Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka berdua telah terlibat dalam sebuah pekelahian yang semakin sengit. Pedang Sidanti berputar dengan cepatnya sedang senjata khususnya di tangan kiri dipergunakannya sebagai perisai, namun kadang-kadang senjata itulah yang mematuk dengan sangat berbahaya. Sebuah sentuhan dan goresan pada kulit lawan, maka akibatnya akan dapat berarti maut.
Tetapi lawan Sidanti itu dapat mempergunakan senjatanya dengan sangat cekatan pula. Sepasang kakinya ternyata terlampau lincah. Loncatan-loncatan yang panjang telah membingungkan lawannya. Ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir ternyata dapat menusuk lawannya dari segala arah. Ujung yang satu itu seolah-olah kini berubah menjadi berpuluh-puluh mata tombak yang mematuk dari segenap penjuru.
Sementara itu pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Orang-orang Jipang yang berjumlah lebih dari dua kali lipat itu terpaksa menahan nafsu mereka untuk segera dapat membinasakan lawan mereka. Para prajurit Pajang ternyata mampu menguasai medan dengan derap kuda mereka. Bahkan kini orang-orang Jipang sama sekali sudah tidak mampu untuk mengepung para prajurit Pajang yang dapat bergerak lebih cepat dari mereka.
Tetapi orang-orang Jipang yang seakan-akan mendapat kesempatan untuk meluapkan dendam mereka itu, bertempur dengan nafsu yang menyala-nyala. Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya adalah penyebab langsung dari kematian Adipati Jipang. Karena itu, maka apabila orang-orang Jipang itu dapat membinasakan keduanya, maka seolah-olah sebagian dari dendam mereka sudah dapat mereka lepaskan. Apalagi jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari pada lawan-lawan mereka.
Dalam kekalutan peperangan, maka satu demi satu para prajurit Pajang terpaksa berloncatan turun dari kuda-kuda mereka. Orang-orang Jipang yang menemui beberapa kesulitan atas kuda-kuda lawan mereka, ternyata telah berusaha untuk pertama-tama melumpuhkan kuda-kuda itu. Dengan demikian, maka para penunggangnya akan terpaksa turun dan bertempur di atas tanah.
Para prajurit Pajang pun menyadari pula cara itu. Sebagian dari mereka yang masih berada di punggung-punggung kuda mereka, kini menyerang orang-orang Jipang dengan cara yang lain. Mereka menyambar-nyambar seperti elang. Menukik, kemudian membubung tinggi. Pedang-pedang mereka yang tajam berkilat-kilat seakan-akan memancarkan sinar yang melontar dari daerah maut.
Namun bagaimanapun juga, jumlah yang jauh lebih banyak itupun banyak mempengaruhi keadaan. Apalagi yang berjumlah dua kali lipat itupun terdiri dari prajurit-prajurit yang cukup terlatih dan berpengalaman pula dalam berbagai bentuk pertempuran.
Ki Gede Pemanahan melihat keadaan itu dengan hati yang berdebar-debar, tetapi ia tidak dapat melepaskan Ki Tambak Wedi. Bahkan ia harus tetap berusaha mengikat orang tua itu dalam pertempuran melawannya. Meskipun demikian Ki Gede Pemanahan berusaha supaya ia tetap berada di atas punggung kudanya.
Meskipun demikian, keadaan yang menguntungkan itu masih belum memuaskan Ki Tambak Wedi. Ia ingin pekerjaan itu cepat selesai. Orang-orang Pajang itu segera dapat dibinasakan, untuk kemudian mereka akan segera menghilang. Setelah mereka berhasil meninggalkan bencana yang akan membakar tidak saja para prajurit Pajang di sangkal Putung, tetapi segenap prajurit Pajang yang tersebar di pasisir Kidul sampai ke pasisir Lor. Meskipun Ki Tambak Wedi menyadari akibatnya kemudian, namun ia telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan itu. Ia akan dapat menghimpun kekuatan dengan segera di lereng Merapi ini. Kemudian memanfaatkan kekuatan yang tersimpan di seberang hutan Mentaok, di sepanjang pegunungan Menoreh, daerah yang dikuasai oleh ayah Sidanti. Seorang kepala daerah perdikan yang perkasa. Seorang sahabat yang mempercayakan anaknya kepada Ki Tambak Wedi bukan karena ia sendiri tidak mampu untuk menempa anaknya, tetapi karena pekerjaannya yang hampir merampas seluruh waktunya, maka dipercayakannya anaknya, harapan bagi masa depannya itu kepada seorang sahabatnya, Ki Tambak Wedi.
Karena itu, maka dalam pertempuran itu Ki Tambak Wedi sendiri telah memeras segenap kemampuannya. Namun yang dihadapi adalah Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Orang yang kadang-kadang disebut-sebut telah mewarisi kesaktian leluhurnya, mampu menguasai petir. Tetapi yang tampak pada Ki Gede Pemanahan adalah kedahsyatan tangannya. Telapak tangannya benar-benar seperti menyimpan tenaga petir. Apabila tubuh lawannya tersentuh oleh tangan itu, maka akibatnya akan melampaui sebuah pukulan senjata yang betapapun kerasnya. Melampaui hantaman bindi atau bahkan tidak kalah dengan tongkat baja putih Macan Kepatihan.
