Apa yang dimaksud dengan makrifatullah?

Ma’rifatullah

Ma’rifatullah, menurut ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Alláh), adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”. Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Alláh, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Alláh. Ma’rifatulláh artinya mengenal Alláh, baik zat-Nya, sifat-Nya maupun asmā’-Nya. (Ibn Al Qayyim)

Makrifatullah itu puncak, dan puncak itu adalah sesuatu yang sudah jelas dan terang kelihatan tanpa perlu difikirkan lagi. Puncak dari semuanya adalah menuju Allah. Puncak itu tak lagi menarik sebab sudah kelihatan ujung-ujungnya menuju Allah. Justru dasar dari makrifatullahlah yang perlu difahami, karena dasarnya itu abstrak.

Umpama menyelami lautan tanpa dasar lagi… dasar dari lautan itu akan selalu sejauh penyelaman diri pribadi…

Makrifat sejati itu menyelam bukan mendaki, sampai kedalaman samudra nurani diri pribadi, dan kesemuanya hanya bisa difahami dalam kesunyian mutlak, hening sehening heningnya. Keadaan itu tak mungkin dicapai seseorang tatkala ia masih terjepit syahwat-syahwat duniawi… Sejauh manakah seseorang berani meninggalkan angan-angan duniawinya, maka sejauh itulah ia memiliki kekuatan penyelaman… meninggalkan angan-angan duniawi akan membuat seseorang yang kurang lepas dan loss, dihantui bayang-bayang takut miskin dan kekurangan serta kelaparan didunia…

Makrifat adalah tentang memerdekakan diri dari segala bayang-bayang dan ketakutan, hidup dalam kekinian waktu yang tiada lagi mengenal bayangan, dalam keadaan itu yang ada hanyalah kesejatian tanpa bayangan lagi…

:man_with_turban:‍♂Abah FK

Kata makrifatullah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata yaitu ma’rifat dan Allah.

Kata makrifatullah berasal dari kata bahasa Arab yaitu „arafa- yu’rifu-„irfatan yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu.

Di kalangan sufi, ma’rifat merupakan dinding antara rasa cemas (khauf) dan cinta (mahabbah) terhadap Tuhan. Al- Ghazali mengartikan ma’rifat menurut bahasa adalah melihat rahasia-rahasia ketuhanan dan mengetahui segala urusan-urusan Nya.

Secara istilah, makrifatullah adalah ilmu yang tidak ada keraguan lagi tentang zat dan sifat-sifat Allah SWT. Żū al-Nūn al-Miṣri juga mengatakan bahwa ma’rifat pada hakikatnya adalah firman Tuhan tentang cahaya nurani yang menyinari hati manusia dan menjaganya dari maksiat dan dosa sehingga tidak ada sesuatu yang patut dicintai selain Allah SWT di dalam hatinya.

Menurut Fethullah Gulen dalam bukunya yang berjudul at-Tilāl al-Zumūrudiyyah Nahwā Hayātī al-Qalb wa al-Rūh yang diterjemahkan oleh Fuad Syaifudin Nur menjelaskan bahwa ma’rifat sebagai pengetahuan yang menyatu dengan kata ārif yaitu orang yang memilikinya, dan menjadi satu dengan kepribadiannya, sehingga akan menginterpretasikan sifat-sifat Nya. Tahapan awal ma’rifat adalah tajalliyat atau penyingkapan asmā’ al-husnā yang dimiliki Allah dan sifat-sifatNya.

Keadaan hati seorang „ābid memancarkan cahaya Illahi yang akan menimbulkan perilaku yang baik. Ia hanya merasakan musyāhadah (penyaksian) atas kehadirat Tuhan sehingga tidak terlintas dalam pikiran untuk berpaling dari-Nya. Keadaan ruh inilah menjadikan sālik dalam ḥu ḍūr (kehadiran Ilahi ) dan thumā’nīnah (tenang), yang disebut dengan keadaan orang yang ber- ma’rifat . Ketika dalam kondisi seperti ini, seorang sālik lebih bermawas diri ( ihsān ) dan lebih merenungkan tentang ke-Esaan Nya ( tafakkur ).

