Apa yang dimaksud dengan terorisme?

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.

Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Apa yang dimaksud dengan terorisme secara lebih rinci ?

Konsep terorisme merupakan suatu kesatuan aksi yang dilakukan orang atau kelompok, secara tidak langsung terhadap sasaran tertentu. Tujuannya adalah untuk memperoleh efek politik dengan menyebarkan teror, untuk mencapai suatu tujuan dari orang atau kelompok tersebut.

Tujuan-tujuan teroris adalah untuk menghancurkan lawan melalui aksi teror. Penyebab munculnya terorisme dapat digolongkan kedalam tiga faktor, yaitu :

  • Pertama, faktor psikologis. Menurut para ahli psikologis cenderung memandang individu yang terlibat dalam jaringan teroris disebabakan oleh gangguan mental, namun pendapat ini dianggap kurang tepat.

  • Kedua, faktor ideologi. Penjelasan ideologi ditekankan pada kekuatan sejumlah ideologi. Hal ini mampu membangkitkan kekuatan dan perhatian dari individu untuk meciptakan sauatu kegiatan teror.

  • Ketiga, faktor lingkungan. Faktor lingkungan masih dapat dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan yang penuh dengan keluhan-keluhan yang dapat berdampak pada komunitas ekonomi, sosial ataupun politik. Dan budaya kekerasan yang mengacu pada komunitas-komunitas yang mempunyai tingkat pengalaman yang tinggi terhadap kekerasan bersama (komunal) dalam beberapa tahun kemudiankekerasan tersebut dapat menjadi suatu prilaku (Paul & Mark, 1997).

Terminologi Terorisme

Definisi maupun perspektif mengenai terorisme sangatlah beragam, dikarenakan motif dan tujuan terorisme juga sangat beragam. Menurut B. N. Marbun terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan biasanya untuk mencapai tujuan tertentu, aksi teror tersebut digunakan sebagai media promosi kepentingan politiknya, sehingga dunia menjadi tahu apa yang mereka perjuangkan.

Sedangkan Sudarsono mengartikan terorisme sebagai suatu penggunaaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan tertentu terutama tujuan politik (B. N. Marbun & Sudarsono dalam Golose, 2009).

James Adams dalam bukunya The Financing Of Terror mencantumkan definisi mengenai terorisme, yaitu :

Terorisme yaitu penggunaan ancaman dengan kekuatan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada. apabila tindakan-tindakan terorisme tersebut dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar dari pada korban langsungnya, terorisme melibatkan kelompok-kelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu, untuk mengoreksi atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada (1986 : 6).

Beberapa ahli mendefinisikan terorisme seperti Schmid dan Jongman dalam bukunya Political Terrorism (2005 : 2) mendefinisikan terorisme sebagai berikut :

“terorisme adalah suatu metode yang terinspirasi dari kegelisahan atas tindakan kejam yang dilakukan berulang-ulang, yang digunakan oleh seseorang, kelompok atau pelaku yang memiliki kekuasaan yang sifatnya semi rahasia, karena alasan tabiat, kriminal atau politik. Korban kekerasan dipilih secara acak atau secara selektif dari populasi sasaranyang bertindak sebagai pembawa pesan” (Schmid & Jongman dalam Golose, 2009).

Sedangkan definisi yang dikenal di kalangan sejarawan dalam bukunya Abu Umar Baasyir “Terorism Melawan Teroris” mendefinisikan sebagai :

“Tindakan yang melawan hukun atau bentuk penyerangan, atau pemaksaan yang dilakukan seseorang atau diorganisir oleh sebuah kelompok atau kekuasaan, dengan tujuan mengintimidasi atau menimbulkan ketakutan ditengah masyarakat, baik untuk tujuan ideologi tertentu atau alasan politik” (2007).

Pemerintah Amerika Serikat (AS) mendefinisikan terorisme berdasarkan Vice President Task Force yang merupakan sebuah lembaga yang didirikan wakil presiden AS pada tahun 1986 untuk menangani berbagai tindakan terorisme, bahwa terorisme merupakan penggunaan tidak sah atau ancaman kekerasan terhadap orang atau harta benda untuk tujuan politik atau sosial lebih lanjut.

