Mengapa umat Islam dilarang berdebat ?

debat

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Aku menjamin sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia sebagai pihak yang benar.

Mengapa umat Islam dilarang berdebat ?

Tema tentang “debat” menjadi menarik untuk dibahas, mengingat saat ini kita memasuki era informasi dan komunikasi, dimana pertukaran informasi dan komunikasi antar individu didalam sosial masyarakat menjadi jauh lebih mudah dibandingkan pada era sebelumnya. Hal ini merupakan dampak dari perkembangan teknologi informasi itu sendiri.

Salah satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, setiap teknologi akan mempunyai dampak positif dan negatif, tergantung bagaimana manusia (brainware) menggunakan teknologi tersebut.

Sebelum berdisuksi terkait dengan masalah “debat”, sebaiknya kita sepakati terlebih dahulu definisi dari debat itu sendiri, sehingga muncul sebuah kesimpulan bahwa perdebatan menjadi sesuatu yang dilarang.

Menurut KBBI, debat merupakan suatu pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Apabila mengacu pada definisi diatas, maka sepertinya tidak ada alasan untuk melarang perdebatan, karena bagaimanapun hak berpendapat adalah hak manusia. Oleh karena itu, perlu kiranya menelusuri lebih jauh terkait dengan definisi “debat” dari pemahaman yang lebih umum, sehingga kita lebih memahami perbedaan diantara debat, diskusi dan dialog.

  • Debat : bertukar pendapat dengan tujuan untuk mencari kemenangan, dimana lawan debat kita akan mengakui kebenaran pendapat kita dan merubah pendapatnya sesuai dengan pendapat kita

  • Diskusi : bertukar pendapat dengan tujuan untuk saling bertukar ide, pandangan, pendapat, tanpa ada keinginan untuk saling menyalahkan.

  • Dialog : bertukar pendapat dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam.

Kalau dilihat dari definisi diatas, maka akan terlihat perbedaan yang mendasar dari ketiga term tersebut, yaitu perbedaan tujuan dilakukannya “komunikasi” diantara individu atau kelompok.

Mengapa umat Islam dilarang berdebat ?

Konteks dilarangnya berdebat karena tujuan dari dilakukannya perdebatan itu sendiri, yaitu mencari kemenangan dengan cara beradu argumentasi untuk mencari siapa yang benar diantara keduanya.

Mengutip hadist diatas,

Aku menjamin sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia sebagai pihak yang benar.

Terlihat bahwa debat, yang dilarang, adalah untuk menunjukkan siapa yang paling benar. Bahkan terdapat penekanan bahwa walaupun kita merasa bahwa diri kita adalah pihak yang benarpun, kita dilarang melakukan perdebatan.

Lebih jauh lagi, terdapat beberapa tingkatan didalam kehidupan bersosial didalam masyarakat dalam memaknai “kebenaran”. Tingkatan tersebut antara lain :

  1. Menang-kalah.
    Didalam tingkatan yang paling dasar ini, tujuan utamanya adalah mencari kemenangan. Tingkatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak berbudaya. Mengingat tujuan utamanya hanyalah kemenangan, mereka akan melakukan segala cara, tidak peduli apakah cara yang ditempuh akan merugikan orang lain, menggunakan cara-cara yang licik atau bahkan melanggar aturan dan norma agama. Oleh sebab itu, adu argumentasi atau bertukar pikiran dengan tingkatan ini dilarang oleh agama.

  2. Benar-salah
    Didalam tingkatan yang kedua ini, tujuan utamanya adalah menentukan kebenaran sejati. Hal ini sudah lebih baik dibandingkan hanya mencari kemenangan. Tingkatan ini sudah agak berbudaya.

    Tetapi yang perlu diingat, semua kebenaran selalu bersifat relatif. Tidak ada kebenaran mutlak didalam diri manusia. Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah swt dan Nabi Muhammad saw. Setiap hari kita selalu memohon kepada Allah swt untuk ditunjukkan “jalan yang lurus”, oleh karena itu, didalam hadist diatas, kitapun dilarang berdebat walaupun kita merasa benar.

