Apa yang dimaksud dengan partisipasi politik ?

Partisipasi politik

Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik.

Apa yang dimaksud dengan partisipasi politik?

Definisi partisipasi politik secara umum adalah ikut sertaan masyarakat secara aktif dalam kegiatan menyampaikan hak suaranya kepada pemerintah secara langsung atau tidak langsung dan dapat mempengaruhi dalam mengaluarakan kebijakannya. Contoh peran secara langsung adalah turun ke jalan melakukan demonstrasi yang pada umumnya bertembat pada lokasi yang dianggap penting dalam penyampaian aspirasinya. Yang tidak langsung seperti pemilihan calon pemimpin daerah ataupun presiden, yang mana suaranya tidak akan langsung didengar dan harus melalalui proses yang dilaksanakan olek KPU sebagai penanggung jawab pengelolahan suara untuk menghasilkan output suara yang jujur.

Masyarakat memiliki peran yang sanga besar dalam mempengaruhi kebijakan publik, Sebagai perannya dalam mempengaruhi kebijakan publik maka mereka dituntut harus dapat memantau kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan yang di adakan oleh pemerintah. Ketika tindakannya dikatakan partisipasi politik apabila suara-suara yang disampaikan mampu memepengaruhi pemerintah dan direalisasikan dalam membuat dan mengeluarakan kebijakan.

Miriam Budiardjo (2009) menyatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).

Dalam konteks partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam pengertian ini, suatu partisipasi pasti memiliki pengaruh pada pemerintah yang mengambil keputusan. Dalam proses mempengaruhi ini, masyarakat dipakasa untuk aktif dalam melakukan pengamatan ataupun penyampaian pendapat dan didorong untuk kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, agar pemerintah selalu adil dalam mengambil kebijakan.

Menurut Herbert McClosky dalam International encyclopedia of the social sciences (Budiardjo,1996:183) partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukkan kebijakan umum.

Dalam pelaksanaannya partisipasi politik harus didasari rasa sukarela dari diri masyarakat agar hak pendpatnya digunakan sesuai rasa pribadinya yang ingin disampaikan, agar tidak berasal dari luar dirinya yang pada dasarnya mudah dipengaruhi oleh pihak luar yang dapat digunakan sesuai kepentingannya.

Dorongan masyarakat untuk ikut serta dalam kebijakan publik secara sukarela dimana muncul dalam dirinya sendiri dan sadar akan pentingnya peran mereka dalam ranah kebijakan piblik. Contoh masyarakat dalam haknya bersuara dalam pemilihan penguasa daerah atau presiden maka masyarakat suka rela tanpa ada yang menyuruh, mereka sadar akan haknya itu sendiri sehingga mereka ikut serta dalam partisipasi politik, dalam hal tersebut mereka sudah mempengaruhi kebijakan publik. Dimana nanti suara-suara itulah yang mempengaruhi siapa yang terpilih.

Dapat kita lihat, sifat partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarak ada beberapa jenis sebagai berikut :

  • Indivual atau kolektif
  • Terorganisasi atau sepontan
  • Mantap atau seporadis
  • Secara damai atau kekerasan
  • Legal atau illegal
  • Efektif atau tidak efektif

Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan eputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau klektif, terorganisasi atau sepontan, mantap atau seporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efetif atu tidak efektif.

By political participation we mean activity by prevate citizen desained to influence goverment decision making. Participation my be individual or collective, oranizen or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective ineffective.

Ringkasan

Budiardjo, Miriam. Dasar dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015.

A post was merged into an existing topic: Apa saja kualifikasi partisipasi politik ?

Partisipasi politik merupakan keterlibatan seseorang/kelompok orang dalam suatu kegiatan politik. Di dalam keterlibatannya itu, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih jelas lagi para ahli mengemukakan pendapatnya tentang definisi-definisi partisipasi politik sebagai berikut:

  • Herbert Mc. Closky dalam internasional Encyclopedia of The Social Science, Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga negara/masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dari proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau - tidak, dalam proses pembentukan kebijakan umum.

  • Norman H. Nie Sidney Verba dalam Handbook of Political Science, Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang legal, yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka.

  • Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson , Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau sepontan, mantap dan sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.

  • Miriam Budiardjo (1982), Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yakni dengan jalan memilih pemimpin negara baik dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung, memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan-kegiatan yang semacam ini dapat terlihat dari kegiatan untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadri rapat-rapat umum(kampanye), menjadi anggota suatu partai politik atau sekelompok kepentingan ataupun mengadakan hubungan dengan pejabat-pejabat pemerintah ataupun juga bisa anggota parlemen dan sebagainya sejenis dengan itu.