Sedang anaknya, Sutawijaya, yang bertempur melawan Sidanti itupun ternyata memiliki kelincahan yang mengagumkan. Selincah petir yang menari-nari di langit.
Sidanti, murid Ki Tambak Wedi yang perkasa itu, terpaksa memeras keringatnya menghadapi ujung tombak Sutawijaya. Berkali-kali Sidanti terpaksa meloncat surut. Berkali-kali Sidanti terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Ujung tombak Sutawijaya seakan-akan memiliki biji-biji mata. Kemana ia menghindar, ujung tombak itu selalu mengejarnya.
Kini Sidanti terpaksa mengakui di dalam hatinya, bahwa Sutawijaya tidak hanya dapat berceritera tentang kematian Arya Penangsang yang perkasa. Kini Sidanti terpaksa mengalami kegelisahan karena anak muda itu. Sepasang kakinya seolah-olah tidak lagi terjejak di atas tanah. Berloncatan dari satu sisi ke sisi lawannya yang lain.
Meskipun sebenarnya kemampuan Sutawijaya belum mengimbangi kesaktian Arya Penangsang yang sewajarnya, namun Sidanti tidak akan dapat bertahan untuk menghadapinya. Keringatnya mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya, dan bahkan dari telapak tangannya, sehingga gagang pedangnya serasa menjadi licin.
“Gila,” Sidanti menggeram di dalam hati. Ia tidak menyangka bahwa suatu ketika ia akan berhadapan dengan anak muda selincah itu. Ia pernah berkelahi melawan Agung Sedayu. Pernah pula berkelahi melawan Untara dan Macan Kepatihan. Namun terasa bahwa mereka belum dapat menyamai anak muda yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar ini.
Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Ki Gede Pemanahan melihat kesulitan muridnya. Ia melihat Sidanti terus-menerus terdesak mundur. Sidanti kini seakan-akan hanya tinggal mampu mencoba menyelamatkan dirinya.
Orang tua itupun mengumpat pula di dalam hatinya. la tidak rela apabila muridnya yang selalu dimanjakannya itu mendapat bencana. Karena itu, maka ia mencoba mencari jalan lain untuk menolong Sidanti. la sendiri tidak dapat meninggalkan Ki Gede Pemanahan yang pasti akan sangat berbahaya bagi orang-orangnya yang lain.
Di sudut lain Ki Tambak Wedi melihat Sanakeling bertempur dengan seorang perwira Wira Tamtama. Keduanya memiliki kemampuan yang seimbang, sehingga keduanya tidak segera dapat menguasai lawannya. Tetapi di sisi yang lain lagi Ki Tambak Wedi melihat Alap-alap Jalatunda bertempur dalam kerumuman yang ribut. Beberapa orang bertempur melawan dua orang perwira Wira Tamtama yang lain. Kedua Wira Tamtama itu ternyata mengalami banyak kesulitan, namun kawan-kawan mereka yang masih berada di atas punggung kuda selalu membantu mereka. Kuda-kuda mereka menyambar-nyambar dengan garangnya, menyerang orang-orang Jipang yang sedang bertempur itu.
Ki tambak Wedi menggeram keras. Dengan serta-merta, tanpa malu-malu ia berteriak, “Alap-alap Jalatunda. Supaya lekas selesai pakerjaan Sidanti, cepat, bantulah ia mengikat kaki dan tangan anak Pemanahan itu. Anak muda itu akan kita bawa ke lereng Merapi, supaya menjadi tontonan, betapa anak muda, yang diceriterakan mampu membunuh Arya Penangsang itu, tidak dapat melepaskan diri dari tangan kalian.”
Alap-alap Jalatunda mendengar perintah itu. Segera ia meloncat mundur, melepaskan lawannya kepada kawan-kawannya yang lain. Ketika ia melihat berkeliling, ia melihat Sidanti dalam kesulitan. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat, menerobos perkelahian yang hiruk-pikuk itu, mendekati lingkaran perkelahian Sidanti.
Sutawijaya yang melihat kehadiran lawannya yang lain mengerutkan keningnya. Lawannya yang baru inipun masih muda pula. Matanya memancar seperti mata burung alap-alap yang berputaran di udara mencari mangsa. Dengan demikian putera Ki Gede Pemanahan itu menyadari, bahwa pekerjaannya akan menjadi semakin berat. Demikian Alap-alap Jalatunda menerjunkan dirinya dalam perkelahian itu, segera terasa, bahwa ketrampilannya sangat mambantu ketangkasan Sidanti. Gabungan dari kecakapan mereka masing-masing terasa benar oleh Sutawijaya. Karena itu, terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya. Ujung tombaknyapun menjadi semakin cepat berputar dan mematuk-matuk semakin dahsyat.