Biasanya ditujukan untuk mengintimidasi atau memaksa suatu pemerintahan, individu atau kelompok, atau memodifikasi prilaku atau politik mereka (Golose, 2009 : 3).

Sedangkan versi Departemen Luar Negeri AS tahun 1987 dalam publikasi tahunannya memberikan perumusan mengenai terorisme global yang menyatakan :

Terorisme adalah kekerasan fisik yang direncanakan dan bermotivasi politik yang dilancarkan terhadap sasaran-sasaran nonkombatan, oleh kelompok-kelompok subnasional atau agen-agen rahasia suatu negara, biasanya dilakukan untuk mempengaruhi publik tertentu (Schmid, 1994).

U.S Departement of Defense mendefinisikan sebagai penggunaan kekerasan yang diperhitungkan dapat memaksa atau menakut-nakuti pemerintahpemerintah atau berbeagai masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan yang biasanya bersifat politik, agama atau ideologi (Hendropriyono, 2009 : 27).

Menurut Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) melalui International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism mendefinisikan terorisme sebagai berikut :

“Setiap tindakan yang dimaksudkan untuk menyebabkan kematian atau cidera serius pada rakyat sipil, atau ke setiap orang lain yang tidak ada kaitannya dengan suatu permusuhan dalam konflik bersenjata, ketika tujuan tindakan tersebut, berdasarkan sifat atau konteksnya, adalah untuk mengintimidasi masyarakat, atau memaksa suatu pemerintah atau suatu organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan” (Golose, 2009 : 4).

Dalam setiap aksi terorisme harus dipahami tiga unsur penting, yaitu :

  • Pertama, faham dan ideologi terorisme. Faham menempati posisi pertama karena seseorang tidak mungkin akan melakukan tindakan teror (aksi bom bunuh diri) tanpa didasari ideologi yang kuat.

  • Kedua, gerakan dan jaringan yang mengembangkan faham (keagamaan) yang dapat melahirkan terorisme atau mereka yang mempunyai keberanian dan kepercayaan untuk melakukan tindakan teror.

  • Ketiga, tindakan atau aksi terorisme. Jika yang pertama dan yang kedua merupakan proses yang dapat melahirkan terorisme, yang ketiga merupakan eksekusi terorisme. Keterlibatan seseorang atau kelompok yang aktif sebagai gerakan-gerakan yang cenderung pada terorisme (Hendropriyono, 2009 ).

Definisi lain dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan RAND Coorperation, yang menyimpulkan bahwa setiap tindakan terorisme adalah tindakan kriminal. Dalam kesimpulan mereka menilai :

  • Terorisme bukan merupakan bagian dari tindakan perang, sehingga disebut sebagai tindakan kriminal, juga dalam situasi diberlakukannya perang.

  • Sasaran utama terorisme adalah warga sipil sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan militer.

  • Aksi terorisme dapat mengklaim tuntutan bersifat politis.

Tipologi Terorisme

Karakteristik terorisme antara lain dapat dipahami berdasarkan uraian Pettiford dan Harding, yang menyatakan terorisme membutuhkan suatu perencanaan yang matang dan terperinci. Gerakan-gerakan dan kebiasaan-kebiasaan sasaran harus diamati dengan cermat.

Perlengkapan persenjataan dan teknik operasional harus dikuasai dengan matang, dan memiliki tempat tinggal yang menjadi basis serta akses transportasi bagi para pelaku terorisme tersebut (Hendropriyono, 2009 : 41).

U.S Army Training and Doctrine Command (2007) mengklasifikasikan gerakan terorisme, diantaranya :

  1. Separatisme. Motivasi gerakan bertujuan untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan, kedaulatan, kekuasaan politik, atau kebebasan beragama.

  2. Etnosentrisme. Motivasi gerakan dilandasi oleh kepercayaan atau keyakinan akan adanya penggolongan derajat suatu ras. Penggolongan tersebut membuat seseorang atau sekelompokorang yang berasal dari golongan ras yang lebih tinggi, melakukan tindakan teror terhadap golongan ras yang lebih rendah. Tujuan teror tersebut sebagai unujuk kekuatan atau kekuasaan agar memperoleh pengakuan dari ras-ras yang lainnya bahwa rasnya lebih unggul.

