Apa yang dimaksud dengan Pencemaran nama baik?

Pencemaran nama baik adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.

Apa yang dimaksud dengan Pencemaran nama baik ?

Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang telah melakukan penghinaan.

Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang perilaku atau kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya (Mudzakir, 2004).

Bentuk Pencemaran Nama Baik


Pencemaran nama baik terlihat dari 2 macam, yaitu pencemaran nama baik secara lisan, dan pencemaran nama baik secara tertulis. Menurut Oemar Seno Adji (1993) pencemaran nama baik dikenal dengan istilah penghinaan, dimana dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Penghinaan materiil

Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum.

2. Penghinaan formil

Dalam hal ini tidak ditemukan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.

KUHP mengartikan penghinaan didalam pasal 310 ayat (1) dan (2), yang isinya:

Pasal 310

(1) Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum dengan menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-.

(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisandengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-.

Hukum pidana mengatur penghinaan dalam KUHP pada BAB XVI, pasal 310 sampai dengan Pasal 321, penghinaan dalam bab ini meliputi 6 macam penghinaan yaitu:

  1. Pasal 310 ayat (1) mengenai menista

  2. Pasal 310 ayat (2) mengenai menista dengan surat

  3. Pasal 311 mengenai memfitnah;

    “jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal diperbolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

  4. Pasal 315 mengenai penghinaan ringan;

    “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri degan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yag dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam …….”

  5. Pasal 317 mengenai mengadu secara memfitnah;

    “barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, bak secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena pengaduan fitnah dengan……”

  6. Pasal 318 mengenai tuduhan secara memfitnah.

    “barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan pidana diancam karena menimbulkan persangkaan palsu dengan……”

Sedangkan yang di luar KUHP, antara lain pada:

Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Semua penghinaan ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang atau korban, yang dikenal dengan delik aduan, kecuali bila penghinaan ini dilakukan terhadap seseorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan tugasnya secara sah. Dan pada KUHP merupakan delik formil dan delik materiil, sedangkan pada UU ITE merupakan delik materiil saja.

Objek dari penghinaan-penghinaan diatas haruslah manusia perorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu organisasi, segolongan penduduk, dan sebagainya (R. Soesilo, 1990).

Supaya dapat dihukum dengan pasal menista atau pencemaran nama baik, maka penghinaan harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan diketahui oleh banyak orang baik secara lisan maupun tertulis, atau kejahatan menista ini tidak perlu dilakukan di muka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa terdakwa bermaksud menyiarkan tuduhan itu.

Menurut Pasal 310 ayat (3) KUHP, perbuatan menista atau menista dengan tulisan tidak dihukum apabila dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa dilakukan untuk membela diri. Patut atau tidaknya alasan pembelaan diri atau kepentingan umum terletak pada pertimbangan hakim, sehingga apabila oleh hakim dinyatakan bahwa penghinaan tersebut benar-benar untuk membela kepentingan umum atau membela diri maka pelaku tidak dihukum.

Tetapi bila oleh hakim penghinaan tersebut bukan untuk kepentingan umum atau membela diri, pelaku dikenakan hukuman Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP, dan apabila yang dituduhkan oleh si pelaku tidak benar adanya, maka si pelaku dihukum dengan Pasal 311 KUHP, yaitu memfitnah (R. Soesilo, 1990).

Macam-Macam Delik Pencemaran Nama Baik


Kejahatan pencemaran nama baik secara khusus diatur dalam BAB XVI dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang terdiri dari 12 pasal, yaitu Pasal 310 sampai dengan Pasal 321. Kejahatan menghina adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, yang akibatnya pihak yang diserang tersebut merasa malu. Kehormatan yang diserang adalah mengenai kehormatan dari nama baiknya, bukan dalam lingkup fisik.

Perbuatan yang menyinggung kehormatan seseorang secara fisik tidak masuk dalam kategori penghinaan, melainkan kejahatan kesusilaan atau kesopaan seperti diatur dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 KUHP.

