Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali ia mengheIa nafas dalam-dalam. Namun iapun dapat mengerti keberatan Ki Demang Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Ki Demang masih dibayangi oleh kecemasannya menghadapi orang-orang Jipang. Mungkin Ki Demng masih mencemaskannya, apabila orang-orang Jipang itu tiba-tiba mengamuk di induk Kademangan.
Karena itu maka segera Untara menjawab, “Terima kasih Paman Demang. Di manapun juga, maka pelaksanaan itu dapat dilakukan. Namun aku masih ingin mengajukan parmintaan lain. Aku ingin meminjam satu atau dua buah rumah untuk menampung orang-orang Jipang itu sebelum mereka dibawa ke Pajang.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Baiklah Ngger. Aku akan menyediakan. Di Benda hanya ada beberapa rumah yang agak besar. Dalam saat-saat penyerahan itu, penduduk Benda akan aku singkirkan ke Kademangan ini lebih dahulu.”
Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih Ki Demang. Kita tinggal menunggu pelaksanaan dari hari penyerahan itu. Mudah-mudahan dapat berjalan dengan lancar dan orang-orang Jipang itu menyadari keadaannya dengan jujur.”
Sejak hari maka berita tentang penyerahan orang-orang Jipang itu segera tersebar di seluruh Kademangan. Sebagian besar dari orang-orang Sangkal Putung kecewa mendengar sikap Untara yang menerima orang-orang Jipang itu. Kenapa Untara tidak mengerahkan saja segenap kekuatan di Sangkal Putung untuk menghancur-lumatkan mereka di sarang mereka? Tetapi tidak seorang pun yang berani mempersoalkannya dengan terang-terangan. Mereka hanya memperbincangkannya di gardu-gardu dan di perempatan-perempatan jalan apabila mereka duduk di sore hari menjelangg senja. Apalagi ketika mereka mendengar, bahwa Demng mereka, dan pimpinan laskar Sangkal Putung, Swandaru Geni, telah menyetujuinya pula.
Demikianlah dari hari ke hari, rakyat Sangkal Putung menjadi semakin tegang. Mereka masih belum dapat melupakan. bagaimana Sanakeling mendekati induk Kademangan meraka, dan bagaimana orang-orang Jipang itu setiap hari membuat hati mereka menjadi cemas. Sehingga tanpa disengaja, semakin dekat dengan hari penyerahan itu maka setiap anak muda di Sangkal Putung telah mempersiapkan dirinya pula, seperti apabila mereka harus menghadapi sergapan Macan Kepatihan beberapa waktu yang lalu. Hampir setiap anak muda tidak melepaskan pedang dari lambung mereka. Hampir setiap malam gardu-gardu menjadi kian penuh.
Dan lima hari itu adalah hari-hari yang tegang.
Dalam pada itu Kiai Gringsing telah mendatangi Sumangkar di dalam sarangnya sebagai utusan Untara untuk menjelaskan pelaksanaan daripada penyerahan itu. Sementara itu utusan Untara ke Pajang pun telah kembali pula ke Sangkal Putung.
“Bagaimana dengan pesanku?” bertanya Untara.
“Telah diterima langsung oleh Ki Ageng Pemanahan,” sahut utusannya.
“Apa perintahnya?”
“Tak ada perintah. Beliau sependapat dengan pesan Ki Untara.”
“Bagus.”
Di malam menjelang hari penyerahan, Sangkal Putung benar-benar menjadi tegang. Untara juga tidak melengahkan diri. Ia masih juga menyiapkan pasukannya di sisi yang berhadapan dengan desa Benda. Bahkan beberapa gardu di ujung desa kecil itupun telah diisi dengan beberapa prajurit pilihan dan penghubung-penghubung berkuda. Bahkan tanda-tanda bahayapun telah siap pula, apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Namun anak-anak muda Sangkal Putung-lah yang membuat persiapan yang luar hiasa. Mereka berada di sisi prajurit Pajang yang berada pada garis yang berhadapan dengan desa Benda.
Malam itu Untara tampak sibuk pula mengawasi keadaan dibantu oleh Widura, Agung Sedayu, dan beberapa orang lainnya. Hudaya yang masih belum sembuh dari lukanya, tampaknya kurang gairah menghadapi keadaan. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang patuh sehingga setelah kejutan perasaannya mereda, maka apapun yang diperintahkan kepadanya, dilakukannya dengan sebaik-baiknya.
