Apa batasan dan ruang lingkup Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme?

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.

Apa batasan dan ruang lingkup Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme ?

Di dalam Undang undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme dapat dibagi menjadi 4 bagian menurut isinya, antara lain:

  1. Bagian yang mengatur tentang yurisdiksi berlakunya Undang-Undang tersebut;
  2. Bagian yang mengatur perbuatan-perbuatan apa saja yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Terorisme dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan terorisme;
  3. Mengenai proses beracara atau hukum formalnya;
  4. Bagian yang berkenaan dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Batasan dan ruang lingkup dari pemberantasan tindak pidana terorisme dibahas pada bagian yurisdiksi berlakunya Undang Undang Terorisme dan bagian perbuatan-perbuatan apa saja yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana terorisme dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan terorisme.

Prinsip atau asas diberlakukannya UU No. 15 Th 2003 adalah menggunakan asas-asas yang mendasari ruang lingkup berlakunya KUHP berdasarkan tempat (locus delicti). Antara lain asas teritorial yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 2 KUHP, bahwa aturan pidana dalam dalam Undang Undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di wilayah Indonesia.

Setiap orang berarti baik orang Indonesia maupun orang asing, yang melakukan tindak pidana. Dalam melakukan tindak pidana tersebut orang tidak perlu berada di wilayah Indonesia. Seseorang yang ada di luar negeri dapat pula melakukan delik di Indonesia. (Sudarto, 1990;32).

Asas ini terbukti di dalam UU No. 15 Th 2003, bahwa yurisdiksi berlakunya Undang Undang ini tidak hanya terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan di wilayah Negara RI saja, tetapi juga berlaku terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan, sesuai dengan Pasal 4 UU No. 15 Th 2003, yaitu :

  1. Terhadap Warga Negara RI di luar wilayah Negara RI;
  2. Terhadap fasilitas Negara RI di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler RI;
  3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa Pemerintah RI melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
  4. Untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
  5. Di atas Kapal yang berbendera Negara RI atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan Undang Undang Negara RI pada saat kejahatan itu dilakukan;
  6. Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah Negara RI.

Berdasarkan yuridiksi tersebut, bahwa terdapat perluasan asas teritorial. Menurut Moeljatno, perluasan yuridiksi territorial meliputi perluasan berdasarkan kewarganegaraan, perluasan prinsip proteksi dan perluasan berdasarkan prinsip universal. Perluasan kewarganegaraan di atas mengarah ke prinsip atau asas nasional pasif yang tercantum dalam Pasal-pasal: 4 sub 1, 4 sub 2, 4 sub 3, 7 dan 8 KUHP, yaitu asas yang pada hakekatnya melindungi kepentingan nasional sehingga aturan pidana di Indonesia dapat diterapkan terhadap warga Negara asing yang melakukan kejahatan di luar wilayah RI tetapi korban perbuatan pidana tersebut adalah warga Negara Indonesia.(Moeljatno, 2000: 20).

Perluasan asas perlindungan (nasional pasif) terlihat pada no. 2 dan 3 di atas. Sedangkan asas universal terlihat pada no. 5 di atas, bahwa Undang-undang tersebut berlaku terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan di atas kapal yang berbendera Negara RI atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan Undang-Undang Negara RI pada saat kejahatan dilakukan.

Asas universal bertujuan untuk melindungi kepentingan dunia internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 sub 2 dan Pasal 4 sub 4 KUHP. Namun dalam UU No. 15 th 2003 memperlihatkan perluasan asas universal yang terkait dengan delicta juris gentium.(Eddy 0 S; 2006; 239).

Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU No. 15 th 2003, negara lain mempunyai kewenangan terhadap tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia jika:

  1. Kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang bersangkutan;
  2. Kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan;
  3. Kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;
  4. Kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitas pemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negeri termasuk perwakilan negara asing atau tempat kediaman pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan;
  5. Kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa negara yang bersangkutan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
  6. Kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan;
  7. Kejahatan dilakukan di atas kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan Undang-Undang negara yang bersangkutan pada saat kejahatan itu dilakukan.