Berdasarkan beberapa definisi pertisipasi politik di atas, terdapat hal-hal subtantif yang berkenaann dengan partisipasi tersebut, yaitu :

  • Kegiatan-kegiatan nyata, yakni kegiatan-kegiatan yang bias diamati secara kasat mata, bukan sikap atau orientasi.

  • Bersifat sukarela, yakni kegiatan yang didorong oleh dirinya sendiri atau kesadaran sendiri (self motion), bkan digerakkan oleh pihak lain di luar yang melakukan partisipasi, seperti baying-bayang pihak pemerintah, desakan, dan manipulasi.

  • Dilakukan oleh warganegara atau masyarakat biasa, baik individu- individu maupun kelompok masyarakat;

  • Memiliki tujuan ikut serta dalam kehidupan politik, memengaruhi kebijakan pemerintah dan/ atau mencari jabatan politik; dan

  • Memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi politik.

Dengan demikian partisipasi politik pada dasarnya adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta dalam kegiatan politik secara aktif sesuai dengan aturan main yang berlaku. Pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, tetapi kadar dari partisipasinya tersebut mungkin berbeda-beda dan hal ini akan tergantung pada pengetahuan/kesadaran tentang politik dari setiap warga masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (1990), bahwa:

“Di dalam masyarakat tradisional, pemerintah dan politik biasanya hanya merupakan unsur satu golongan elit yang kecil. Petani, tukang dan pedagang yang merupakan bagian dari penduduk yang paling besar menyadari atau tidak bagaimana tindakan-tindakan pemerintah mempengaruhi kehidupan mereka sendiri. Akan tetapi biasanya tidak sampai terpikir oleh mereka bahwa mereka dapat atau perlu berusaha untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah”.

Uraian tersebut memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya pada suatu masyarakat yang masih tradisional kebanyakan dari mereka tidak mengerti bagaimana berpartisipasi dalam kehidupan politik. Padahal sebenarnya mereka sudah berpartisipasi. Misalnya ikut serta dalam suatu kegiatan pemilihan umum, tetapi mereka tidak menyadari dan hanya tahu bahwa hal tersebut merupakan suatu keharusan. Oleh sebab itu, Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson (1990), selanjutnya mengemukakan:

“Partisipasi politik mencakup tidak hanya kegiatan yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, akan tetapi juga kegiatan yang oleh orang lain di luar pelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Yang pertama dinamakan partisipasi politik yang dimobilisasikan”.

Dalam suatu negara yang demokratis, apabila masyarakatnya sudah berpartisipasi atas kehendaknya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat sudah mempunyai partisipasi politik yang cukup tinggi tingkatannya dan mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat. Sebaliknya jika suatu masyarakat berpartisipasi dalam bidang politik tetapi seolah-olah seperti dipaksa karena merupakan suatu keharusan yang dimobilisasi, maka terdapat kecenderungan bahwa masyarakat tersebut masih rendah tingkat pengetahuannya tentang masalah politik dan ada kemungkinan tidak akan ada kemajuan dalam partisipasi politiknya.

Apabila kemungkinan yang kedua yaitu rendahnya partisipasi politik masyarakat yang masih terdapat di Indonesia, maka perlu dilakukan upaya- upaya agar partisipasi masyarakat mengalami kemajuan, sebab meningkatnya partisipasi politik masyarakat mempunyai dampak yang positif terhadap penyelenggaraan pemerintah berupa dukungan dan dorongan serta tuntutan terhadap penyelenggara pemerintah. Apabila dukungan lebih banyak dari pada tuntutan, maka penyelenggaraan pemerintah akan semakin baik dan mantap. Untuk itu, peningkatan partisipasi politik baik dalam jumlah, bentuk maupun kualitasnya yang mendukung jalannya kehidupan dan penghidupan bangsa dan negara perlu mendapat perlindungan hukum berupa penegasan tentang kepastian penegakan hukum yang berlaku, dan adanya wadah untuk menyalurkan kehendak politik masyarakat. Dengan demikian tidak akan terjadi keresahan dalam masyarakat sebagai akibat tidak tersalurkannya atau tidak tertampungnya partisipasi politik masyarakat.

Alfian (1986) berasumsi bila tidak adanya partisipasi politik yang sehat dari masyarakat dalam suatu sistem politik, maka manipulasi politik dari berbagai golongan akan mengalami peningkatan dan hal ini akan menimbulkan ketidakstabilan dalam sistem politik tersebut. Apabila asumsi tersebut benar, selanjutnya Alfian berpendapat sebagai berikut:

“Kalau asumsi ini mempunyai unsur-unsur kebenaran, maka partisipasi aktif anggota-anggota masyarakat dalam politik bisa bertindak sebagai mekanisme dalam mengendalikan (mekanisme pengontrol) manipulasi - manipulasi politik sehingga bisa menjamin kelangsungan hidup suatu sistem politik secara stabil dan dinamis”.

