Apa yang dimaksud dengan perjanjian dalam pandangan hukum?

perjanjian

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia).

Apa yang dimaksud dengan perjanjian dalam pandangan hukum?

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Berdasarkan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah:

  • Suatu perbuatan.
  • Antara sekurangnya dua orang.
  • Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.

Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menjelaskan kepada kita semua bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata.

Menurut Abdulkadir Muhammad, ketentuan Pasal 1313 sebenarnya kurang tepat karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi, yaitu sebagai berikut:

  • Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak.

  • Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

  • Pengertian perjanjian terlalu luas. Perngertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).

  • Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan. Dari definisi tersebut jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak, untuk melaksanakan sesuatu hal, mengenai harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang.

Secara sederhana, pengertian perjanjian adalah apabila dua pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan mengenai harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.

Unsur-Unsur Perjanjian

Apabila dirinci, perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  • Essentialia, ialah unsur yang mutlak harus ada bagi terjadinya perjanjian.
    Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian itu sah, merupakan syarat sahnya perjanjian. Unsur essentialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakankannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur essentialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari suatu perjanjian.

  • Naturalia, yaitu unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.
    Unsur naturalia pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essentialia diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essentialia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.

    Sehubungan dengan hal itu, maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

    “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”

  • Accidentalia, yaitu unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak, merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian, maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.

Asas-Asas Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut:

  • Asas Kebebasan Berkontrak
    Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum dalam undang-undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu: tidak terlarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kepentingan umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.

  • Asas Pelengkap
    Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang-undang. Tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain, maka berlakulah ketentuan undang-undang. Asas ini hanya mengenai hak dan kewajiban pihak-pihak saja.

  • Asas Konsensual
    Perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak- pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum.

  • Asas Obligator
    Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering).

Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu pokok persoalan tertentu;
  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan 4 (empat) syarat:

  • Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan artinya persetujuan kehendak pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan sehingga tercapai persetujuan antara kedua belah pihak.

  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
    Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin meskipun belum berumur 21 tahun dan tidak di bawah pengampuan.

  • Suatu pokok persoalan tertentu
    Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka.

  • Suatu sebab yang tidak terlarang (Causa yang Halal).
    Sebab adalah suatu yang menyebabkan atau mendorong seseorang membuat perjanjian. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, melainkan memperhatikan isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak, apakah dilarang undang-undang atau tidak, bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.

Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum.

Referensi :

  • Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya, 2000.
  • Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:Liberty, 2009.

Perjanjian, didalam hukum Indonesia, dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Istilah perjanjian disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst dan bahasa inggris contract.

Ada beberapa pengertian perjanjian menurut para ahli hukum maupun menurut doktrin baik itu teori lama maupun teori baru.

Muhammad Syaifuddin menyatakan bahwa pengertian perjanjian yaitu:

“antara perjanjian dan kontrak merupakan sama saja, artinya tidak dapat perbedaan antara kontrak dan perjanjian.”

Menurut Prof. Abdul Kadir Muhammad:

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal.”

Menurut pendapat Ricardo Simanjutak, dia menyatakan bahwa:

“Adapun pengertian kontrak secara tegas dimaksudkan sebagai kesepakatan para pihak yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat, walaupun istilah kontrak merupakan istilah yang telah lama diserap kedalam bahasa Indonesia, karena secara tegas digunakan dalam KUHPerdata, pengertian kontrak tidak dimaksudkan seluas dari pengertian perjanjian sepeti yang dimaksdukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Pengertian kontrak lebih dipersamakan dengan pengertian dari perikatan ataupun hukum perikatan yang digambarkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata”.

Berdasarkan pendapat Ricardo Simanjuntak, dapat dilihat bahwa kontrak juga merupakan perjanjian yang memiliki konsekuensi hukum apabila tidak dilaksanakan, tidak dilaksanakan disini bisa saja karena waprestasi maupun karena keadaan memaksa.

Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum. (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah:

“suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

Teori tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata–mata. Tetapi juga harus dilihat perbuatan–perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yaitu :

  1. Tahap Pracontractual, yaitu adanya penerimaan dan penawaran dalam perjanjian.
  2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak dalam perjanjian.
  3. Tahap postcontratual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

Unsur–unsur perjanjian menurut teori lama, yaitu :

  • Adanya perbuatan hukum
  • Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang
  • Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan
  • Perbuatan hukum itu terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih
  • Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuatu itu harus bergantung satu sama lain
  • Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum
  • Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik
  • Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan perundang- undangan.

Rumusan mengenai perjanjian mengandung lima unsur yang sama, kelima unsur tersebut adalah:

  1. Ada pihak–pihak atau sering disebut dengan subyek perjanjian, yang dimaksud pihak-pihak disini adalah subyek perjanjian dimana sedikitnya dari dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang atau cakap melakukan perbuatan hukum sesuai ketetapan undang–undang yang berlaku

  2. Ada persetujuan atau kesepakatan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan

  3. Ada tujuan yang akan dicapai, hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.

  4. Ada prestasi atau lebih dikenal dengan obyek perjanjianyang akan dilaksanakan, hal ini dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

  5. Ada bentuk tertentu, bentuk lisan ataupun bentuk tulisan, hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis, hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.

Dasar Hukum Perjanjian


Beberapa dasar hukum mengenai hukum perjanjian, yaitu:

1. Pasal 1313 KUHPerdata mengatur tentang Perjanjian yang berbunyi

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.”

2. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang sahnya suatu perjanjian yang berbunyi

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.”

3. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang azas konsensualisme ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya, dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.

4. Pasal 1338 KUHPerdata mengatur tentang azas kebebasan berkontrak, ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik, oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul–klausulyang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik

5. Pasal 1329 KUHPerdata mengatur tentang kecakapan yang berbunyi

“tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.”

6. Pasal 1330 KUHPerdata mengatur tentang orang yang tidak cakap yang berbunyi

“yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah;
1. anak yang belum dewasa;
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu”

7. Pasal 1946 KUHPerdata mengatur tentang daluwarsa atau lewat waktu yang berbunyi

“lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat – syarat yang ditentukan dalam undang – undang.”

8. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan LambangNegara, Serta Lagu Kebangsaan, dalam pasal 31 yang berbunyi

“(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”

Syarat Sahnya Perjanjian


Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat–syarat yang ditetapkan oleh undang–undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat–syarat sahnya perjanjian:

  • Ada persetujuan kehendak antar pihak – pihakyang membuat perjanjian
  • Ada kecakapan pihak – pihakuntuk membuat perjanjian
  • Ada suatu hal tertentu (objek)
  • Ada suatu sebab yang halal (causa)

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat–syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak–pihak yang membuatnya. Selama pihak– pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, kendatipun tidak memenuhi syarat–syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya, sehingga menimbulkan sengketa, maka Hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Asas – asasPerjanjian


Hukum perjanjian mengandung empat asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum atau dalam bahasa asingnya yang sering disebut dengan asas pacta sun servanda dan yang terakhir adalah asas iktikad baik. Keempat asas ini merupakan asas yang biasanya digunakan dalam perjanjian. Keempat asas diatas akan dijelaskan sebagai berikut, yaitu adalah:

  • Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

    Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III BW, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasal – pasaltertentu yang sifatnya memaksa.

  • Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat (1) BW. Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak, dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.

  • Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang – undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

    Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang.”

  • Asas iktikad baik. Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak.

    Iktikad baik nisbi adalah orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan iktikad mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma – normayang objektif.

  • Asas kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata.

    Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi

    “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.

    Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

    Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi

    “perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”.

    Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata, yang menentukan bahwa “dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.

    Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Wanprestasi


Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antar para pihak. Salah satu pihak baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh pihak lainnya. Somasi ini minimal dilakukan atau sudah diberikan tiga kali tehadap pihak yang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban.

Didalam hukum Common Law, jika terjadi wanprestasi, maka salah satu pihak dapat menggugat pihak lain untuk membayar kerugian yang telah dideritanya, dan bukan pemenuhan prestasi. Akan tetapi dalam perkembangannya, adanya kebutuhan akan gugatan pemenuhan prestasi yang lebih umum, akhirnya dimungkinkan berdasarkaan keadilan, disamping ganti rugi juga ada pemenuhan prestasi.