Dalam ma’rifat terdapat dua pintu untuk meraihnya yaitu

  • Pertama; memikirkan dan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an dan melakukan pemahaman khusus tentang Allah dan Rasul-Nya.

  • Kedua; merenungkan ayat-ayat kauniyah, yang mengandung hikmah di dalamnya tentang kekuasaan, kelembutan, kebaikan, dan keadilan-Nya.

Menurut Żū al-Nūn al-Miṣri setiap hari orang yang „ārif selalu mendekatkan diri kepada Tuhannya dan semakin khusyū’ mengabdi kepada-Nya, karena intisari dari tasawuf adalah mencapai tingkat makrifatullah yang bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Berdasarkan tujuan di atas, manusia yang mencapai tingkat ma’rifat wajib mengetahui 4 perkara diantaranya: mengenal dirinya, mengenal Tuhannya, mengenal dunia dan mengenal akhirat.

  • Mengenal dirinya bahwa ia sadar sebagai hamba yang rendah dan merasa butuh kepada-Nya.

  • Mengenal Tuhannya, yaitu ia tahu benar bahwa Allah SWT yang berhak disembah, Yang Maha Agung dan Maha Kuasa.

  • Mengenal dunia bahwa ia mengetahui hakikat dunia baik yang terpuji ataupun tercela, mana yang halal dan haram.

  • Mengenal akhirat berarti mengetahui, mengenal nikmat-nikmat Nya dan siksa-siksa Nya. Sehingga dengan mengenal akhirat manusia akan merasa bahwa ia hidup di dunia hanya sebentar saja. Apabila seseorang telah mengenal dirinya, mengenal Tuhannya dan mengenal dunia dan akhirat, tentu timbul dalam hatinya cinta kepada Allah SWT sebagai buah dari ma’rifat.

Makrifatullah Secara Umum


Pada hakikatnya manusia diberi kebebasan memilih untuk berbuat baik atau buruk. Tetapi, Islam mengarahkan manusia untuk berbuat kebaikan, baik bagi sesama makhluk hidup ataupun baik bagi Sang Pencipta. Karena kebebasan itulah Allah SWT memberikan beban amanat kepada manusia sebagai khalīfah di bumi. Manusia disebut juga ḥayawān an- nā ṭīq (hewan yang berakal) sehingga manusia harus mampu menjaga dan mengatur bumi dengan baik.

Dari sinilah kemampuan berakhlak bagi manusia menjadi sangat penting dan dominan. Akhlak sangat berkaitan dengan tasawuf, dimana tasawuf juga mengajarkan dan membimbing manusia untuk menjadi pribadi yang baik atau ber- akhlāq al-karīmah , yaitu membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji dengan cara membersihkan dan menjernihkan hatinya, seperti selalu ber- ẓikir kepada Allah SWT baik secara lisan dan perilakunya, muhāsabah (intropeksi diri), meninggalkan sesuatu yang syubhāt (belum jelas adanya) dan lain sebagainya, karena tasawuf adalah sebagai bentuk manifestasi dari ihsan. Salah satu kerangka dari ajaran islam yaitu, īmān, islām dan ihsān. Ihsān merupakan bentuk penghayatan terhadap agama yang mengajak manusia untuk mengenal dirinya sendiri kemudian mengenal Tuhannya.

Berdasarkan uraian di atas, ma’rifat dapat dipahami sebagai pengetahuan tentang rahasia-rahasia Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya yang dimasukkan ke dalam hati manusia. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Illahi .

Sebagaimana dalam QS. az- Zumar (39): 22

Artinya: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”

Ayat di atas menjelaskan tentang nur Ilahi yang diberikan Tuhan kepada hamba yang mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Ketika dalam keadaan ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Cahaya Ilahi yang dimaksud juga dibahas di dalam al-Qur’an.