Pencemaran nama baik dalam hukum pidana dikenal dengan istilah penghinaan. Pengertian penghinaan dapat disimpulkan secara sistematik dari ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang dihubungkan dengan Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 315 KUHP. Dari ketiga ketentuan tersebut, dapat ditemukan pengertian dasar delik penghinaan dan unsur-unsur tambahan yang member kualifikasi khusus menjadi bentuk delik penghinaan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga mengatur tentang macam-macam delik, yaitu:

1. Delik Penghinaan (Pencemaran Nama Baik)

Masalah penghinaan secara umum terdapat pada BAB XVI buku kedua KUHP mengenai pengertian penghinaan yang dapat ditemui pada rumusan Pasal 310 KUHP, yang pada intinya menyatakan bahwa penghinaan merupakan perbuatan menyerang nama baik seseorang dengan menuduh suatu hal denga tujuan supaya diketahui secara luas.

Penghinaan dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan yang ditujukan kepada seseorang saja, ataupun kepada beberapa orang atau golongan, dan juga kepada suatu lembaga instansi tertentu. Penghinaan dimaksud adalah penghinaan yang dilakukan secara tulisan. Sasaran yang dituju dari suatu penghinaan bermacam-macam, penghinaan dapat dilakukan terhadap individu, golongan, atau institusi tertentu pengaturan dalam KUHP mengenai delik penghinaan ini kemudian dapat dibagi menjadi beberapa kategori penghinaan berdasarkan objeknya. Kategori dari delik-delik penghinaan tersebut yaitu:

  • Penghinaan yang ditujukan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 137 KUHP;
  • Penghinaan yang ditujukan kepada Raja, kepala Negara sahabat atau wakil Negara asing di Indonesia, Pasal 144 KUHP;
  • Penghinaan terhadap penguasa umum, Pasal 207 dan 208 KUHP;
  • Penghinaan yang ditujkan terhadap orang perorangan, Pasal 310 dan 315 KUHP;
  • Pencemaran terhadap orang mati, Pasal 321 KUHP. (R.H. Sianipar, 2002)

2. Delik Penyebaran Kabar Bohong

Pengertian delik penyebaran kabar bohong adalah memberi atau menyajikan berita atau laporan tanpa kejelasan fakta yang benar, yang hanya berdasarkan desas-desus, rumor atau informasi sepihak yang berakibat merugikan orang laindan bersifat sensasional. Unsur umum delik penghinaan adalah sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Perbuatan penghinaan selalu dilakukan dengan sengaja dan kesengajaan dalam berbuat tersebut ditujukan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain (R. Soesilo, 1990).

Pencemaran nama baik sebagai salah satu bentuk dari penghinaan merupakan delik aduan yaitu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang menderita (R.H. Sianipar, 2002). KUHP Pasal 74 juga mengatur tentang tenggang waktu untuk mengajukan pengaduan.

Hak untuk mengajukan pengaduan ditentukan:

  1. Enam (6) bulan, sejak orang berhak mengetahui, jika berdiam di Indonesia.

  2. Sembilan (9) bulan, sejak orang yang berhak mengetahui, jika berdiam di luar Indonesia.

Konsepsi Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik


Sebagian besar muatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (WvS). KUHP Belanda yang diberlakukan sejak 1 September 1886, merupakan kitab undang-undang yang cenderung meniru pandangan Code Penal Perancis yang sangat banyak dipengaruhi sistem hukum romawi.

Menurut KUHP setidaknya dikenal tiga jenis tindak pidana terkait dengan penghinaan, yaitu pencemaran sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP, fitnah diatur dalam Pasal 311 KUHP, dan penghinaan ringan dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP.

Setidaknya ada tiga unsur agar tindak pidana penghinaan terpenuhi yaitu menyerang nama baik, adanya unsur kesengajaan, dan di depan umum. Sedangkan menurut doktrin dan yurisprudensi, penghinaan pada umumnya menggunakan ukuran pandangan masyarakat atau ukuran objektif. Penghinaan harus merupakan penghinaan dalam anggapan masyarakat dimana penghinaan itu dilakukan (R.H. Sianaipar, 2002)

Penghinaan menurut Pasal 310 ayat (1) dan (2) dapat dikecualikan (tidak dapat dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu dilakukan untuk membela “kepentingan umum” atau terpaksa untuk “membela diri”. Patut atau tidaknya pembelaan kepentingan umum dan pembelaan diri yang diajukan oleh tersangka terletak pada pertimbangan hakim.