“Jadi kau sengaja menunggu sampai besok?” bertanya Widura kepada Untara.
“Ya. Aku tidak memberitahukannya kepada siapapun juga kecuali kepada Paman. Kiai Gringsing pun tidak, apalagi Ki Demang Sangkal Putung dan Agung Sedayu.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Kau akan membuat sebuah lelucon yang baik Untara.”
Malam menjelang hari yang ditentukan semuanya telah dipersiapkan dengan baik. Besok orang-orang Jipang di bawah pimpinan Sumangkar akan memasuki desa Benda tanpa bersenjata. Mereka akan meletakkan senjata mereka di luar desa itu. dan prajurit Pajang-lah kemudian yang akan mengambil senjata-senjata itu.
Besok pada tengah hari, tepat ketika matahari mencapai puncaknya, maka beberapa orang dari prajurit Pajang akan memungut senjata-senjata itu dan Untara beserta Widura diikuti oleh beberapa orang prajurit yang lain akan memasuki Benda pula, menerima orang-orang Jipang itu. Seterusnya, orang-orang Jipang akan ditempatkan di rumah-rumah yang telah disediakan di bawah pengawasan yang kuat dari para prajurit Pajang. Mengawasi supaya orang-orang Jipang itu tidak ingkar, tetapi juga mengawasi agar keamanan mereka tidak terganggu.
Seterusnya maka orang-orang Jipang itu akan dibawa ke Pajang sebagai tawanan yang akan diadili oleh para penjabat di Pajang.
Ternyata malam itu, bukan saja Sangkal Putung yang mengalami ketegangan. Perkemahan Sumangkar pun dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Beberapa orang menjadi ragu-ragu kembali. Apakah besok, setelah mereka menyerahkan senjata mereka, orang-orang Pajang tidak akan mencincang mereka satu demi satu? Apakah besok benar-benar orang Pajang memegang janjinya, membawa mereka ke Pajang dan mengadili mereka dengan baik menurut ketentuan yang seharusnya berlaku? Apakah mereka kemudian tanpa persoalan tidak saja digantung, di sepanjang jalan-jalan kota dan dipertontonkan kepada rakyat Pajang, sebagai orang-orang yang telah berkhianat terhadap Demak, terhadap keturunan Sultan Trenggana.
Dengam sareh dan telaten Sumangkar mencoba memberi mereka beberapa petunjuk hal-hal yang dapat meringankan beban perasaan mereka.
“Kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan selama ini sama sekali tidak akan berarti. Kalian hanyalah merupakan orang-orang yang berputus asa, karena kalian telah kehilangan kemungkinan yang paling lemah sekalipun untuk mendapatkan kemenangan. Kemenangan dalam arti mencapai tujuan. Bukan kemenangan-kemenangan kecil, merampas harta kekayaan di pedesan, mengusir beberapa orang yang mencoba menentang kalian atau perbuatan-perbuatan tak berarti lainnya.
“Namun yang paling penting, kalian harus menyadari, bahwa apa yang telah kalian lakukan sejak semula adalah salah. Kalian mencoba menentang kekuasaan Demak. Ini tidak benar. Dan ini adalah sumber bencana yang menimpa kalian.”
Beberapa orang menjadi semakin yakin akan kebenaran sikap mereka. Namun beberapa orang masih juga ragu-ragu.
“Ingat,” berkata Sumangkar, “kalian tidak boleh menyesal atau menyerah karena kalian telah merasa gagal. Maka itu, seterusnya kalian masih tetap merasa bahwa pendirian kalian itu benar. Tidak! Yang harus kalian sadari adalah apa yang kalian lakukan, apa yang kalian cita-citakan, itulah yang salah. Sehingga apabila kalian mendapatkan kemenangan dalam peperangan ini, maka kalian tidak berada di dalam kebenaran dan kalianpun masih harus tetap menyadari, bahwa kalian bersalah. Apalagi dalam keadaan kalian sekarang ini.
“Apabila kalian menang, maka yang kalian anggap kebenaran adalah kekuasaan kalian. Kekuasaan yang kalian dapatkan dari kemenangan itu. Bukan hakekat dari kebenaran. Sebab kalian telah menumbangkan kekuasaan Demak yang tersalur menurut ketentuan kepada Pajang, sepeninggal saudara-saudaranya.”
