Apakah tujuan dilakukan pemidanaan?

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.

Pada dasarnya Pidana dijatuhkan bukan karena seseorang telah berbuat jahat tetapi agar seseorang yang dianggap telah berbuat jahat (pelaku kejahatan) tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.

Pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa.

image

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana yaitu pencegahan tingkah laku yang anti sosial.

Diperlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana apabila titik temu dari dua pandangan tersebut tidak berhasil ditentukan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan.

Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).

  • Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing.

    Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Peletak dasar retribitivism yang juga sering disebut dengan teori pembalasan adalah Kant. Paham ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana, terutama dalam menentukan tujuan pemidanaan.

    Pendukung teori retributive antara lain Van Bemmelen dan Knigge. Knigge mengatakan bahwa menghukum pada dasarnya adalah melakukan pembalasan dan hal itu bukanlah sesuatu yang buruk. Melakukan pembalasan sebagai suatu reaksi atas perilaku melanggar norma adalah tindakan manusia yang teramat wajar. 21

  • Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (deterrence).

    Deterrence theory merupakan bagian dari teori utilitarian (teori relatif) yang membahas tentang tujuan pemidanaan. Teori utilitarianism diperkenalkan pertama kali oleh Jeremy Betham.

    Bentham menyatakan bahwa hukum pidana bukan merupakan sarana pembalasan melainkan untuk mencegah kejahatan. Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna , berfaedah, menguntungkan.

    Prinsip utilitarian menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem irrasional yang absolut, tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

    Pandangan ini terutama menentukan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan perbuatan si pembuat. Pidana bukan hanya sebagai sarana untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, namun memiliki tujuan tertentu yang bermanfaat.

    Manfaat terbesar dengan dijatuhkannya pidana terhadap pembuat kesalahan adalah sebagai tindakan pencegahan dilakukannya tindak pidana yang serupa. Pencegahan yang dimaksud disini adalah pencegahan terhadap pengulangan oleh si pembuat (prevensi khusus) maupun pencegahan bagi orang lain yang mungkin (potential offender) melakukan tindak pidana tersebut (prevensi umum).

    Pendapat ahli hukum lain tentang teori utilitarian sebagaimana dikemukakan oleh Hamzah dan Rahayu, bahwa kejahatan tidak harus dijatuhi dengan suatu hukuman tetapi harus ada manfaatnya baik untuk si pelaku tindak pidana maupun untuk masyarakat. Hukuman diberikan bukan saja karena apa yang ditimbulkan si pelaku pada masa lalu, melainkan ada tujuan yang utama untuk masa depan. Hukuman berfungsi mencegah agar kejahatan tidak diulangi, dan menakut-nakuti anggota masyarakat sehingga menjadi takut melakukan kejahatan.

Referensi :

  • Packer, Herbert L. 1968. The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California
  • Honderich, Ted. 1979. Punishment; the Supposed Justifications, London, Penguin Books
  • Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana : Komentar atas pasl-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, terjemahan Tristam P. Moeliono, Jakrta Gramedia
  • Mangunhardjana. A. 1997. Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z : Kanisius

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut (Marpaung, 2005):

Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.

Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana meteril dan hukum pidana formil sebagai berikut:

  • Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas pelanggaran pidana.

  • Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.

Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut:

  • Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;
  • Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;
  • Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Jenis-jenis Pemidanaan


Hukum pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :

1. Pidana Pokok
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda

2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim

Pidana dan Tujuan Pemidanaan


Di indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan. Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro (1981), yaitu:

  • Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif), atau

  • Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.
    Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.

Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. P.A.F. Lamintang menyatakan: Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :

  • Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,
  • Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatankejahatan, dan
  • Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagaisuatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimanan hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagi suatu kesatuan sistem pemidanaan.

Barda Nawawi Arief bertolak dari pengertian di atas menyatakan bahwa apabila aturan-aturan perundang-undangan ( the statutory rules ) dibatasi pada hukum pidana subtantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan ( statutory rules ) di bidang hukum pidana subtantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.

Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu:

Teori Retribution atau Teori Pembalasan

Teori retribution atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:

  • Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

  • Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana- sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

  • Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

  • Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

  • Pidana melihat kebelakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.3

Teori Utilitarian atau Teori Tujuan

Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:

  • Pencegahan (prevention);

  • Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
    tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;

  • Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

  • Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

  • Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Teori Gabungan

Ide dasar dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya. Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan yang jahat, keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap penjahat/narapidana, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.

Terdapat beberapa teori tujuan pemidanaan yang dikenal oleh hukum pidana. Tujuan atau alasan pemidanaan ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu, teori absolut (teori pembalasan), teori relative (teori prevensi), dan teori gabungan. Penjelasan akan masing-masing teori adalah sebagai berikut:

  • Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorieen) menyatakan bahwa kejahatan itu sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori absolut ini dibagi lagi menjadi ke dalam dua teori, yaitu sebagai berikut:
    • Bersifat subjektif, dimana pembalasan ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela.
    • Bersifat objektif, dimana pembalasan ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan.
  • Teori prevensi (doeltheoriseen), teori ini mengatakan bahwa pemberian pidana dilakukan untuk mempertahankan tata tertib masyarakat. Tujuan pemidanaan adalah untuk menghindarkan (prevention ) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Teori prevensi menurut sifatnya dibagi menjadi dua yaitu:
    • Sifat prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan ini adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai atau masyarakat secara keseluruhan agar tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan ketertiban dalam bermasyarakat.
    • Sifat prevensi khusus (gemende theorieen), yang menjadi tujuan pemidanaannya adalah untuk mencegah si penjahat megulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan kejahatan yang telah direncanakannya.
    • Teori gabungan, mendasarkan jalan pikirannya terhadap hukum pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Jadi teori ini menganut antara dua teori yaitu teori pembalasan dan teori gabungan. Untuk dikombinasikan sehingga bisa menitikberatkan pada salah satu teori tanpa menghilangkan unsur-unsur teori lainnya.[1]
Referensi

[1] Suseno, Franz, Menolak Hukuman Mati: Perspektif Intelektual Muda , Jogjakarta: PT. Kanisius, 2015. hlm. 153