Marah (ghadlab) berarti menyimpan ‘api’ dalam jiwanya. Orang yang suka marah-marah sama saja dengan berakrab ria dengan iblis/syetan yang memang terbuat dari api. Jika dituruti sifat ini membuat seseorang tidak dapat mengendalikan diri, hal ini hanya akan membuahkan penyesalan. Nabi mengajarkan apabila sedang marah kita diperintahkan mengubah posisi, atau mengambil air wudlu. ‘Memerangi’ sifat pemarah adalah dengan sabar dan pemaaf.
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Ali Imran : 134).
Jika seseorang mampu mengendalikan amarahnya lalu mengarahkannya menjadi aset, ia dapat menjadi sebuah kekuatan yang dapat memproteksi hak-hak pribadinya, secara proporsional.
Menurut Musawi, marah adalah suatu keadaan psikologis yang bisa menyimpangkan watak seseorang dari jalan yang benar. Menurutnya, ketika marah tersebut mempengaruhi manusia bisa mewujud dalam bentuk kesombongan dan dapat membutakan pikiran serta mampu mengubah manusia menjadi “hewan” yang tidak menyadari realitas.
Ini memungkinkan manusia untuk melakukan kejahatan yang membawa akibat-akibat yang langsung dalam kehidupannya. Apalagi dia menyadari kesalahannya biasanya setelah ia menghadapi akibat-akibat yang tak diharapkan dan terjerumus kedalam kesengsaraan.
Perangai buruk ini hanya menimbulkan kesedihan karena puncaknya tidak akan menurun sebelum tersalurkan dan mengubah perbuatan-perbuatan hina kobaran kemarahan sehingga menyebabkan terlepasnya kendali penilaian akal dan hilangnya kesadaran. Ketika hasil penilaian akal muncul pada seseorang yang sedang marah, kesedihan dan penyesalan hadir di hatinya.
Egois
Egois (ananiyah) adalah orang yang hanya memikirkan demi kepentingan diri sendiri. Sifat itu mengarah kepada kerakusan, tega merampas hak orang lain karena segala sesuatu ingin dikuasainya. Egoisme merusak tatanan di masyarakat karena berbagai pelanggaran bisa bermula dari sifat ini, seperti korupsi, penganiayaan, penindasan, tak punya
kepedulian, dan sebagainya.
Dan sifat ini bertentangan dengan kodrat manusia selaku mahkluk sosial yang bahkan, Islam mengajarkan agar orang lebih mengutamakan orang lain.
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran 3:92)
Maka egoisme harus diobati dengan menumbuhkan sikap kebersamaan, mau berbagi dengan orang lain, dan punya kepedulian terhadap sesama.
Dengki (hasud), yakni tidak senang jika mengetahui orang lain senang dan justru senang jika mengetahui orang lain susah. Orang yang dengki menginginkan agar kenikmatan orang lain hilang, jika bisa dapat berpindah kepada dirinya.
Biasanya sifat ini disertai dengan upaya mencaricari kesalahan orang yang dia dengki, menjelek-jelekkannya, memfitnah, dendam, bahkan ingin mencelakakannya karena kedengkian dapat membuat hati seseorang buta (ingat kisah Qabil dan Habil).Allah membenci sifat dengki ini, maka Dia memerintahkan kita untuk mohon perlindungan padaNya darinya .
dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki (QS. Al-Falaq 113:5)
Sifat dengki dapat diobati dengan membiasakan rasa syukur, apapun dan berapapun yang telah diperoleh. Syukur kepada Allah dan kepada orang lain. Sifat dengki bisa diarahkan kepada ighthibat, yakni suatu kekaguman terhadap prestasi atau kesuksesan orang lain, ingin menirunya tapi tanpa mengganggu orang lain.
Sombong (takabur), yakni merasa diri lebih baik dari pada orang lain, misalnya merasa lebih terhormat, lebih pantas, lebih pintar, lebih kaya , lebih tampan/cantik, dsb.Sehingga sifat sombong cenderung melecehkan dan memandang rendah terhadap orang lain tanpa ada rasa bersalah, dan tak jarang tega mendhalimi/aniaya orang lain. Dahulu kala iblis menghina Nabi Adam. Karena kesombongannya dan Allah mengutuknya.
Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raf 7:12)
Mengobati kesombongan adalah dengan menumbuhkan kesadaran bahwa hanya Allahlah yang berhak sombong (al-Mutakabbir), Tumbuhkan sikap rendah hati (tawadlu’) ini dan sikap kerendahan hati justru menampakkan kemuliaan seseorang. Sekalipun demikian sifat sombong bisa diambil spiritnya, yakni punya rasa percaya diri dan menjadi semangat untuk menjadi yang terbaik.
Menurut Musawi, bahaya yang paling fatal bagi kebahagiaan dan musuh terbesar bagi umat manusia adalah kesombongan dan percaya diri yang berlebihan. Kejengkelan seseorang atas sesuatu perangai buruk tidak sebesar kebencian mereka atas kesombongan. Bukan saja kesombongan menyebabkan putusnya hubungan cinta dan keserasian tetapi juga mengubahnya menjadi rasa permusuhan.
