Apa yang dimaksud dengan modal psikologi atau Psychological Capital?

modal psikologi

Apa yang dimaksud dengan Psychological Capital ?

Psychological capital secara umum merupakan sebuah faktor inti psikologis mengenai positivitas, dan secara khusus merupakan konstruk yang termasuk ke dalam kriteria positive organizational behavior (perilaku positif organisasi). Perilaku positif organisasi itu sendiri merupakan sebuah studi aplikasi yang memiliki orientasi positif pada kekuatan dan kapasitas sumber daya manusia yang dapat diukur, dikembangkan, dan diatur secara efektif untuk meningkatkan kinerja pekerja dalam lingkungan pekerjaannya (Luthans, 2002).

Perilaku positif organisasi dan psychological capital merupakan konstruk lanjutan dari pergerakan psikologi positif dimana psikologi positif fokus pada keberfungsian yang optimal dari manusia, sedangkan perilaku positif organisasi serta psychological capital merupakan aplikasi keberfungsian yang optimal dari manusia tersebut di tempat kerja (Seligman dan Csikszentmihalyi, 2000).

Penelitian pada perilaku positif organisasi yang berkembang sebelumnya cenderung fokus pada berbagai potensi manusia yang termasuk ke dalam trait-like (Luthan, Youssef, dan Avolio, 2007), yang berarti kekuatan yang dimiliki oleh individu tersebut cenderung bersifat stabil sepanjang waktu. Namun, lingkungan di sekitar individu terus berkembang dan mengalami perubahan sehingga berbagai potensi yang termasuk ke dalam trait-like tersebut sudah tidak efektif dan tidak begitu sesuai dengan keadaan di lingkungan pekerjaan yang dihadapi (Luthans dkk, 2007). Pada akhirnya, berbagai penelitian mengenai perilaku positif organisasi bukan hanya membahas mengenai trait-like saja, namun pada akhirnya juga membahas mengenai kekuatan individu yang dapat stabil ketika diukur namun sangat terbuka untuk berubah dan berkembang. Kekuatan tersebut disebut dikenal dengan sebutan state-like

State-like dapat berupa pengetahuan dan kemampuan teknis yang berkembang dalam diri individu. Meskipun pengetahuan dan kemampuan teknis tersebut dapat berkembang, namun ternyata hal tersebut masih belum cukup untuk memaksimalkan kekuatan seorang pekerja sebagai seorang individu. Oleh karena itulah berkembang suatu konstruk yang dinamakan psychological capital (Luthans, dkk., 2007). Konstruk psychological capital merupakan konstruk statelike yang jauh melebihi human capital (“apa yang Anda tahu” / “ what you know ”) dan social capital (“siapa yang Anda tahu” / “ who you know ”) hingga akhirnya menjadi “siapa Anda” (“ who you are ”) karena psychological capital dalam diri individu selalu berkembang dari keadaan diri yang sebenarnya ( actual self ) ke arah keadaan diri yang ideal ( ideal self ) (Avolio dan Luthans, 2006, dalam Luthans dkk, 2007).

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa poin utama dari psychological capital antara lain:

  1. Berdasarkan paradigma psikologi positif (pentingnya positifitas dan kekuatan sumber daya manusia)

  2. Termasuk di dalamnya adalah keadaan psikologis yang didasari oleh perilaku positif organisasi yaitu suatu kriteria yang positif dan unik, berdasarkan teori dan penelitian akademis, dapat diukur dengan valid, merupakan kriteria yang state-like, dimana keseluruhan kriteria ini terbuka untuk dikembangkan, dan memiliki dampak yang positif terhadap kinerja (Luthans dkk, 2007).

  3. Melampaui modal manusia/ human capital (yaitu “apa yang Anda tahu” / “ what you know ”) dan modal sosial/ social capital (yaitu “siapa yang Anda tahu” / “ who you know ”) menjadi “siapa Anda” (“ who you are ”).

  4. Melibatkan investasi dan pengembangan (seperti misalnya modal ekonomi/ finansial) untuk menghasilkan keunggulan yang kompetitif dan peningkatan performa yang unggul.

