Apa yang dimaksud dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)?

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit paru kronis yang ditandai oleh terjadinya obstruksi atau hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK meliputi bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

  • Bronkitis kronik yaitu suatu kelainan saluran pernapasan yang digejalai oleh batuk berdahak yang kronik selama minimal 3 bulan selama setahun, minimal dua tahun berturut-turut dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh penyakit lain.

  • Emfisema adalah keadaan anatomis paru yang mengalami kelainan ditandai dengan pelebaran jalan udara bagian distal dari bronkiolus terminal dan disertai dengan kerusakan pada dinding alveoli (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

PPOK akut dengan eksaserbasi menurut definisi GOLD yaitu suatu keadaan penyakit yang ditandai dengan perubahan pada kondisi pasien, yaitu terjadi dispnea, batuk, dan atau sputum yang melebihi normal dari hari ke hari, yang mana dapat terjadi serangan akut, dan memungkinkan perubahan medikasi pada pasien tergantung pada keadaan yang mendasarinya (Wedzicha, 2009).


Apakah ada yang dapat memberikan tambahan informasi terkait dengan penyakit ini ?

Etiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

Kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama kasus PPOK, yaitu sekitar 90% kasus PPOK disebabkan oleh kebiasaan merokok. Asap rokok hasil dari pembakaran tembakau dapat mengiritasi bronkiolus, dan memicu perubahan permanen pada kelenjar yang memproduksi mukus sehingga dapat menyebabkan hiperekskresi mukus. Merokok juga menyebabkan inflamasi pada dinding organ saluran napas dan dapat merusak dinding alveolar, serta akan memperparah kondisi emfisema pada pasien yang rentan.

Selain disebabkan kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama, faktor genetik dan faktor lingkungan juga berpengaruh dalam memicu timbulnya kondisi PPOK. Salah satu faktor genetik sebagai faktor resiko PPOK yaitu kekurangan α-1 antritipsin, yaitu suatu pelindung sistem antiprotease pada paru (Barnett, 2006). α-1 antitripsin dapat memproteksi sel paru dari dekstruksi oleh elastase yang diproduksi oleh neutrofil karena adanya fagositosis maupun kematian sel (Baoudet & Williams, 2005). Keadaan ini jarang terjadi, yaitu 1:4000 dalam suatu populasi (Barnett, 2006).

Polusi udara terbukti memiliki peran yang dapat memicu PPOK meskipun resikonya lebih kecil bila dibandingkan dengan merokok (Bourke, 2003). Polusi udara mengandung material berat seperti karbon dan sulfur dioksida yang merupakan hasil pembakaran batu bara dan bahan bakar fosil petroleum. Material-material tersebut memiliki peran penting dalam meningkatnya resiko PPOK.

Faktor lingkungan lain yang dapat menyebabkan PPOK di antaranya faktor pekerjaan. Orang-orang yang bekerja di industri logam atau tekstil memiliki resiko besar terjangkit PPOK karena sering terpapar oleh bahan-bahan seperti batu bara, silika, kapas, dan logam berat yang dapat masuk ke dalam saluran respirasi dan dapat menyebabkan kerusakan apabila terpapar dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang lama (Barnett, 2006).

Kondisi lain yang dapat meningkatkan resiko seseorang terjangkit PPOK yaitu gangguan perkembangan paru janin selama dalam masa kandungan dan pada masa kanak-kanak, misalnya berat badan kurang saat lahir, infeksi saluran napas, dan lain-lain (GOLD, 2015).

Patogenesis Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

PPOK merupakan suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan hambatan aliran udara penapasan yang menetap, biasanya bersifat progresif dan berhubungan dengan adanya respon inflamasi kronik pada paru yang disebabkan oleh partikel dan gas berbahaya (GOLD, 2015).

Berbagai studi menunjukkan bahwa proses inflamasi yang terjadi pada kasus PPOK tidak hanya inflamasi lokal pada parenkim paru tetapi juga terjadi inflamasi secara sistemik. Pada inflamasi yang terjadi sistemik, terjadi peningkatan level tumor necrosis factor alpha (TNF-α), interleukin (IL)-6, dan IL-8. Demikian pula terjadi peningkatan marker inflamasi yaitu protein C reaktif (CRP) (Nici, L. & ZuWallack R., 2012).

Pada pasien PPOK yang disebabkan karena merokok, terjadi perubahan interaksi antara oksidan dan antioksidan serta terjadi peningkatan stress oksidatif yang ditandai dengan meningkatnya oksidan. Terjadinya peningkatan marker oksida seperti hidrogen peroksida dan nitrit oksida terlihat pada cairan lapisan epitel. Peningkatan oksidan tersebut dipicu oleh zat berbahaya yang terdapat di dalam rokok yang bereaksi dan menyebabkan kerusakan berbagai protein dan lipid kemudian terjadi kerusakan sel dan jaringan paru. Oksidan juga memperantarai terjadinya respon inflamasi secara langsung dan menghambat aktivitas antiprotease sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan protease-antiprotease (Williams & Bourdet, 2014).