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa partisipasi politik yang sehat dari masyarakat adalah sangat perlu untuk menjaga stabilitas suatu sistem politik. Sehat atau tidaknya suatu partisipasi politik adalah sangat relatif, sebab hal ini sangat tergantung pada sistem politik yang ada dukungan dari masyarakat terhadap sistem politik tersebut.

Sumber : Prof.Dr. Aim Abdulkarim, M.Pd, Dra. Neiny Ratmaningsih, M.Pd, Budaya Politik,Partisipasi Politik dan Demokrasi Sebagai Sistem Sosial Politik Indonesia

Partisipasi berasal dari bahasa latin yaitu pars yang artinya bagian dan capere yang artinya mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara. Apabila digabungkan berarti “mengambil bagian”. Dalam bahasa inggris, partisipate atau participation berarti mengambil bagian atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara (Suharno, 2004).

Partisipasi politik adalah salah satu aspek penting suatu demokrasi. Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.

Oleh karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik menurut Hutington dan Nelson adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.

Selanjutnya Ramlan Surbakti memberikan definisi singkat mengenai partisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.

Menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik secara umum dapat didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin Negara dan langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengahadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, di negara-negara demokrasi pada umumnyadianggap bahwa partisipasi masyarakatnya lebih banyak, maka akan lebih baik. Dalam implementasinya tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan- kegiatan itu. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan (Miriam Budiardjo, 2008).

Berikut adalah beberapa ahli lainnya yang memberikan definisi terkait dengan partisipasi politik:

  • Keith Fauls (1999) memberikan definisi partisipasi politik sebagai keterlibatan secara aktif ( the active engagement ) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah.

  • Herbert McClosky (1972) memberikan definisi partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.

  • Huntington dan Nelson (1997), dalam artikelnya yang berjudul dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, menyatakan bahwa partisipasi politik sebagai Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.

Partisipasi politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam hal penentuan atau pengambilan kebijakan pemerintah baik itu dalam hal pemilihan pemimpin ataupun penentuan sikap terhadap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah untuk di jalankan, yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dengan cara konvensional ataupun dengan cara non konvensional atau bahkan dengan kekerasan (violence).

Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Selain itu, partisipasi dapat dikatakan sebagai mesin penggerak demokrasi maupun suatu sistem politik. Pandangan umum mainstream yang berkaitan dengan relasi partisipasi dan demokrasi adalah semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam mempengaruhi suatu keputusan publik, maka semakin berkualitas demokrasi di negara tersebut.

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson menafsirkan partisipasi politik adalah kegiatan warga yag bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Definisi tersebut secara tersurat menganggap aksi-aksi kekerasan dan ilegal dalam mempengaruhi keputusan pemerintah sebagai sebuah bentuk partisipasi meskipun bisa saja aksi-aksi yang demikian mengganggu kepentingan umum.

Partisipasi politik pada intinya adalah keterlibatan individu-individu dalam mempengaruhi keputusan pemerintah. Individu-individu yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan publik pada umumnya sadar bahwa keputusan pemerintah akan berimplikasi terhadap dirinya entah secara langsung atau tidak langsung. Perasaan kesadaran seperti ini dimulai dari orang yang berpendidikan, yang kehidupannya lebih baik, dan orang-orang terkemuka.

Merujuk pada The 1995-1997 World Value Survey , Charles Andrain dan James Smith mengelompokkan tiga bentuk partisipasi. Pertama adalah partisipasi yang lebih pasif. Di dalam tipe pertama ini, partisipasi dilihat dari keterlibatan politik seseorang, yakni sejauh mana orang itu melihat politik sebagai sesuatu yang penting, memiliki minat terhadap politik, dan sering berdiskusi mengenai isu-isu politik dengan teman. Kedua adalah partisipasi yang lebih aktif. Yang menjadi perhatian adalah sejauh mana orang itu terlibat di dalam organisasi-organisasi atau asosiasi-asosiasi sukarela ( voluntary associations ) seperti kelompok-kelompok keagamaan, olahraga, pecinta lingkungan, organisasi profesi dan organisasi buruh. Ketiga adalah partisipasi yang berupa kegiatan-kegiatan protes seperti ikut menandatangani petisi, melakukan boikot, dan demokstrasi.

Ramlan Surbakti menyederhanakan bentuk partisipasi menjadi partisipasi pasif dan partisipasi aktif. Yang termasuk dalam kategori partisipasi aktif ialah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. Sebaliknya, kegiatan yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa kegiatan yang menaati pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.