Definisi Psychological capital


Menurut Luthans dan Yousef dalam Simon dan Buitendach (2013), psychological capital merupakan susunan inti dari konsep positive organizational behavior (POB). Menurut Luthans (2007) positive organizational behavior (POB) didefinisikan sebagai studi dan aplikasi yang berorientasi positif padakekuatan sumber daya manusia dan kapasitas psikologis yang dapat diukur, dikembangkan, dan secara efektif dapat menggerakkan peningkatan performa ditempat kerja .Senada dengan pendapat tersebut, Lewis (dalam Kaplan & Bickes,2013) menekankan bahwa psychological capital adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam mencapai kinerja organisasi yang diiginkan. Menurut Osigweh dalam Sukamto (2012), psychological capital adalah suatu pendekatan yang dicirikan pada dimensi-dimensi yang dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu kinerja organisasi.

Luthan, Youssef, dan Avolio (2007) mendefinisikan psychological capital sebagai berikut:

an individual’s positive psychological state of development and is characterized by: (1) having confidence (self-efficacy) to take on and put in the necessary effort to succeed at challenging tasks; (2) making a positive attribution (optimism) about succeeding now and in the future; (3) persevering toward goals and, when necessary, redirecting paths to goals (hope) in order to succeed; and (4) when beset by problems and adversity, sustaining and bouncing back and even beyond (resiliency) to attain success .” (Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007: 3)

Definisi tersebut berarti suatu perkembangan psikologis yang positif pada individu yang memiliki karakteristik:

  1. memiliki kepercayaan diri untuk memilih dan mengerahkan upaya yang diperlukan agar berhasil dalam menghadapi tugas-tugas yang menantang ( self efficacy );

  2. membuat atribusi positif tentang keberhasilan di masa kini dan mendatang ( optimism );

  3. tekun dalam mencapai tujuan dan, bila diperlukan, mengalihkan cara untuk mencapai tujuan dalam rangka meraih keberhasilan ( hope ); dan

  4. ketika dilanda masalah dan kesulitan, individu dapat bertahan dan bangkit kembali bahkan melampaui keadaan semula untuk mencapai keberhasilan ( resiliency ).

Psychological capital merupakan suatu kapasitas positif individu yang terbarukan, saling melengkapi dan dapat saling bersinergis. Individu dengan psychological capital yang tinggi akan menjadi individu yang fleksibel dan adaptif untuk bertidak dengan kapasitas yang berbeda untuk memenuhi tuntunan secara dinamis.

Avey, Youssef, dan Luthans (2009) menjelaskan bahwa karakteristik atau komponen yang membangun psychological capital saling mempengaruhi satu sama lainnya sehingga konstruk ini lebih baik diukur sebagai satu kesatuan. Dalam psychological capital , semua karakteristik saling mempengaruhi sehingga tidak memadai apabila hanya menganalisis satu atau beberapa karakteristik psychological capital dengan hubungannya dengan performa karyawan (Luthans dkk, 2007). Pada bagian selanjutnya, peneliti akan membahas mengenai keempat karakteristik atau kapasitas positif atau komponen yang membentuk konstruk psychological capital tersebut.

Berdasarkan definisi psychological capital yang dikemukakan oleh Luthans, Youssef dan Avolio (2015), terdapat empat dimensi psychological capital yaitu: efikasi diri, harapan, optimism dan resiliensi.

Psychological capital adalah kondisi psikologis yang bersifat positif dari individu yang memiliki karakteristik efikasi diri, optimisme, harapan dan resiliensi yang diukur berdasarkan adaptasi dan modifikasi dari psychological capital questionnaire (PCQ).

Skala psychological capital disusun dengan mengadopsi skala psychological capital yang disusun oleh Pratiwi (2011, h. 33) yang mengacu dari psychological capital questionnaire (PCQ) yang dikemukakan oleh Luthans, F., Avolio, B., Avey, J., & Norman, S (2006) dengan menggunakan 4 dimensi dari psychological capital yaitu efikasi diri, optimisme, harapan dan resiliensi (Luthans, Youssef, dan Avolio 2009, h.238).

Komponen pertama dari psychological capital yaitu efikasi diri, yang diartikan sebagai keya- kinan terhadap kemampuan diri dalam berupaya menghadapi tugas-tugas yang menantang. Keyakinan ini sangat diper- lukan bagi pegawai dalam menghadapi perubahan seperti pada masa reeingineering (Armenakis et al. , 1993).

Komponen selanjutnya dari psychological capital adalah optimisme dan harapan ( hope ). Kedua komponen ini membuat seorang pegawai memiliki keyakinan kuat akan kesuksesan yang dapat diraih apabila perubahan diterapkan, serta tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan. Komponen terakhir dari psychological capital adalah resiliensi , yaitu kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan. Resiliensi personal, dari hasil penelitian yang dilakukan Wanberg dan Banas (2000), ditemukan memiliki keterkaitan dengan penerimaan yang lebih tinggi terhadap perubahan.