Beberapa respon yang diakibatkan oleh stress oksidatif pada paru yaitu aktivasi mediator inflamasi, penginaktifan antiprotease, perangsangan pengeluaran mukus, dan perangsangan peningkatan eksudat plasma (GOLD, 2006).

Inflamasi pada PPOK dimulai dengan adanya kontak sel epitel paru dan sel makrofag alveolar dengan gas berbahaya seperti dari asap rokok atau lainnya. Kemudian makrofag alveolar akan melepaskan sitokin atau kemokin diikuti dengan pengumpulan neutrofil dan akumulasi makrofag di bronkiolus dan alveolar (Reilly et al., 2005).

Patofisiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

Perubahan patologi pada PPOK terjadi pada saluran napas besar maupun kecil, parenkim paru, dan vaskularisasi paru. Eksudat hasil inflamasi seringkali merupakan penyebab dari meningkatnya jumlah dan ukuran sel goblet juga kelenjar mukus, sehingga terjadi peningkatan sekresi kelenjar mukus, serta terganggunya motilitas silia. Selain itu, terjadi penebalan sel-sel otot polos dan jaringan penghubung (connective tissue) pada saluran napas. Inflamasi terjadi pada saluran napas sentral maupun periferal. Apabila terjadi inflamasi kronik maka akan menghasilkan kerusakan berulang yang akan menyebabkan luka dan terbentuknya fibrosis paru.

Penurunan volume ekspirasi paksa (FEV1) merupakan respon terhadap inflamasi yang terjadi pada saluran napas sebagai hasil dari abnormalitas perpindahan gas ke dalam darah dikarenakan terjadi kerusakan sel parenkim paru. Kerusakan sel-sel parenkim paru mengakibatkan terganggunya proses pertukaran gas di dalam paru-paru, yaitu pada alveoli dan pembuluh kapiler paru-paru. Penyebaran kerusakan tersebut tergantung pada etiologi penyakit, dimana faktor yang paling umum karena asap rokok yang mengakibatkan emfisema sentrilobular yang mempengaruhi terutama pada bagian bronkiolus (Williams & Bourdet, 2014).

Perubahan vaskularisasi yang terjadi pertama kali karena PPOK yaitu terjadi penebalan pembuluh darah paru yang selanjutnya akan terjadi peningkatan tekanan di dalam paru-paru. Peningkatan tekanan tersebut dikarenakan terjadinya vasokonstriksi pada arteri pulmonari terutama saat aktivitas berat sehingga mengakibatkan hipoksia jaringan. Pada PPOK yang parah, hipertensi pulmonari dapat berkembang menjadi gagal jantung (Williams & Bourdet, 2014).

Kerusakan saluran napas kronik pada kasus PPOK berhubungan erat dengan terjadinya hiperinflasi toraks, hal ini dapat diukur dengan alat chest radiograph. Hiperinflasi toraks merupakan respon dari berbagai perubahan fisiologi seperti perubahan otot diafragma yang menjadi lebih mendatar dimana pada keadaan normal, otot diafragma berbentuk menyerupai kubah yang terletak pada bagian dasar paru-paru. Ketika diafragma berkontraksi, otot-ototnya akan memendek dan mendatar, hal ini akan menciptakan tekanan negatif sehingga terjadi pemasukan udara ke dalam paru-paru atau disebut inspirasi.

Hiperinflasi paru terjadi ketika otot-otot diafragma tidak dapat bekerja maksimal yaitu mengalami penurunan efisiensi ventilasi. Hal ini kemudian akan memicu peningkatan kerja paru, yaitu akan membuat otot diafragma berkontraksi cenderung lebih keras dan akhirnya dapat mengalami kelelahan. Kondisi ini terutama terjadi selama periode eksaserbasi (Williams & Bourdet, 2014).

Beberapa perubahan patologi paru tersebut akan berakibat pada ketidaknormalan pertukaran gas di paru, dan terganggunya fungsi protektif paru. Pada akhirnya, gejala yang sering terlihat pada pasien PPOK yaitu dispnea dan batuk kronik dengan produksi sputum aktif. Pada perkembangan penyakit, abnormalitas pada pertukaran gas dapat menyebabkan hipoksemia dan/atau hiperkapnia (Williams & Bourdet, 2014).

Pada pasien dengan FEV1 kurang dari 1 L, keadaan hipoksemia dan hiperkapnia dapat berubah menjadi masalah yang lebih serius. Hipoksemia biasanya terjadi karena pasien melakukan kegiatan berat atau olahraga. Pasien dengan PPOK yang berat memiliki keadaan tekanan oksigen arterial yang rendah ( PaO2 = 45-60 mmHg) dan tekanan karbondioksida arterial tinggi (PaCo2 = 50-60 mmHg). Hipoksemia berkaitan dengan hipoventilasi (V) relatif terhadap perfusi (Q) jaringan paru. Rasio V/Q pasien yang rendah akan mengakibatkan PPOK berkembang menjadi lebih berat selama beberapa tahun sebagai hasil dari penurunan PaO2. Beberapa pasien PPOK dapat kehilangan kemampuan untuk meningkatkan kecepatan dan kedalaman respirasi sebagai respon atas hiperkapnia yang terjadi secara terus-menerus.