Dengan demikian, ma’rifat termasuk bagian dari ajaran Islam. Di dalam Al-Qur’an memuat beberapa kandungan yang menyangkut ajaran-ajaran tasawuf antara lain:

  • Memperbaiki dan meluruskan akidah umat yang sudah rusak karena kehendak nafsu yang buruk.

  • Menetapkan aturan-aturan hukum dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitar.

  • Membersihkan hati untuk menuju kehidupan manusia yang lebih baik lagi. Karena hati yang bersih akan menumbuhkan ketenangan jiwa dan akhlak yang mulia.

Selanjutnya dalam hadis Rasulullah saw berbunyi:

Artinya: “ .Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda,”Allah berfirman, „Aku tergantung keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku ada bersamanya jika ia zikir mengingat Aku. Jika ia zikir mengingat Aku dalam dirinya, maka Aku ingat ia dalam diri-Ku, dan jika ia ingat Aku di keramaian, maka Aku akan ingat ia di keramaian yang lebih baik darinya. …” (HR. Muslim)

Hadis di atas menjelaskan bahwa Allah SWT dapat dikenal melalui makhluk-Nya. Cara untuk mengenal ciptaan- Nya, yaitu dengan mengenal-Nya kemudian mengingat-Nya, baik dengan lisan atau perbuatannya. Adapun pengetahuan yang lebih tinggi ( ma’rifat ) ialah mengetahui Tuhan melalui diri- Nya. Para ulama’ tasawuf sepakat bahwa istilah tasawuf belum pernah dikenal dalam hadis-hadis Rasulullah saw, justru yang diperkenalkan adalah istilah ihsān, sebagaimana potongan hadis yang berbicara tentang ihsān :

Artinya: “…Tanya lagi: Apakah arti ihsan?

Jawab Nabi: Ihsan artinya menyembah Allah seolah-olah engkau melihat Dia, dan apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat engkau…” (HR. Bukhari)

Berdasarkan potongan hadis di atas menjelaskan bahwa ihsān merupakan unsur kesadaran dan penghayatan tentang ketuhanan. Jadi, Allah SWT seolah-seolah sebagai pengontrol perilaku manusia dan keberadaan-Nya pun dekat dengan kehidupan manusia. Dari hadis tersebut sebutan ihsān saat ini dikenal dengan istilah tasawuf. Karena ihsān bagian dari ajaran tasawuf.

Makrifatullah Perspektif Para Sufi


Al-Muhasibi

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Al-Harith ibn Asad Al-Muhasibi. Lahir di Bashrah menjelang akhir tahun 165 H, menetap dan meninggal di Baghdad pada tahun 243 H.

Menurut al-Muhasibi ma’rifat adalah penghambaan „ubūdiyah yang sepenuhnya; yaitu penuh keikhlasan tanpa batas, dan ketakwaan yang meliputi seluruh tubuhnya. Alat untuk mencapai ma’rifat adalah ilmu dan takwa melalui ba ṣīrah (penglihatan hati) yang memberi cahaya rohaniah yang jernih.

Ma’rifat merupakan bagian dari ajaran tasawuf, maka menurut al-Muhasibi di dalam ma’rifat lebih banyak berhubungan dengan akhlak daripada tauhid seperti ittihād (persatuan dengan Tuhan), fanā’ dan sa ṭahāt (ucapan yang keluar dari kalam sufi ketika ia mencapai persatuan dengan Tuhan). Hal tersebut disebabkan, ajaran tasawuf yang dimiliki al-Muhasibi hanya beroientasi untuk membenahi ilmu dan amal, merasa diawasi oleh Allah SWT, menyucikan dan membersihkan jiwa dari noda, dan mendekatkan diri kepada keridhaan Allah SWT. Dalam buku Ilmu Tasawuf karya Samsul Munir Amin, al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan menuju ma’rifat antara lain:

  1. Taat; menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Taat adalah awal dari kecintaan hamba kepada Allah SWT. Perwujudan cinta hamba kepada Allah itu bisa dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar ungkapan-ungkapan belaka melainkan dengan aktivitas ibadah yang nyata. Di antara implementasi dari kecintaan hamba kepada Allah yaitu memenuhi hati dengan sinar yang memancar pada lidah dan anggota tubuh yang lain.