Keadaan Memaksa


Keadaan memaksa (overmacht) dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

  1. Keadaan memaksa absolut,
    Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan dimana salah satu pihak sama sekali tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada pihak lain, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya bencana alam lainnya.

  2. Keadaan memaksa yang relatif
    Keadaan memaksa relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan salah satu pihak masih mungkin memenuhi kewajibannya, namun dalam menjalakan kewajibannya pihak itu mengalami kerugian yang sangat besar yang bisa saja lebih besar dari nilai perjanjian itu sendiri.

Tiga akibat keadaan memaksa, yaitu:

  • Salah satu pihak tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUHPerdata)
  • Beban resiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara;
  • Salah satu pihak tidak berhak atas pemenuhan prestasi

Ketiga akibat keadaan memaksa ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

  • Akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat huruf a dan c
  • Akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat huruf b.

Pengertian perjanjian


Berdasarkan pasal 1313 BW :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas tidaklah lengkap, dan juga terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan tersebut hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri, sehingga buku ke III BW secara langsung tidak berlaku. Terhadapnya juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri tidak ada unsur perjanjian (Hutagalung dkk, 1998).

Suatu perikatan dapat lahir dari adanya sebuah perjanjian, selain adanya perikatan yang lahir dari ketentuan undang-undang. Pengaturan mengenai perjanjian ini diatur di dalam Buku III BW tentang Perikatan, karena perjanjian adalah merupakan bagian dari perikatan. Menurut Prof. Subekti (Abdulhay, 1986), perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perjanjian menurut Prof. Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Berdasarkan peristiwa ini ditimbulkan suatu hubungan diantara dua orang tersebut yang dinamakan “perikatan”. Perjanjian menerbitkan perikatan di antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya (Abdulhay, 1986).

Definisi lain mengenai perjanjian yang dikemukakan oleh para ahli hukum, misalnya seperti yang dikemukakan dalam buku Henry Campbell Black, yaitu suatu kesepakatan yang diperjanjikan / promissory agreement di antara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. Steven H. Gifis menyebut perjanjian dengan nama kontrak. Steven memberikan pengertian bahwa kontrak adalah perjanjian atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut yang oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas (Fuady, 1999). Van Dunne mengemukakan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum (Salim, 2004).

Perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu. Dapat dibuat secara lisan dengan ucapan janji / sepakat saja, maupun tertulis dengan suatu akta tertentu, baik itu akta otentik maupun akta di bawah tangan. Jadi menurut hukum, walaupun perjanjian itu hanya dibuat secara lisan, tetapi perjanjian itu sendiri sudah sah secara hukum dan mengikat bagi para pihaknya untuk menjalankan perjanjian tersebut. Masyarakat pada umumnya tidak mengetahui hal ini. Sebagian besar orang mengira bahwa setiap perjanjian itu harus dalam bentuk tertulis, bila hanya lisan maka perjanjian itu tidak sah. Andaikata suatu perjanjian itu dibuat dalam bentuk tertulis, maka hal ini sebenarnya hanya bersifat sebagai alat pembuktian saja apabila terjadi sengketa di kemudian hari.

Memang untuk lebih memberikan kepastian hukum, suatu perjanjian itu sebaiknya dibuat dalam bentuk tertulis. Perjanjian yang hanya dibuat secara lisan saja maka bila terjadi sengketa di kemudian hari akan sulit proses pembuktiannya, dan pihak yang dirugikan akan kesulitan untuk menuntut haknya. Oleh sebab itu pada praktiknya saat ini kebanyakan orang membuat perjanjian dalam bentuk tertulis, agar lebih memberikan kepastian hukum. Bukan berarti bahwa perjanjian yang dibuat secara lisan itu tidak sah. Hal yang paling penting ialah adanya kesepakatan di antara para pihak, kecakapan bagi para pihak untuk membuat suatu perjanjian, adanya hal / obyek perjanjian tertentu, dan adanya suatu sebab yang halal. Sesuai dengan Pasal 1320 BW yang tidak pernah mensyaratkan adanya kesepakatan itu harus tertulis.