Menurut Muladi, yang bisa melaporkan pencemaran nama baikseperti yang tercantum dalam Pasal 310 dan 311 KUHP adalah pihak yang diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya menjadi tercela di depan umum. Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan pecemaran nama baik apabila menyampaikan suatu onformasi ke publik.

  • Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentigan umum.
  • Kedua, untuk membela diri.
  • Ketiga, untuk mengungkapkan kebenaran.

Sehingga orang yang menyampaikan informasi, secara lisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah (M. Halim, 2009).

Belum ada definisi hukum yang tepat dalam sistem hukum di Indonesia tentang apa yang disebut pencemaran nama baik. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang selama ini diberlakukan merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (WvS). Pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur pencemaran nama baik atau penghinaan sebagai aturan pembatasan dalam kebebasan berekspresi dan kemerdeaan berpendapat, khususnya bagi kalangan pers yang seringkali tak jelas dan lebih dimotivasi keinginan dari pembuat undang-undang untuk membatasi akses masyarakat terhadap informasi, terutama terhadap beragam informasi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan masyarakat (M. Halim, 2009).

Pengertian Pencemaran Nama Baik

Kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula sebagai Negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum ( rechstaat ), dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat), Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers merupakan hak-hak dasar yang harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dan sekaligus sebagai dasar dari tegaknya pilar demokrasi (M. Halim, 2009).

Tanpa adanya kebebasan berbicara, masyarakat tidak dapat menyampaikan gagasan-gagasan dan tidak bisa mengkritisi pemerintah. Dengan demikian tidak akan ada demokrasi. Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum. Istilah yang dipakai mengenai bentuk perbuatan melawan hukum ini ada yang mengatakan pencemaran nama baik, namun ada pula yang mengatakan sebagai penghinaan. Sebenarnya yang menjadi ukuran suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik orang lain masih belum jelas karena banyak faktor yang harus dikaji. Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaan ini yang hendak dilindungi adalah kewajiban setiap

orang untuk menghormati orang lain dari sudut kehormatannya dan nama baiknya dimata orang lain meskipun orang tersebut telah melakukan kejahatan yang berat.

Adanya hubungan antara kehormatan dan nama baik dalam hal pencemaran nama baik tersebut, maka dapat dilihat dahulu pengertiannya masing-masing. Kehormatan adalah perasaan terhormat seseorang dimata masyarakat, dimana setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang terhormat. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat pada tempat perbuatan tersebut dilakukan (Mudzakir, 2004).

Rasa kehormatan ini harus diobjektifkan sedemikian rupa dan harus ditinjau dengan suatu perbuatan tertentu, seseorang pada umumnya akan merasa tersinggung atau tidak. Dapat dikatakan pula bahwa seorang anak yang masih sangat muda belum dapat merasakan tersinggung ini, dan bahwa seorang yang sangat gila tidak dapat merasa tersinggung itu. Maka, tidak ada tindak pidana penghinaan terhadap kedua jenis orang tadi (Wirjono Prodjodikoro, 2003).

Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang perilaku atau kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya (Mudzakir, 2004).

Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik


Tindak pidana pencemaran nama baik yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang, baik yang bersifat umum, maupun yang bersifat khusus ditujukan untuk memberi perlindungan bagi kepentingan hukum mengenai rasa harga diri kehormatan ( eer ) maupun nama baik orang ( goeden naam ). Pengaturan hukum tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik diatur dalam KUHP maupun undang-undang sektoral lain di luar KUHP, yang meliputi Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan beberapa undang-undang sektoral atau khusus lain. Hal ini mengindikasikan terjadi beberapa pengaturan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik yang diatur dalam beberapa undang- undang. Seperti halnya pengaturan fitnah dalam KUHP diatur dalam Pasal 311 KUHP, diatur pula dalam Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang RI No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan diatur pula di Pasal 36 ayat 5 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Apabila demikian akan terjadi tumpang tindih pengaturan rumusan tindak pidana, dan tentunya akan terjadi konflik aturan hukum baik antara KUHP dan undang-undang khusus di luar KUHP, maupun antara sesama undang-undang khusus misalnya antara Undang-Undang RI No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang- Undang RI No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.

