sangatlah mendalam. Seorang gadis 14 tahun yang mengalami pelecehan ketika berusia 6 tahun akan mudah berpikir bahwa tubuhnya jelek akibat rasa malu yang timbul dari pengalaman pelecehannya. Tidak semua orang yang mengalami penyimpangan perilaku makan memiliki riwayat pelecehan seksual, tetapi pelecehan seksual umum terjadi di masa lalu para penderita penyimpangan perilaku makan. Sebuah episode binge menciptakan suatu kenikmatan sementara orang tersebut menjadi mematikan perasaannya. Purging setelahnya merupakan jalan penolakan terhadap kenikmatan tersebut dan menggeser perasaan jijik pada diri yang datang akibat menikmati sesuatu.

Walaupun banyak studi yang menyebutkan bahwa pelecehan seksual berhubungan dengan kejadian penyimpangan perilaku makan, Wonderlich dan rekan (1997) mencatat sebanyak 53 studi tentang pelecehan seksual dan penyimpangan perilaku makan di tahun 1987-1994 melaporkan hasil yang tidak konsisten. Salah satu penjelasan yang diajukan oleh mereka adalah kebanyakna penelitian gagal mempertimbangkan pengaruh dari mediator potensial atau mediator hubungan antara pelecehan seksual dengan penyimpangan perilaku makan. Kinzl dan rekan (1994) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara pelecehan seksual dengan penyimpangan perilaku makan pada sampel mahasiswa perempuan. Tetapi mereka menemukan bahwa tingkat keparahan penyimpangan perilaku makan meningkat sejalan dengan semakin tingginya difungsi keluarga. Penemuan ini menggariskan perlunya evaluasi lebih lanjut tentang pengaruh potensial dari fungsi keluarga terhadap hubungan pelecehan seksual dengan penyimpangan perilaku makan (Mazzeo dan Espelage, 2008).

Dinamika Keluarga

Dinamika keluarga dan pendekatan orang tua kepada anak telah diajukan sebagai salah satu penyebab penyimpangan perilaku makan. Penelitian mengindikasikan remaja yang mempersepsikan bahwa kepedulian dan ekspektasi orang tua yang rendah terhadapnya memiliki risiko untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. Pengaruh ibu juga diargumentasikan sebagai faktor yang berkontribusi secara negatif. Seorang ibu yang menyampaikan perhatiannya tentang berat badan dan bentuk tubuh dengan bertindak sebagai role model, dengan langsung mengkritik atau dengan interaksi makan yang tidak sesuai menambah kemungkingan timbulnya kejadian penyimpangan perilaku makan (Fairburn dan Hill dalam Geissler dan Powers, 2005).

Minuchin dan rekan (1978) telah mengidentifikasi sejumlah karaktersitik keluarga yang mereka percaya sebagai karakteristik khas pada keluarga penderita anoreksia nervosa. Karakteristik tersebut diantaranya terlalu protektif, kaku, tidak adanya usaha menyelesaikan konflik keluarga dan atmosfir keluarga yang hanya mengijinkan sedikit privasi. Faktor stres terkait dengan keluarga lainnya yang berimplikasi pada kejadian anoreksia nervosa dan bulimia nervosa, yaitu orang tua yang cenderung melarang anaknya untuk bersosialisasi, keluarga dengan ketertarikan yang tidak biasa pada makanan, berat badan atau bentuk tubuh, salah satu atau kedua orang tua bekerja pada industri makanan atau pakaian dan keluarga dengan riwayat anoreksia nervosa atau obesitas (Gilbert dalam Garrow dan James, 1993).

Keluarga dari penderita anoreksia nervosa kemungkinan besar merupakan keluarga yang sangat kritis dan memberikan penilaian yang lebih pada tampilan fisik serta mengabaikan nilai internal diri. Orang tua mungkin menentang kekuasaan orang lain dan terombang-ambing antara mempertahankan perilaku anoreksia si anak atau menghukumnya. Hal ini akan membingungkan si anak dan mengacaukan kontrol normal orang tua. Berdasarkan hasil observasi, berdiet, berargumen, kritik terhadap berat badan atau bentuk tubuh, perhatian dan kepedulian yang rendah merupakan hal umum didapatkan pada keluarga dengan penderita bulimia (Sizer dan Whitney, 2006).