Milbarth dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori. Pertama, apatis. Artinya, orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, spektator. Artinya, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator. Artinya, mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, dan aktivis masyarakat. Keempat, pengritik, yakni dalam bentuk partisipasi tak konvensional.

partisipasi memiliki landasan partisipasi politik, Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik menjadi:

  1. Kelas, yaitu individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.

  2. Kelompok atau komunal, yaitu individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.

  3. Lingkungan, yaitu individu-individu yang jarak tempat tinggalnya (domisili) berdekatan.

  4. Partai, yaitu individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dal legislatif pemerintahan.

  5. Golongan atau fraksi, yaitu idividu-individu yang dipersatukan oleh interaksi terus-menerus satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.

Partisipasi politik merupakan salah satu ciri khas modernisasi politik dan peningkatan status sosial ekonomi masyarakat menghasilkan partisipasi yang lebih jelas. Di dalam masyarakat yang masih terkebelakang, urusan pemerintahan dan politik dianggap sebagai hanya urusan satu golongan elit tertentu. Umumnya para petani, buruh, dan pedagang kecil merupakan golongan penduduk yang kurang menyadari bahwa kebijakan pemerintah bisa mempengaruhi kehidupan mereka. Sebaliknya mereka juga dapat mem-pengaruhi tindakan-tindakan pemerintah yang berpihak kepadanya dengan kekuatan politik.

Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan dalam konteks politik. Hal ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.

Umumnya para ahli mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekumpulan orang untuk turut terlibat secara aktif di dalam politik yaitu untuk memilih kepemimpinan negara bersama-sama secara langsung atau tidak langsung. Kegiatan-kegiatan ini mencakup pula menentukan pilihan saat pemilu, menghadiri kampanye partai politik, dan menjadi anggota politik atau ormas. Partisipasi dimaknai sebagai pengambilan bagian atau pengikut-sertaan. Menurut Adams (2004) partisipasi sangat penting bagi pembangunan diri dan kemandirian warga negara. Melalui partisipasi, individu menjadi warga publik, dan mampu membedakan persoalan pribadi dengan persoalan masyarakat. Tanpa partisipasi, nyaris semua orang akan ditelan oleh kepentingan pribadi dan pemuasan kebutuhan orang yang berkuasa.

Menurut Miriam (1998:3) partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh masyarakat. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik melalui pemilu terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan tersalur atau sekurangnya diperhatikan. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kegiatan mereka memiliki efek, dan efek tersebut dinamakan political efficacy. Pada terminologi sosiologi politik, dianggap bahwa lebih banyak masyarakat turut berpartisipasi dalam politik menunjukkan bahwa pendidikan politik masyarakat telah berhasil. Karena itu, makin banyak partisipasi masyarakat, maka pelaksanaan demokrasi semakin lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dimaksud, ditunjukkan oleh banyaknya masyarakat mengikuti dan memahami masalah politik dan turut atau ingin melibatkan diri dalam berbagai kegiatan politik.

Demikian juga sebaliknya, jika tingkat partisipasi politik masyarakat rendah, maka ada indikasi bahwa pelaksanaan demokrasi yang dilaksanakan di suatu negara memberi tanda yang kurang baik. Indikasi yang dapat disebutkan bahwa masyarakat kurang atau bahkan sama sekali tidak berminat untuk masalah-masalah pemilu dan ketatanegaraan lainnya.

Selanjutnya menurut Davis (1997) penyertaan pikiran dan emosional dari orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka agar menyumbangkan kemampuannya dalam mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggung jawab atas kelompoknya. Dari pengertian Davis tersebut, disimpulkan terdapat tiga unsur penting yang harus dimiliki seseorang untuk mau terlibat aktif dalam kegiatan partisipasi politik, yaitu:

  • adanya penyertaan pikiran dan perasaan;
  • adanya motivasi untuk berkontribusi; dan
  • adanya tanggung jawab bersama.

Bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Cohen dan Uphoff (1997) yang juga dikutip oleh Kaho (2000:57) adalah sebagai berikut:

  • partisipasi dalam pembuatan keputusan;
  • partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan;
  • partisipasi dalam pemanfaatan hasil; dan
  • partisipasi dalam evaluasi.

Menurut Sulaiman dalam Sastropoetro (1998), merumuskan bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai berikut:

  • partisipasi dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka;
  • partisipasi dalam bentuk iuran uang, barang, dan prasarana;
  • partisipasi dalam proses pengambilan keputusan; dan
  • partisipasi dalam bentuk dukungan.