  3. Nasionalisme. Gerakan ini dimotivasi oleh kesetiaan dan ketaatan pada paham nasional. Paham ini diterima dan ditempatkan sebagai suatau budaya yang tidak dapat dipisahkan, sehingga menjadi kelompok utama bagi kelompok nasionalis.

  4. Revolusioner. Gerakan yang termotivasi untuk melakukan perubahan dengan menggulingkan pemerintah yang berkuasa, baik itu perubahan politik maupun struktur sosial. Gerakan ini identik dengan politik dan idealisme komunis (Golose, 2009 : 6).

Klasifikasi lain mengenai terorisme dikemukakan oleh Bruce Hoffman yang menindentifikasi kedalam enam klasifikasi terorisme, yaitu :

  1. Nasionalis-Sparatis, suatu gerakan otonomi daerah (sparatis) yang anti terhadap pemerintahan dan melakukan perlawananan terhadap pemerintah.

  2. Religius, ekstrim fundamentalis, biasanya dilakukan kelompokkelompok keagamaan garis keras yang melakukan perlawanan untuk mencapai tujuannya.

  3. Ideologi (kepercayaan terhadap paham politik tertentu), kelompok sayap kanan atau sayap kiri yang menyebarkan propaganda kebencian terhadap suatu rezim-rezim tertentu.

  4. Isu Utama (Single Issue), diakibatkan suatu permasalahan menegnai kelangsungan lingkungan dan makhluk hidup.

  5. Negara sponsor, penekanan oleh sebuah rezim pemerintah untuk melakukan perlawanan.

  6. Penderita sakit jiwa, individu yang terganggu yang dapat melakukan kekerasan dan mengakibatkan kerusakan terhadap individu lain maupun benda (Golose, 2009 : 7).

Selain klasifikasi yang telah dikemukakan oleh Hofffman dan U.S Army Training and Doctrine Command, terdapat pengelompokan tentang terorisme yang dikemukakan oleh Martha Crenshaw yang menyatakan terorisme baru (new terrorism), yang paradigmanya berdasarkan keagaaman.

Tindakan terorisme menurutnya dilakuakan atas dasar agama yang menjadi pemikiran kelompok atau individu tersebut. Seperti Al-Qaeda dan Jaringannya, Timothy McVeigh di Amerika Serikat, Aum Shinrikyo di Jepang, Hizbullah di Lebanon, Irish Republican Army (IRA) Irlandia Utara dan Moro Islamic Liberation Font (MILF) serta Abu Sayyaf Group (ASG) di Filipina (Golose, 2009 ).

Pengertian terorisme yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear”.

Sedangkan menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia

Referensi :

  • Loebby Loqman. 1990 .Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia. hal. 98.
  • Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35.

Terorisme terdiri dari kata terror dan isme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terror berarti usaha menciptakan ketakutan, kengerian, atau kekejaman oleh seseorang atau golongan, isme menunjukkan paham atau cara pandang (KBBI, 1994). Jadi bila digabungkan, terorisme berarti pemikiran untuk menimbulkan keresahan, ketakutan disertai tindakan ancaman dan kekerasan oleh seseorang atau golongan.

Sedang dalam pengertian lain, terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan. Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut. Sedang pengertian terror sendiri yaitu, perbuatan sewenangwenang, kejam, bengis, dalam usaha menciptakan ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan.

Istilah terorisme pertama kali muncul pada 1789 di dalam the Dictionnaire of the Academic Francaise “System, regime de terreur”. Namun, praktek terorisme telah ada sejak 66-67 sebelum Masehi, ketika kelompok ekstrim Yahudi melakukan berbagai aksi teror, termasuk didalamnya pembunuhan terhadap bangsa Romawi yang melakukan pendudukan diwilayahnya (kira-kira di wilayah yang dipersengketakan oleh Israel dan Palestina sekarang) (Asfar, 2003).

Menurut Mark Juergensmeyer dalam bukunya Terror In The Mind Of God yang telah diterjemahkan, terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify), kata ini berasal dari bahasa Latin terrere yaitu menimbulkan rasa gemetar dan cemas. Kata ini secara umum digunakan dalam pengertian politik, sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasa Pemerintahan Terror Revolusi Perancis akhir abad ke-18. Oleh karena itu, respon publik terhadap kekerasan dan rasa cemas yang disebabkan terorisme membuat definisi tersendiri tergantung para saksi dan orang-orang yang merasa terancam (Juergensmeyer, 2003).