CNN (2006) juga melaporkan bahwa orang yang merasa kurang aman bersama keluarganya, orang tuanya atau saudaranya selalu mengkritik, mengejek atau menghina tentang penampilannya berada dalam tingkat risiko yang tinggi untuk mengalami penyimpangan perilaku makan. Keluarga yang selalau menginginkan kesempurnaan, keluarga yang terlalu protektif, keluarga yang kacau, keluarga yang tertutup dan keluarga yang bercerai meruakan beberapa tipe keluarga yang bisa membuat kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku makan menjadi lebih besar (Tiemeyer, 2007).

Bullying

Nauert (2007) mendefinisikan bullying sebagai suatu tindakan agresif yang dapt berupa tindakan fisik, verbal atau secara tidak langsung, dengan ketidakseimbangan kekuatan dimana korban tidak dapat mempertahankan dirinya. Menurut Pace (2001), karakteristik bullying terdiri dari adanya ketidakseimbangan kekuatan (orang atau kelompok yang melakukan bullying memiliki kekuatan yang lebih daripada korban), adanya keinginan untuk menganggu atau menyakiti dan kejadiannya berulang. Bullying bisa berupa psikologis dan emosional (menyebarkan gosip, pengucilan); verbal (sebutan atau ancaman) dan fisik (mendorong atau memukul).

Moore, et al (2002) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara bullying oleh teman sebaya dengan kejadian BED pada perempuan kulit putih dan kulit hitam. Perempuan kulit putih yang pernah mengalami bullying oleh taman sebayanya berisiko 2,3 kali untuk mengalami BED. Sementara perempuan hitam yang pernah mengalami bullying oleh teman sebayanya berisiko 3,3 kali untuk menderita BED. Fairburn dan rekan (1998) juga menemukan bahwa remaja perempuan yang pernah mengalami bullying berisiko 5,5 kali untuk mengalami BED bila dibandingkan dengan remaja yang tidak pernah mengalaminya.

Ejekan

Seperti diketahui, penyimpangan perilaku makan timbul dari berbagai faktor yang kompleks. Hal-hal sederhana bisa saja menjadi suatu pemicu bagi timbulnya penyimpangan perilaku makan. Kata-kata nampaknya sangat sederhana, tetapi bagi remaja atau seseorang yang tidak menyukai dirinya, kata-kata memiliki kekuatan yang dahsyat. Bayangkan seorang pelatih gimnastik berpengalaman bekerjasama dengan seorang atlet perempuan usia 12 tahun. Pelatih itu sangat dihormati dan sang atlet mengikuti seluruh saran yang dibuat oleh pelatihnya. Saat latihan, sang pelatih memberikan komentar tentang ukuran kaki sang atlet. Pelatih berkata bahwa dengan ukuran kaki yang sekarang dimilikinya, dia akan susah untuk berkompetisi dengan atlet lain.

Bagi seorang remaja 12 tahun yang sedang sangat memperhatikan perkembangan tubuhnya dibandingkan dengan teman sebayanya, komentar tersebut akan sangat membekas dan berdampak besar baginya. Komentar dari orang tua atau anggota keluarga lain seputar berat badan atau bentuk tubuh juga memiliki efek yang besar dalam perannya sebagai pemicu penyimpangan perilaku makan (Tiemeyer, 2007). Remaja merupakan satu fase usia dimana mereka sedang dalam proses pencarian jati diri dan mereka dapat memasukkan komentar dari orang lain ke dalam hati. Berbeda dengan lingkungan sekitarnya (misalnya dalam bentuk tubuh atau berat badan) seringkali tidak dapat diterima oleh para remaja (Tiemeyer, 2007).

Haines, et al (2006) menyebutkan bahwa ejekan tentang berat badan merupakan prediktor terhadap timbulnya binge eating dengan hilang kendali di antara remaja perempuan dan laki-laki pada 5 tahun masa tindak lanjut setelah disesuaikan dengan umur, ras/etnis dan SES. Fairburn dan rekan (1998) dalam sebuah studinya tentang faktor risiko BED menemukan adanya hubungan bermakna antara kritik dari anggota keluarga dan ejekan/hinaan tentang bentuk tubuh, berat badan atau perilaku makan dengan risiko BED. Perempuan yang pernah dikritik oleh anggota keluarganya tentang bentuk tubuh, berat badan atau perilaku makan berisiko 3,7 kali untuk mengalami BED. Sedangkan perempuan yang pernah diejek/dihina tentang bentuk tubuh, berat badan atau perilaku makan berisiko 2,4 kali untuk menderita BED.