  2. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya Ilahi memanifestasikan akhlak baik. Maksudnya bahwa ketaatan seorang hamba dalam beribadah dapat mengubah akhlak orang itu sendiri menjadi lebih baik. Hal ini disebabkan karena, aktivitas ibadah seseorang bukan hanya sebagai bentuk formalitas saja melainkan sebagai bentuk hubungan antara manusia dan Sang Penciptanya yang harus dijaga dengan baik. Jika ibadahnya ia baik maka akhlaknya pun ikut baik pula dan begitu juga sebaliknya. Apabila dalam beribadah ia tidak dapat bersungguh-sungguh untuk bermunajat kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya maka akhlaknya pun akan mengikuti perilaku ibadahnya tersebut.

    Contohnya: ketika melihat batu tergeletak di tengah-tengah jalan kemudian memindahkannya tanpa berpikir terlebih dahulu dan khawatir jika akan mengenai para pejalan kaki lainnya. Hal ini disebut juga dengan akhlak karena melakukan suatu kebaikan tanpa berpikir panjang, ini menandakan bahwa aktivitas anggota tubuhnya telah disinari oleh cahaya/ petunjuk dari Allah SWT melalui tergeraknya hati untuk melakukan suatu kebaikan atau perilaku terpuji. Ciri-ciri hati yang tergerak yaitu berbuat kebaikan di manapun dan kapanpun ia berada.

  3. Allah SWT menyingkapkan rahasia-rahasia kekuasaan kepada hambanya yang dikehendaki setelah berproses pada tahap pertama dan kedua. Maksudnya setelah manusia taat beribadah kepada-Nya dengan memenuhi segala perintah-Nya maka Allah memberikan petunjuk kepadanya berupa cahaya keimanan yang diwujudkan oleh akhlak yang mulia.

    Kemudian pada tahap ketiga ini, Allah membuka pintu penghalang antara manusia dengan Tuhannya melalui hatinya. Melalui hatinya, manusia mulai bertafakkur dan memahami eksistensi Allah SWT sebagai Zat Yang Maha Esa, dan wujud keberadaannya di dalam kehidupan manusia serta segala sesuatu yang telah Allah ciptakan di bumi selain manusia.

  4. Keadaan di mana leburnya sifat duniawi pada manusia ( fanā’ ). Fanā’ berarti hilangnya akhlak yang tercela, kebodohan, dan perbuatan maksiat dalam diri manusia. Sedangkan baqā’ adalah melekatnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan, dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat dalam diri manusia. Cara untuk mencapai baqā’ ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, beribadah, dan menghias diri dengan akhlak yang terpuji.

    Pada tahap keempat ini menyebabkan manusia dalam keadaan melekatnya keta’atan kepada Rabb-nya ( baqā’ ) untuk tetap mengabdi kepada Allah SWT dengan penuh penghayatan diri dalam setiap ibadah yang dilakukannya sebagai seorang abdi yang mentaati segala perintah Tuannya.

    Berikut contoh di mana keadaan seorang hamba pada tahap ini adalah ketika hilangnya sifat-sifat basyariyah yang dimiliki seorang hamba untuk meraih kenikmatan atau keinginan duniawi diganti dengan sifat-sifat ilahiyah yang dimiliki oleh Allah SWT, segala aktivitas kehidupannya memanifestasikan akhlak Allah SWT (akhlak mulia) yaitu segala sesuatu yang ia lakukan di dunia semata- mata hanya mengharap ridha-Nya bukan berorientasi untuk mendapat pujian ataupun hadiah. Benar-benar ia lakukan dengan sepenuh hati sebagai seorang hamba yang ingin selalu mengabdi dan berserah diri kepada Rabb -Nya.

