Apa yang dimaksud dengan musyawarah menurut Islam ?

Musyawarah

Musyawarah berasal dari kata Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu.

Apa yang dimaksud musyawarah menurut Islam ?

Secara etimologis term musyawarah yang berasal dari bahasa Arab (Al-Quran) “syura” yang berakar kata sy-w-r yaitu “memulai sesuatu, menampakkan dan melebarkannya”. Juga mengandung makna mengeluarkan madu dari sarang lebah”.
Pendapat lain menyatakan bahwa syawara-musyawarah berarti mencapai pendapat/ buah pikiran seperti mengeluarkan madu dari sarang lebah, dengan wazan (patron) bisa berarti saling mencari/ mengeluarkan pendapat (Ra’yun).

Menurut Quraish Shihab, term musyawarah pada dasarnya hanya digunakan pada hal-hal yang baik dan bermanfaat, seperti halnya madu, tidak saja manis, tetapi juga obat untuk berbagai penyakit dan sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan.

Kata musyawarah tersebut selanjutnya mengalami perkembangan arti sehingga mencangkup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat.

Abdul Hamid Al-Anshari mengatakan bahwa syura (musyawarah) berarti saling merundingkan atau bertukar pendapat mengenai suatu masalah atau meminta pendapat dari berbagai pihak untuk kemudian dipertimbangkan dan diambil yang terbaik demi kemaslahatan bersama.

Louis Ma’Lou menyatakan, Syura adalah majelis yang dibentuk untuk memperdengarkan saran dan ide sebagaimana mestinya dan terorganisir dalam aturan. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam dikatakan bahwa musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai penyelesaian masalah bersama.

Musyawarah dalam Al-Quran


Dalam Al-Quran terdapat tiga ayat yang membicarakan musyawarah, yakni.
Q.S Al-Syura (42):38 dengan menggunakan term syura, Q.S Al-Baqarah (2):
233 dengan menggunakan term tasyawur dan Q.S. Ali Imran (3):159 menggunakan term syawir. Ayat 38 Surah Al-Syura adalah yang pertama kali diturunkan dan termasuk kelompok ayat/surah Makkiyah sedang dua ayat lain termasuk kelompok ayat/surah Madaniyah atau setelah Rasulullah hijrah ke Madinah.

Ayat pertama Q.S. Al-Syura (42):

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”.

Ayat ini diturunkan sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (kaum Anshor) yang bersedia membela nabi SAW dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian ayat ini juga berlaku umum mencangkup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.

Ayat kedua, Q.S. Al-Baqarah (2) : 233

“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya”

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami-istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan masalah rumah tangga dan hal yang berkaitan dengan anak-anak, seperti menyapih pengurusan anak. Al-Quran memberi petunjuk agar persoalan itu dan juga persoalan-persoalan lainnya dimusyawarahkan dengan baik antara suami-istri.

Ayat ketiga Q.S Ali Imran (3): 159

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentunya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam uruan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Secara lafzhiyah (redaksional), ayat ini ditujukan kepada Rasulullah SAW agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan para sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi ayat ini juga memaparkan kepada setiap mukmin, khususnya kepada setiap pemimpin agar bermusyawarah dengan anggotanya.

Ayat ini turun setelah terjadinya peperangan Uhud (ghazwati Uhud) yang kurang menguntungkan bagi kaum muslimin karena dipecundangi oleh kaum kafir quraisy. Namun nabi tetap sabar dalam menghadapi musibah tersebut, bersikap lemah lembut dan tidak mencibir kesalahan sahabat-sahabatnya dan nabi tetap bermusyawarah baik dalam keadaan gawat maupun dalam keadaan damai (fi al harb wa al silmi).

Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa perang uhud yang dapat mengundang emosi manusia marah, namun demikian cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemah lembutan Nabi SAW, yangmembuka jalan kenyamanan untuk bermusyawarah.

Peran dan Lapangan Musyawarah


Dengan melihat beberapa pernyataan Al-Quran dan Hadis tentang musyawarah yang bisa dijadikan landasan hokum, menunjukkan musyawarah memiliki peranan yang penting dan strategis di dalam kehidupan social kemasyarakatan dan kenegaraan. Maka wajarlah jika Rasulullah SAW begitu sering bermusyawarah dan kerja bareng bersama sahabat dalam kesehariannya, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah.

“Dia berkata: “Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling sering melakukan musyawarah selain dari Rasulullah SAW.”

Kendati pun musyawarah mempunyai peran yang sangat urgen dalam ajaran Islam, namun hal itu tidak berarti segala sesuatu menjadi obyek atau lapangan musyawarah. Tiga ayat Al-Quran yang telah diutarakan di atas bisa memberikan gambaran bagaimana tuntutan untuk bermusyawarah dan lapangan yang memberikan yang merupakan wilayah untuk dimusyawarahkan.

