Apa saja komponen dari Psychological capital?

Komponen dari Psychological capital

Psychological capital merupakan susunan inti dari konsep positive organizational behavior (POB). Apa saja Komponen dari Psychological capital ?

Komponen Psychological capital


Terdapat empat komponen yang membentuk konstruk psychological capital . Keempat komponen tersebut antara lain self efficacy , optimism , hope , dan resiliency yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.

1. Self efficacy

Self efficacy atau yang bisa disebut juga sebagai efikasi diri adalah suatu keyakinan atau kepercayaan diri seseorang mengenai kemampuannya dalam mengerahkan motivasi, sumber-sumber kognisi, dan melakukan sejumlah tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan tugas pada konteks tertentu (Luthans dkk, 2007). Luthans dkk (2007) juga menjelaskan mengenai karakteristik orang-orang yang memiliki self efficacy , yaitu:

  1. Membuat target yang tinggi untuk dirinya sendiri dan secara sadar mengerjakan tugas-tugas sulit yang telah dipilihnya.

  2. Menerima segala tantangan dan ingin berkembang.

  3. Memiliki motivasi diri yang tinggi.

  4. Melakukan usaha-usaha yang dibutuhkan untuk mencapai target dan tujuannya.

  5. Mereka tetap gigih ketika dihadapkan dengan hambatan-hambatan dalam mencapai tujuannya.

Kelima karakteristik tersebut mendukung individu untuk mencapai self efficacy yang tinggi pada dirinya, dengan kapasitas untuk berkembang secara mandiri dan bekerja secara efektif. Individu dengan self efficacy yang tinggi secara terus menerus menantang diri mereka sendiri dengan cara menetapkan tujuan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, dimana tujuan tersebut ditetapkan oleh diri mereka sendiri. Tantangan tersebut merupakan tugas-tugas sulit yang secara sadar dan sukarela dicari dan dipilih oleh individu tersebut. Sebaliknya, orang dengan self efficacy yang rendah cenderung mudah untuk gagal, putus asa, dan kehilangan kepercayaan diri ketika dihadapkan pada umpan balik negatif, ketidaksetujuan sosial, hambatan, bahkan hambatan yang diciptakan oleh diri seperti keraguan diri, skeptis, atau persepsi dan atribusi negatif.

Konsep mengenai efikasi diri juga dijelaskan oleh psikolog ternama Albert Bandura. Bandura dalam Santrock (2011) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif. Efikasi diri akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Luthans, Yousef dan Avolio (2015) menjelaskan individu yang memilikiefikasi diri dapat dikenali 5 karakteristik berikut

  1. Individu menetapkan tujuan yang tinggi untuk dirinya sendiri dan secara sadar memilih untuk mengerjakan tugas yang sulit,

  2. Individu menyukai dan mau untuk berkembang dalam sebuah tantangan,

  3. Individu memiliki motivasi diri yang tinggi,

  4. Individu menanamkan usaha yang penting untuk mencapai tujuannya,

  5. Individu tetap gigih dan tekun saat mendapatkan hambatan.

Seseorang yang memiliki efikasi diri yang tinggi secara terus menerusakan menantang dirinya sendiri dengan menetapkan tujuan yang lebih tinggi dan mencari secara sadar tugas yang sulit (Luthans, Yousef & Avolio,2015).

2. Optimism

Menurut Seligman (1998, dalam Luthans dkk, 2007), optimism adalah suatu cara menginterpretasi kejadian-kejadian positif sebagai suatu hal yang terjadi akibat diri sendiri, bersifat menetap, dan dapat terjadi dalam berbagai situasi; serta mengintrepretasikan kejadian-kejadian negatif sebagai suatu hal yang terjadi akibat hal-hal diluar diri, bersifat sementara, dan hanya terjadi pada situasi tertentu saja. Optimism dalam psychological capital bukan hanya sekadar memperkirakan bahwa kejadian baik akan terjadi di masa yang akan datang, namun hal yang lebih penting yang perlu dipahami adalah bahwa optimism tergantung pada alasan dan atribusi yang seseorang gunakan untuk menjelaskan mengapa peristiwa tertentu dapat terjadi, baik itu peristiwa positif maupun negatif dan juga baik itu yang trejadi di masa lalu, masa kini, ataupun masa depan (Luthans dkk, 2007).

Orang-orang yang optimis melihat sesuatu yang terjadi pada hidup mereka berada dalam kontrol dan kekuasaan mereka. Keoptimisan tersebut memungkinkan mereka untuk secara positif melihat dan menginternalisasi aspek yang baik dalam hidupnya, tidak hanya untuk masa lalu ataupun masa kini, namun juga dimasa depan.