Meskipun belum dapat dijelaskan, penurunan kemampuan ventilasi dapat dikarenakan adanya abnormalitas respon reseptor pernapasan pusat maupun periferal. Hal ini yang kemudian akan mengakibatkan hiperkapnia. Perubahan pada PaO2 dan PaCO2 terjadi dalam jangka waktu yang lama selama beberapa tahun dan biasanya dalam peningkatan yang tidak terlalu tinggi, sehingga pada keadaan tersebut pH urin biasanya masih normal karena ginjal melakukan kompensasi dengan menahan bikarbonat. Apabila terjadi stress respiratori akut, seperti pneumonia atau PPOK eksaserbasi, maka dapat terjadi kerusakan sistem pernapasan, peningkatan PaCO2 yang tinggi dan pasien dapat mengalami asidosis (Williams & Bourdet, 2014).

Keadaan PPOK yang disertai hipoksemia kronik serta hipertensi pulmonari dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terapi yang diberikan menjadi tidak efektif, serta adanya hipertensi pulmonari tersebut merupakan penyebab utama munculnya masalah kardiovaskular pada kasus PPOK seperti cor pulmonale, atau gagal jantung (Williams & Bourdet, 2014).

PPOK dilatarbelakangi oleh beberapa keadaan patologi seperti bronkitis kronik, emfisema, dan asma kronik. Bronkitis kronik dikenali dengan adanya batuk kronik dan produksi sputum setidaknya selama 3 bulan dan selama dua tahun berturut-turut. Epitelium bronkial mengalami peradangan dalam jangka waktu yang lama dengan hipertrofi kelenjar mukus dan peningkatan jumlah sel goblet. Terjadi juga kerusakan silia dan pergerakan mukosiliari. Selain itu viskositas mukus dan sekresinya meningkat, yang kemudian akan menyebabkan hambatan untuk mengeluarkannya (gangguan ekspektoransi).

Pembesaran kelenjar mukus dapat diakibatkan karena adanya infeksi, kemudian apabila terjadi infeksi dan inflamasi yang berulang dapat menyebabkan kerusakan struktural yang irreversible dari dinding saluran napas. Kerusakan ini akan menimbulkan luka dan membuat saluran napas perifer mengalami penyempitan dan penghambatan. Kondisi tersebut dapat berkembang menjadi obstruksi saluran napas yang parah, yang kemudian disebut PPOK (Barnett, 2006).

Emfisema merupakan keadaan patologis yang ditandai dengan dilatasi yang abnormal dari ruang udara bagian distal sampai pada ujung bronkiolus. Pada kondisi emfisema, telah terjadi kerusakan dinding saluran napas dan paru-paru telah kehilangan elastisitasnya. Proses kerusakan pada emfisema didominasi oleh kebiasaan merokok. Bahan- bahan kimia toksik yang terkandung di dalam rokok dapat mengiritasi dan menyebabkan inflamasi saluran napas dan alveoli, serta dapat mempengaruhi keseimbangan antara antiprotease dan protease di dalam paru-paru dan mengakibatkan kerusakan yang permanen. Sel inflamasi (neutrofil dan makrofag) akan memproduksi enzim proteolitik elastase yang fungsinya menghancurkan elastin, zat yang sangat diperlukan oleh jaringan paru (Barnett, 2006).

Alveoli sebagai kantong udara mengandung jaringan yang elastis, yang berfungsi untuk menyokong dan menjaga potensi saluran udara intrapulmonary. Kerusakan dinding alveolar akan mengakibatkan penyempitan pada saluran udara kecil dan dapat terjadi kolaps alveoli. Hal ini akan memicu hiperinflasi paru. Hiperinflasi mengakibatkan otot diafragma menjadi datar dan menjadi kurang efektif untuk berkontraksi dan mengakitbatkan penurunan efisiensi alveolar. Keadaan tersebut yang berulang akan menyebabkan obstruksi jalan napas, dan kemudian akan mengganggu proses ekspirasi dan inspirasi (Barnett, 2006).

Asma kronik merupakan suatu keadaan inflamasi kronik pada saluran napas, yang akan memicu semakin luasnya obstruksi saluran napas, namun bersifat ireversibel secara spontan atau dikarenakan adanya pemberian terapi. Pada beberapa pasien, asma kronik akan berkembang menjadi lebih berat, dapat disebabkan karena tidak diberikan terapi untuk mengatasinya, baik karena tidak terdiagnosa maupun karena tidak dimanajemen dengan baik, atau dapat disebabkan karena terjadi perburukan keadaan dari asma tersebut. Inflamasi saluran napas pada asma selama jangka waktu yang lama dapat menimbulkan proses remodelling otot polos saluran napas, kerusakan permukaan epitelium, peningkatan deposisi kolagen dan penebalan membran basal. Apabila tidak ditangani dengan tepat akan meningkatkan resiko PPOK (Barnett, 2006).