Milla (2010) mengutip analisis yang dilakukan oleh Alex Schmid dan Albert Jongman dalam buku Defining Terrorism in The Political and Academic Discourse oleh Maskaliunate, terhadap 126 definisi terorisme enggan tujuan untuk menemukan elemen kunci dengan prosentase kemunculan terbesar di antara elemen yang lain, yaitu kekerasan atau kekuatan (83,5%), politik (65%), ketakutan atau teror (51%), ancaman (47%), efek psikologi serta reaksi antisipatif (41,5%), diferensiasi target korban (37,5%), bertujuan, terencana, sistematik dan aksi yang terorganisasi (32%).

Berdasarkan prosentase tersebut, dapat disimpulkan bahwa efinisi terorisme setidaknya memasukkan lima elemen kunci, yaitu kekerasan atau kekuatan, politik, upaya menghasilkan ketakutan, sistematik, dan aksi yang terorganisir. Berdasarkan lima elemen kunci tersebut Cunningham Jr. W.G dalam bukunya Terrorism Definisions and Typologies (Milla, 2010) merumuskan tindakan terorisme meliputi:

  1. Penggunaan kekerasan, kekuatan atau ancaman
  2. Merupakan tindakan politik
  3. Secara intens menyebabkan ketakutan atau terror dalam rangka untuk mencapai tujuan
  4. Serta terjadi efek dan reaksi psikologis
  5. Aksi yang terorganisir.

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Mabes Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan tentang ciri-ciri teroris. Menurutnya ada empat indikasi, namun indikasi tersebut akan lenyap apabila masyarakat tidak peka dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar, yaitu:

  1. Para teroris lebih tertutup dan tidak bersosialisasi dengan tetangga,
  2. Mereka mengaku hanya satu atau dua orang saja yang tinggal dirumah, namun yang menginap berganti-ganti dan tidak diketahui identitasnya,
  3. Memiliki cukup banyak uang, namun mereka terlihat tidak memiliki pekerjaan atau pekerjaan yang tidak jelas,
  4. Melakukan aktifitas tidak wajar di dalam ruangan atau rumah.

Bentuk-Bentuk Terorisme


Kejadian-kejadian dan aksi-aksi terorisme yang telah menimpa masyarakat sangatlah banyak dan beraneka ragam sesuai dengan kondisi dan keadaan yang diharapkan oleh para pelakunya guna meraih sasaran dan target mereka. Namun melihat dari catatan sejarah dan berbagai kejadian yang menimpa masyarakat saat ini bahwa seluruh kejadian dan aksi tersebut terdapat dua bentuk perkara, yaitu:

  1. Terorisme Fisik
    Terorisme fisik yaitu peristiwa-peristiwa yang sekarang menjadi perhatian publik, peledakan, pemboman, penculikan, penyerangan, bom bunuh diri, pembajakan dan sebagainya. Pembunuhan Khalifah Umar bin Khattab oleh Abu Lu’luah, merupakan salah satu bentuk terorisme yang rendah dan hina. Pembunuhan Ustman bin Affan oleh golongan Khawarij yang telah diprofokasi oleh pendiri Syi’ah, Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi yangberpura-pura masuk agama Islam, juga merupakan bentuk terorisme yang terkutuk. Dan berbagai kejadian yang terjadi abad 21 ini. Pemboman di kedubes Australia di Jakarta, bom bunuh diri di Bali dan terjadi dua kali, penyerangan di Sarinah, dan lain sebagainya.

  2. Terorisme Ideologi
    Terorisme ideologi yaitu terorisme yang menyerang pemikiran atau pemahaman masyarakat. Terorisme jenis ini jauh lebih berbahaya dari terorisme fisik, karena seluruh bentuk terorisme fisik yang terjadi bersumber dari dorongan ideologi para pelakunya, baik itu dari kalangan orang-orang kafir yang merupakan sumber terorisme di dunia ini maupun dari kalangan kaum muslimin yang telah menyimpang pemikirannya dari jalan Islam yang benar.