Thompson (2004) menyebutkan bahwa faktor penguat yang paling kuat terbentuknya ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh adalah ejekan. Pada sebuah studi cross sectional, ejekan tentang berat badan dan bentuk tubuh berkorelasi kuat dengan ketidakpuasan terhadap tubuh secara independen dengan IMT. Studi Cash (1995) mengimplikasikan ejekan sebagai penyebab potensial timbulnya ketidakpuasan terhadap tubuh. Sebuah studi prospektif oleh Cattarin dan Thompson (1994), ditemukan bahwa ejekan tentang berat badan dan bentuk tubuh merupakan prediktor timbulnya ketidakpuasan terhadap tubuh (Thompson, 2004).

Media Massa

Penelitian oleh Miguel, et al (2003) menyimpulkan bahwa media massa berperan pada onset penyimpangan perilaku makan. Miguel dan rekan menemukan bahwa insiden penyimpangan perilaku makan yang lebih tinggi terjadi pada remaja usia muda, terbiasa makan sendirian dan secara teratur membaca majalah remaja atau mendengarkan program radio. Miguel dan rekan tidak menemukan perbedaan insiden penyimpangan perilaku makan dengan jumlah jam menonton televisi. Namun terdapat hubungan signifikan antara peningkatan insiden penyimpangan perilaku makan dengan waktu yang dihabiskan untuk mendengarkan program radio dengan nilai OR 1,11 untuk tiap 1 jam penambahan waktu. Selain itu, juga ditemukan bahwa semakin sering membaca majalah tentang remaja (setidaknya seminggu sekali) juga berhubungan dengan penyimpangan perilaku makan dengan OR sebesar 1,55. Remaja yang masuk dalam kategori sering dalam penggunaan radio dan majalah berisiko 2,1 kali lebih tinggi untuk mengalami penyimpangan perilaku makan.

Field dan rekan (1999) melaporkan dalam hasil studinya bahwa berusaha untuk tampil sama dengan model yang ada di televisi, film atau majalah merupakan faktor prediktor bagi onset perilaku purging bagi remaja putri dengan OR sebesar 1,9.

Field dan rekan (1999) pada studi yang lain melaporkan bahwa terdapat asosiasi linier positif antara frekuensi memcaca majalah wanita dengan prevalensi berdiet untuk menurunkan berat badan karena artikel di majalah, memulai program latihan fisik karena artikel di majalah, ingin menurunkan berat badan karena gambar yang ada di majalah dan menganggap bahwa gambar di majalah tersebut mempengaruhi ide mereka tentang bentuk tubuh yang ideal. Field dan rekan juga mengkritisi pihak media karena telah mempromosikan secara berlebihan citra tubuh kurus. Pihak media memegang peranan dalam perkembangan dari perhatian terhadap berat badan dan penyimpangan perilaku makan. Penelitian Wilson dan rekan (2006) memberikan hasil bahwa dibandingkan dengan bukan pengguna, penderita penyimpangan perilaku makan pengguna situs yang pro terhadap penyimpangan perilaku makan memiliki durasi sakit yang lebih lama.

Menurut Fairburn dan Hill dalam Geissler dan Powers (2005), paparan pada citra tubuh kurus yang dibawa oleh media dapat memicu terjadinya ketidakpuasan terhadap tubuh terutama pada orang yang telah merasa tidak puas. Pada gilirannya, mereka akan mencari gambar tubuh kurus tersebut untuk perbandingan atau tujuan motivasional. Sementara proses penyingkiran citra tubuh gemuk dengan mengekslusinya atau dengan penghinaan terus berjalan seiring dengan proses idealisasi citra tubuh kurus menimbulkan ketidakpuasan pada berat atau bentuk tubuh. Ketidakpuasan inilah yang merupakan prokrusor yang umum dari penyimpangan perilaku makan. Tekanan sosial, budaya kurus dan peran media massa dalam menyebarluaskan pesan bahwa menjadi kurus merupakan jalan menuju kebahagiaan, kesuksesan atau kecantikan turut meningkatkan risiko terjadinya penyimpangan perilaku makan. Penyimpangan perilaku makan bukanlah sebuah bentuk pemberontakan terhadap bentuk keidealan yang tidak realistis tersebut, melainkan sebuah bentuk penerimaan yang dibesar-besarkan (Sizer dan Whitney, 2006).