Pasal 310 KUHP tersebut dalam praktiknya seringkali dijadikan jerat
pidana bagi pihak yang ingin mengungkapkan suatu kebenaran, namun terganjal dengan ketentuan perumusan aturan hukum tentang pencemaran nama baik tersebut. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya konsep yang jelas dan pasti arti dari kepentingan umum dan terpaksa untuk membela diri sebagaimana tercantum dalam Pasal 310 ayat 3 KUHP yang digunakan sebagai alasan penghapus pidana khusus. Pasal 310 ayat 1 KUHP yang merupakan pasal pencemaran nama baik secara lisan dan Pasal 310 ayat 2 KUHP yang merupakan pasal pencemaran nama baik secara tertulis akan membelenggu kebebasan berpendapat disebabkan tidak adanya batas batas yang jelas terkait dengan konsep-konsep dalam Pasal tersebut. Rumusan konsep-konsep yang tidak memenuhi lex certa dan lex scripta dalam hukum pidana dapat menimbulkan aturan hukum yang kabur.

Selain itu, terdapat kekosongan aturan hukum terhadap adanya alasan penghapus pidana khusus yang tidak diatur dalam KUHP. Pada Pasal 310 ayat 3 KUHP di atas hanya terdapat alasan penghapus pidana khusus berupa demi kepentingan umum dan terpaksa membela diri. Apabila melihat pada kesepakatan Internasional tentang kebebasan berpendapat terdapat beberapa prinsip hukum tentang tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik yang tidak dikenal di Indonesia. Terdapat beberapa prinsip-prinsip hukum internasional yang memberikan suatu keseimbangan yang tepat untuk menilai bahwa hal tersebut merupakan suatu penghinaan atau pencemaran nama baik atau hanya pengungkapan suatu pendapat yang dapat dijadikan alasan penghapus pidana, sehingga tidak dapat dijerat dengan pidana. Prinsip tersebut diantaranya tercantum dalam Article 19 Global Campaign for Free Expression in London tentang prinsip-prinisp kebebasan berekspresi dan perlindungan atas reputasi, Covenant On Civil and Political Rights, The Johanneburg Principles on National Security , Freedom of Expression and Access to Information, dan putusan-putusan pengadilan.

Prinsip-Prinsip Hukum Tentang Tindak Pidana Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik dalam Perspektif Perlindungan Hak Asasi Manusia


HAM pada individu menimbulkan kewajiban pada pemerintah atau negara untuk melindungi individu tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran.2 Intepretasi dan reformulasi hukum terhadap prinsip demi kepentingan umum dan terpaksa membela diri sebagai alasan penghapus pidana khusus dalam Pasal 310 ayat 3 KUHP. Intepretasi dan reformulasi hukum terhadap prinsip alasan penghapus pidana khusus terpaksa membela diri dalam tindak pidana penghinaan. Aturan hukum tentang pembelaan terpaksa sendiri diatur dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP yang berbunyi “barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan ( eerbaarheid ) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Aturan hukum tersebut terdiri persyaratan yang harus dipenuhi. Menurut D. Schaffmeister, N. Keijzer, E.P.H Sutorius persyaratan tersebut meliputi Pertama, ada serangan seketika. Kedua, serangan tersebut bersifat melawan hukum. Ketiga, pembelaan merupakan keharusan. Keempat, cara pembelaan adalah patut.3 Kiranya hemat penulis perlu ditambahkan satu syarat lagi yaitu syaratkelima bahwa pembelaan tersebut harus dilakukan berdasar karena serangan atau ancaman serangan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain. Dengan demikian, terdapat lima persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan telah melakukan pembelaan terpaksa. Terhadap lima persyaratan tersebut akan mengacu pada pandangan beberapa ahli hukum pidana dan dikaitkan dengan penerapan dengan tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.