Al-Qusyairi

Nama lengkapnya adalah „Abdul Karim bin Hawazin lahir pada tahun 376 di Istiwa, dan wafat pada tahun 465 H. Al-Qusyairi mendefinisikan ma’rifat sebagai keyakinan bahwa Tuhan itu satu yang diketahui ke-Esaan-Nya sebelum huruf dan kata. Tidak ada batas bagi dzat-Nya, tidak ada huruf bagi setiap kalam-Nya. Ia menjadikan ma’rifat sebagai ilmu dan bagian dari keimanan. Oleh sebab itu, iman tidak bisa dijauhkan dari ilmu, dan ilmu tidak bisa diajarkan tanpa keimanan.

Al-Qusyairi menjelaskan makrifatullah adalah keadaan di mana seseorang mengenal Allah SWT dari bentuk dirinya sendiri dengan cara menyegarkan amaliyah dari waktu ke waktu, bersungguh- sungguh beribadah kepada-Nya, mengerjakan semua perintah-Nya yang dibuktikan dengan akhlaknya. Orang yang telah dipenuhi dengan makrifatullah maka akan mengembalikan persoalan hidupnya kepada Allah SWT. Ia selalu ber- munājah kepada Allah SWT dan mendapatkan ilhām yang suci. Ia berlaku „ārif atas perintah Allah melalui hatinya.

Orang yang seperti ini menikmati indahnya kedekatan dengan Allah SWT dan terbebas dari sifat ego manusia. Ia sama sekali tidak terombang-ambing oleh semua hal yang berkaitan dengan duniawi. Setiap waktu ia hanya berdzikir kepada Allah dengan hati yang tunduk dan patuh. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmad ibn Ashim Al- Antaqi yang dikutip dari buku yang berjudul Mencari Tuhan; Menyelam ke dalam Samudra Makrifat karya John Renard, berkata:

“Semakin sempurna ma’rifatullāh seseorang, maka semakin bertakwa ia kepada Allah.”

Bahwasannya kedalaman seseorang yang bertauhid kepada Allah SWT itu dapat dibuktikan dengan kesungguhan dirinya dalam pembersihan jiwa dan hatinya, karena semakin ia bertauhid kepada Allah SWT ia juga akan semakin mengenal Allah SWT lantaran jiwanya yang suci dari dosa dapat merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya hingga hanya ada rasa khauf dan rajā’ dalam hatinya untuk menjalani kehidupan duniawi. Sebab, orang yang ber-ma’rifat* kepada Allah SWT ia akan merasa bahwa dirinya adalah seorang „ābid bukan raja, hatinya benar-benar tulus untuk mengabdi kepada Sang Pencipta.

Puncak ma’rifat ialah tauhid, yakni al-tauhīd al- syuhūdi al-zauq yang tidak menyimpang dari ajaran Islam. Sekalipun telah mencapai tingkat fanā’ , ma’rifat seorang sufi tetap wajib berpegang dan kembali kepada syariat.

Al- Qusyairi menegaskan bahwa salah satu pertanda ma’rifat- nya seorang „ ārif , ialah bahwa ia selalu melaksanakan perintah syariat dan tidak mengabaikannya dan berusaha untuk memaknai segala ibadah yang dijalaninya. Jika ia tidak bisa memelihara waktu dalam menjalankan ibadah syariatnya, itu karena kurangnya memahami makna ibadah tersebut sehingga belum sampai pada ma’rifat.

Menurut al-Qusyairi yang dikutip dari buku Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali karya M. Abdul Mujieb menjelaskan bahwa terdapat 3 alat untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT yaitu:

  • Qalb ; merupakan radar dalam hati atau mata batin yang berfungsi sebagai alat untuk berpikir, tapi berbeda dengan aql karena ia dapat memperoleh makrifatullah sedangkan aql tidak. Qalb dapat memperoleh makrifatullah dengan cara melakukan latihan spiritual ( riyā ḍah ) seperti bertaubat, ber dzikir dan ber tafakkur . Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sifat-sifat tercela dan diganti dengan sifat-sifat yang terpuji. Sehingga qalb menjadi bersih dari segala dosa dan maksiat. Sehingga ia dapat mengetahui sifat-sifat Allah SWT dengan jelas melalui qalb nya.