Dasar perjalanan penyakit PPOK ditandai dengan terjadinya recurrent exacerbation atau eksaserbasi yang berulang dan berkaitan dengan peningkatan gejala serta penurunan status kesehatan pasien secara keseluruhan. Suatu eksaserbasi didefinisikan sebagai perubahan pada gejala awal pasien (dispnea, batuk, atau produksi sputum) yang berlangsung dari waktu ke waktu. Eksaserbasi memiliki dampak yang besar terhadap perjalanan PPOK dan terjadi lebih sering pada pasien yang memiliki penyakit kronik yang berat. Karena banyak pasien dengan riwayat penyakit kronik didiagnosa mengalami eksaserbasi. Pasien dengan eksaserbasi membutuhkan perawatan di rumah sakit dan memiliki resiko kematian yang lebih tinggi (Williams & Bourdet, 2014).

Data yang ada mengenai patologi eksaserbasi sangat terbatas, namun mediator inflamasi seperti neutrofil dan eosinofil dilaporkan meningkat di dalam sputum pasien. Inflamasi saluran napas kronik merupakan ciri-ciri khas dari PPOK dan dapat tidak berubah selama terjadi eksaserbasi. Sedangkan hiperinflasi yang terjadi pada pasien PPOK dapat berkembang menjadi lebih berat pada keadaan eksaserbasi yang diakibatkan karena peningkatan keadaan dispnea dan rendahnya pertukaran gas pada paru-paru (Williams & Bourdet, 2014).

Fungsi fisiologis paru yang utama seringkali berubah menjadi lebih buruk, yaitu rendahnya pertukaran gas di paru-paru dan terjadi kelelahan otot. Pada pasien dengan riwayat eksaserbasi berat, ditemukan hipoksemia dan hiperkapnia yang menyertai terjadinya asidosis respiratori maupun terjadinya kegagalan napas (Williams & Bourdet, 2014).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

  • Bronkitis kronik
    Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

  • Emfisema
    Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

PERMASALAHAN DI INDONESIA


Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.

Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :

  • Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
  • Pertambahan penduduk
  • Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an
  • Industrialisasi
  • Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan

Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).

Fasiliti pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di Puskesmas sampai di rumah sakit pusat rujukan masih jauh dari fasiliti pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu kompetensi sumber daya manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti spirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan Puskesmas.

Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera disosialisasikan baik untuk kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini, penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi.

FAKTOR RISIKO


  1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.

    Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :

    a. Riwayat merokok

    • Perokok aktif
    • Perokok pasif
    • Bekas perokok

    b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

    • Ringan : 0-200
    • Sedang : 200-600
    • Berat : >600
  2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

  3. Hipereaktiviti bronkus

  4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

  5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

  • Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama

  • Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah

  • Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

image
Gambar Konsep patogenesis PPOK

image
Gambar Perbedaan patogenesis asma dan PPOK

DIAGNOSIS


Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :

A. Gambaran klinis

a. Anamnesis

  • Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
  • Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
  • Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
  • Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
  • Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
  • Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisis

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

• Inspeksi

  • Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
  • Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
  • Penggunaan otot bantu napas
  • Hipertropi otot bantu napas
  • Pelebaran sela iga
  • Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema tungkai
  • Penampilan pink puffer atau blue bloater

• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

• Auskultasi

  • suara napas vesikuler normal, atau melemah
  • terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
  • ekspirasi memanjang
  • bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips breathing

Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

B. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rutin

1. Faal paru

• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP

  • Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( ) dan atau VEP1/KVP ( ).
    Obstruksi : VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80 VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
  • VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
    Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
  • kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

• Uji bronkodilator

  • Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
    Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian
  • dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan
    < 200 ml
  • Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Darah rutin Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain Pada emfisema terlihat gambaran :

  • Hiperinflasi
  • Hiperlusen
  • Ruang retrosternal melebar
  • Diafragma mendatar
  • Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance) Pada bronkitis kronik :
    • Normal
    • Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

1. Faal paru

  • Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
  • DLCO menurun pada emfisema
  • Raw meningkat pada bronkitis kronik
  • Sgaw meningkat
  • Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner

  • Sepeda statis (ergocycle)
  • Jentera (treadmill)
  • Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan

4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid

5. Analisis gas darah Terutama untuk menilai :

  • Gagal napas kronik stabil
  • Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi

  • CT - Scan resolusi tinggi
  • Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
  • Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan

9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

DIAGNOSIS BANDING


  • Asma
  • SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
    Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
  • Pneumotoraks
  • Gagal jantung kronik
  • Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.

Tabel Perbedaan asma, PPOK dan SOPT

KLASIFIKASI


Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP.