  3. Baik-buruk
    Didalam tingkatan yang ketiga ini, tujuan utamanya adalah mencari kebaikan bersama. Kebaikan lebih utama dibandingkan dengan hanya sekedar kebenaran karena kebaikan akan lebih dekat dengan keadilan. Sebagai contoh, terdapat seorang pemimpin yang malah membebaskan seorang pencuri dan malah menghukum orang yang dicuri karena pencuri tersebut melakukannya dengan sangat terpaksa (dalam kondisi lapar), sedangkan orang yang dicuri mengetahui hal tersebut tetapi membiarkannya.

    Tingkatan baik-buruk membutuhkan kebijaksanaan dalam melihat segala sesuatunya. Segala sesuatu haruslah dilihat secara keseluruhan, tidak hanya secara parsial saja. Selain itu, rasa empati juga sangat dibutuhkan dalam tingkatan ini, karena bagaimanapun kebaikan lebih bersifat universal.

  4. Indah-jelek
    Tingkatan ini adalah tingkatan tertinggi. Keindahan berada diatas kebaikan karena keindahan sangat berhubungan erat dengan “rasa” manusia. Sesuatu hal yang indah akan manghasilkan rasa yang menyenangkan sekaligus memberikan rasa nyaman didalam diri manusia. Keindahan akan menarik jiwa manusia kedalamnya, karena keindahan adalah cinta. Keindahan adalah rahmatan lil 'alamin, puncak dari kehidupan manusia.

Bagaimana dengan kondisi di Indonesia saat ini ?

Seperti yang dapat kita lihat bersama, baik itu di media sosial atau di media televisis maupun di media-media lainnya, perdebatan dalam artian menang-kalah dan benar-salah masih mendominasi di media-media tersebut. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat kita sendiri karena secara tidak langsung, masyarakat akan berperilaku sesuai dengan apa yang dilihat dan dirasakan. Perdebatan yang bertujuan menang-kalah dan benar-salah akan merusak budaya masyarakat kita, oleh karena itu, hal tersebut menjadi terlarang menurut hadist diatas.

Lalu apakah bertukar pendapat sepenuhnya dilarang ?

Bertukar pendapat, pikiran dan cara pandang sepenuhnya tidak dilarang, bahkan didalam ajaran Islam, kita dianjurkan untuk selalu berdiskusi, terutama ketika akan merumuskan atau memutuskan sesuatu. Penekanannya adalah, yang dilarang adalah tujuannya (menang-kalah, benar-salah), bukan prosesnya. Diskusi yang dianjurkan didalam Islam adalah diskusi yang bertujuan untuk mencari kebaikan bersama, atau dalam tingkatan yang lebih tinggi, mencari keindahan.

Diskusi, didalam Islam dikenal dengan istilah Musyawarah, yang menurut kamus, berasal dari kata “syura”, dimana kata “syura” mengandung makna "mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Dari terminologi kata tersebut sudah jelas terlihat bahwa hasil dari musyawarah digambarkan sebagai madu, dimana madu adalah sesuatu yang baik dan indah.

Melihat kebaikan dari dilakukannya musyawarah, maka tidak mengherankan apabila Nabi Muhammad saw adalah manusia yang paling sering melakukannya, hal ini berdasarkan hadist dari Abu Hurairah berikut ini :

“Dia berkata: “Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling sering melakukan musyawarah selain dari Rasulullah SAW.” (Al-Tirmidziy)

Bahkan, didalam Al-Quran surah Asy Syura ayat 38, kita diperintahkan untuk melakukan musyawarah didalam memutuskan atau merumuskan suatu perkara,

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (Asy Syura ayat 38)

Dari pemahaman diatas, sudah sepantasnya menjadikan diskusi atau musyawarah sebagai budaya didalam sosial masyarakat kita, tetapi dengan catatan, diskusi yang beradab, beretika dan memenuhi norma-norma yang ada. Diskusi yang bertujuan untuk mencari kebaikan dan keindahan, bukan hanya diskusi yang bertujuan menang-menangan atau mencari siapa yang paling benar dengan menyalahkan lawan diskusinya secara membabi buta.

Wallahu A’lam Bishawab.