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka bertambah yakin dan mantap akan keputusan mereka. Setelah sekian lama mereka terjerumus dalam pertentangan yang panjang karena ketamakan mereka akan kekuasaan. Maka seakan-akan kini mereka menemukan jalan kembali, meskipun akibat dari kesalahan itu masih harus dipertanggungjawabkan. Namun mereka akan mendapatkan batas waktu yang tertentu. Mungkin mereka harus melakukan kerja paksa yang keras beberapa tahun lamanya, mungkin mereka akan disisihkan ke tempat-tempat yang masih harus dibuka. Tetapi keluarga mereka tidak lagi merupakan keluarga buruan yang disirik oleh masyrakat karena suaminya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan.
Namun masih terasa di dalam perkemahan itu, ketegangan yang seakan-akan hampir meledak. Beberapa orang benar-benar menjadi bimbang. Mereka menyesal, kenapa mereka tidak ikut saja bersama-sama dengan Sanakeling dan Ki Tambak Wedi. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa Sumangkar hanyalah seorang juru masak yang malas. Satu dua kali Sumangkar membuat mereka menjadi heran, orang tua itu mampu menangkis serangan gelang-gelang Ki Tambak Wedi. Tetapi apakah itu bukan hanya sekedar kebetulan? Dan apakah cerita tentang Sumangkar yang berhasil mengusir Tambak Wedi tidak hanya sekedar cerita di dalam mimpi Tundun dan Bajang, yang sengaja dibuat-buat untuk meyakinkan mereka.
Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba timbullah keinginan mereka untuk membuktikannya. Apakah benar-benar Sumangkar dapat mempertanggungjawabkan mereka nanti, apakah Sumangkar itu hanya sekedar seorang yang hanya mampu membual, atau bahkan Sumangkar adalah orang yang sengaja dipasang oleh orang Pajang di dalam lingkungan mereka.
Demikianlah tiba-tiba dua orang di antara mereka segera memasuki gubug pimpinan yang kini ditempati oleh Sumangkar. Dengan wajah yang bengis salah seorang dari kedua orang itu membentak, “Sumangkar, sebelum terjadi penyembelihan besar-besaran besok, maka beruntunglah bahwa aku menyadari kesalahan yang kau lakukan. Kau besok akan membawa kami ke dalam neraka yang paling mengerikan. Dan kau pasti akan puas melihat mayat-mayat kami tergantung di pohon-pohon atau bahkan di jalan-jalan dalam kota Pajang. Nah, sekarang kau sebagai sumber dari bencana ini harus bertanggung jawab. Kau harus mengurungkan penyerahan yang akan terjadi besok. Kau harus minta maaf di hadapan kami semua, dan kau pula yang harus mempersatukan kami kembali dengam Kakang Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan bahkan dengan Ki Tambak Wedi.”
Sumangkar memandangi kedua orang itu dengan wajah yang muram. Seperti wajah seorang ayah yang melihat kabengalan anak-anaknya. Dengan sareh ia berkata, “Jangan salah mengerti. Kalau besok terjadi penyembelihan besar-besaran di antara kita, maka akulah orang yang pertama-tama akan disembelih.”
Orang yang lain tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Katanya, “Sekarang kalimat itu dapat kau ucapkan. Tetapi besok ketika kami telah diikat dan meninggalkan senjata kami, maka kau akan memberi perintah kepada kami satu demi satu untuk maju ke tiang gantungan. Atau untuk menundukkan kepala-kepala kami di atas landasan sepotong kayu atau tunggak pepohonan. Kapak-kapak orang Pajang atau pedang-pedang mereka besok akan menebas leher kami sehingga kepala kami akan terpotong dari tubuh kami.”
“Sebuah gambaran yang mengerikan,” desis Sumangkar.
“Bukankah demikian yang selalu dilakukan oleh orang-orang Pajang? Apakah kau balum pernah mendengar, bagaimana tubuh Plasa Ireng pada saat matinya? Tubuh itu tergores pedang lintang melintang. Hampir tak ada bedanya dengan tubuh yang dicincang-cincang. Dan bukankah kau sendiri yang membawa tubuh Raden Tohpati yang terluka arang kranjang?”
“Kau tahu siapakah yang mencincang Plasa Ireng?”
“Pasti,” sahut salah seorang daripadanya. “Orang Pajang.”
“Namanya?” Bertanya Sumangkar pula.
“Sidanti.”
“Kau tahu, siapakah Sidanti itu?”
Tiba-tiba kedua orang itu terdiam.