Konsep serangan seketika tersebut tidak dapat diterapkan dalam hal adanya serangan berupa tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan secara seketika. Mengacu terhadap apa yang diungkapkan oleh Adami Chazawi yang menyatakan bahwa:

“Serangan yang bersifat melawan hukum baru dapat dibenarkan sebagai pembelaan diri, menurut pembelaan pada noodweer apabila serangan melawan hukum itu terjadi ketika itu juga. Tetapi pembelaan diri menurut Pasal 310 ayat 3 KUHP boleh dilakukan tidak ketika serangan yang bersifat melawan hukum terjadi”.

Konsep serangan seketika dalam pembelaan terpaksa berdasarkan Pasal 310 ayat 3 KUHP tidak harus dilakukan secara seketika. Namun, pembelaan terpaksa tersebut dapat dilakukan apabila antara serangan berupa tindakan menghina dan mencemarkan nama baik tersebut dengan pembelaan terpaksa yang dilakukan terdapat selang waktu yang lama. Oleh karena itu, penulis menawarkan suatu rancangan aturan hukum terhadap konsep serangan dalam adanya tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik, antara lain ialah sebagai berikut tawaran rancangan aturan hukum adalah Pertama, serangan dengan pembelaan tidak bersifat seketika atau mempunyai selang waktu yang lama dapat dibenarkan sebagai pembelaan terpaksa khusus dalam hal tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.

Persyaratan kedua, ialah serangan tersebut bersifat melawan hukum. Melawan hukum diartikan sebagai tindakan yang bertentangan atau melanggar undang- undang.5 Dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP tersebut tidak dapat dipisahkan antara syarat satu dengan yang lain, karena adanya relevansi diantara syarat-syarat dalam pasal a quo . Untuk menafsirkan serangan yang bersifat melawan hukum yang bagaimana untuk dapat dikatakan melakukan pembelaan terpaksa atau noodweer . Maka dalam hal ini harus mengerti cara membaca suatu pasal atau aturan hukum berdasarkan “kunci Minister Moderman ”.

Persyaratan ketiga, ialah pembelaan merupakan suatu keharusan. Dari hasil beberapa pendapat ahli atau doktrin tentang pembelaan merupakan suatu keharusan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dapat dikatakan pembelaan tersebut merupakan suatu keharusan maka harus memenuhi ketentuan tindakan pembelaan tersebut tidak dapat dihindarkan karena sesuatu hal. Artinya tindakan pembelaan tersebut merupakan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri/ tubuh, kehormatan (kesusilaan) maupun harta benda sendiri atau orang lain. Atas dasar tersebut pembelaan terpaksa dapat dibenarkan secara hukum.

Apabila hal ini diterapkan dalam tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dan apabila seseorang menghina atau mencemarkan nama baiknya maka jalan untuk menghindarkan serangan tersebut masih dapat dilakukan. Atas dasar ilustrasi dan berbagai pendapat ahli di atas, maka pembelaan terpaksa dalam hal adanya tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik bukan jalan satu-satunya untuk dapat dilakukan. Hal ini tentunya sudah sesuai dengan prinsip subsidaritas, dalam hal mana prinsip ini menyatakan bahwa

“bilamana terdapat cara lain yang lebih baik yang dapat dipergunakan untuk melakukan suatu pembelaan, maka orang yang mendapat serangan itu tidak boleh mempergunakan cara yang dapat mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi penyerangannya”.

Akibat hukumnya berdasarkan prinsip subsidaritas di atas yaitu tidak dapat dijadikan dasar hukumnya pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat 1 KUHP sebagai dasar pembelaan diri karena tidak terpenuhinya syarat pembelaan merupoakan suatu keharusan apabila terdapat suatu tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Hal ini sangat berkaitan dengan syarat keempat, oleh sebab itu akan dijelaskan lebih lanjut dalam syarat keempat.