Dalam al-Qur’an ada legitimasi menarik dari sifat sombong ini pada kisah nasehat Luqman Hakim kepada anaknya dalam ayat ;
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri”, (QS. 31 : 18),
Imam Ali, sebagaimana dikutip oleh Musawi, berkata :
Sekiranya Allah mengijinkan kesombongan bagi seorang hambaNya, Ia pasti telah megijinkannya bagi para nabi dan wali-Nya yang terdekat, tetapi Allah membuat mereka membenci kesombongan dan menyukai kerendahan hati.
Kikir (bakhil) adalah seseorang yang tak ingin apa yang dimiliki terlepas darinya, disengaja ataupun tidak. Biasanya sifat ini berkait dengan sifat egoistis, dan Allah melarangnya dalam QS. serta .
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran :92)
Sifat ini harus diobati dengan menumbuhkan kesadaran bahwa roda kehidupan berputar, jika sekarang sedang ‘di atas’ mungkin suatu saat ‘di bawah,’ butuh bantuan/pengorbanan orang lain. Apalagi pada hakikatnya segala sesuatu yang kita punya adalah titipan Allah, kita hanyalah ‘si tukang parkir’ yang harus menjaganya.
Boros (israf) adalah suka berfoya-foya atau menghamburhamburkan apa yang dimilikinya, termasuk harta, waktu dan masa mudanya untuk hal-hal yang tidak berguna. Sifat ini tidak disukai Allah dan dilarang oleh-Nya, bahkan dinyatakan akan menjadi orang yang merugi.
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS. al-An’am / 6:141)
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS. al-Isra’ :29)
Sifat ini perlu disembuhkan dengan kesadaran bahwa manusia walaupun katanya punya waktu/umur tapi kenyatan tak dapat menguasainya, punya harta tapi tak dapat mengendalikan sepenuhnya.
Manusia tak dapat menduga apalagi memastikan nasib diri sendiri, sehingga jika tidak antisipatif terhadap berbagai kemungkinan yang tidak diharapkan, penyesalanlah yang akan dialami. Namun sifat boros dapat diarahkan kepada sifat kedermawanan, selama masih tetap dalam perhitungan yang proporsional.
Mudah berkeinginan
Mudah berkeinginan (al-hirshu), sifat ini mendorong seseorang untuk rakus, tidak mau mensyukuri apa yang sudah ada, hatinya tak pernah puas sehingga selalu merasa kurang. Jika menuruti sifat ini hanya akan menjadi budak hawa nafsu, mudah korup, menyeleweng, berselingkuh, dan lain-lain.
Padahal ajaran Nabi, orang harus pandai bersyukur sekalipun baru sedikit yang dimiliki; orang harus bersabar dan tetap baik sekali pun pasangan hidupnya tidak seperti yang diinginkan, mungkin Allah banyak meletakkan kebaikan padanya.
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. al-Nisa / 4;19)
Oleh karena itu hawa nafsu harus dikendalikan agar tidak menjerumuskan kita pada kehinaan. Manusia berkeinginan memang tidak selamanya buruk, asal dapat membimbingnya ke arah yanng positif, dapat menjadi penggugah gairah hidup hingga semakin maju.
Berburuk sangka
Berburuk sangka (su’udhan), sehingga apapun yang dilakukan orang lain harus diintai dan perlu dicurigai, sebab apapun yang ada dan terjadi dihadapannya selalu salah, yang benar dan baik hanyalah dirinya.
Sifat ini dilarang oleh Allah dalam QS. Al-Hujurat/49:12. Berburuk sangka akan berlanjut pada sikap penuh kecurigaan, tidak komunikatif/kooperatif, dan suka mencela (sakhar). Ini dilarang.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. alHujurat / 49:11)
Sifat ini perlu disembuhkan dengan menyadari bahwa mempercayai orang lain penting dan akan membawa kebaikan, bagi diri orang yang mempercayai hati menjadi tenang, sedang bagi yang dipercaya akan merasa diuwongke. Sisi baik dari buruk sangka (yang disucikan) adalah menjadi sikap waspada dan hati-hati sehingga tidak sembrono.
Suka bohong
Suka bohong (kadzib) adalah sifat tidak jujur, suka membolak-balikkan fakta dan menyembunyikan kebenaran. Sifat ini dilarang dan dilaknat oleh Allah.
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. Ali Imran / 3:61)
Lawan bohong adalah jujur. Dalam hal ini ada kisah menarik, seorang yang berdosa besar (perampok) datang kepada Nabi menyampaikan niatnya ingin tobat, Nabi hanya mensyaratkannya: “jangan berbohong”! Setiap kali dia tergoda akan melakukan dosa lagi, selalu ingat pesan Nabi tadi, kemudian tak jadi berbuat.
Jujur membimbing seseorang pada kebaikan. Sisi baiknya kebohongan yang disucikan adalah bisa menjadi tameng untuk taqiyyah pada saat darurat jika diperlukan, misalnya demi keselamatan jiwa (diri sendiri atau orang lain) orang terpaksa berbohong.