gambar : # La verdad oculta on Instagram: “La teoria del derrame” (Pinterest)
Aku kemas buku-buku tentang Gie untuk lagi-lagi ku kirimkan pada handai tolan. Tidak pernah ada yang benar-benar aku ikhlaskan dari semua pengiriman, bukan perihal harga bukunya yang tiga kali lipat lebih mahal pada krisis kali ini, tapi tentang alasan mengapa buku-buku menggugah pikiran harus hilang dari rumah ini dan dimusnahkan.
Bungkusannya berbisik-bisik, mengelus kain-kain samping celanaku. Lagi-lagi ada suasana lebaran antara aku dan mereka. Mereka akan berlayar pergi dengan menumpangi tangan ibu yang sudah siap melaut dari depan pintu.
“Beli lagi besok, ku bakar rak bukumu,” ujar ibu menyambar bungkusan dan berlalu.
Tepat sekali, Ibu! Bakar satu ku beli seribu. Selepas laju ibu, aku kembali mengetik naskah. Akan aku buka tentang apa yang menjadi sebab malapetaka di desa. Selama ini aku tau semua, setiap minggu ibu ada rapat di ruang sebelah dengan rekanan yang aku tak tau darimana tapi aku tau sepatunya buatan negara mana.
“Soera! Siapa yang mengirim naskah ‘Bara Desa’ ke majalah ?" lantang ibu yang ku dengar dari pojok kamar ukuran 4 X 5 meter ini.
“Saya, kenapa? Ibu takut kehabisan simpanan rahasia?” hanya mengeluarkan suara tanpa menolehkan rupa muka. Aku tau aku sedang berbicara dengan seseorang di depan pintu yang seringkali tak kasat rasa.
Kali ini langkah wanita hampir tua itu terdengar mendekati aku, sudah ku terka, tamparan akan tiba. Tak perlu bersedih, aku sudah biasa.
“Kau ini! Hidup enak kurang apa? Menulis tidak menjanjikan apa-apa, cuma duka yang dibesar-besarkan!” ujar wanita yang melahirkanku 24 tahun lalu.
“Ibu, kurang kejam apa? Bekerja untuk memeras yang sulit dan mengagungkan yang pelit,” sahutku tanpa meniru nada ibuku. Walau katanya, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Tetapi, aku ini buah yang terbawa angin.
Ibuku marah sampai menangis. Aku tau hidupnya sudah susah payah sejak dahulu. Puncaknya, semenjak ayah berkelana ke surga. Semenjak adikku tak lagi melihat dunia. Semenjak aku tak lagi mendengarkannya. Semua sudah susah sejak dahulu, aku tau ini adalah waktu baginya untuk menikmati sisa masa. Tapi, aku tidak mau diajaknya.
“Ibu susah payah kerja untuk menghidupi kamu! Cuma ini yang Ibu bisa, tidak ada sedikitpun rasa ibamu pada aku yang telah melahirkanmu?” ucap Ibu menatapku dengan makna yang tak bisa ku telaah.
“Bu, saya lebih bersyukur kalau kita hidup biasa tanpa wartawan yang mengumpul setiap kali ibu pulang dari departemen…” belum sempat aku selesai, ibu langsung menyanggah.
“Ibu mau menebus dosa! Sedari kau kecil Ibu dan Ayah tidak bisa beri apa-apa, Ibu mau jadi alasan bahagiamu!” pecah ibu.
Kami berdiam. Memutar ulang memori berisi seluruh ucapan yang telah keluar. Semua kata yang tak bisa ditarik namun ketika kau putar rekamannya, rasanya memalukan dan menjijikan. Begitulah manusia, mahir sekali bicara tapi enggan memaknainya.
Aku buka suara, “Bu, miskin itu bukan dosa. Surga juga bukan hanya untuk yang kaya."
Ibu tak mau pikirkan sepertinya, ia menyeka air mata dan meninggalkan ruang tidurku. Ditutupnya pintu kamarku. Seketika ruangan itu menjadi penuh haru dan rasa sesal yang menderu, seperti deru lajur kendaraan sepanjang jalan menuju tempat kerja ibu.
Malam semakin percaya diri menunjukkan eksistensinya. Gagah hitamnya dapat ku lihat dari jendela. Mataku ingin terpejam.
Aku bangun kesiangan. Segera aku menoleh lewat jendela, ku terka ibu sudah pergi bekerja. Ternyata mobilnya masih ada, mungkin berangkat bersama kawannya. Segera ku rapihkan diriku dan menuju ruang tamu. Membuat semangkuk sup dan teh hangat. Setelah berkat Tuhan berupa makanan itu tandas, ku cari buku catatanku dan bersiap pergi ke sanggar.
35 menit aku mencarinya, tidak bisa aku temukan. Aku baru ingat, barangkali ibu menjadikannya ‘tahanan’. Segera ku cari ke kamar ibu. Nelangsanya, bukan hanya buku yang tidak ku temukan, tapi juga nyawa ibu yang sudah kembali pada Tuhan.
Setelah pemakaman ibu diselesaikan, aku teringat janji yang ku buat pada diriku sendiri. Kini sudah saatnya satu hal lagi aku selesaikan, dosa yang ibu ciptakan dalam bentuk durjana bagi para penduduk desa. Aku putuskan untuk pergi mengembara dan menjadi ‘Soera yang Membara’, akan ku tebus seluruh kesalahan ibu dengan pengabdian. Sisanya, ku pintakan maaf pada Tuhan.
“Maaf Tuhan, aku tidak tahu siapa paling egois diantara kami yang keduanya sama-sama pendosa. Ampunilah hamba-Mu yang hina ini,” batinku.