“Nah, apakah kalian ingin bersama-sama dengan Sanakeling bergabung dengan Sidanti, supaya kalian menjadi semakin pandai mencincang?”
Kedua orang itu masih terdiam.
“Pertimbangkanlah baik-baik,” berkata Sumangkar, “kalau kau percaya kepadaku. Aku melihat dengan mata kepala sendiri, orang-orang Pajang memelihara baik-baik orang-orang kita yang terluka di peperangan. Apakah kita sendiri sempat berbuat demikian terhadap kawan-kawan sendiri, apalagi lawan kita?”
Kedua orang itu semakin terdiam. Tetapi mereka masih belum melepaskan keragu-raguan mereka. Namun dengan penuh kesabaran Sumangkar mencoba menjelaskan kalimat demi kalimat. Gambaran demi gambaran, sehingga kedua orang itupun kemudian menundukkan kepala-kepala mereka sambil bergumam, “Aku dapat mengerti Kiai, tetapi aku masih tetap dicengkam oleh keraguan itu.”
“Mudah-mudahan aku akan dapat menjadi jaminan. Kalau besok orang-orang Pajang mengingkari janjinya, maka aku akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan.”
Wajah kedua orang itu masih tetap memancarkan keragu-raguannya. Sehingga Sumangkar berkata, “Mungkin kau curiga kepadaku. Mungkin kau menyangka aku adalah orang Pajang yang menyusup ke dalam Laskar Jipang. Kalau demikian, aku tidak perlu ribut-ribut menyelenggarakan penyerahan. Aku Dapat membunuh kalian malam tadi, atau malam nanti dengan memberi kesempatan prajunit Pajang menyergap perkemahan ini. Tetapi itu tidak terjadi.”
Kedua orang Jipang itu masih saja terbungkam. Dan Sumangkar pun berkata terus seperti orang ayah menasehati anak-anaknya. “Memang permusuhan selalu menumbuhkan prasangka di kedua belah pihak. Meskipun kedua belah pihak ingin menghentikannya dengan jujur, namun pertimbangan-pertimbangan yang timbul kemudian kadang-kadang amat meragukan. Masing-masing mencurigai pihak yang lain. Malam ini aku kira bukan saja kalian berdua yang menjadi ragu-ragu. Aku kira beberapa orang Pajang pun menjadi ragu-ragu. Pasti ada di antara mereka yang menyangka bahwa apa yang kita lakukan tidak lebih dari suatu cara untuk memasuki Sangkal Putung dengan cara yang licik. Kita besok pasti akan dijemput dengan pasukan segelar sepapan lengkap dengan segala macam bentuk senjata. Apabila demikian, kalian jangan terkejut. Itu bukanlah sikap yang bermusuhan. Namun itu adalah suatu sikap curiga. Permusuhan yang telah tumbuh ini, tidak akan segera hilang tanpa bekas. Setiap persoalan yang kecil yang timbul di antara kalian dan orang Pajang kelak, pasti segera akan mengungkat kembali permusuhan ini. Kalau ada salah seorang saja dari orang-orang Jipang yang berbuat curang, maka segera kebencian orang Pajang yang akan bertambah. Sebaliknya kalau ada seorang Pajang yang berbuat sewenang-wenang atas kalian, maka kalian pasti akan berkata bahwa orang Pajang telah mengingkari janjinya dan berbuat sewenang-wenang. Sehingga dengan demikian, keinginan-keinginan yang jujur akan tenggelam dalam noda-noda yang kelam. Namun yakinlah, yakinlah pada tujuan yang baik. Yakinlah bahwa kalian telah kembali, bukan saja dalam bentuk duniawi, bukan saja dalam bentuk jasmaniah, tetapi yang penting adalah nilai-nilai rohaniah. Apapun yang kalian alami secara badaniah, maka apabila kalian hayati dengan kesadaran atas nilai-nilai rohaniah, maka kalian akan menemukan ketenteraman, kalian akan menemukan hiburan dari nilai-nilai rohaniah itu. Sebenarnyalah bahwa dalam bertaubat, kalian akan mendapat pengampunan. Meskipun tangan kalian telah berlumuran darah tetapi pintu pengampunan tertingi tidak pernah akan ditutup apabila kita bersungguh-sungguh mohon kepada Tuhan untuk mendapatkannya. Bersungguh-sungguh, tekad dan perbuatan.”