Ada beberapa jenis perjanjian yang oleh undang-undang diharuskan untuk dibuat dalam bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu ini bentuk tertulis tidak hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu sendiri. Contoh misalnya perjanjian untuk mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta notaris. Jadi tidak bisa mendirikan sebuah Perseroan Terbatas hanya dengan perjanjian secara lisan saja dan hanya diketahui oleh para pendirinya saja (Hutagalung dkk, 1998)

Syarat-syarat sahnya perjanjian


Sahnya suatu perjanjian memerlukan 4 syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 BW, yaitu :

  • Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
  • Suatu hal tertentu.
  • Suatu sebab yang halal.

Syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat subyektif, karena kedua syarat tersebut menyangkut mengenai subyek perjanjian. Pelanggaran terhadap salah satu dari syarat subyektif tersebut berakibat dapat dibatalkannya perjanjian tersebut. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif, karena kedua syarat tersebut menyangkut mengenai obyek perjanjian. Pelanggaran terhadap salah satu dari syarat obyektif tersebut berakibat perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum. Pembahasan mengenai syarat-syarat subyektif dan syarat-syarat obyektif dalam perjanjian adalah sebagai berikut :

a. Kesepakatan
Kesepakatan untuk mengadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Tidak ada tekanan-tekanan dari pihak lawannya untuk membuat kesepakatan. Kesepakatan yang dibuat dengan adanya tekanan-tekanan maka mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak itu. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihaknya. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran / offerte. Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi / acceptatie (Hutagalung dkk, 1998).

Suatu perjanjian dapat dibatalkan apabila terdapat paksaan, kekhilafan, atau penipuan, karena berarti di dalam perjanjian itu terdapat cacat kehendak pada kesepakatan di antara para pihak. Undang-undang membedakan 2 jenis kekhilafan, yaitu mengenai orang / error in persona dan mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian / error in substantia (Hutagalung dkk, 1998).

Paksaan itu terjadi apabila seseorang itu tidak bebas menyatakan kehendaknya. Paksaan ini dapat berwujud kekerasan jasmani atau ancaman yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia dengan terpaksa memberikan persetujuannya / membuat suatu perjanjian (Hutagalung dkk, 1998). Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat berhasil sedemikian rupa sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu perjanjian, dan perjanjian itu tidak akan terjadi andaikan tidak ada tipu muslihat tersebut (Hutagalung dkk, 1998).

Perkembangan dari negara Belanda saat ini, di dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek ditambahkan satu alasan lagi yang menyebabkan suatu perjanjian itu dapat dibatalkan selain ketiga alasan tersebut di atas, yaitu adanya penyalahgunaan keadaan / misbruik van omstandigheden. Penyalahgunaan keadaan ini dianggap sebagai unsur baru yang juga dinilai ada cacat kehendak pada kesepakatan yang terjadi, karena pihak yang lebih lemah posisinya secara sadar maupun tidak sadar telah terpengaruh oleh pihak lawan untuk menyepakati sebuah perjanjian yang sebenarnya merugikan bagi dirinya. Jadi berdasarkan Nieuw Burgerlijk Wetboek sekarang ada 4 alasan yang dapat menyebabkan suatu perjanjian itu dapat dibatalkan, yaitu: kekhilafan, paksaan, penipuan, dan penyalahgunaan keadaan (Hutagalung dkk, 1998).

b. Kecakapan
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali jika undang-undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (Hutagalung dkk, 1998).

c. Hal tertentu
Undang-undang menentukan hal-hal / segala sesuatu yang tidak dapat dijadikan obyek perjanjian, yaitu segala sesuatu yang dipergunakan untuk kepentingan umum (Hutagalung dkk, 1998 : 21). Suatu perjanjian harus mempunyai obyek tertentu atau sekurang- kurangnya dapat ditentukan obyeknya, namun obyek tertentu itu tidak harus berupa benda-benda tertentu. Obyek tertentu di dalam perjanjian itu dapat juga berupa perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, atau bisa juga untuk menyerahkan sesuatu.