Beberapa ahli menemukan bahwa resiliensi merupakan kondisi yang dapat dikelola, dikembangkan, dan ditingkatkan dalam kehidupan seseorang (Luthans et al ., 2006). Peningkatan resiliensi dapat dilakukan melalui beberapa strategi. Lewis (2011) menjabarkan tiga macam strategi untuk meningkatkan resiliensi, antara lain melalui strategi yang berfokus pada asset, strategi yang berfokus pada resiko, dan strategi yang berfokus pada proses.

Salah satu strategi meningkatkan resiliensi yang aplikatif bagi organisasi adalah strategi yang berfokus pada asset. Strategi ini ditempuh dengan mening- katkan kesadaran pegawai akan kekuatan/ asset yang dimiliki melalui proses appreciative inquiry (Lewis, 2011). Melalui kesadaran terhadap asset yang dimiliki, seorang pegawai diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya dalam memanfaatkan asset yang dimiliki untuk mendukung implementasi proses perubahan.

Sebagai kondisi positif yang dimiliki oleh individu, psychological capital memiliki peranan dalam meningkatkan kesiapan berubah melalui beberapa hal. Pertama, dimensi efikasi diri membuat seorang pegawai memiliki kepercayaan diri untuk melakukan tugas-tugas menantang dan melakukan berbagai upaya untuk meraih kesuksesan berbagai tugas, termasuk tugas perubahan. Kedua, dimensi harapan ( hope ) yang membuat pegawai tidak mudah menyerah saat menghadapi rintangan dan bila perlu mengalihkan jalan untuk mencapai tujuan, termasuk tujuan perubahan. Ketiga, dimensi resiliensi membuat seorang pegawai mampu bangkit dari keterpurukan, serta mampu beradaptasi dengan ketugasan baru. Secara keseluruhan, keadaan psychological capital positif yang dimiliki seorang pegawai akan menciptakan suasana hati positif yang pada akhirnya dapat menjadi pemicu munculnya perubahan organisasi yang positif juga (Luthans, Avey, Avolio, Norman, & Combs, 2006).

Psychological capital atau modal psikologis secara singkat telah disebutkan dalam berbagai karya tentang ekonomi, investasi, dan sosiologi, namun istilah PsyCap dalam bidang psikologi positif cenderung baru (Luthans, Luthans, & Luthans, 2004). Hal ini dimulai beberapa tahun yang lalu ketika psikolog Martin Seligman melakukan penelitian yang menantang lapangan untuk mengubah dari keasyikan dengan apa yang salah dan disfungsional pada orang-orang, dengan apa yang benar dan baik tentang mereka.

Secara khusus, berfokus pada kekuatan daripada kelemahan, kesehatan dan vitalitas, bukan penyakit dan patologi. Dalam buku terbarunya yang berjudul Authentic Happiness, Seligman (2002) pertama mengajukan pertanyaan “apakah ada modal psikologis?”, “dan jika demikian, apa itu?”, “dan bagaimana kita mendapatkannya?”. Melalui pertanyaan tersebut dia menunjukkan bahwa “ketika kita terlibat (hanyut dalam aliran), mungkin kita berinvestasi, membangun modal psikologi untuk masa depan kita” (Luthans, Luthans, & Luthans, 2004).

Psychological capital berbeda halnya dengan modal ekonomi tradisional (traditional economic capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital). Modal ekonomi tradisional mencakup keuangan dan aset berwujud. Modal manusia mencakup pengalaman, pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan ide-ide. Modal sosial menekankan hubungan, jaringan kontak, dan pertemanan. Sedangkan Modal psikologis (Psychological capital) yang positif menekankan pada kepercayaan, harapan, optimisme, dan ketahanan (Luthans, Luthans, & Luthans, 2004).

Psychological capital atau Modal psikologis ini menyangkut tentang ‘siapa Anda’, dan lebih penting lagi, ‘siapa Anda menjadi’. Modal psikologis didefinisikan di sini sebagai "keadaan psikologis yang positif pada diri individu yang ditandai dengan:

  1. memiliki kepercayaan (self efficacy) untuk mengambil dan meletakkan upaya yang diperlukan untuk sukses dalam tugas yang menantang;
  2. membuat atribusi positif (optimisme) tentang sukses sekarang dan di masa depan;
  3. tekun menggapai tujuan dan bila perlu, mengarahkan jalan agar tujuan (harapan) berhasil; dan
  4. ketika dilanda masalah dan kesulitan, mempertahankan dan melenting kembali untuk mencapai keberhasilan” (Luthans, dkk, 2007).