Persyaratan keempat, yaitu pembelaan tersebut harus patut. ketentuan pembelaan terpaksa dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP yang mensyaratkan pembelaan tersebut harus patut tidak dapat diterapkan dalam hal adanya serangan terhadap kehormatan dan nama baik seseorang. Argumentasi hukumnya ialah pertama, serangan secara melawan hukum tersebut ditujukan kepada kehormatan dan nama baik seseorang, sehingga masih terdapat tindakan lain untuk dapat melakukan pembelaan dengan cara tidak menyerang balik orang tersebut. Yang kedua, apabila terjadi serangan terhadap kehormatan dan nama baik seseorang, maka pembelaan tersebut tidak boleh dilakukan dengan menyerang balik orang tersebut dengan cara kekerasan. Apabila dilakukan dengan kekerasan maka hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip proporsionalitas dan tidak sesuai dengan konsep pembelaan secara patut seperti yang telah diungkapkan berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas. Dalam hal ini penulis menawarkan suatu rancangan sebagai berikut:

“Pembelaan terpaksa dalam hal adanya serangan secara melawan hukum terhadap kehormatan dan nama baik seseorang hanya dapat dilakukan dengan melakukan klarifikasi yang dilakukan sendiri atau menyuruh pihak yang menyerang untuk melakukan klarifikasi dalam bentuk lisan, dan/atau tulisan, dan/atau permintaan maaf”.

Persyaratan kelima, yaitu bahwa pembelaan tersebut harus dilakukan berdasar karena serangan atau ancaman serangan terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain. Atas dasar pendapat tersebut, baik serangan terhadap tubuh, kehormatan kesusilaan dan benda diri sendiri atau orang lain tidak dapat dikatakan serangan tersebut terhadap kehormatan dan nama baik seseorang. Artinya Pasal 49 ayat 1 KUHP ini tidak dapat dijadikan suatu pedoman sebagai dasar adanya pembelaan terpaksa atau noodweer yang dilakukan oleh pihak yang terserang kehormatan maupun nama baiknya. Nampaknya pembentuk undang-undang lupa tidak memberikan penjelasan secara resmi dan jelas terkait apa yang dimaksud dengan pembelaan terpaksa dalam Pasal 310 ayat 3 KUHP tersebut. Sebab, apabila dihubungkan dengan prinsip pembelaan terpaksa sebagai alasan penghapus pidana khusus yang terdapat dalam Pasal 49 ayat 1 KUHP tidak memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal a quo . Atas dasar pembahasan dan beberapa pendapat di atas, penulis menawarkan suatu formulasi/ rancangan hukum untuk memperbaiki aturan hukum dalam Pasal 310 ayat 3 KUHP yang kabur tersebut. Bahwa pembelaan terpaksa dapat dilakukan sebagai berikut:

  • Ayat 1
    Setiap orang dapat melakukan pembelaan terpaksa, karena terdapat serangan secara melawan hukum terhadap kehormatan dan nama diri sendiri.

  • Ayat 2
    Pembelaan terpaksa dalam hal adanya serangan secara melawan hukum terhadap kehormatan dan nama baik seseorang hanya dapat dilakukan dengan melakukan klarifikasi yang dilakukan sendiri atau menyuruh pihak yang menyerang untuk melakukan klarifikasi dalam bentuk lisan, dan/atau tulisan, dan/atau permintaan maaf.

  • Ayat 3
    Serangan dengan pembelaan tidak bersifat seketika atau mempunyai selang waktu yang lama dibenarkan sebagai pembelaan terpaksa khusus dalam hal tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.

Pencemaran Nama Baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang tersebut merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, meyerang salah satu diantara kehormatan atau nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang melakukan penghinaan.

Menurut R. Soesilo, dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (1991), berdasarkan ketentuan yang ada di dalam KUHP, ada enam macam penghinaan, yakni:

  • Menista/smaad (pasal 310 KUHP)

(1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud nyata akan tersiarnya tuduhan tersebut, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 4500,- (empat ribu lima ratus rupiah). Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar mempergunakan kata celaan. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa Belanda yang berarti hina, rendah, celah, noda.