Jadi yang dimaksud dengan hal tertentu / obyek tertentu di dalam perjanjian bukan berarti hanya obyek yang harus berupa dalam wujud benda-benda tertentu, tetapi bisa juga hal tertentu / obyek tertentu yang dimaksud itu adalah berupa suatu tindakan tertentu yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh pihak-pihak di dalam perjanjian. Hal tertentu / obyek tertentu itu dapat berupa segala sesuatu yang sekarang sudah ada atau yang baru akan ada di kemudian hari.

d. Sebab yang halal
Undang-undang mensyaratkan adanya kausa / sebab yang halal untuk sahnya suatu perjanjian, namun undang-undang itu sendiri tidak memberikan definisi tentang kausa. Pengertian kausa disini bukanlah hubungan sebab akibat, akan tetapi maksud / isi dari perjanjian itu sendiri. Melalui syarat ini maka hakim dalam praktiknya dapat mengawasi perjanjian tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi dari perjanjian tersebut bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum, atau tidak (Hutagalung dkk, 1998). Perjanjian yang tidak memiliki kausa / sebab yang halal, dengan kata lain isi dari perjanjian tersebut bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, maka akibatnya adalah perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1313, dijelaskan bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”[1]

Sedangkan menurut Prof. Subekti, “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”[2]

Dalam membuat suatu perjanjian, harus dipenuhi syarat-syarat agar perjanjian tersebut sah dan dapat dimintakan pertanggungjawabannya di depan hukum, Dalam KUH Perdata pasal 1320 - pasal 1337 dijelaskan syarat-syarat sah perjanjian[3] yaitu:

  • Kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kata sepakat ini harus bebas dari unsur khilaf, paksaan ataupun penipuan (ps. 1321)

  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Orang yang dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang meliputi (pasal 1330):

    • Orang-orang yang belum dewasa
    • Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
    • Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang perbuatan perjanjian-perjanjian tertentu.
  • Suatu hal tertentu. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian (pasal 1332)

  • Suatu sebab yang halal. Yakni sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum.(pasal 1337)

Ketentuan mengenai perempuan sebagai orang yang tak cakap telah dihapuskan dan dianggap tidak berlaku lagi melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia.[4] Selain itu dengan munculnya undang- undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang menyetarakan derajat suami dan isteri dalam perkawinan,[5] sehingga saat ini yang dianggap tak cakap hanyalah orang- orang yang belum dewasa, orang yang di bawah pengampuan, dan orang-orang yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian tertentu.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yang mana jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh para pihaknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, yang mana jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian akan batal demi hukum. Hal ini akan berakibat perjanjian dianggap tidak pernah ada.

Akibat hukum perjanjian yang sah, yakni yang memenuhi syarat-syarat pada pasal 1320 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.[6]

Perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak pembuatnya, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa melanggar perjanjian yang ia buat, maka ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.[7]

Perjanjian yang sah tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Perjanjian tersebut mengikat pihak-pihaknya, dan tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.[8]

Pelaksanaan dengan itikad baik, ada dua macam, yaitu sebagai unsur subjektif, dan sebagai ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan. Dalam hukum benda unsur subjektif berarti “kejujuran“ atau “kebersihan“ si pembuatnya. Namun dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, bukanlah dalam arti unsur subjektif ini, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu. Adapun yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan itu, undang-undangpun tidak memberikan perumusannya, karena itu tidak ada ketepatan batasan pengertian istilah tersebut. Tetapi jika dilihat dari arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan; sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari arti kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji.[9]

Itikad baik dapat diartikan juga bahwa dalam melaksanakan haknya, seorang kreditur harus memperhatikan kepentingan debitur dalam situasi tertentu.