Kedua prajurit itu semakin tertunduk. Kata-kata itu menyusup ke dalam hati mereka, sehingga mereka menjadi yakin atas tujuan penyerahan mereka besok. Salah seorang dari kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam, “Terima kasih Kiai.” Dan di dalam hatinya ia berkata, “Alangkah benarnya kata-kata Kiai Sumangkar. Apa yang akan aku alami secara badaniah pasti tidak akan banyak berarti dibandingkan dengan nilai-nilai rohaniahnya.”
Ketika kedua orang itu kemudian kembali ke gubugnya, gubug yang hanya tinggal semalam itu didiami, mereka segera tidur mendekur. Mereka sudah tidak menjadi gelisah lagi, karena keragu-raguan mereka, sebab mereka telah menemukan hakekat dari penyerahan mereka kepada orang-orang Pajang. Bukan secara badaniah, tetapi secara rohaniah, mereka menyongsong suatu kehidupan baru. Hati mereka yang pepat kelam, kini seakan-akan telah terbuka. Dari celah-celahnya seakan-akan mereka berdua dapat melihat, apa yang telah pernah terjadi dan apa yang akan dilakukannya.
Sumangkar sendiri kemudian mencoba berbaring di pembaringannya. Tetapi tidak seperti kedua orang Jipang yang baru datang kepadanya, yang segera dapat tidur mendekur karena perasaannya telah tidak terganggu lagi oleh berbagai kegelisahan.
Tetapi Sumangkar adalah orang yang bertanggung jawab akan terselenggaranya penyerahan besok.
Meskipun demikian, apa yang dikatakannya kepada kedua peajurit itu telah sedikit menenteramkan hatinya sendiri pula. Kata-kata dan nasehat itu sebagian telah menjernihkan kesadarannya, sehingga Sumangkar sendiri menjadi semakin yakin akan kebenaran sikapnya.
Ketika angin malam manembus lubang-lubang dinding gubugnya, terdengar di kejauhan jerit anjing-anjing liar berebut mangsa. Tiba-tiba tanpa disengaja, kenangannya meluncur kepada Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya. Sumangkar menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam lirih, “Kasihan Sanakeling. Seperti anjing-anjing liar itu, mereka bersama-sama berangkat dari satu sarang, bersama-sama mengejar mangsanya, bersama-sama menyerang dan membinasakan. Tetapi kemudian mereka saling membunuh di antara sesama apabila mereka sudah berebut hasil buruannya itu.”
Dan suara anjing-anjing liar itu semakin lama menjadi semakin riuh, sehingga Sumangkar menjadi semakin tidak mungkin lagi dapat memejamkan matanya.
Orang tua itupun kemudian bangkit dari pembaringannya, berjalan ke luar dan mengitari halaman. Ia masih melihat beberapa orang prajurit berjaga-jaga untuk yang terakhir kalinya di sudut-sudut perkemahan.
Sekali-sekali Sumangkar mendekati mereka sambil berkata, “Besok kau akan bebas dari pekerjaan semacam ini.”
Orang itu menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka menjawab, “Kiai, rasa-rasanya kami akan memasuki sebuah goa yang maha gelap.”
“Kenapa?” bertanya Sumangkar.
“Kami tidak tahu, apa yang berada di dalamnya. Apakah kami akan sampai ke dalam istana yang indah ataukah kami akan terjerumus kedalam neraka yang paling laknat.”
Sumangkar mengangguk-angukkan kepalanya. Ia dapat mengerti sepenuhnya kata-kata itu. Bahkan secara jujur hatinya sendiri kadang-kadang berkata demikian juga. Tetapi ia percaya kepada Untara, percaya kepada Kiai Gringsing dan percaya kepada kewibawaan Widura atas anak buahnya, sehingga besok tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan penyerahan yang menjadi tanggung jawabnya. Sebaliknya ia mengharap bahwa orang-orang Jipang sendiri akan dapat membantu terlaksananya penyerahan itu dengan sebaik-baiknya.
Akhirnya Sumangkar itupun menjawab, “Jangan ragu-ragu Ngger. Mudah-mudahan pilihan kita ini benar. Telah sekian lama kita terjerumus dalam kesalahan.”
“Tetapi ketika kita sedang mulai, bukankah Kiai turut pula beserta kita?”