Lapangan atau obyek musyawarah bisa dilihat dari teks/lafadz fi’ al-amri dalam Q.S. Ali Imran (3): 159 yang diterjemahkan dengan “dalam urusan itu”. Dari segi konteks ayat bahwa lapangan musyawarah dalam ayat tersebut berkaitan dengan persoalan peperangan. Oleh karena itu ada pendapat di kalangan ulama yang membatasi bahwa lapangan musyawarah menurut ayat tersebut hanya yang berkaitan dengan persoalan peperangan. Namun pandangan ini tidak didukung oleh praktek Nabi SAW.

Rasyid Ridha mengomentari lafadz fi al-amri bahwa lapangan. Musyawarah di sini tidak terbatas pada peperangan akan tetapi bisa urusan yang lebih luas, seperti urusan politik kenegaraan dan kemasyarakatan, pada masa perang dan damai, pada masa kacau dan masa aman, urusan tersebut tetap dibatasi pada wilayah keduniaan, bukan persoalan ibadah makhdhah.

Kata fi’al-amri masih pula ditambah dengan lafadz wa amruhum dalam surah Al-Syura (42): 38 adalah urusan umat khususnya kaum muslimin dalam kategori yang ma’ruf yang dibenarkan oleh pemerintahan yang baku dan berlaku dalam adat kebiasaan serta sesuai dengan situasi dan kondisi suatu daerah atau negara. Persoalan agama yang sudah jelas dan ditetapkan oleh wahyu tidak lagi menjadi lapangan musyawarah, sebab andai kata persoalan agama seperti aqidah, ibadah (ta’abbudiy) ditetapkan oleh hasil musyawarah maka agama ini aturan manusia bukan aturan Tuhan.

Al-Amr atau ratusan yang bukan wilayah lapangan musyawarah adalah urusan yang hanya wewenang Allah semata-mata, hal ini ditemukan dalam Al-Quran, seperti terlihat dalam jawaban Allah tentang ruh (Q.S. Al-Isra (17): 85, tentang datangnya kiamat (Q.S. An-Naziat (79): 42. Demikian juga soal taubat (baca misalnya Q.S. Ali Imran (3): 128 dan persoalan-persoalan gaib lainnya. Dalam konteks seperti ini tidak ada lagi campur tangan manusia dan hanya mempunyai pilihan untuk menerima ketetapan-ketetapan tersebut sebagai bukti dan ekspresi dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-nya. Untuk itu Al-Quran secara tegas menyatakan dalam Surah Al-Ahzab ayat 36:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.

Urusan (al-amr) yang merupakan lapangan musyawarah mulai dari lingkungan keluarga. Sebagai bentuk miniatur masyarakat. Sampai skala besar pemerintahan suatu Negara bahkan dunia International. Contoh kasus keluarga seperti kandungan
Q.S. Al-Baqarah (2): 233 tentang penyapihan penyusun anak (fishal) yang menyoroti “hak si bayi untuk mendapatkan penyusunan, juga hak yang menyusukan untuk mendapatkan biaya. Di sini ada landasan hukum yang perlu ditegakkan yakni adanya kerelaan dan tidak ada pihak yang dirugikan”. Intinya semua persoalan yang dihadapi oleh anggota keluarga harus dibicarakan dan dicarikan solusinya dengan keputusan yang terbaik. Memang musyawarah seharusnya menjadi landasan pokok dalam membina kehidupan berkeluarga.

Lapangan musyawarah yang dilansir para ulama adalah persoalan yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Quran dan hadis Rasulullah SAW, atau ada nash mengatur, hanya saja bersifat Ghairul Qath’iy al-Dalalah (dalalahnya tidak tegas). Atau pada masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Sedangkan persoalan-persoalan yang ada petunjuknya secara tegas dan jelas baik melalui Al- Quran maupun Sunah Rasulullah SAW tidak menjadi lapangan musyawarah.

Asumsi tersebut bisa dipahami dari cara musyawarah yang dipraktekkan Nabi SAW bersama para sahabatnya. Mereka menyadari benar, mereka tidak mengajukan saran menyangkut hal-hal yang telah mereka ketahui adanya petunjuk ilahi. Ketika Nabi SAW memilih satu lokasi untuk pasukan kaum muslimin dalam perang badar, sahabat beliau, Al-Khubbab Ibn al-Munzir mengajukan pertanyaan kepada Nabi:

“Apakah ini tempat yang diperintahkan Allah kepadamu, atau tempat ini adalah pilihanmu bedasarkan strategi perang dan siasat tipu muslihat? Ketika Nabi menjawab bahwa pilihan itu adalah pilihan berdasar pada pertimbangan beliau, barulah al-Khubbab menyarankan lokasi lain, yang ternyata disetujui oleh Nabi SAW.

Islam memberi posisi dan porsi istimewa musyawarah, sejak lingkungan keluarga sampai kehidupan dalam sekala besar kemasyarakatan dan kenegaraan, namun dimaklumi sangat terbatas ayatnya dalam al- Quran, itupun dalam bentuk yang sangat umum tanpa menjelaskan secara rinci tentang cara-cara bermusyawarah.

Sumber : Dudung Abdullah, Musyawarah dalam al-quran : Suatu Kajian Tafsir Tematik, Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.