Dimensi Psychological Capital


Terdapat empat dimensi dalam psychological capital yang biasa disingkat menjadi HORE, yakni Hope, Optimism, Resilience, dan Self- Efficacy. Menurut Luthans (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) keempat dimensi tersebut diperinci dalam uraian berikut:

1. Hope (Harapan)

Hope atau harapan adalah sesuatu yang tampak sebagai emosi, meski juga berkaitan dengan komponen kognitif. Hope secara ringkas dapat diterjemahkan sebagai suatu emosi yang berakar pada pengalaman terdahulu dan dipengaruhi oleh faktor eksternal serta kontrol keyakinan kolaboratif. Harapan juga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mampu memotivasi tindakan dan mempengaruhi pikiran serta perilaku (Mclenon, dkk, 1997).

Dalam psikologi positif, hope atau harapan diidentifikasikan sebagai sebuah gaya pengaktif yang memungkinkan orang-orang, meski sedang menghadapi banyak sekali hambatan, untuk membayangkan masa depan yang menjanjikan dan untuk mengatur serta mengejar target (Helland & Winston, 2005).

2. Optimism (Optimisme)

Optimisme adalah suatu tendensi atau kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menguntungkan (Srivastava & Angelo, 2009). Menggunakan kalimat berbeda Scheier dan Carver (dalam Mclenon, dkk, 1997) menggambarkan optimisme sebagai keyakinan umum dengan hasil yang baik. Dengan kata lain, optimisme mengharapkan hal-hal untuk berlangsung sebagaimana seharusnya. Optimisme ini berkaitan dengan kekuatan ego dan pengendalian internal.

3. Resilience (Resiliensi)

Resiliensi (daya lentur, ketahanan) adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan, atau mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi (Desmita, 2009).

Individu yang memiliki daya resiliensi akan cenderung membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Maksudnya yaitu bahwa resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan pada kondisi stres hebat. Stres hebat merupakan kondisi dimana individu berada di bawah tekanan besar baginya. Contohnya bisa berupa bencana alam, perceraian orang tua, trauma, kehilangan orang yang disayangi dan lain sebagainya. Meskipun resiliensi merupakan daya bertahan dalam situasi yang stressfull, tidak berarti bahwa resiliensi merupakan suatu sifat atau traits melainkan lebih merupakan suatu proses (process) dan menurut Werner & Smith (dalam Desmita, 2009), resiliensi dapat dipelajari.

Coutu (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menjelaskan bahwa seorang yang resilien dikenali sebagai sebagai seorang yang:

  1. tabah menerima kenyataan;
  2. berkeyakinan penuh, sering kali ditopang oleh nilai-nilai yang digenggam kuat, bahwa hidup itu penuh arti;
  3. berkemampuan luar biasa untuk berbuat seadanya dan beradaptasi terhadap perubahan yang signifikan.

Sedangkan menurut Wolins (dalam Desmita, 2009), individu yang resilien memiliki tujuh karakteristik sebagai berikut:

  1. Initiative (inisiatif), yang terlihat dari upaya mereka melakukan eksplorasi terhadap lingkungan mereka dan kemampuan individual untuk mengambil peran/ bertindak.

  2. Independence (independen), yang terlihat dari kemampuan seseorang menghindar atau menjauhkan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan dan otonomi dalam bertindak.

  3. Insight (berwawasan), yang terlihat dari kesadaran kritis seseorang terhadap kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam lingkungannya atau bagi orang dewasa ditunjukkan dengan perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan menganalisis mengapa ia salah.

  4. Relationship (hubungan), yang terlihat dari upaya seseorang menjalin hubungan dengan orang lain.

  5. Humor (humor), yang terlihat dari kemampuan seseorang mengungkapkan perasaan humor di tengah situasi yang menegangkan atau mencairkan suasana kebekuan.

  6. Creativity (kreativitas), yang ditunjukkan melalui permainanpermainan kreatif dan pengungkapan diri.

  7. Morality (moralitas), yang ditunjukkan dengan pertimbangan seseorang tentang baik dan buruk, mendahulukan kepentingan orang lain dan bertindak dengan integritas.

4. Self-Efficacy (Kepercayaan Diri)

Self-Efficacy atau yang secara umum disebut confidence secara bahasa berarti kepercayaan diri. Stajkovic & Luthans (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, sumber kognitif, dan metode kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan dengan sukses sebuah tugas tertentu dalam sebuah konteks yang telah diberikan.