  • Ruh ; bertempat di qalb sehingga ia lebih halus daripada qalb . Setelah qalb dapat mengetahui sifat-sifatNya, maka Allah membisikkan wahyu kepada hamba-Nya berupa petunjuk kebenaran melalui ruh sehingga ia dapat merasakan cinta kepada Allah SWT ( mahabbah ) .

  • Sīrr ; ia lebih halus daripada ruh karena ia bertempat di dalam ruh. Ketika ruh mendapat bisikkan petunjuk dari Allah maka terbukalah dinding hijab dari rahasia-rahasia Allah dan saat itu juga ia dapat menerima cahaya dari Allah SWT. Keadaan ini disebut dengan kasyf atau iluminasi artinya keadaan dimana tersingkapnya hijab yang menuju kepada Allah SWT. Dengan demikian, seorang hamba bisa melihat-Nya melalui sīrr.

Jenis-jenis Ma’rifatullāh


Menurut Ibnu „Athaillah makrifatullah itu ada dua yaitu pertama; ma’rifat yang umum adalah mengenal Allah SWT yang diwajibkan keada seluruh makhluk-Nya, yaitu mengenal zat-Nya kemudian memuji dengan pujian yang sesuai dengan keadaan setiap makhluk-Nya. Kedua; ma’rifat yang khusus adalah pengenalan yang lahir dari musyāhadah (penyaksian melalui mata batin), maka seorang „ārif adalah orang yang telah mengenal zat, sifat, asmā’, dan af’āl Allah SWT dengan perantara musyāhadahnya.

Żū al-Nūn al-Miṣri juga mengklasifikasikan makrifatullah menjadi tiga yaitu pertama; ma’rifat nya orang awwām adalah mengenal Allah SWT hanya sampai pada ucapan kalimat syahadat tanpa adanya pembuktian baik dengan dalil naqli ataupun aqli . Kedua; ma’rifat nya ulamā’ adalah mengenal Allah SWT baik dari sifat-sifat Nya, af’āl -Nya dan ketetapan-Nya dengan menggunakan akal pikirannya atau pembuktian dalil naqli dan aqli nya contohnya adanya Allah SWT dibuktikan dengan wujudnya alam semesta ini, karena Allah SWT menjadi Pencipta-nya dan segala sesuatu yang hidup di bumi menjadi makhluk ciptaan-nya. Ketiga; ma’rifat nya orang sufi adalah mengenal Allah SWT dan mengetauhi rahasia- rahasia kekuasan-Nya melalui hati sanubari hamba baik dalam segi sifat-sifat Nya, af’āl -Nya dan ketetapan-Nya.

Pendapat lain juga mengatakan bahwa jenis-jenis makrifatullah itu ada 5 diantaranya: ma’rifatu al-asmā’ (mengetahui arti dan meresapi makna-makna-Nya), ma’rifatu as- ṣifāt (mengetahui dan meneladani-Nya), ma’rifatu al-af’āl (memaknai dan memahami segala perbuatan-nya), ma’rifatu al-irādah (mengetahui apa yang menjadi kehendak-nya), dan ma’rifatu aẓ-ẓāt (mengenal hakikat keberadaan-Nya). 33 Ada juga yang menyebutkan ma’rifat itu ada dua jenis yaitu pertama; ma’rifat umum yang bisa masuk pada kelompok orang baik, orang jahat, orang taat maupun orang yang bermaksiat. Kedua; ma’rifat khusus yang menyebabkan rasa malu kepada Allah SWT, kecintaan, dan kerinduan yang membabi buta.