Pengertian partisipasi politik dalam perspektif sosiologi politik, terdapat dalam International Encyclopedia of the Social Sciences yang dikutip oleh McClosky (1972), yaitu partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui hal mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan umum. Definisi lain berdasarkan Handbook of Political Sciences yang dikutip Nie dan Verba (1975:1) mengungkapkan partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal, yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka.

Sedangkan partisipasi politik menurut Miriam (1998) adalah tindakan-tindakan bertujuan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah, sekalipun fokus utamanya lebih luas tetapi abstrak, yaitu usaha-usaha untuk mempengaruhi alokasi nilai secara otoritatif untuk masyarakat. Di samping beberapa definisi di atas, partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson (1997:3) adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.

Partisipasi politik pada hakikatnya merupakan tindakan yang suka rela, penuh kesadaran tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. Karena itu, partisipasi politik terkait erat dengan pemahaman terhadap pendidikan politik masyarakat atau pemilih. Partisipasi politik merupakan prasyarat yang mutlak dalam sebuah sistem politik yang demokratis. Sebuah sistem politik yang sehat menghendaki terbukanya saluran-saluran komunikasi politik sebagai bentuk partisipasi warga. Terbukanya saluran komunikasi politik sebagai wadah partisipasi politik menurut Alfian (1980) akan mengalirkan pesan-pesan politik yang berupa tuntutan, protes, dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke pusat pemrosesan sistem politik, dan hasil pemrosesan itu menjadi umpan balik (feed back) sistem politik.

Lebih lanjut Roth dan Wilson mengungkapkan kegiatan partisipasi politik yang berbentuk non-konvensional, berupa: pengajuan petisi (tuntutan), melakukan demonstrasi (seruan bersama dijalanan), melakukan konfrontasi (perlawanan) dan melakukan mogok (non action). Berkaitan dengan partisipasi politik, Rosenau dalam Nimmo (2000) membagi ke dalam dua kategori warga negara yang merupakan khalayak dari partisipasi dalam komunikasi politik, yaitu: pertama adalah orang-orang yang sangat memperhatikan politik dan kedua adalah orangorang yang hanya dimobilisasi untuk kepentingan politik.

Menurut Bedjo (1996), partisipasi adalah, “Perilaku yang memberikan pemikiran terhadap sesuatu atau seseorang. Perilaku merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan pemilihan rangsangan yang dari luar lingkungannya.”

Adapun partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertujuan memengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warga negara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries memberi catatan berbeda, yaitu partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa), juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik.

Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan. Intinya, baik sukarela maupun dipaksa, warga negara tetap melakukan partisipasi politik. Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warga negaranya.

Pola partisipasi politik di Negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan partisipasi politik di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and
Political Participation in Europe . Warga negara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya daripada negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).

Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dari demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (partisipasi) adalah orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan memengaruhi kehidupan warga negara, warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan yang memengaruhi hidupnya dalam keikutsertaan warga negara dalam memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.

Kegiatan warga negara dibagi dua, yaitu memengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan pembuatan dan pelaksana keputus an politik. Robert P. Clark seorang guru besar pada Universitas George Mason mengemukakan pendapatnya tentang partisipasi politik dalam bukunya Power and Policy in the Third World yang menyatakan bahwa perkataan:

“‘partisipasi politik’ dapat diartikan berbeda-beda bergantung pada kultur politik (budaya politik) yang melandasi kegiatan partisipasi tersebut.

Clark mengangkat pengertian partisipasi politik menurut rumusan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson menyatakan bahwa partisipasi politik adalah aktivitas pribadi-pribadi warga negara untuk memengaruhi pembuatan keputusan pemerintah.”

Dari sumber yang sama, Miriam Budiardjo melengkapi pengertian Huntington sebagai berikut.

“Partisipasi dapat bersifat perseorangan atau secara kelompok, diorganisasikan atau secara spontan, ditopang atau sporadis, secara baik-baik atau dengan kekerasan, legal atau tidak legal, aktif atau tidak aktif.

Terhadap pengertian Huntington ini, penulis berpendapat lain bahwa partisipasi tumbuh karena adanya dorongan dari diri manusia ( locus internal ) yang muncul karena kesadaran, tanpa adanya paksaan atau tekanan dari luar, karena partisipasi seperti bersifat semu dan mudah berubah atau lenyap. Partisipasi yang kekal adalah partisipasi yang tumbuh atas kesadaran sendiri karena merasa bahwa dirinya bagian dari kehidupan negara yang dituntut untuk turut memikirkan dan memajukan kehidupan negaranya.

Pengertian lain dikemukakan oleh Closky bahwa partisipasi politik adalah:

“… kegiatan-kegiatan sukarela (voluntary) dari warga masyarakat melalui cara mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung (direct) atau tidak langsung (indirect) dalam proses pembentukan kebijaksanaan umum ” (Closky, 1982).