Terhadap Pasal 3 tersebut di atas, terdapat kewenangan negara lain atas tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia, maka berlaku asas personalitas (nasional aktif).

Berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 6 KUHP, bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana baik di dalam negera maupun di luar negara Indonesia.

Dengan mengingat terorisme adalah kejahatan Internasional yang melewati batas negara, maka Undang Undang no. 15 th 2003 memuat Pasal tersendiri (Pasal 43 UU No. 15 th 2003) yang menyangkut kerja sama Internasional, seperti kerja sama intelijen, kepolisian dan kerja sama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan UU no. 15 Thn 2003, kualifikasi tindak pidana terorisme terdapat dalam 19 Pasal, mulai dari Pasal 6 sampai dengan 24 UU tersebut. Perbuatan tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internacional.

  2. Perbuatan yang berkaitan dengan keamanan pesawat udara termasuk keselamatan lalu lintas udara dan penerbangan serta pembajakan terhadap pesawat udara, baik yang dilakukan dengan sengaja, secara melawan hukum maupun karena kealpaan.

  3. Perbuatan yang berkaitan dengan memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme.

  4. Perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya sehingga menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan dan hak-hak orang atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional.

  5. Perbuatan yang berkaitan dengan penyediaan dan pengumpulan dana, penyediaan dan pengumpulan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk tindak pidana terorisme atau untuk melakukan tindakan yang berkaitan dengan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya.

  6. Perbuatan yang berkaitan dengan pemberian bantuan atau kemudahan, sarana atau keterangan, merencanakan dan atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme, melakukan permufakatan jahat, percobaan dan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terrorisme.

  7. Perbuatan yang berkaitan dengan proses peradilan terhadap tindak pidana terorisme seperti menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau mengintimidasi, mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan pengadilan, termasuk memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti dan atau barang bukti palsu serta menyebutkan identitas pelapor.

Ancaman pidana terhadap pelanggaran UU No. 15 th 2003, beragam, antara lain dengan pidana mati, pidana penjara baik seumur hidup maupun minimal 4 tahun, denda sampai pidana kurungan. Pidana denda ditujukan terhadap korporasi yang menjadi pelaku tindak pidana terorisme, pidana kurungan maksimal 1 tahun ditujukan bagi saksi atau orang lain yang menyebutkan identitas pelapor dan pidana penjara dirumuskan dengan menggunakan indeterminate sentence (pembentuk undang-undang menentukan batas minimum sekaligus batas maksimum pidana penjara yang dapat dijatuhkan oleh Hakim). (Eddy OS Hiariej, 2006).

Menurut Prof Muladi, tindak pidana terorisme merupakan kejahatan (mala perse), yaitu kejahatan terhadap hati nurani (crimes against consiense), karena menjadi jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang Undang tetapi pada dasarnya memang tercela. Dari segi agamapun pembunuhan secara random merupakan suatu yang tidak bisa diterima oleh agama apapun.

UU No. 15 th 2003 dan Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorismesecara lengkap dapat dilihat pada attachment dibawah ini,

UU_no_15_th_2003.pdf (18.5 KB)

Perpu No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.pdf (60.9 KB)

BATASAN DAN RUANG LINGKUP


Skema Munculnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Peledakan Bom di Bali 12 Oktober 2002

Perpu No.1 Th 2002 tentang Pemberantasan TP Teorisme tdu 18 Okt 2002

Pasal 46 Perpu No.1 Th.2002 : asas retroaktif
Perpu No.2 Th.2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Th.2002 tentang Pemberantasan TP Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002
Tdu 18 Oktober 2002

  1. UU No.15 Th. 2003 ttg Penetapan Perpu No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan TP Terorisme Menjadi UU
  2. UU No.16 Th.2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Th. 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Th. 2002 tentang Pemberantasan TP Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi UU.
    Tdu 4 April 2003

PP No. 24 Th. 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara TP Terorisme tdu 14 April 2003.

UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

Instrumen Yuridis :

  1. Peraturan Pem. Peng. UU No. 1 Tahun 2002 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Tgl18 Oktober 2002) jo UU No.15 Th. 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU (Tgl 4 April 2003)

  2. Peraturan Pem. Peng. UU No.2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 (Tgl 18 Oktober 2003) jo UU No.16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi UU (Tgl. 4 April 2003)

  3. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme (Tgl 14 Mei 2003)

  4. Instruksi Presiden RI No. 4 Tahun 2002 (Tgl 22 Oktober 2002)

  5. Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2002 (Tgl 22 Oktober 2002)

BATASAN-BATASAN

  1. Tindak Pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Perpu ini (Pasal 1 butir ke-1)

  2. Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa dan kemerdekaan orang termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya (Pasal 1 butir ke-4)

  3. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas. (Pasal 1 butir ke-5)

  4. Setiap orang adalah perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual ataupun korporasi. (Pasal1 butir ke-2)

  5. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 butir ke-3)

  6. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud (Pasal 1 butir ke-9)

  7. Objek vital yang strategis adalah tempat, lokasi, atau benda tidak bangunan yang mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya dan pertahanan serta keamanan yang sangat tinggi termasuk fasilitas internasional (Pasal 1 butir ke-10)

  8. Fasilitas publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum (Pasal 1 butir ke-11)

  9. Bahan peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesin, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan (Pasal 1 butir ke-12) … dst

RUANG LINGKUP

Perpu No. 1 Tahun 2002 berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan atau negara lain juga mempunyai yuridiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut (Pasal 3 ayat (1) UU No.15 Tahun 2003)

Yurisdiksi Negara Lain

Negara lain mempunyai yurisdiksi atas pelaku tindak pidana terorisme tersebut diatas, apabila :

  1. Kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang bersangkutan,

  2. Kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan,

  3. Kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;

  4. Kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitas pemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negara termasuk perwakilan negara asing atau tepat kediaman pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan di luar negara termasuk perwakilan negara asing atau tempat kediaman pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan.

  5. Kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa negara yang bersangkutan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;

  6. Kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan atau

  7. Kejahatan dilakukan diatas kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan UU negara yang bersangkutan pada saat kejahatan itu dilakukan (Pasal 3 ayat (2))

Keterangan : harus ada perjanjian ekstradisi terlebih dahulu kecuali Indonesia setuju diberlakukannya asas resiprositas.

Yurisdiksi Negara Indonesia di Negara Asing

Perpu ini berlaku juga terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan :

  1. terhadap warga negara RI di luar wilayah negara RI

  2. terhadap fasilitas negara RI diluar negara termasuk tepat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler RI

  3. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah RI melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;

  4. untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;

  5. diatas kapal yang berbendera negara RI atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan UU negara RI pada saat kejahatan itu dilakukan; atau

  6. oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah negara RI (Pasal 4 Perpu No. 1 Tahun 2002).

Ket : pasal ini bertujuan untuk melindungi warga negara RI, perwakilan RI dan harta kekayaan Pemerintah RI di luar negeri

Pasal 5 Perpu No.1 Tahun 2002 : tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik dan tindak pidana dengan tujuan politik.

Penjelasan : Bertujuan :

  1. agar tidak dapat berlindung di balik latar belakang, motivasi dan tujuan

  2. politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan serta penghukuman terhadap pelaku.

  3. untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dengan pemerintahan negara lain.

Pasal 19 dan Pasal 24 Perpu No.1 Tahun 2002.

Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak mengesampingkan berlakunya (lebih mengutamakan) UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pasal 44 Perpu No.1 Tahun 2002 :

Ketentuan mengenai kewenangan ANKUM (atasan yang berhak menghukum) serta PEPERA (perwira penyerah perkara), dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan tindak pidana terorisme.

