Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagaisuatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimanan hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagi suatu kesatuan sistem pemidanaan.
Barda Nawawi Arief bertolak dari pengertian di atas menyatakan bahwa apabila aturan-aturan perundang-undangan ( the statutory rules ) dibatasi pada hukum pidana subtantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan ( statutory rules ) di bidang hukum pidana subtantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.
Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu:
Teori Retribution atau Teori Pembalasan
Teori retribution atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
-
Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
-
Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana- sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
-
Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
-
Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
-
Pidana melihat kebelakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.3
Teori Utilitarian atau Teori Tujuan
Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
-
Pencegahan (prevention);
-
Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;
-
Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
-
Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;
-
Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Teori Gabungan
Ide dasar dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya. Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan yang jahat, keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap penjahat/narapidana, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.