Batasan pengertian Closky seirama dengan batasan pengertian dari Norman H. Nie dan Sidney Verba, yaitu tentang proses pemilihan penguasa. Norman menggunakan istilah “the selection of government personnel”.

Dari pengertian-pengertian tersebut, jelas bahwa partisipasi politik lebih dialamatkan pada aktivitas masyarakat (warga negara) dalam turut memikirkan kehidupan negara. Kegiatan partisipasi politik tertuju pada dua subjek, yaitu:

  1. pemilihan penguasa, dan
  2. pelaksanaan segala kebijaksanaan penguasa (pemerintah).

Pemilihan penguasa merupakan proses memilih symbol-simbol pribadi penguasa melalui pemilihan umum. Pemilihan ini berlangsung dalam suatu periode yang telah ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Beberapa kriteria dari pengertian partisipasi politik:

  1. Menyangkut kegiatan-kegiatan yang dapat diamati dan bukan sikap atau orientasi. Jadi, partisipasi politik hanya berhubungan dengan hal yang bersifat objektif dan bukan subjektif.

  2. Kegiatan politik warga negara biasa atau orang perorangan sebagai warga negara biasa yang dilaksanakan secara langsung ataupun tidak langsung (perantara).

  3. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, baik berupa bujukan maupun dalam bentuk tekanan, bahkan penolakan juga terhadap keberadaan figur para pelaku politik dan pemerintah.

  4. Kegiatan tersebut diarahkan pada upaya memengaruhi pemerintah tanpa peduli efek yang akan timbul gagal ataupun berhasil.

  5. Kegiatan yang dilakukan dapat melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan (konvensional) ataupun dengan cara yang di luar prosedur yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan ( violence ).

  6. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya memengaruhi kebijakan pemerintah.

Bentuk kedua, yaitu partisipasi terhadap kebijaksanaan yang dibentuk dan dilaksanakan penguasa sebagai produk pemilihan. Bentuk partisipasi politik terhadap subjek kedua sangat beragam atau bersifat heterophulus, yaitu bergantung pada latar belakang pendidikan, kualitas rujukan status sosial yang berada pada individu atau kelompok.

Partisipasi politik merupakan cerminan dari sikap politik ( political behaviour ) warga negara yang berwujud dalam perilaku, baik secara psikis maupun secara fisik. Partisipasi politik yang dikehendaki adalah partisipasi yang tumbuh atas kesadaran sebagai partisipasi murni ( pure participation ) tanpa adanya paksaan.

Pada negara-negara totaliter, partisipasi politik dipola menurut kebijaksanaan elite yang berkuasa (elite pemerintah, elite partai). Partisipasi semacam ini dimobilisasikan untuk tujuan ideologi (ideologi Marxis atau komunisme). Terwujudnya partisipasi murni menunjukkan bahwa jalinan komunikasi antara elite infrastruktur (elite berkuasa) dengan jalinan harmonis.

Untuk mewujudkan partisipasi murni, masyarakat harus lengkap dan cukup menerima pesan komunikasi (termasuk transformasi nilai-nilai) dan informasi tentang langkah kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

Robert Clark memberi pilihan terhadap partisipasi politik menurut kualitas yang dimiliki warga negara, termasuk kesertaan media massa dalam membangun motivasi masyarakat terhadap partisipasi tersebut. Menurut Clark, tingkat partisipasi negara-negara berkembang sangat rendah, terutama negara-negara Afrika Selatan, beberapa negara di Amerika Latin dan sebagian kecil di Asia.

Oleh sebab itu, dalam kenyataan empiris, bentuk partisipasi politik sangat bergantung pada latar belakang sejarah, kemajuan negara, tingkat pendidikan masyarakat, dan kualitas kesadaran bernegara.

Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu:

  1. modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat semakin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik;

  2. perubahan-perubahan struktur kelas sosial, masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik;

  3. pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern, ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang;

  4. konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, yang dicari adalah dukungan rakyat, terjadi perjuangan kelas menengah melawan kaum aristokrat telah menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat;

  5. keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan, meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.

Pengertian


Partisipasi berasal dari bahasa Latin, yaitu pars yang artinya bagian dan capere (sipasi), yang artinya mengambil. Bila digabungkan berarti “mengambil bagian”. Dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara.