Istilah terorisme itu sendiri berkaitan dengan kata teror dan teroris, yang secara umum belum memiliki pengertian atau definisi yang baku dan universal. Namun demikian negara-negara internasional bersepakat bahwa istilah tersebut memiliki konotasi negatif yang sekelas atau setara akibatnya dengan istilah “genosida“.

Teror merupakan fenomena yang cukup memiliki umur yang panjang dalam sejarah, hal ini dibuktikan dari akar kata teror itu sendiri yaitu adanya frase “cimbricus teror“. Frase berbahasa Romawi tersebut berarti “untuk menakut-nakuti“ yang menggambarkan kepanikan yang terjadi saat prajurit lawan beraksi dengan sengit dan keras.

Kemudian kata ini berkembang meluas pertama kalinya pada zaman Revolusi Prancis menjadi le terreur atau terrere yang dipergunakan ketika adanya kekerasan bersifat brutal dengan cara memenggal banyak orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah sehingga terorisme tersebut dapat diartikan sebagai gemar melakukan intimidasi serta aksi brutal terhadap masyarakat sipil dengan alasan-alasan tertentu.

Makna terorisme kemudian mengalami pergeseran yang semula adalah perbuatan yang dilakukan oleh penguasa otoriter dengan alasan politik menjadi kategori crime against state dan crime against humanity yang mengakibatkan korban masyarakat suatu pemerintahan sehingga cita-cita politik maupun religius pelaku teror tersebut tercapai.

Menurut Henry Campbell Black, terorisme digunakan dengan maksud

  • Mengintimidasi untuk mempengaruhi penduduk sipil, (
  • Mempengaruhi peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, atau
  • Mempengaruhi jalannya pelaksanaan dan penyelenggaraan bidang-bidang dalam pemerintahaan dengan cara penculikan dan pembunuhan.

Klasifikasi Terorisme

Terorisme memiliki klasifikasi karakteristik yang hampir sama dengan kejahatan-kejahatan lainnya, hanya saja tujuan dan motivasi akan dilakukannya tindakan tersebut berbeda. Menurut USA Army Training and Doctrine Command , terdapat beberapa kategori mengenai motivasi yang umum digunakan sebagai alasan terorisme oleh suatu gerakan tertentu, antara lain :

  1. Separatisme. Motivasi gerakan untuk mendapatkan eksistensi kelompok melalui pengakuan kemerdekaan, otonomi politik, kedaulatan, atau kebebasan beragama. Kategori ini dapat timbul dari nasionalisme dan etnosentrisme pelaku.

  2. Etnosentrisme. Motivasi gerakan berlandaskan kepercayaan, keyakinan, serta karakteristik sosial khusus yang mempererat kelompok tersebutsehingga terdapat penggolongan derajat suatu ras. Penggolongan ini membuat orang atau kelompok yang memiliki ras atas semena-mena dengan kelompok ras yang lebih rendah. Tujuannya ialah mempertunjukan kekuasaan dan kekuatan (show of power) demi pengakuan bahwa pelaku masuk dalam ras yang unggul (supreme race).

  3. Nasionalisme. Motivasi ini merupakan kesetiaan dan loyalitas terhadap suatu negara atau paham nasional tertentu. Paham tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kesatuan budaya kelompok, sehingga bermaksud untuk membentuk suatu pemerintahan baru atau lepas dari suatu kedaulatan untuk bergabung dengan pemerintahan yang memiliki pandangan atau paham nasional yang sama.

  4. Revolusioner. Motivasi ini merupakan dedikasi untuk melakukan perubahan atau menggulingkan pemerintahan dengan politik dan struktur sosial yang baru. Gerakan ini identik dengan idealisme dan politik komunisme.

Selanjutnya Hoffman mengidentifikasikan enam motivasi terorisme yang berkembang sampai dengan sekarang, yaitu :

  1. Nasionalis-Separatis sebagai motivasi kelompok separatis dan gerakan otonomi daerah dengan etnik sebagai kekuatan dasarnya. Aktivitas kelompok ini secara umum ialah tindakan-tindakan yang anti terhadap pemerintah maupun penyerangan terhadap keamanan area.