Dalam teori sosialnya, Bandura (dalam Malik, 2013) menjelaskan self-efficacy sebagai kepercayaan seseorang terhadap kapabilitas dirinya untuk melakukan suatu tugas yang spesifik. Self-efficacy ini memiliki tiga dimensi, yakni:

  1. Magnitude (ukuran besarnya), terkait level kesulitan tugas yang seseorang percayai dapat merealisasikan;
  2. Strength (kekuatan), mengacu pada apakah keyakinan terhadap magnitude kuat atau lemah; dan Generality (keumuman) menunjukkan atau mengindikasikan bagaimana tingkat pengharapan digeneralisasikan pada berbagai situasi.

Cara Mengembangkan Psychological Capital


Psychological capital atau modal psikologis seseorang dapat dikembangkan dan ditingkatkan berdasarkan masing-masing dimensinya.

Hope

Snyder, Luthans & Jensen (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menyampaikan cara mengembangkan harapan (hope) sebagai berikut:

  1. Mengatur dan menglarifikasi target pribadi dan organisasi yang spesifik dan menantang.

  2. Melakukan “metode langkah” untuk memecah target menjadi sublangkah yang dapat diatur sehingga dapat menandai peningkatan dan membuat pengalaman langsung terkait setidaknya kemenangan dan kesuksesan kecil.

  3. Mengembangkan setidaknya satu alternatif atau jalan kemungkinan untuk target yang telah disusun dengan disertai rencana tindakan.

  4. Akui kesenangan dalam proses bekerja untuk menggapai target, dan jangan hanya fokus pada pencapaian akhir.

  5. Bersiap dan bersedialah untuk menekuni rintangan dan permasalahan.

  6. Bersiap dan terampil mengetahui kapan dan jalan alternatif mana yang bisa dipilih ketika rute utama menuju pencapaian target tidak lagi dapat dilakukan atau tidak lagi produktif.

  7. Bersiap dan pintar dalam mengetahui kapan dan bagaimana menarget kembali untuk menghindari jebakan atau harapan yang salah.

Optimism

Untuk mengembangkan optimisme, Schulman (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menjelaskan langkah-langkah berikut:

  1. Identifikasi keyakinan menaklukkan diri ketika dihadapkan pada sebuah tantangan.

  2. Evaluasi keakuratan keyakinan.

  3. Sekali keyakinan yang tidak berfungsi secara normal tereduksi, ganti dengan keyakinan yang lebih membangun dan akurat yang telah dikembangkan.

Resilience

Reivich & Shatte (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) menjelaskan cara pengembangan resiliensi dengan tahapan berikut:

  1. Hindari jebakan pemikiran negatif ketika suatu hal mulai memburuk.
  2. Uji keakuratan keyakinan terhadap permasalahan dan bagaimana mencari solusi jitu.
  3. Tetapkan ketenangan dan kefokusan ketika emosi dan stres menyerbu.

Self-Efficacy atau Confidence

Self-efficacy atau kepercayaan diri dapat dikembangkan dengan memperhatikan pendekatan yang disusun Bandura (dalam Luthans, Luthans, & Luthans, 2004) sebagai berikut:

  1. Pengalaman ahli atau pencapaian performa. Hal ini sangat potensial untuk mengembangkan kepercayaan diri karena melibatkan informasi langsung terkait sukses. Bagaimanapun, pencapaian tidak secara langsung membangun kepercayaan diri. Proses situasional, seperti tugas yang kompleks, dan proses kognitif, seperti persepsi terhadap kemampuan seseorang, sama-sama berpengaruh terhadap perkembangan percaya diri.

  2. Pengalaman atas nama orang lain atau memperagakan. Jika seseorang melihat orang lain seperti diri mereka berhasil dengan usaha yang dipertahankan, mereka akan mulai percaya bahwa diri mereka juga memiliki kapasitas untuk berhasil.

  3. Persuasi sosial. Seorang individu yang kompeten dapat membantu mengembangkan kepercayaan diri orang lain dengan mempersuasi atau meyakinkan.

  4. Rangsangan atau motivasi fisik dan psikis. Orang-orang sering kali bergantung pada apa yang mereka rasakan, baik secara fisik maupun psikis, untuk mengukur kapabilitas mereka. Bagaimanapun, kondisi fisik dan mental yang sempurna dapat menyebabkan tumbuhnya kepercayaan diri .

Referensi

http://digilib.uinsby.ac.id/4686/58/Bab%202.pdf