Jika kreditur menuntut haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur, mungkin kreditur dapat dianggap melaksanakan kontrak dengan itikad tidak baik.[10]

Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik perlu diperhatikan juga “kebiasaan.“ Hal ini ditentukan juga dalam pasal 1339 KUH Perdata

“Perjanjian-perjanjian itu tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.“ [11]

Dengan demikian, setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan undang- undang dan adat kebiasaan di suatu tempat, di samping kepatutan. Atas dasar pasal ini kebiasaan juga ditunjuk sebagai sumber hukum disamping undang- undang, sehingga kebiasaan itu turut menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian. Namun demikian, adat istiadat tidak boleh menyampingkan atau menyingkirkan undang-undang, apabila ia menyimpang dari ketentuan undang- undang. Ini berarti bahwa undan-undang tetap berlaku (dimenangkan) meskipun sudah ada adat-istiadat yang mengatur.[12]

Asas Konsensual Dalam Perjanjian

Hubungan hukum yang timbul dari perjanjian bukanlah hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hukum kekeluargaan, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dengan perjanjian hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta karena adanya “tindakan hukum” (rechtshandeling). Tindakan / perbuatan hukum yang dilakukan pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga para pihak sepakat bahwa terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi. pihak lain menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak memperoleh “hak/ recht” dan pihak lainnya memikul “kewajiban/plicht” menyerahkan / menunaikan prestasi.[13]

Dari kesepakatan para pihaklah sebuah perjanjian lahir. Hal ini dalam hukum perjanjian disebut asas konsensual. Asas konsensual menganut paham dasar bahwa suatu perjanjian itu telah lahir sejak tercapainya kata sepakat. Pada detik tercapainya kata sepakat, lahirlah suatu perjanjian. Jadi menurut asas konsensual perjanjian itu sudah ada dan mengikat apabila sudah dicapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian tanpa diperlukan lagi suatu formalitas, kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang. Kesepakatan antar para pihak juga harus lepas dari unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan. Paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang dibolehkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan. Kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan- keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.[14]

Jenis-Jenis Perjanjian[15]

Adapun beberapa jenis perjanjian yang diatur secara hukum antara lain:

1. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak

Merupakan perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar sedangkan perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Misalnya perjanjian hibah, hadiah.

Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam praktek terutama dalam soal pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUH Perdata. Menurut pasal ini salah satu syarat adanya pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu bersifat timbal balik

2. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Alas Hak Yang Membebani

Perjanjian percuma merupakan perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja. Misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu dapat kontra prestasi dari pihak yang lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum

Pembedaan ini mempunyai arti penting dalam soal warisan berdasarkan undang-undang dan mengenai perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal 1341 KUH Perdata)

3. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama

Perjanjian bernama adalah berjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa-menyewa.

Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

4. Perjanjian Kebendaaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artinya sejak terjadinya perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak- pihak

Pembedaan ini ialah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

5. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Sedangkan perrjanjian real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak, juga sekaligus harus ada peryerahan nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai (pasal 1694, 1740, dan 1754 KUH Perdata). Dalam hukum adat perjanjian real justru yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap perbuatan hukum yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan kehendak serentak ketika itu juga terjadi perpindahan hak. Hal ini disebut “kontan/tunai“.

Referensi:
[1] Kitab Undang-undang Hukum perdata [KUH Perdata], Ibid., Pasal 1313.
[2] Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 24 (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), hal. 3.
[3] Kitab Undang-undang Hukum perdata [KUH Perdata], Op. Cit., Pasal 1320.
[4] Subekti. Hukum Perjanjian. Cet.18. (Jakarta: Intermasa, 2001), hal. 19.
[5] Indonesia, Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, LN No. 1, TLN No. 3019, Ps. 31 ayat (1).
[6] Kitab Undang-undang Hukum perdata [KUH Perdata], ibid., Pasal 1338.
[7] Muhammad, Abdulkadir. Hukum perikatan. Cet. 3. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 97.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 99.
[10] Suharnoko, Hukum perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Cet. 1, (Jakarta:Kencana, 2004), hal. 4
[11] Kitab Undang-undang Hukum Perdata [KUH Perdata], Op. Cit., Pasal 1339.
[12] Muhammad, Abdulkadir. Op. Cit., hal. 101.
[13] M. Yahya Harahap, *Segi-Segi Hukum Perjanjian,*Cet.2, (Bandung, Alumni, 1986), hal.6.
[14] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Op.,Cit., hal. 135.
[15] Abdulkadir Muhammad, SH, Op. Cit., hal. 86-88.