Sementara itu, di jalan yang menuju langsung ke Banjar Desa Sangkal Putung, Sonya masih berpacu di atas punggung kudanya. Darah yang merah segar mengalir tak henti-hentinya dari luka di kakinya, sedang bahunya serasa akan patah. Nafasnya yang sesak, satu-satu berdesakan di lubang hidungnya.
Tetapi Sonya masih tetap sadar akan kewajibannya. Ia dapat membayangkan apa yang kira-kira terjadi atas sepasukan kecil prajurit Wira Tamtama yang justru di antaranya adalah panglimanya sendiri.
Dengan menahan segala macam perasaan sakit, Sonya manghentak-hentakkan kendali kudanya, supaya berjalan lebih cepat.
Ketika ia memasuki desa kecil yang pertama, di hadapan gardu peronda ia memperlambat kudanya. Ketika ia melihat beberapa orang turun dari gardu dan berdiri di sisi-sisi jalan seberang-menyeberang, Sonya segera berhenti.
“Kakang Sonya,” sapa salah seorang dari mereka dengan sangat terkejut. “Kenapa lukamu itu?”
“Berapa orang di sini,” bertanya Sonya tanpa menghiraukan pertanyaan orang itu.
“Yang bertugas lima orang, tetapi di sini ada sepuluh orang.”
“Kenapa sepuluh?”
“Lima orang baru saja datang untuk menggantikan kami yang bertugas malam.”
“Bagus,” desis Sonya. “Yang delapan pergi cepat ke bulak sebelah. Di sebelah Timur simpang empat telah terjadi pertempuran. Orang-orang Jipang mencegat perjalanan para prajurit yang datang dari Pajang. Di antaranya Ki Gede Pemanahan.”
“He?” serentak kesepuluh orang itu menjadi kian terkejut. Hampir bersamaan pula mereka mengulang, “Ki Gede Pemanahan?”
“Ya,” sahut Sonya, “Jumlah orang Jipang itu jauh lebih banyak. Dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Kalian, delapan orang akan dapat membantu untuk sementara. Aku akan melaporkannya kepada Kakang Widura.”
“Baik,” sahut para prajurit Pajang itu.
Kembali Sonya memacu kudanya. Kembali ia bergulat dengan waktu dan perasaan sakitnya. Tetapi ia harus menyeIesaikan perjalanannya itu. Ia harus sampai ke Banjar Desa Sangkal Putung.
Sepeninggal Sonya, maka delapan orang dari kesepuluh orang di gardu itu segera membenahi diriya. Mereka tidak mengenakan sepenuhnya kelengkapan untuk bertempur. Tetapi sebagai seorang prajurit, maka mereka harus dapat berbuat secepatnya. Dengan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari kecil mereka menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Sebelah Timur simpang empat di tengah-tengah bulak di hadapan mereka.
Dari kejauhan mereka segera melihat debu yang mengepul tinggi. Karena itu, maka segera mereka mempercepat perjalanan mereka, mendekati pertempuran itu.
Kedatangan kedelapan orang itu segera diketahui oleh kedua belah pihak. Ki Gede Pemanahan pun melihat kedatangan mereka. Karena itu maka segera ia bertanya lantang, “Siapakah yang datang?”
Pertanyaan itu sebenarya tidak penting baginya. Ia tahu bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang. Namun jawabnya dapat mempengaruhi lawan-lawannya. Meskipun orang-orang Jipang itupun sudah tahu pula bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang di Sangkal Putung, namun hati mereka berdesir juga ketika mereka mendengar jawaban, “Kami prajurit Pajang di Sangkal Putung, Ki Gede.”
“Kenapa hanya beberapa orang saja?” bertanya Ki Gede Pemanahan sambil menghindari serangan Ki Tambak Wedi.
“Kami adalah peronda di gardu dari desa sebelah. Kakang Sonya sedang meyampaikan berita ini langsung ke pusat kademangan Ki Gede.”
“Bagus. Ayo, mulailah. Aku ingin melihat, apakah selama kalian berada di Sangkal Putung kalian masih dapat berkelahi dengan baik.”
Ki Tambak Wedi menggeram keras sekali. Ia tahu benar, betapa Ki Gede Pemanahan mempergunakan percakapan itu untuk mempengaruhi perasaan orang-orang Jipang. Karena itu maka segera ia berteriak, “He orang-orang Pajang yang malang. Mari, marilah kalian datang agak terlambat. Setelah lebih dari separo kawan-kawanmu yang datang dari Pajang binasa, baru kalian datang membantu. Akibatnya, kalianpun akan tenggelam dalam arus ke-marahan orang-orang Jipang. Alangkah bodohnya pimpinan-pimpinanmu di Sangkal Putung yang percaya kepada cara kami membuat Sangkal Putung hancur lebur. Kalian menyangka bahwa kami akan benar-benar menyerah. Tak ada seorang prajurit Jipang pun yang bersedia menyerah. Sebentar lagi dari arah yang lain akan datang induk pasukan di bawah pimpinan Sumangkar sendiri.”