Bentuk lain media yang memiliki pengaruh pada penyimpangan perilaku makan adalah situs pro-anoreksia (pro-ana) ataupun pro-bulimia (pro-mia). Keberadaan situs-situs tersebut meningkat dan populer di kalangan penderita anoreksia atau bulimia nervosa. Situs-situs ini memiliki potensi bahaya yang besar karena bukannya mengambarkan penyimpangan perilaku makan sebagai sebuah penyakit, mereka malah mempopulerkannya sebagai gaya hidup. Pada situs pro-mia seringkali ditemukan tips dan trik untuk menyembunyikan perilaku purging yang dilakukan. Foto-foto artis atau figur publik yang menguruskan diri dan model yang menginspirasikan citra tubuh kurus dipajang di tiap halaman situs. Bahkan beberapa situs menawarkan solidaritas dalam sebuah komunitas bulimia (Eating Disorder Venture, 2006).

Beberapa situs pro-ana dan pro-mia memang menyediakan informasi tentang bahaya dari penyimpangan perilaku makan. Tetapi ternyata data itu digunakan untuk mendorong pembacanya mempelajari cara baru dalam menjalani penyimpangan perilaku makan dalam rangka menghindari bahaya tersebut. Saat penyimpangan menjadi semakin jauh dan sakit mulai dirasakan kembali, mereka akan mengakses lagi. Hal ini akan menjadi sebuah lingkaran yang sulit untuk diputus (Tiemeyer, 2007).

