Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1313, dijelaskan bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”[1]
Sedangkan menurut Prof. Subekti, “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”[2]
Dalam membuat suatu perjanjian, harus dipenuhi syarat-syarat agar perjanjian tersebut sah dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya di depan hukum, Dalam KUH Perdata pasal 1320 - pasal 1337 dijelaskan syarat-syarat sah perjanjian[3] yaitu:
-
Kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kata sepakat ini harus bebas dari unsur khilaf, paksaan ataupun penipuan (ps. 1321)
-
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Orang yang dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang meliputi (pasal 1330):
- Orang-orang yang belum dewasa
- Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
- Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang perbuatan perjanjian-perjanjian tertentu.
-
Suatu hal tertentu. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian (pasal 1332)
-
Suatu sebab yang halal. Yakni sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum.(pasal 1337)
Ketentuan mengenai perempuan sebagai orang yang tak cakap telah dihapuskan dan dianggap tidak berlaku lagi melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia.[4] Selain itu dengan munculnya undang- undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyetarakan derajat suami dan isteri dalam perkawinan,[5] sehingga saat ini yang dianggap tak cakap hanyalah orang- orang yang belum dewasa, orang yang di bawah pengampuan, dan orang-orang yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian tertentu.
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yang mana jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh para pihaknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, yang mana jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian akan batal demi hukum. Hal ini akan berakibat perjanjian dianggap tidak pernah ada.
Akibat hukum perjanjian yang sah, yakni yang memenuhi syarat-syarat pada pasal 1320 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.[6]
Perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak pembuatnya, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa melanggar perjanjian yang ia buat, maka ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.[7]
Perjanjian yang sah tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Perjanjian tersebut mengikat pihak-pihaknya, dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.[8]
Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu sebagai unsur subjektif, dan sebagai ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan. Dalam hukum benda unsur subjektif berarti “kejujuran“ atau “kebersihan“ si pembuatnya. Namun dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, bukanlah dalam arti unsur subjektif ini, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu. Adapun yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan itu, undang-undangpun tidak memberikan perumusannya, karena itu tidak ada ketepatan batasan pengertian istilah tersebut. Tetapi jika dilihat dari arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan; sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari arti kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji.[9]
Itikad baik dapat diartikan juga bahwa dalam melaksanakan haknya, seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi tertentu.
Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur, mungkin kreditur dapat dianggap melaksanakan kontrak dengan itikad tidak baik.[10]
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik perlu diperhatikan juga “kebiasaan.“ Hal ini ditentukan juga dalam pasal 1339 KUH Perdata
“Perjanjian-perjanjian itu tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.“ [11]
Dengan demikian, setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan undang- undang dan adat kebiasaan di suatu tempat, di samping kepatutan. Atas dasar pasal ini kebiasaan juga ditunjuk sebagai sumber hukum disamping undang- undang, sehingga kebiasaan itu turut menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian. Namun demikian, adat istiadat tidak boleh menyampingkan atau menyingkirkan undang-undang, apabila ia menyimpang dari ketentuan undang- undang. Ini berarti bahwa undan-undang tetap berlaku (dimenangkan) meskipun sudah ada adat-istiadat yang mengatur.[12]
Asas Konsensual Dalam Perjanjian
Hubungan hukum yang timbul dari perjanjian bukanlah hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hukum kekeluargaan, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dengan perjanjian hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta karena adanya “tindakan hukum” (rechtshandeling). Tindakan / perbuatan hukum yang dilakukan pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga para pihak sepakat bahwa terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi. pihak lain menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh “hak/ recht” dan pihak lainnya memikul “kewajiban/plicht” menyerahkan / menunaikan prestasi.[13]
Dari kesepakatan para pihaklah sebuah perjanjian lahir. Hal ini dalam hukum perjanjian disebut asas konsensual. Asas konsensual menganut paham dasar bahwa suatu perjanjian itu telah lahir sejak tercapainya kata sepakat. Pada detik tercapainya kata sepakat, lahirlah suatu perjanjian. Jadi menurut asas konsensual perjanjian itu sudah ada dan mengikat apabila sudah dicapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian tanpa diperlukan lagi suatu formalitas, kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang. Kesepakatan antar para pihak juga harus lepas dari unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan. Paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang dibolehkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan. Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan- keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.[14]
Jenis-Jenis Perjanjian[15]
Adapun beberapa jenis perjanjian yang diatur secara hukum antara lain:
1. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
Merupakan perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar sedangkan perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Misalnya perjanjian hibah, hadiah.
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUH Perdata. Menurut pasal ini salah satu syarat adanya pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik
2. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Alas Hak Yang Membebani
Perjanjian percuma merupakan perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja. Misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu dapat kontra prestasi dari pihak yang lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum
Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal 1341 KUH Perdata)
3. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah berjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa-menyewa.
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
4. Perjanjian Kebendaaan dan Perjanjian Obligatoir
Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artinya sejak terjadinya perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak- pihak
Pembedaan ini ialah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
5. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Sedangkan perrjanjian real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak, juga sekaligus harus ada peryerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUH Perdata). Dalam hukum adat perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap perbuatan hukum yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjadi perpindahan hak. Hal ini disebut “kontan/tunai“.
Referensi:
[1] Kitab Undang-undang Hukum perdata [KUH Perdata], Ibid., Pasal 1313.
[2] Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 24 (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), hal. 3.
[3] Kitab Undang-undang Hukum perdata [KUH Perdata], Op. Cit., Pasal 1320.
[4] Subekti. Hukum Perjanjian. Cet.18. (Jakarta: Intermasa, 2001), hal. 19.
[5] Indonesia, Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, LN No. 1, TLN No. 3019, Ps. 31 ayat (1).
[6] Kitab Undang-undang Hukum perdata [KUH Perdata], ibid., Pasal 1338.
[7] Muhammad, Abdulkadir. Hukum perikatan. Cet. 3. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 97.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 99.
[10] Suharnoko, Hukum perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Cet. 1, (Jakarta:Kencana, 2004), hal. 4
[11] Kitab Undang-undang Hukum Perdata [KUH Perdata], Op. Cit., Pasal 1339.
[12] Muhammad, Abdulkadir. Op. Cit., hal. 101.
[13] M. Yahya Harahap, *Segi-Segi Hukum Perjanjian,*Cet.2, (Bandung, Alumni, 1986), hal.6.
[14] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Op.,Cit., hal. 135.
[15] Abdulkadir Muhammad, SH, Op. Cit., hal. 86-88.