Apakah yang dimaksud dengan teori relatif (deterrence theory)?

Teori relatif (deterrence), teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan.

Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.

Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.

Ide dasar dari deterrence theory adalah sebagai sarana pencegahan maksudnya tujuan menjatuhkan hukuman sebagai upaya membuat jera guna mencegah terulangnya kejahatan.

Menurut Christiansen beberapa ciri pokok pencegahan yang terdapat dalam teori utilitarian dapat dijelaskan sebagai berikut :

  1. The purpose of punishment is prevention
  2. Prevention is not a final aim, but a means to a more suprems aim, e.g. social welfare
  3. Only breaches of the law which are imputable to the perpretator as intent or negligence qualify for punishment
  4. The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the prevention of crime
  5. The punishment is prospective, it points into the future; it may contain as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for benefit or social welfare

Pemikiran Cristiansen diatas secara garis besar mencoba menjelaskan bahwa tujuan pemidanaan bukan semata-mata mengandung unsur pencelaan maupun unsur pembalasan namun lebih dititikberatkan pada tindakan pencegahan terjadinya pelanggaran hukum dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat.

Tindak pidana yang dapat dipersalahkan harus didasarkan pada tindakan pelanggaran hukum secara sengaja atau karena kelalaian si pelaku.

Salah satu unsur utama dalam teori utilitarian adalah mencari suatu keseimbangan antara perlunya hukuman dengan biaya penghukuman. Apabila manfaatnya lebih besar daripada biaya penghukuman, maka perlu suatu hukuman. Begitu pula sebaliknya apabila efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu ada.

Teori utilitarian lebih mengutamakan pembuat kejahatan (actor) daripada perbuatan itu sendiri. Kemanfaatan pidana menjadi prioritas, terutama sebagai sarana pencegah untuk mengurangi sesuatu kejahatan. Paham ini juga menekankan sasaran yang hendak dicapai dengan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, serta orientasi hukuman itu sendiri sehingga dapat bermanfaat ganda. Penting adanya aspek pencegahan (prevention) yang bersifat forward looking terhadap situasi yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkan pidana.

Menurut H.L. Hart sebagaimana dikutip Primagoratz, disamping sebagai pencegah, hukuman seharusnya juga mampu memberikan syarat keadilan sebagai tujuan pembenaran umum dari lembaga hukuman, sebagaimana dikemukakan berikut ini :

  1. There ought; to be a certain proportion between the punishment and the crime, disproportionately harsh punishment are unacceptable the would be uneconomical (they right not be), but just because they would be disproportionate. This demand for proportion is supported both by consideration of utility and of justice;
  2. There are considerations of intigation it is justice, not utility, that requires that whose who faced special difficulties in a being the low they have broken should be punished less severelly. If utility were all there is to it, it would have to be the over way round.

Dari pernyataan diatas, apabila diperhatikan H.L. Hart menawarkan suatu pemikiran yang mengetengahkan prinsip keadilan dan tujuan, dipahami sebagai prinsip- prinsip yang berbeda dan berdiri sendiri. Beratnya hukuman ditentukan sebagian oleh pertimbangan-pertimbangan pencegahan, dan sebagian oleh pertimbangan- pertimbangan keadilan.

Perspektif utilitarian memandang hukuman sebagai sesuatu yang membuat pelaku menderita, dianggap berguna bilamana dapat menimbulkan suatu akibat nyata yaitu ada efek penjeraan (deterrent effect). Pemidanaan sebagai tindakan yang menyebabkan derita bagi terpidana hanya dianggap sah apabila dapat dibuktikan, bahwa dengan dijatuhkannya pidana atau penderitaan itu menimbulkan akibat yang lebih baik daripada apabila tidak dijatuhi pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek penjeraan bagi yang terlibat.

Dalam hal ini pada dasarnya yang ingin ditekankan adalah ada / tidaknya kemampuan kekuatan untuk mencegah orang yang melakukan tindak pidana tersebut untuk tidak melakukan lagi.

Berdasarkan pandangan utilitarian tersebut, teori deterrence dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :

  • Deterrence theory, dibedakan ke dalam dua macam yaitu teori special deterrence (pencegahan khusus) dan general deterrence (pencegahan umum). Dalam special deterrence, efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan dilakukan, sehingga si terpidana tidak melakukan kejahatan serupa di masa datang.

    Menurut teori general deterrence (pencegahan umum), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan. Pencegahan ini dilakukan melalui ancaman-ancaman dan juga pemidanaan yang dijatuhkan secara terbuka sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan.

    Tujuan deterrence itu sendiri dapat dibedakan dalam tiga bagian yaitu : tujuan yang bersifat individual, tujuan yang bersifat publik dan tujuan yang bersifat jangka panjang. Tujuan deterrence yang bersifat individual dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk kembali melakukan kejahatan. Tujuan yang bersifat publik agar anggota masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan yang bersifat jangka panjang adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat terhadap pidana. Teori ini sering disebut sebagai educative theory (denunciation theory).

  • Intimidation theory, yang memandang, bahwa pemidanaan itu merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Menurut teori ini, sekali seseorang dijatuhi pidana, maka selanjutnya secara mental ia akan terkondisikan untuk menghindari perbuatan serupa yang ia ketahui akan dapat atau mungkin dapat menyebabkan ia dipidana lagi.

    Dari pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan, bahwa hukuman dalam arti suatu derita yang memberi rasa sakit bahkan rasa takut kepada setiap orang kepada setiap orang yang memiliki niat jahat, harus benar-benar dapat menjadi alat pencegah, serta pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan daripada yang terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan. Wesley Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek pemidanaan sepatutnya lebih dianggap sebagai suatu bentuk kontrol sosial.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemidanaan dijatuhkan untuk mencegah agar kejahatan tidak dilakukan. Perlu dilakukan pemisahan pelaku kejahatan dari lingkungan sosialnya tergantung tujuan pemidanaan yang dijatuhkan. Bila ini tercapai, maka masyarakat akan merasakan terlindungi dari gangguan kejahatan dan sekaligus membuat orang menjadi jera.

Referensi :

  • Christiansen. Karl O. 1974. Some Consideration on the Possibility of a Rational Criminal Policy, Resource Material series no 7, UNAFEI, Tokyo.
  • Asshidiqe, Jimly. 1987. Pendekatan Sistem dalam Pemasyarakatan Terpidana menurut Tinjauan Ilmu Hukum, Hukum dan Pembangunan no 5 Oktober 1987 tahun ke XVII
  • Primoratz, Igor. 1987. The Middle Way in the Philosophy of Punishment, dalam Ruth Gorison (ed), Issues in Contemporary Legal Philosophy, the influence of H.L. Hart, Clorendom Press Oxford, 1987, 1st Published.
  • Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track Sistem & Implementasinya, Rajawali Pers.
  • Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung.
  • Cragg, Wesley. 1992. The Practical Punishment : Towards a Theory of Restorative Justice, Routledge, London-New York.