PENATALAKSANAAN


A. Penatalaksanaan umum PPOK

Tujuan penatalaksanaan :

  • Mengurangi gejala
  • Mencegah eksaserbasi berulang
  • Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
  • Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

  1. Edukasi
  2. Obat - obatan
  3. Terapi oksigen
  4. Ventilasi mekanik
  5. Nutrisi
  6. Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

  1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
  2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
  3. Mencapai aktiviti optimal
  4. Meningkatkan kualiti hidup

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.

Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

  1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
  2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
  3. Cara pencegahan perburukan penyakit
  4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
  5. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

  1. Berhenti merokok
    Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan

  2. Pengunaan obat - obatan

    • Macam obat dan jenisnya
    • Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
    • Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu saja )
    • Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
  3. Penggunaan oksigen

    • Kapan oksigen harus digunakan
    • Berapa dosisnya
    • Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
  4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

  5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
    Tanda eksaserbasi :

    • Batuk atau sesak bertambah
    • Sputum bertambah
    • Sputum berubah warna
  6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

  7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel

Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :

Ringan

  • Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
  • Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok
  • Segera berobat bila timbul gejala

Sedang

  • Menggunakan obat dengan tepat
  • Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
  • Program latihan fisik dan pernapasan

Berat

  • Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
  • Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
  • Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat - obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).

Macam - macam bronkodilator :

  • Golongan antikolinergik
    Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

  • Golongan agonis beta - 2
    Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

  • Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
    Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

  • Golongan xantin
    Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
    Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

  • Lini I : amoksisilin makrolid
  • Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat sefalosporin kuinolon makrolid baru

Perawatan di Rumah Sakit : dapat dipilih

  • Amoksilin dan klavulanat
  • Sefalosporin generasi II & III injeksi
  • Kuinolon per oral

ditambah dengan yang anti pseudomonas

  • Aminoglikose per injeksi
  • Kuinolon per injeksi
  • Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

f. Antitusif

Diberikan dengan hati - hati

image
image

3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.

Manfaat oksigen

  • Mengurangi sesak
  • Memperbaiki aktiviti
  • Mengurangi hipertensi pulmonal
  • Mengurangi vasokonstriksi
  • Mengurangi hematokrit
  • Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
  • Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi

  • Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
  • Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :

  • Pemberian oksigen jangka panjang
  • Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
  • Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
  • Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.

Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :

  • Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
  • Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
  • Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.

Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

Alat bantu pemberian oksigen

  • Nasal kanul
  • Sungkup venturi
  • Sungkup rebreathing
  • Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.

4. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

  • ventilasi mekanik dengan intubasi
  • ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.

Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).

NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :

  • Volume control
  • Pressure control
  • Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
  • Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada :

  • Analisis gas darah
  • Kualiti dan kuantiti tidur
  • Kualiti hidup
  • Analisis gas darah

Indikasi penggunaan NIPPV

  • Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal paradoksal
  • Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
  • Frekuensi napas > 25 kali per menit
    NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

Ventilasi mekanik dengan intubasi

Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut :

  • Gagal napas yang pertama kali
  • Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki, misalnya pneumonia
  • Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :

  • Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan abdominal paradoksal
  • Frekuensi napas > 35 permenit
  • Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
  • Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
  • Henti napas
  • Samnolen, gangguan kesadaran
  • Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
  • Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif)
  • Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai berikut
:

  • PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
  • Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
  • Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik

  • VAP (ventilator acquired pneumonia)
  • Barotrauma
  • Kesukaran weaning

Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan

  • Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi
  • Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
  • Nutrisi seimbang
  • Dibantu dengan NIPPV

5. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.

Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :

  • Penurunan berat badan
  • Kadar albumin darah
  • Antropometri
  • Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
  • Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.

Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.

Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :

  • Hipofosfatemi
  • Hiperkalemi
  • Hipokalsemi
  • Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

6. Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK

Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :

  • Simptom pernapasan berat
  • Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
  • Kualiti hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.

Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.

  1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
    • Peningkatan VO2 max
    • Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
    • Peningkatan cardiac output dan stroke volume
    • Peningkatan efisiensi distribusi darah
    • Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery

Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan

a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan

Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas.

Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.

b. Endurance exercise

Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat.

Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.

Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler.

Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :

• Di rumah

  • Latihan dinamik
  • Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda

• Rumah sakit

  • Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6- 8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.

  • Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walking- jogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu. Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.

  • Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat diperkecil. walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.

Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :

  • Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
  • Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
  • Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
  • Pakaian longgar dan ringan

2. Psikososial

Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan obat

3. Latihan Pernapasan

Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.

B. Penatalaksanaan PPOK stabil

Kriteria PPOK stabil adalah :

  • Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
  • Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
  • Dahak jernih tidak berwarna
  • Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
  • Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
  • Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :

  • Mempertahankan fungsi paru
  • Meningkatkan kualiti hidup
  • Mencegah eksaserbasi

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi

Penatalaksanaan di rumah

Penatalaksanaan di rumah ditujukan untuk mempertahankan PPOK yang stabil. Beberapa hal yang harus diperhatikan selama di rumah, baik oleh pasien sendiri maupun oleh keluarganya.
Penatalaksanaan di rumah ditujukan juga bagi penderita PPOK berat yang harus menggunakan oksigen atau ventilasi mekanik.