Referensi

  • M. Abdul Mujieb dan Ahmad Ismail M., Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali , (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2009)
  • Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf , (Amzah, 2005)
  • Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat; Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)
  • Muhammad Fethullah Gullen, Tasawuf untuk Kita Semua; Menapaki Bukit-bukit Zamrud Kalbu Melalui Istilah-istilah dalam Praktik Sufisme , Terj. at-Tilāl al-Zumūrudiyyah Nahwā Hayātī al-Qalb wa al-Rūh. Fuad Syaifudin Nur, (Jakarta: Republika, 2013)
  • Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Terapi Mensucikan Jiwa , Terj. al- Fawā’id . Żū al-hikmah, (Jakarta: Qisthi Press, 2012)
  • Haidar Bagir, Manusia Modern; Mendamba Allah Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: Iman dan Hikmah, 2002)
  • Al-Ghazali, Ilmu dan Ma’rifat, Terj. Abu Jihaduddin Rifqi al- Hanif, (Bintang Pelajar, t.th.), h. 76-77
  • Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012)
  • Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Ṣahih Bukhārī, Juz I, (Beirut: Dār al-Kitāb „Alāmiyah, 1992)
  • Al-Harith al-Muhasibi, Risālah al-Mustarsyidīn; Tuntunan Bagi Para Petunjuk , Terj. Abdul Aziz, (Jakarta: Qisthi Press, 2010)
  • Abdul Halim Mahmod, Hal Ihwal Tasauf; Analisa Al-Munqi Mina ḍḍ alal (Penyelamat Dari Kesesatan) , (Darul Ihya’ Indonesia, t.th.)
  • Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia , cet. 13, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
  • Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf , (Bandung: Pustaka Setia, 2000)
  • Abdul Kadir Riyadi, Arkeologi Tasawuf; Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al-Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara , (Bandung: Penerbit Hikmah, 2016)
  • Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi , Terj. Djamaludddin al-Buny, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000)
  • John Renard, Mencari Tuhan; Menyelam ke Dalam Samudra Makrifat , (Bandung: Mizan Pustaka, 2006)

Makrifatullah menurut al-Ghazali dipandang sebagai bentuk pengenalan kepada Allah SWT berupa keelokan, kesempurnaan, dan kebanggaan atas segala makhluk ciptan-Nya di dunia dan sebagai sarana untuk berjumpa dengan Sang Pencipta di akhirat. Alat yang digunakan untuk mengenal Allah SWT ialah hati bukan anggota badan yang lain, dengan hatinya manusia dapat mengetahui Allah SWT, dapat mendekat kepada Allah SWT, dapat beraktivitas karena Allah SWT, dapat bejalan untuk berjumpa kepada Allah SWT dan dapat membuka apa yang ada di sisi Allah SWT atau segala rahasia tentang-Nya. Pada dasarnya, hatilah yang menyuruh anggota badan yang lain untuk taat kepada Allah SWT, kemudian anggota badan yang lain menjadi cahaya dari keta’atan tersebut.

Apabila manusia telah mengetahui bahwa hatilah yang menyuruh anggota badan yang lain untuk taat atau untuk mengingkari kepada Allah SWT berarti ia telah mengenal dirinya sendiri. Kunci untuk mengenal Allah SWT adalah dengan mengenal dirinya terlebih dahulu, dan apabila manusia tidak mengenal hatinya maka tidak akan mengenal yang lainnya. Mengenal hati dan hakikat-hakikat sifatnya adalah pokok agama bagi orang-orang yang ingin berjumpa kepada-Nya.

Keta’atan yang dimaksudkan oleh hati adalah perbuatan anggota badan yang melakukan pembersihan hati, penyucian hati, dan beningnya hati itu sendiri. Penyucian hati yang dilakukan seorang sālik ditandai dengan berhasilnya cahaya iman yang masuk di dalam hati yaitu nur-ma’rifat (cahaya untuk mengenal Allah SWT).

Makrifatullah, menurut al-Ghazali, adalah “Mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada”

Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan dan kesenangan ialah bila seseorang telah mengetahui dan mengenal yang menjadi pokok segala keindahan yaitu tentang Allah SWT. Ma’rifat ialah kumpulan dari ilmu pengetahuan, pengalaman, perasaan, amal dan ibadah. Sehingga orang yang telah sampai pada makrifatullah itulah puncak kebahagiaan. Oleh karena itu, kebahagiaan yang sejati adalah kebahagiaan jiwa melihat Allah dengan indera batin, dilanjutkan dengan ẓikrullāh, mengingat-Nya, kemudian mengenal-Nya, itulah makrifatullah.