Adapun unsur-unsur kejahatan menista tersebut adalah :

  1. Menuduh seseorang

  2. Melakukan suatu perbuatan tertentu

  3. Dengan maksud

  4. Akan tersiarnya tuduhan tersebut

  • Menista Dengan Tulisan/smaadschrift ( Pasal 310 ayat (2) )

(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan kepada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-

Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk membela kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.

Menurut R. Soesilo seperti yang dikutip Tjipta Lesmana, bahwa yang berwenang untuk menentukan apa dan bagaimanakah kepentingan umum itu sendiri adalah Hakim yang mengadili perkara tersebut.42 Namun KUHPidana sendiri tidak memberikan gambaran yang jelas apakah yang dimaksud dengan kepentingan umum tersebut. KUHP juga tidak merinci tentang batasan atau hal- hal yang dianggap bersifat menghina dan mencemarkan nama baik seseorang. Soesilo mengatakan bahwa esensi penghinaan adalah menuduh seseorang sehingga orang tersebut menjadi malu karenanya.

Kata-kata yang dianggap menghina disesuaikan dengan kondisi ruang dan waktu dimana pernyataan tersebut dikeluarkan. Misalnya dengan menyebut seseorang dengan sebutan “begu” di pulau jawa tidak dapat dikategorikan menghina sebab secara umum orang-orang yang berdiam di daerah pula jawa tidak mengerti makna daripada perkataan “begu”, tetap bila hal tersebut dikatakan di daerah sumatera utara, maka termasuk dalam ketentuan pasal tentang penghinaan tersebut.

Perbuatan yang dituduhkan dalam hal penghinaan juga tidak harus merupakan yang dapat dihukum seperti menuduh seseorang mencuri, tetapi cuku dengan suatu perbuatan yang dinilai memalukan seperti menuduh seseorang sering berkunjung ketempat pelacuran sehingga dapat dikatakan bahwa tuduhan tersebut telah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang.

  • Memfitnah/ laster ( Pasal 311 KUHP )

Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35 no 1-3

Unsur-unsur memfitnah mencakup keseluruhan daripada unsur-unsur menista dengan menambahkan satu unsur lagi yaitu “tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar” artinya ada kesengajaan untuk menista. Ketentuan seperti ini juga terdapat di Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah actual malice dimana pelaku sudah mengetahui bahwa berita tersebut tidak benar tetapi pelaku tetap saja mempublikasikannya.

Unsur lainnya yaitu maksud untuk menyiarkan masih menurut pendapat Soesilo ialah dengan sengaja melakukannya didepan umum atau khayalak ramai dimana semua orang dapat mendengar dan mengetahui apa yang diucapkan atau disiarkannya. Unsur terpenting daripada fitnah ialah bahwa tuduhan tersebut dilakukan sedangkan telah diketahui bahwa hal tersebut tidak benar dan pihak mengeluarkan pernyataan tersebut diizinkan untuk membuktikan ucapannya namun tidak bisa. Apabila suatu pernyataan tersebut dapat dibuktikan benar adanya maka tidak termasuk dalam kategori fitnah melainkan penghinaan.

  • Penghinaan Ringan/eenvoundige belediging (Pasal 315)

Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tiada bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat umum dengan lisan ataupun dengan tulisan maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan ataupun dengan perbuatannya, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-

  • Mengadu Dengan Memfitnah/lasterlijke aanklacht (Pasal 317)

(1) Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitaan yang palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang tersebut jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

(2) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35

  • Menyuruh Dengan Memfitnah/lasterlijke verdachtmaking (Pasal 318)

(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan suatu perbuatan menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun

(2) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35.
Pengaturan mengenai Tindak Pidana penghinaan didalam KUHPidana pada dasarnya merupakan suatu delik aduan, dalam pengertian supaya bisa dihukum, harus ada pengaduan dari pihak yang diserang kehormatannya tersebut bahwa penghinaan tersebut nyata-nyata benar merugikan baginya, kecuali jika penghinaan tersebut ditujukan kepada Presiden dan Wakilnya, maka penghinaan tersebut dapat langsung dituntut ke pengadilan.