“Karena itulah, maka marilah kita mengucap sukur Ngger. Mengucap sukur bahwa akal kita dapat berkembang. Seperti anak-anak yang dengan serta merta menggenggam bara, maka kemudian anak-anak itu dapat mengerti bahwa ternyata ia telah berbuat suatu kesalahan. Demikian pula aku Ngger. Mudah-mudahan demikian pula kalian menemukannya seperti aku menemukan kesadaran itu.”
Para penjaga itupun mengangguk-angukkan kepala mereka. Dan Sumangkar pun kemudian berjalan meninggalkan orang itu, berjalan dari satu sudut ke sudut yang lain, sehingga kemudian ia menjadi penat. Akhirnya ia berbaring tidak di dalam gubugnya, tetapi di samping gardu di ujung halaman perkemahannya. Sesaat kemudian angin yang silir telah membelainya, seperti tangan seorang ibu membelai anaknya tersayang. Sumangkar yang tua itu kemudian tertidur dengan nyenyaknya. Besok ia akan melakukan kewajiban yang berat dan berbahaya.
Ketika ayam jantan berkokok di pagi-pagi buta, orang-orang di Sangkal Putung telah menjadi sibuk. Beberapa orang bergegas-gegas pergi ke kademangan. Seakan-akan pergi mengungsi. Mereka cemas mendengar banyak desas-desus yang bersimpang-siur, seolah-olah orang-orang Jipang yang ingin menyerahkan diri itu hanya sekedar suatu cara untuk mengelabuhi kesiap-siagaan orang-orang Sangkal Putung.
Anak-anak muda Sangkal Putung telah siap menyandang senjata masing-masing, sedang para prajurit Pajang pun telah bersiaga sepenuhnya. Hari ini adalah hari yang sangat tegang bagi Sangkal Putung. Seperti hari-hari di mana Tohpati akan datang menyergap kampung halaman mereka.
“Seandainya orang-orang Jipang itu benar-benar menyerah sekalipun, siapa yang harus memberi mereka makan? Kami juga, orang-orang Sangkal Putung,” gerutu salah seorang anak muda Sangkal Putung.
Tetapi ia terkejut ketika didengarnya jawaban sareh. “Memberi makan mereka adalah jauh lebih baik daripada kampung halaman ini dijarah-rayah. Lumbung-lumbung padi dibakar dan rumah-rumah dijadikan karang abang. Bukankah begitu?”
Ketika anak-anak muda itu berpaling dilihatnya Agung Sedayu berdiri di belakang mereka. Dengan serta merta mereka segera mengangguk sambil membetulkan kata-katanya. “Ya. Ya Tuan. Memang lebih baik demikian. Lumbung-lumbung padi kami agaknya masih cukup sampai musim menuai yang akan datang.”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah dengan penyelesaian yang bagaimanapun bentuknya asal tidak mengorbankan hak-hak sendiri, jauh lebih baik daripada harus bertempur dan berjaga-jaga setiap hari? Sawah-sawah yang bera selama ini karena gangguan keamanan segera dapat ditanami. Saluran-saluran air dapat segera diperbaiki. Bukan begitu?”
“Ya, ya tentu Tuan. Tentu,” sahut mereka tergagap.
Sekali lagi Agung Sedayu tersenyum sambil berjalan ke dalam halaman banjar desa. Namun sepeninggal Agung Sedayu anak-anak muda sangkal putung itu memberengut sambil berkata, “Anak itu bukan anak Sangkal Putung.”
“Aku membenarkan kata-katanya.”
Tetapi seorang yang lebih dewasa daripada anak-anak itu berkata, “Aku membenarkan kata-katanya.”
Anak-anak muda itu memandangi kawannya sambil bertanya, “Kenapa kau membenarkannya?”
“Apakah kau tahu yang dikatakan oleh Agung Sedayu?” bertanya kawannya yang yang lebih dewasa berpikir itu.
“Tentu.”
“Coba katakan maksud kata-katanya.”
“Bukankah ia mengatakan bahwa lumbung-lumbung kami masih penuh dengan padi dan sawah-sawah kami masih dapat ditanami? Tetapi apakah kami tidak memerlukannya sendiri? Berapa banyak beras yang sudah kami berikan kepada orang-orang Pajang yang berada di sini, sekarang ditambah lagi dengan orang-orang Jipang yang selama ini membuat bencana di kampung halaman kami.”
Kawannya itu tertawa. Katanya, “Ternyata kau tidak mendengarkannya, tetapi kau sudah tergesa-gesa mengangguk dalam-dalam sambil membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.”