3. Hope

Dalam perilaku positif organisasi, hope didefinisikan sebagai suatu keadaan motivasi positif yang didasari oleh proses interaksi antara agency (energi untuk mencapai tujuan) dan pathways (perencanaan untuk mencapai tujuan) untuk mencapai kesuksesan (Snyder, Irving, dan Anderson, 1991, dalam Luthans dkk, 2007). Synder mendefinisikan agency sebagai energi fisik dan mental untuk mencapai tujuan ( willpower ) dan pathways sebagai kemampuan mengidentifikasi kesempatan dan alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan tersebut (waypower). Dengan adanya agency dan pathways tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki harapan akan memiliki motivasi dan keinginan ( willpower ) dengan menggunakan kreatifitas yang inovatif untuk mencari alternatif-alternatif baru dalam mencapai tujuan (Luthans dkk, 2007). Luthans, Avolio, Walumbwa, dan Li (2005) menambahkan bahwa orang yang penuh harapan ( hopeful ) cenderung lebih termotivasi dan lebih percaya diri dalam mengambil tugas, dan cenderung memiliki jalur alternatif ketika menemui hambatan, sehingga menghasilkan kinerja yang lebih tinggi.

4. Resiliency

Definisi dari resiliency menurut Luthans (2002) adalah kemampuan untuk “memantul kembali” atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan, bahkan pada peristiwa yang positif, kemajuan, dan peningkatan tanggung jawab. Masten dan Reed (2005, dalam Luthans dkk, 2007) menjelaskan resiliency dalam tahap individu sebagai suatu fenomena dengan karakteristik pola adaptasi positif dalam konteks situasi yang sulit atau berisiko. Penelitian dalam bidang psikologi klinis dan psikologi positif menunjukkan bahwa orang dengan resiliency yang tinggi cenderung lebih efektif dalam berbagai pengalaman hidupnya, termasuk penyesuaian dan pengembangan diri saat berada dalam kondisi yang mengancam dalam hidupnya (Luthans, Avolio, Walumbwa, dan Li (2005).

Resiliency seseorang bergantung pada dua faktor, yaitu aset resiliency dan risiko resiliency (Luthans dkk, 2007). Aset resiliency adalah karakteristik yang dapat diukur pada suatu kelompok atau individu yang dapat memprediksi keluaran positif dimasa yang akan datang dengan kriteria keluaran yang spesifik (Masten dan Reed, 2002, dalam Luthans dkk, 2007). Aset resiliency ini terdiri dari kemampuan kognitif, temperamen, persepsi diri yang positif ketangguhan, rasa humor, general appeal , dan attractiveness . Keseluruhan aset resiliency ini pada akhirnya dapat meningkatkan resiliency dalam diri individu. Faktor lain dari resiliency , yaitu risiko resiliency , didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat menyebabkan meningkatnya keluaran yang tidak diinginkan (Masten dan Reed, 2002, dalam Luthans dkk, 2007). Hal-hal yang termasuk ke dalam risiko resiliency antara lain pengalaman yang tidak mendukung perkembangan diri ( destructive experience ), seperti misalnya kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang, trauma akibat kekerasan, dan lain-lain.

Keseluruhan komponen yang membangun konstruk psychological capital ini sebenarnya saling berinteraksi dan memiliki hubungan antara satu dan lainnya. Sebagai contoh, orang yang penuh harapan ( hopeful ) akan lebih termotivasi untuk mampu mengatasi tantangan yang dihadapi demi mencapai tujuannya, sehingga dengan demikian mereka akan menjadi lebih tangguh ( resilient ). Orang yang yakin dengan kemampuannya akan lebih mampu untuk mentransfer dan menerapkan harapan ( hope ), optimism , dan ketangguhan ( resiliency ) terhadap tugas-tugas khusus dalam wilayah tertentu dari kehidupannya.

Komponen psychological capital seperti self-efficacy , hope , dan resiliency dapat memberikan kontribusi terhadap penjelasan mengenai optimism yang ada dalam dirinya yang merupakan persepsi yang diinternalisasi bahwa dirinya memiliki kontrol atas apa yang terjadi dalam hidupnya (Luthans, dkk., 2007). Beberapa hal yang disebutkan tersebut merupakan contoh hasil positif yang mungkin timbul dari interaksi antara komponen-komponen pembentuk konstruk psychological capital .