Huntington dan Nelson (1995:6), mendefinisikan partisipasi politik sebagai “kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah”. Dari pengertian tersebut Huntington dan Nelson memberi batsan partisipasi politik pada beberapa hal:

Pertama, partisipasi politik yang menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini komponen-komponen subjektif seperti orientasi-orientasi politik yang meliputi pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai kompetisi dan keefektifan politik, dan persepsi-persepsi mengenai relevansi politik tidak dimasukkan. Hal-hal seperti sikap dan perasaan politik hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan bentuk tindakan politik, tetapi terpisah dari tindakan politik.

Kedua, subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah warga negara, preman (private citizen) atau lebih tepatnya, orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik seperti pejabat-pejabat pemerintah, pejabat-pejabat partai, talon-talon politikus, lobbi profesional. Kegiatan yang disebut partisipasi politik ini bersifat terputus-putus, hanya sebagai sambilan atau sebagai pekerjaan sewaktu-waktu (evocational dan bersfiat sekunder saja dibandingkan dengan peranan-peranan sosial lainnya.

Ketiga, kegiatan dari apa yang disebut partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabatpejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik. Sasarannya adalah untuk mengubah keputusan-keputusan pejabat-pejabat yang sedang berkuasa, menggantikan atau mempertahankan pejabatpejabat itu, merubah atau mempertahankan organisasi sistem politik yang ada dan aturan-aturan main politiknya. Tujuan-tujuan itulah yang menjadi batasan partisipasi politik terlepas apakah itu legal atau tidak. Karena itu aktivitas seperti misalnya protes-protes, huru-hara, demonstrasi, kekerasan, bahkan pemberontakan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemeirntah merupakan bentuk-bentuk partisipasi politik.

Keempat, partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu mempunyai efek atau tidak, berhasil atau gagal.

Kelima, partisipasi politik mencakup partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan. Partisipasi otonom adalah kegiatan politik yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

Sedangkan partisipasi yang dimobilisasikan adalah kegiatan politik yang dilakukan karena keinginan oran glain.

Demikian batasan partisipasi politik yang dikemukakan oleh Huntington dan Nelson. Batasan yang lebih luas mengenai partisipasi politik dikemukakan oleh Miriam Budiardjo. la memandang partisipasi politik sebagai kegiatan seeorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, misalnya dalam pemilihan pemimpin negara, mempengaruhi kebijaksanaan negara dan berbagai kegiatan lainnya.

Batasan yang dikemukakan oleh Miriam tersebut tidak memperlihatkan batsan yang begitu ketat. Sehingga memungkinkan untuk memberikan cakupan partisipasi yang lebih luas daripada yang dikemukakan oleh Huntington dan Nelson. Demikian pula menenai subjek yang berpartisipasi (partisipan) tidka dibatasi hanya pada warga negara preman (biasa). Batasan ini sesuai dengan pendapat Mochtar Mas’oed dan Collin Mac Andrews (1994:42) serta Rush Althoff (1990, hal 124) yang memasukkan mereka yang menduduki jabatan pemerintahan, politis dan administrasi termasuk mereka yang memberi jabatan pemerintahan, politis dan adminstrasi termasuk mereka yang memberi jabatan tersebut atau pars calon pejabat pemerintahan dan calon politikus.

Bentuk-bentuk Partisipasi Politik


Partisipasi politik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dilihat sebagia suatu suatu kegiatan partisipasi politik dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemeirntah, membayar pajak dan ikut dalam proses pemilihan pimpinan pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah (Sastroatmodjo; 1995). Sementara itu dilihat dari kadar dan jenis aktivitasnya, Milbrath dan

Goel membedakan partisipasi politik dalam beberapa kategori, yaitu:

  1. Apatis (masa bodoh), yaitu orang yang menarik diri dari aktivitas politik;

  2. Spektator, yaitu orang-orang yang paling tidak, pernah ikut dalam pemilihan umum;

  3. Gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis masyarakat;

  4. Pengeritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.
    Klasifikasi partisipasi politik yang hampir sama dikemukakan oleh Goel dan Oslan. Mereka melihat partisipasi politik dari segi stratifikasi sosial. Dari sudut pandang ini, partisipasi politik dikategorikan dalam beberapa hal, yakni:

  5. Pemimpin politik

  6. Komunikator, yaitu orang yang menerima dan menyampaikan ideide, sikap dan informasi politik kepada orang lain;

  7. Aktivis politik

  8. Warga negara marginal, yaitu orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik;

  9. Orang-orang yang terisolasi, yaitu orang-orang yang jarang melakukan kontak dengan sistem politik.
    Merangkum berbagai bentuk partisipasi politik, Huntington dan Nelson

(1994, hal. 16-17) mengklasifikasi partisipasi politik dalam 4 bentuk. Menurutnya dari berbagai studi mengenai partisipasi politik menggunakan berbagai klasifikasi yang berbeda-beda. Namun riset yang kebanyakan dilakukan sekarang membedakan jenis-jenis perilaku dalam 4 jenis, yaitu:

  1. Kegiatan pemilihan yang mencakup pemberian suara, memberikan sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam kegiatan pemilihan, mencaru dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil pemilihan.
  2. Lobbying yang mencakup upaya-upaya, balk perorang maupun kelompok, untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah atua pimpinan-pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan diambil.
  3. Kegiatan organisasi, menyangkut kegiatan-kegiatan sebagai anggota atau pejabat suatu organisasi yang tujuan utamanya mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

Mencari koneksi (contacting) , yaitu tindakan perorangan yang ditujukan tehadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya seorang atau beberapa orang. Oleh Verba, Nie dan Kim partisipasi ini disebut 11 mencari koneksi khusus"

(particularized contacting).

Bentuk-bentuk partisipasi politik yang lebih lengkap dikemukakan oleh Rush dan Althoff. Keduanya memvisualisasikan bentuk-bentuk partisipasi politik secara hirarkhis, seperti terlihat di bawah ini.
image

Bila dilihat dari jumlah pelaku, sosiologi politik, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi:

  1. Partisipasi individual, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh orang per orang secara individual, misainya menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah.

  2. Partisipasi kolektif, yakni kegiatan politik yang dilakukan oleh sejumlah warga negara secara serentak yang dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa.
    Partisipasi kolektif individu dibagi lagi menjadi dua, yaitu:

  • Partisipasi kolektif yang konvensional, seperti pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, dan membentuk organisasi.

  • Partisipasi politik non-konvensional, seperti pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, pemogokan, tindakan kekerasan, pemberontakan dan revolusi untuk menggulingkan pemerintah yang berkuasa.

Dilihat dari motivasi yang melatarbelakangi munculnya partisipasi politik, maka Huntington dan Nelson (1994, hal 9-13) membagi partisipasi politik dalam dua kategori, yaitu:

  • Partisipasi otonom, yaitu partisipasi politik yang didorong oleh keinginan pelakunya sendiri untuk melakukan tindakan tersebut.

  • Partisipasi mobilisasi, yaitu partisipasi politik yang digerakkan atau diinginkan oleh orang lain, bukan karena kesadaran atau keinginan pelakunya sendiri.

Fungsi Partisipasi Politik


Sebagai suatu tindakan atau aktivitas, balk secara individual maupun kelompok, partisipasi politik memiliki beberapa fungsi. Robert Lane (Rush dan Althof, 1990: 181-182) dalam studinya tentang keterlibatan politik, menemukan empat fungsi partisipasi politik bagi individu-individu, yakni:

  1. Sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomis;

  2. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial;

  3. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus;

  4. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu.

Dari sisi lain, Arbit Sanit (Sastroatmodjo, 1995) memandang ada tiga fungsi partisipasi politik, yaitu:

  1. Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya.

  2. Sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah.

  3. Sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga kemudian diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik misalnya melalui pemogokan, huru-hara, dan kudeta.

Partisipasi politik juga mempunyai fungsi bagi kepentingan pemerintah.

Untuk kepentingan pemerintah, partisipasi politik memiliki tugas:

  1. Untuk mendorong program-program pemerintah. Hal ini berarti bahwa peran serta masyarakat diwujdukan untuk mendukung program politik dan program pemerintahan.

  2. Sebagai institusi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan.

  3. Sebagai sarana untuk memberikan masukan, saran dan kritik terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan.

Faktor-faktor Yang Berpengaruh


Weimar (Sastroadmodjo, 1995) menyebutkan paling tidak ada 5 faktor yang mempengaruhi partisipasi politik.

  1. Modernisasi. Modernisasi di segala bidang berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrialisasi, meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan tingkat pendidikan, meluasnya peran media massa dan media komunikasi. Kemajuan itu berakibat pada meningkatnya partisipasi warga negara, terutama di perkotaan, untuk turut serta dalam kekuasaan politik. Mereka ini misainya kaum buruh, para, pedagang dan pars profesional.

  2. Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas esensial. Dalam hal ini adalah munculnya kelas menengah dan pekerja baru yang semakin meluas dalam era industrialisasi. Kemunculan mereka tentu saja dibarengi tuntutan-tuntutan baru pada gilirannya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

  3. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa. Ide-ide nasionalisme, liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang meluas mempermudah.

  4. Adanya konflik di antara pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin politik yang sating memperebutkan kekuasaan, seringkali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cars mencari dukungan massa. Dalam konteks ini seringkali terjadi partisipasi yang dimobilisasikan.

  5. Adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan yang terorganisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi perbuatan keputusan politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.