Pasal 46 Perpu No.1 Tahun 2002 :

Pemberlakuan asas retroaktif dengan menggunakan Perpu/UU (dicabut dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi).

Ketentuan Hukum Acara Pidana

  1. Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik berwenang melakukan penahanan paling lama 4 bulan. Untuk kepentingan penuntutan, PU berwenang melakukan penahanan paling lama 2 bulan. (Penjelasan Pasal 25 ayat (2) Perpu No.1 Tahun 2002 jo UU No.15 Tahun 2003)

  2. Penyidik dapat melakukan penangkapan untuk paling lama 7x24 jam (Pasal 28 Perpu No.1 Tahun 2002 jo UU No. 15 Tahun 2003)

  3. Bukti permulaan yang cukup dapat diperoleh melalui penggunaan setiap laporan intelijen. Penetapan sudah dapat atau diperoleh “bukti permulaan yang cukup” melalui Pengadilan Negeri yang untuk itu harus dilakukan proses pemeriksaan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 hari oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 26 ayat (1), (2), (3) Perpu No.1 Tahun 2002 jo UU No. 15 Tahun 2003). Bila ditetapkan ada bukti permulaan yang cukup maka Ketua PN memerintahkan dilaksanakannya Penyidikan (Pasal 26 ayat
    (4) Perpu No.1 Tahun 2002 jo UU No. 15 Tahun 2003).

  4. Alat bukti pemeriksaan perkara TP Terorisme meliputi :

    1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hk. Acara Pidana (KUHP)

    2. Alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronnik dengan alat optik atau serupa dengan itu; dan

    3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada :

      a. tulisan, suara atau gambar;
      b. peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
      c. huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya (Pasal 27 Perpu No.1 Tahun 2002 jo UU No.15 Tahun 2003).

Penyidik, PU atau Hakim berwenang memerintahkan bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme (Pasal 29 ayat (1) Perpu No.1 Tahun 2002 jo UU No.15 Tahun 2003).
Penyidik, PU, atau Hakim berwenang meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan tentang harta kekayaan orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme (Pasal 30 ayat (1) Perpu No.1 Tahun 2002 jo UU No. 15 Tahun 2003)
Dalam meminta keterangan tersebut, tidak berlaku ketentuan UU yang mengatur rahasia bank dan rahasia transaksi keuangan lainnya (ayat
(2) pasal tsb).

Permintaan keterangan harus diajukan tertulis dengan menyebutkan secara jelas :

a. nama dan jabatan penyidik, pu atau hakim;
b. identitas orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan;
d. tempat harta kekayaan berada (ayat (3) pasal tersebut)

Surat permintaan tersebut harus ditandatangani :

a. Kapolda atau Pejabat yang setingkat pada Tk. Pusat dalam hal permintaan diajukan Penyidik;
b. Kajati dalam hal permintaan diajukan PU;
c. Hakim Ketua Majelis yang bersangkutan (ayat (4) pasal tersebut)

Berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penyidik berhak menyadap pembicaraan telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan dan melakukan yang hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua PN untuk jangka waktu paling lama 1 tahun (Pasal 31 ayat (1) huruf b jo ayat (2) Perpu No. 1 Tahun 2002; UU No. 15 Tahun 2003) yang untuk itu tindakan tersebut harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada Atasan Penyidik (ayat (3) pasal tersebut)

Dalam proses penyidikan dan pem. di sid. peng, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan Tindak Pidana Terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor dan lain-lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor yang untuk itu diberitahukan terlebih dahulu larangan tersebut sebelum pemeriksaan dilakukan (Pasal 32 ayat (2), (3) Perpu No. 1 Tahun 2002 jo UU No.15/2003).

Sumber : Bambang Dwi Baskoro, Hukum Acara Pidana Lanjut, Universitas Diponegoro