Referensi:
ANRED. 2008, “Statistics: How Many People Have Eating Disorders?”, ANRED: Eating Disorders Statistics.
Brown, J.E. et al. 2005, Nutrition Trough the Life Cycle 2nd edition, Thomson Wadswoth, Belmont.
Carslisle, C. 2008 “Eating Disorders: Do Body and Food Issues Differ by Culture? Eating Disorders, Body Image and Cultural Contexts”, http://www.healthyplace.com/Communities/Eating_Disorders/minorities_2asp.
CNN. 2006, “Eating”, http://www.cnn.com/HEALTH/library/DS/00294.html.
Cooper, P.J & Alan S. (ed). 1992, Feeding Problems and Eating Disorders in Children and Adolescents. Harwood Academic Publisher, Massachusetts
Eating Disorders Coalition for Research, Policy & Action. 2008, “Statistics & Study Findings”, http://www.eatingdisorderscoalition.org/reports/statistics.html.
Eating Disorders Venture. 2006, “Pro-Anorexia Web Sites”, http://www/eatingdisordershelpguide.com/self-esteem.html
Fairburn, C.G. et al. 1998, “Risk Factors for Binge Eating Disorder”, Archives General Psychiatry [Online], vol. 55, pp. 425-432.
Fairburn, C.G. et al. 1999, “Risk Factor for Anorexia Nervosa”, Archives General Psychiatry [Online], vol. 56, pp. 468-476.
Field, A.E. et al. 1999, “Exposure to the Mass Media and Weight Concerns Among Girls”, Pediatrics [Online], vol. 103, no. 3, pp. e36-e40. Dari: http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/103/3/e36.
Field, A.E. et al. 1999, “Relation of Peer and Media Influences to the Development of Purging Behaviors Among Preadolescent and Adolescent Girls”, Archives Pediatrics Adolescent Medicine [Online], vol. 153, pp. 1184-1189. Dari: www.archpediatrics.com.
Field, A.E. et al. 1999, “Relation of Peer and Media Influences to the Development of Purging Behaviors Among Preadolescent and Adolescent Girls”, Archives Pediatrics Adolescent Medicine [Online], vol. 153, pp. 1184-1189. Dari: www.archpediatrics.com.
French, S.A. et al. 1995, ”Frequent Dieting among Adolescents: Psychosocial and Health Behavior Correlates”, American Journal of Public Health, vol. 85, no. 5, pp. 695-701.
Garrow, J.S. & W.P.T. James. (ed). 1993, Human Nutrition & Dietetics Ninth ed., Churchill Livingstone, London
Garrow, J.S. & W.P.T. James. (ed). 1993, Human Nutrition & Dietetics Ninth ed., Churchill Livingstone, London
Geissler, C. & Hilary P. (ed). 2005, Human Nutrition, 11th edition, Elsevier, Churchill Livingstone, London.
Geissler, C. & Hilary P. (ed). 2005, Human Nutrition, 11th edition, Elsevier, Churchill Livingstone, London.
Gibney, M.J. et al. (ed). 2005, Clinical Nutrition, Blackwell Science, Ltd., Oxford.
Goldstein, D.J. (ed). 2005, The Management of Eating Disorders and Obesity, Humana Press, Totowa.
Grange, D., Telch, C.F. & Jason, T. 1998, “Eating Attitudes and Behaviors in 1.435 South African Caucasian and Non-Caucasian College Students”, American Journal of Psychiatry, vol. 155, no. 2, pp. 250-254.
Haines, J. et al. 2006, “Weight Teasing and Disordered Eating Behaviors in Adolescents: Longitudinal Findings From Project EAT (Eating Among Teens)”, Pediatrics [Online], vol.117, no. 2, pp. e209-e215.
Krummel, D.M. & Penny M. K. (ed). 1996, Nutrition in Women’s Health, Aspen Publisher’s Inc, Maryland.
Lee, H.Y. et al. 2005, “Anorexia nervosa in Singapore: an eight-year retrospective study”, Singapore Medical Journal, [Online], vol. 46, no. 6, pp. 275-281.
Mazzeo, S.E & Dorothy L.E. 2002, “Association Between Childhood Physical and Emotional Abuse and Disordered Eating Behaviors in Female Undergraduates: An Investigation of the Mediating Role of Alexithymia and Depression”, Journal of Counseling Psychology [Online], vol. 49, no. 1, pp. 86-100. Dari: American Psychological Association, Inc
Moore, R.H.S. et al. 2002, “Abuse, Bullying and Discrimination as Risk Factors for Binge Eating Disorder”, American Journal of Psychiatry [Online], vol. 159, no. 11, pp. 1902-1907.
Nauert, R. 2007, “Bullying and Being Bullied Result in Greater Risk of Adult Disorders”, psycentral.com - Informationen zum Thema psycentral..
NN E. 2008, “Body image”, http://en.wikipedia.org/wiky/Body_image.
NN G. 2008, ”Self-esteem”, Self-esteem - Wikipedia.
NN H. 2008, “What is Sexual Abuse?”, http://www.eating-disorderinformation.com/sexualabuse.asp#ed.
Sanci, L. et al. 2008, “Childhood Sexual Abuse and Eating Disorders in Females”, Archives Pediatrics Adolescent Medicine [Online], vol. 162, no. 3, pp. 261-267.
Sarafino, E.P. 1998, Health Psychology Biopsychosocial Interaction 3rd edition, John Wiley & Sons, Inc., New York
Sizer, F.S. & Ellie W. 2006, Nutrition Concepts & Controversies 10th edition Thomson-Wadsworth, Belmont
Stice, E., Shireen L.R. & Christy F.T. 2000, ”Development and Validation of the Eating Disorder Diagnostic Scale: A Brief Self-Report Measure of Anorexia, Bulimia, and Binge-Eating Disorder”, Psychological Assessment [Online], vol. 12, no. 2, pp. 123-131. Dari: American Psychological Association, Inc.
Thompson, J.K. (ed). 2004, Handbook of Eating Disorders & Obesity, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey
Thompson, J.K. (ed). 2004, Handbook of Eating Disorders & Obesity, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey
Tiemeyer, M. 2007. “Eating Disorder Triggers” http://eatingdisorders.about.com.
Wahlqvist, M.L. (ed). 1997, Food & Nutrition. Australasia, Asia and the Pacific, Allen & Unwin Pty., Ltd., St. Leonards, Australia
Wardlaw, G.M. & Margaret W.K. 2002. Perspectives in Nutrition fifth edition McGraw-Hill, New York.
Wilson, J.L. et al. 2006, ”Surfing for Thinness: A Pilot Study of Pro-Eating Disorder Web Site Usage in Adolescents With Eating Disorders” Pediatrics [Online], vol. 118, no. 6, pp. e1635-e1643