  2. Religius sebagai motivasi kelompok ekstrim fundamental (sebagai contoh ialah ekstrimis Sikh di India, Macan Tamil di Srilanka, dan lain-lain) yang melakukan serangan terhadap rakyat sipil baik berupa bom bunuh diri maupun kekerasan brutal.

  3. Ideologi sebagai motivasi kelompol politik sayap kanan dan sayap kiri di suatu pemerintahan (sebagai contoh ialah gerakan fasis di Jerman dan Italia khususnya pada zaman Perang Dunia kedua) yang melakukan propaganda kebencian (hate crime), anti terhadap imigran maupun ras yang dianggap rendah.

  4. Isu-isu utama (single issue) sebagai motivasi kelompok pemerhati lingkungan maupun makhluk hidup dengan aktivitas sabotase dan ancaman semata terhadap objek-objek vital.

  5. Sponsor suatu negara sebagai motivasi kelompok yang tertekan oleh sebuah rezim pemerintahan dengan cara sabotase dan penyerangan menggunakan kekerasan.

  6. Keterbelakangan mental bagi penderita sakit jiwa yang tidak memiliki akal yang sehat sehingga dapat melakukan kekerasan dengan alasan yang tidak jelas.

Karakteristik Terorisme

Kemudian terdapat beberapa karakteristik gerakan kelompok terorisme yang diketahui secara umum. Menurut Loudewijk F. Paulus, karakteristik terorisme dapat dibagi menjadi empat, yaitu : 44

  1. Karakteristik organisasi yang meliputi struktur organisasi, rekrutmen anggota, pendanaan organisasi, dan hubungan internasional maupun nasional.

  2. Karakteristik operasi yang meliputi perencanaan, waktu, taktik, kolusi, dan strategi.

  3. Karakteristik perilaku yang meliputi motivasi , dedikasi, disiplin, keinginan membunuh, dan keinginan menyerah hidup-hidup demi ideologi.

  4. Karakteristik sumber daya yang meliputi latihan atau kemampuan individu maupun kelompok, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan, transportasi, serta pendukung operasi.

Bentuk-Bentuk Terorisme

Apabila kita melihat dari wilayah tindakan dimana terorisme dilakukan, maka dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu :

  1. Terorisme nasional, di mana pelaku dan sasaran utama terbatas pada teritorial suatu negara tertentu.

  2. Terorisme internasional, di mana sasaran utama diarahkan pada individu maupun kelompok yang memiliki pengaruh besar di negara lain sehingga dapat mengganggu atau mempengaruhi kebijakan negara tersebut. Adapun sasaran utama kelompok in ialah masyarakat internasional secara keseluruhan.

  3. Terorisme transnasional, di mana pelaku mempersiapkan revolusi secara global dengan menggunakan berbagai cara untuk menguasai tatanan dunia baru. Seringkali bentuk ini berasal dari kelompok internasional yang radikal.

Jika dilihat dari motif atau latar belakang terjadinya terorisme sesuai yang telah dijelaskan di bagian klasifikasi, maka bentuk terorisme dapat dibagi menjadi :

  1. Terorisme politik, yaitu tindakan yang berdasarkan alasan politik dengan menggunakan perbuatan-perbuatan yang tidak sah terutama untuk mengganggu atau menimbulkan rasa ketakutan terhadap lawan politik.

  2. Terorisme ideologi, yaitu tindakan yang berdasarkan alasan ideologi maupun kepercayaan sehingga timbul rasa superiority di dalam kelompok tersebut dan menghalalkan segala cara untuk menyebarkan ideologinya.

  3. Terorisme negara, yaitu tindakan yang berdasarkan alasan penindasan oleh suatu negara, baik negara sendiri maupun negara luar yang masuk. Tindakan ini dapat masuk dalam kategori revolution atau rebellion

Secara etimologi terorisme berasal dari kata “to Terror” dalam bahasa inggris. Sementara dalam bahasa latin disebut Terrere yang berarti “gemetar” atau menggetarkan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terror merupakan suatu usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu (Depdikbud, 2013).

Teorisme dalam pengertian perang memiliki definisi sebagai serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan terror (takut), sekaligus menimbulkan korban massif bagi warga sipil dengan melakukan pengeboman atau bom bunuh diri.

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).

  2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).

Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

  1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
  3. Menggunakan kekerasan.
  4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
  5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.