Tujuan penatalaksanaan di rumah :

a. Menjaga PPOK tetap stabil
b. Melaksanakan pengobatan pemeliharaan
c. Mengevaluasi dan mengatasi eksaserbasi dini
d. Mengevaluasi dan mengatasi efek samping pengobatan
e. Menjaga penggunaan ventilasi mekanik
f. Meningkatkan kualiti hidup Penatalaksanaan di rumah meliputi :

1. Penggunakan obat-obatan dengan tepat.

Obat-obatan sesuai klasifikasi. Pemilihan obat dalam bentuk dishaler, nebuhaler atau tubuhaler karena penderita PPOK biasanya berusia lanjut, koordinasi neurologis dan kekuatan otot sudah berkurang. Penggunaan bentuk MDI menjadi kurang efektif. Nebuliser sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus. Penggunaan nebuliser di rumah sebaiknya bila timbul eksaserbasi, penggunaan terus menerus, hanya jika timbul eksaserbasi.

2. Terapi oksigen

Dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktiviti. Pada PPOK derajat berat yang terapi oksigen di rumah pada waktu aktiviti atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur. Dosis oksigen tidak lebih dari 2 liter

3. Penggunaan mesin bantu napas dan pemeliharaannya.

Beberapa penderita PPOK dapat menggunakan mesin bantu napas di rumah.

4. Rehabilitasi

  • Penyesuaian aktiviti
  • Latihan ekspektorasi atau batuk yang efektif (huff cough)
  • “Pursed-lips breathing”
  • Latihan ekstremiti atas dan otot bantu napas

5. Evaluasi / monitor terutama ditujukan pada :

  • Tanda eksaserbasi
  • Efek samping obat
  • Kecukupan dan efek samping penggunaan oksigen

image
Gambar Algoritma penanganan PPOK Stabil Ringan

image
Gambar Algoritma penanganan PPOK Sedang - Berat

C. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.

Gejala eksaserbasi :

  • Sesak bertambah
  • Produksi sputum meningkat
  • Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :

  • Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
  • Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
  • Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline

Penyebab eksaserbasi akut

Primer :

  • Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)

Sekunder :

  • Pnemonia
  • Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
  • Emboli paru
  • Pneumotoraks spontan
  • Penggunaan oksigen yang tidak tepat
  • Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
  • Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
  • Nutrisi buruk
  • Lingkunagn memburuk/polusi udara
  • Aspirasi berulang
  • Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)

Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat)

Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan cara :

  • Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
  • Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
  • Menambahkan mukolitik
  • Menambahkan ekspektoran

Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di :

  1. Poliklinik rawat jalan
  2. Unit gawat darurat
  3. Ruang rawat
  4. Ruang ICU

Penatalaksanaan di poliklinik rawat jalan

Indikasi :

  • Eksaserbasi ringan sampai sedang
  • Gagal napas kronik
  • Tidak ada gagal napas akut pada gagal napas kronik
  • Sebagai evaluasi rutin meliputi :
    • Pemberian obat-obatan yang optimal
    • Evaluasi progresifiti penyakit
    • Edukasi

Penatalaksanaan rawat inap

Indikasi rawat :

  • Esaserbasi sedang dan berat
  • Terdapat komplikasi
  • infeksi saluran napas berat
  • gagal napas akut pada gagal napas kronik
  • gagal jantung kanan

Selama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan :

  1. Menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan cara evaluasi klinis yang tepat dan terapi adekuat
  2. Terapi oksigen dengan cara yang tepat
  3. Obat-obatan maksimal, diberikan dengan drip, intrvena dan nebuliser
  4. Perhatikan keseimbangan asam basa
  5. Nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang
  6. Rehabilitasi awal
  7. Edukasi untuk pasca rawat

Penanganan di gawat darurat

  1. Tentukan masalah yang menonjol, misalnya
    • Infeksi saluran napas
    • Gangguan keseimbangan asam basa
    • Gawat napas
  2. Triase untuk ke ruang rawat atau ICU

Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang dan berat (belum memerlukan ventilasi mekanik)

  1. Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebuliser
  2. Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask
  3. Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas
  4. Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi mekanik

Indikasi perawatan ICU

  1. Sesak berat setelah penangan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat
  2. Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirsi
  3. Setelah pemberian osigen tetap terjadi hipoksemia atau perburukan
  4. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)

Tujuan perawatan ICU

  1. Pengawasan dan terapi intemsif
  2. Hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik yang tepat
  3. Mencegah kematian

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi :

1. Diagnosis beratnya eksaerbasi

  • Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
  • Kesadaran
  • Tanda vital
  • Analisis gas darah
  • Pneomonia

2. Terapi oksigen adekuat

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa. dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia. gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury masks) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.

3. Pemberian obat-obatan yang maksimal

Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut

a. Antibiotik

  • Peningkatan jumlah sputum
  • Sputum berubah menjadi purulen
  • Peningkatan sesak

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal.

b. Bronkodilator

Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama- sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator.

c. Kortikosteroid

Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.

4. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas

5. Ventilasi mekanik

Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan mengurangi mortaliti dan morbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi

6. Kondisi lain yang berkiatan

  • Monitor balans cairan elektrolit
  • Pengeluaran sputum
  • Gagal jantung atau aritmia

7. Evaluasi ketat progesiviti penyakit

Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat mencegah dan gagal napas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik.

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :

  • Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
  • Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
  • Kesadaran menurun
  • Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg
  • Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
  • Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
  • Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi pleura dan emboli masif
  • Penggunaan NIPPV yang gagal

image
Gambar Algoritme penatalaksanaan PPOK eksaerbasi akut di rumah dan pelayanan kesehatan primer / Puskesmas

D. Terapi Pembedahan

Bertujuan untuk :

  • Memperbaiki fungsi paru
  • Memperbaiki mekanik paru
  • Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
  • Memperbaiki kualiti hidup

Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :

  1. Bulektomi
  2. Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey (LVRS)
  3. Transplantasi paru

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :

  1. Gagal napas
    • Gagal napas kronik
    • Gagal napas akut pada gagal napas kronik
  2. Infeksi berulang
  3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik :

Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :

  • Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
  • Bronkodilator adekuat
  • Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
  • Antioksidan
  • Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik

Ditandai oleh :

  • Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
  • Sputum bertambah dan purulen
  • Demam
  • Kesadaran menurun

Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.

Kor pulmonal :

Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan

X. KONDISI KHUSUS

A Persiapan Bedah Pada PPOK

Pada penderita PPOK yang akan dilakukan tindakan bedah harus selalu dilakukan evaluasi preoperatif baik secara klinik, faal paru maupun analisis gas darah. PPOK merupakan kondisis premorbid yang dapat meningkatkan morbiditi dan mortaliti pascaoperatif.

Beberapa kriteria yang dapat diperkirakan :

  1. PPOK derajat ringan risiko respirasi ringan
  2. PPOK derajat sedang toleransi operasi risiko respirasi sedang sampai berat
  3. PPOK derajat berat harus sangat berhati-hati dalam persiapan operasinya, manfaat dan risiko pascabedah harus benar-benar dipertimbangkan.

Hal yang perlu diperhatikan :

  1. Lokasi operasi
    • Intratorasik
    • Ekstratorasik
    • Abomen atau arus bawah
    • Organ lain misalnya, optalmologi, ortophedi, urologi, ginekologi, kolorektal atau kardiovaskular
  2. Teknik anastesi
  3. Teknik operasi
  4. Pencegahan rasa nyeri, terutama rangsangan pada diafragma dapat mengganggu otot respirasi
  5. Persiapan fisioterapi sebelum operasi (latihan napas dan ekspektorasi)

Persiapan bidang pulmonologi

  1. Berhenti merokok minimal 8 minggu sebelum operasi
  2. Pengobatan agresif untuk gangguan paru, misalnya
    • Bronkodilator maksimal (sebelum, selama dan sesudah operasi)
    • Steroid
    • Antibiotik bila perlu
    • Edukasi untuk postoperatif
    • Monitor ketat selama operasi

B Perjalanan Udara (Air Travel)

Pasien PPOK stabil yang telah terkompensasi dengan oksigen pada permukaan laut, bila melakukan perjalanan udara dapat mengalami hipoksemia. tetapi dengan penatalaksanaan yang baik perjalanan udara dapat dilakukan, bahkan oleh penderita PPOK dengan gagal napas kronik stabil.

Persiapan pada pasien PPOK berat sebelum perjalanan udara :

  1. Periksa analisis gas darah
  2. Bronkodilator maksimal
  3. Atasi ko-morbid yang lain, misal : gagal jantung kanan atau korpulmonole

Selama perjalanan oksigen harus diberikan bila timbul beberapa gejala di bawah ini :

  1. Rasa berat di dada
  2. Sesak napas
  3. Sianosis
  4. Gagal jantung kanan

Kadar oksigen darah selama perjalanan udara harus lebih dari 70% mmHg. Pasien PPOK yang mengunakan oksigen selama perjalanan. Dosis penambahan oksigen dari dosis yang biasa digunkan adalah 1-2 liter (dengan nasal kanul) atau 31% dengan ventury mask.

Bila kadar oksigen dalam darah > 70 mmHg tidak diperlukan penambahan oksigen.
Harus diingat untuk mengatasi kondisi lain yang menyebabkan terjadinya hipoksemia, misalnya anemia atau gangguan sistem sirkulasi.

C Vaksinasi

Dianjurkan memberikan vaksinasi untuk influenza dan pneumococcus setiap tahun karena dapat mengurangi eksaerbasi dan meningkatkan kualiti hidup.

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003

Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luar dari gangguan, yang mencakup bronchitis kronis,bronkiektasis, empisema dan asma yang merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru (Bruner & Suddarth, 2002).

Penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (Smeltzer, 2001).

Penyakit paru obstruksi kronis adalah obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Snider,2003).

Penyakit paru obstruksi kronis adalah suatu sindroma yang ditandai dengan abnormalitas uji aliran udara ekspirasi yang tidak menunjukkan perubahan bermakna selama periode beberapa bulan observasi (Brashers, 2007).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan sesuatu istilah yang sring digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD ( Chronic Obstruktiv Pulmonary Disesae ) adalah asma bronchial, bronchitis kronik dan emphysema paru (Somantri, 2009).

Penyakit paru obstruksi kronis adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reverparsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).

Penyakit paru obstruksi kronis adalah suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Irman, 2008).

Jadi penyakit paru obstruksi kronik adalah suatu penyakit yang menimbulkan gangguan saluran nafas yang meliputi bronchitis kronis, emfisema paru, bronkiektasis dan asma.

Tanda dan Gejala

Menurut (Darmojo, Martono, 1999) tanda dan gejala PPOK adalah

  1. Kelemahan badan
  2. Batuk
  3. Sesak nafas
  4. Sesak nafas saat aktivitas dan nafas berbunyi
  5. Mengi atau wheezing
  6. Ekspirasi yang memanjang
  7. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
  8. Penggunaan otot bantu pernafasan
  9. Suara nafas melemah
  10. Kadang ditemukan pernafasan paradoksal
  11. Edema kaki, asites dan jari tabuh

Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi :

  1. Batuk bertambah berat
  2. Produksi sputum bertambah
  3. Sputum bertambah warna
  4. Sesak nafas bertambah berat
  5. Bertambahnya keterbatasan aktivitas
  6. Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
  7. Penurunan kesadaran

Klasifikasi

Menurut (Smeltzer & Bare dalam Mansjoer, 2001) PPOK mencakup beberapa penyakit, diantaranya :

1. Bronkitis Kronik

Merokok dan pemajanan terhadap polusi adalah penyebab utama. Klien brokitis kronik lebuh rentan terhadap kekambuhan infeksi saluran pernapasan bawah. Infeksi virus, bakteri, dan mikoplasma dapat menyebabkan bronkitis akut. Tanda dan gejalanya adalah batuk produkstif, kronis pada bulan- bulan musim dingin adalah tanda dini bronkitis kronik. Batuk dapat diperburuk oleh cuaca yang dingin, lembab dan iritan paru. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan sering mengalami infeksi pernafasan.

2. Emfisema Paru

Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Individu yang secara genetik sensitif terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, alergen). Dispnea adalah gejala utama emfisema paru dan mempunyai awitan yang membahayakan. Pasien biasanya mempunyai riwayat batuk kronis yang lama, mengi serta peningkatan nafas pendek dan cepat (takipnea). Pada inspeksi, pasien biasanya tampak mempunyai barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan massa otot dan pernafasan dengan bibir dirapatkan. Ketika dada diperiksa ditemukan hiperesonans dan penurunan fremitus ditemukan pada seluruh bidang paru.

3. Asma

Asma alergik disebabkan oleh alegen yang dikenal misalnya serbuk sari, binatang, makanan, dan jamur. Kebanyakan alergen terdapat di udara. Klien dengan asma memiliki riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis masa lalu atau rhinitis alergik. Asma non alergik atau asma idiopatik tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor- faktornya seperti infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi
dan polutan lingkungan serta agen farmakologi seperti aspirin dan sebagainya. Asma gabungan adalah bentuk yang paling umum. Asma ini memiliki karakteristik dari bentuk alergik maupun nonalergik.

Gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Serangan asma sering terjadi pada malam hari. Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada disertai dengan pernafasan lambat, mengi, laborius. Tanda selanjutnya termasuk sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan gejala-gejala retensi karbondioksida, termasuk berkeringat, takikardia dan pelebaran tekanan nadi. Serangan asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan.

4. Bronkiektasis

Kerusakan bronkus disebabkan oleh infeksi, infeksi tersering adalah H. Influenza dan P. Aeruginosa. Infeksi bakteri lain seperti Klebsiela dan Staphylococcus aureus disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik pada pengobatan pneumonia. Bronkiektasis juga ditemukan dengan infeksi HIV dan virus lain, seperti adenovirus atau virus influenza. Faktor penyebab non infeksi adalah paparan substansi toksik, (amonia, aspirasi asma dan cairan lambung, dsb). Faktor imun yang terlibat belum diketahui dengan pasti karena bronkiektasis dapat ditemukan pula pada klien kolitis ulseratif, reumatoid artritis.

Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak. Spesimen sputum akan secara khas membentuk lapisan menjadi tiga lapisan dari atas : lapisan atas berbusa, lapisan tengah yang bening dan lapisan bawah berpartikel tebal. Pasien juga mengalami hemoptisis, jari tabuh juga amat umum karena insufisiensi pernafasan. Pasien hampir pasti mengalami infeksi paru berulang.