Bagaimana asal-usul Suku Osing di Jawa?

Dalam sejarahnya, orang-orang Osing dikaitkan dengan awal runtuhnya kerajaan Majapahit pada abad ke-15 M.

Bagaimana asal-usul suku osing di Jawa?

Dalam bahasa Osing, kata „Osing‟ (dibaca Using) itu sendiri berarti „tidak‟, dan kata „Osing‟ ini mewakili keberadaan orang Osing yang ada di Banyuwangi. Jika orang Osing ini ditanya mengenai asalnya, kalian orang Bali atau Orang Jawa? maka orang Osing ini akan menjawab „Osing‟ yang berarti mereka tidak berasal dari Jawa ataupun Bali. Suku Osing biasa disebut Wong Osing, Lare Osing, dan Tiyang Osing yang berarti saya orang Osing.

Secara geografis, suku Osing mendiami daerah dalam Kabupaten Banyuwangi. Walaupun kehadiran suku-suku lain yang ada di Banyuwangi seperti Jawa, Madura, dan Bugis, tidak merubah pandangan umum termasuk orang Osing sendiri bahwa yang disebut sebagai masyarakat Banyuwangi ialah masyarakat Osing. Menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Setiyo Puguh, di Kabupaten Banyuwangi masyarakat Using tersebar di beberapa kecamatan seperti Glagah, Giri, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng.

Dari berbagai kecamatan tersebut, kecamatan yang penduduknya yang masih kental menganut adat istiadat dan budaya khas sebagai satu suku, ialah desa Kemiren di kecamatan Glagah. Desa Kemiren tersebut telah dikenal sebagai desa adat suku Osing yang menjadi tujuan utama wisata di Banyuwangi.

Asal-usul terbentuknya „Suku Osing‟ di Jawa


Sejarah terbentuknya suku Osing berawal dari akhir kekuasaan Majapahit, dan dimulainya perang saudara dan pertumbuhan kerajaan Islam di Jawa. Kerajaan Blambangan menjadi bagian dari kerajaan Majapahit sejak awal abad ke-12, sejak tahun 1295 hingga tahun 1527. Setelah kejatuhan Majapahit oleh kesultanan Malaka, kerajaan Blambangan menjadi kerajaan yang berdiri sendiri. Namun dalam kurun waktu dua abad lebih, antara tahun 1546 - 1764, kerajaan Blambangan menjadi sasaran penaklukan kerajaan di sekitarnya.

Perebutan kekuasaan inilah yang berdampak pada terjadinya migrasi penduduk, perpindahan ibukota kerajaan dan timbulnya permukiman baru. Mereka mengungsi ke berbagai tempat, yaitu ke lereng gunung Bromo (suku Tengger), Bali, Blambangan (suku Osing) yang sekarang kita kenal sebagai Banyuwangi.

Perang terbesar „Suku Osing‟, Puputan Bayu


Masyarakat Osing juga memiliki tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.

Rakyat Blambangan tampak kurang memperlihatkan kekuatannya pada perang saudara. Tetapi di masa penjajahan Belanda, Osing justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu.

Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993). Hal ini menunjukkan betapa patriotik dan beraninya rakyat Blambangan pada masa itu. Mereka terus melawan berbagai penjajahan dan mempertahankan wilayahnya. Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar. Pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849). Anderson (1982) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781.

Dalam bahasa Osing, kata „Osing‟ (dibaca Using) itu sendiri berarti „tidak‟, dan kata „Osing‟ ini mewakili keberadaan orang Osing yang ada di Banyuwangi. [1] Jika orang Osing ini ditanya mengenai asalnya, kalian orang Bali atau Orang Jawa? maka orang Osing ini akan menjawab „Osing‟ yang berarti mereka tidak berasal dari Jawa ataupun Bali. Suku Osing biasa disebut Wong Osing, Lare Osing, dan Tiyang Osing yang berarti saya orang Osing.

Secara geografis, suku Osing mendiami daerah dalam Kabupaten Banyuwangi. Walaupun kehadiran suku-suku lain yang ada di Banyuwangi seperti Jawa, Madura, dan Bugis, tidak merubah pandangan umum termasuk orang Osing sendiri bahwa yang disebut sebagai masyarakat Banyuwangi ialah masyarakat Osing. Menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata, Setiyo Puguh, di Kabupaten Banyuwangi masyarakat Using tersebar di beberapa kecamatan seperti Glagah, Giri, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng.

Dari berbagai kecamatan tersebut, kecamatan yang penduduknya yang masih kental menganut adat istiadat dan budaya khas sebagai satu suku, ialah desa Kemiren di kecamatan Glagah. Desa Kemiren tersebut telah dikenal sebagai desa adat suku Osing yang menjadi tujuan utama wisata di Banyuwangi.

Sejarah Suku Osing

“Suku Osing‟ di Jawa Sejarah terbentuknya suku Osing berawal dari akhir kekuasaan Majapahit, dan dimulainya perang saudara dan pertumbuhan kerajaan Islam di Jawa. Kerajaan Blambangan menjadi bagian dari kerajaan Majapahit sejak awal abad ke-12, sejak tahun 1295 hingga tahun 1527. [3] Setelah kejatuhan Majapahit oleh kesultanan Malaka, kerajaan Blambangan menjadi kerajaan yang berdiri sendiri. Namun dalam kurun waktu dua abad lebih, antara tahun 1546 - 1764, kerajaan Blambangan menjadi sasaran penaklukan kerajaan di sekitarnya.

Perebutan kekuasaan inilah yang berdampak pada terjadinya migrasi penduduk, perpindahan ibukota kerajaan dan timbulnya permukiman baru. Mereka mengungsi ke berbagai tempat, yaitu ke lereng gunung Bromo (suku Tengger), Bali, Blambangan (suku Osing) yang sekarang kita kenal sebagai Banyuwangi.

Perang terbesar “Suku Osing‟

Puputan Bayu Masyarakat Osing juga memiliki tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771 M.

Rakyat Blambangan tampak kurang memperlihatkan kekuatannya pada perang saudara. Tetapi di masa penjajahan Belanda, Osing justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang (Ali, 1993:20). Hal ini menunjukkan betapa patriotik dan beraninya rakyat Blambangan pada masa itu. Mereka terus melawan berbagai penjajahan dan mempertahankan wilayahnya. Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar. Pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya (Epp, 1849:247). Anderson (1982:75-76) melukiskan bahwa betapa kekejaman Belanda tak bertara sewaktu menguasai Blambangan terutama dalam tahun 1767-1781.