Sebelum orang itu mengenal dalam kemakrifatannya, terlebih dahulu ia wajib mengenal dirinya sendiri dalam perwujudannya. Mengenal Allah berarti ia wajib mengenal dengan baik sifat-sifat Allah secara sempurna. Mengetahui dengan baik hubungan dengan alam, benda, dan manusia itu sendiri.

Makna keadaan makrifatullah atas sifat-sifatNya, af’al-Nya, kerajaan langit-Nya dan rahasia-rahasia-Nya. Hal ini adalah kemuliaan yang paling besar daripada menjadi seorang pemimpin. Tersingkapnya rahasia-rahasia Allah SWT itu menjadikan hati seorang „ābid bahagia atas keadaannya. Sebagaimana perkataan Abu Sulaiman:

“Barangsiapa yang setiap harinya menyibukkan urusan untuk dirinya sendiri maka di akhiratpun akan sibuk dengan dirinya sendiri, dan apabila ia menyibukkan urusan dirinya kepada Allah SWT maka di akhirat ia akan sibuk dengan-Nya.”

Orang yang sampai pada tingkat makrifatullah, orientasi ibadah hanya untuk mengharap cinta dari-Nya, bukan karena takut akan neraka, atau karena mengharap surga-Nya tetapi karena ia cinta dan rindu untuk berjumpa dengan Tuhannya sebagaimana Rabi’ah al-Adawiyah. Tujuan orang yang ber-ma’rifat adalah sampai dan bertemu dengan-Nya dengan cahaya mata batin yang menyingkap penghalang yang ada di dalam hati hingga memperoleh keimanan dan keyakinan. Sehingga ia akan bebas dari kesusahan dan nafsu syahwatnya.

Pokok kebahagiaan adalah ma’rifat yang menurut syara’ adalah iman.

Menurut al-Ghazali ma’rifat terbagi menjadi 2 yaitu :

  • Ma’rifat zat, ma’rifat yang mana manusia dapat mengenal Allah dari zat-zatNya Allah itu sendiri bahwa Allah itu benar- benar ada, contoh saja terciptanya atau wujudnya alam semesta ini, bahwa Allah itu Maha Esa tidak ada yang bisa menandingi kekuasan-Nya sebagaimana dalam surat al-Ikhlas ayat 1-4 tentang ketauhidan atau keesaan Allah

  • Ma’rifat sifat, ma’rifat yang mana seseorang tadi mengetahui sifat-sifat Allah bahwa Allah itu Maha Melihat segala perbuatan yang dilakukan sekarang, kemarin bahkan yang akan datang, Allah itu Maha Mendengar segalanya baik yang tersembunyi dalam hati ataupun yang nampak).

Sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw bersabda:

Artinya: “dari Abu Hurairah r.a. berkata,

Rasulullah saw bersabda,”Allah berfirman, "Aku tergantung keyakinan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku ada bersamanya jika ia zikir mengingat Aku. Jika ia zikir mengingat Aku dalam dirinya, maka Aku ingat ia dalam diri-Ku, dan jika ia ingat Aku di keramaian, maka Aku akan ingat ia di keramaian yang lebih baik darinya…” (HR. Muslim)

Mengenal Allah tidak lain adalah menempatkan Allah SWT pada seluruh kehidupan dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT tetap mengawasi semua perilaku dan amal ibadah, sehingga ia dapat mencapai tingkat musyāhadah . Tingkat musyāhadah ini dapat tercapai apabila ia merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya sehingga ia semakin dekat dengan Allah SWT dari waktu ke waktu.

Inti tasawuf al-Ghazali adalah jalan menuju untuk mengenal Allah atau makrifatullah.

Menurut al-Ghazali hati yang dimaksudkan bukanlah segumpal daging yang terletak pada bagian kiri dada manusia, tetapi ia merupakan semacam radar sebagai alat untuk memperoleh hakikat rohaniah ketuhanan. Hati (qalb) menjadi bening apabila seorang hamba itu taat dan menguasai hawa nafsunya, karena qalb merupakan wadah ruh, sedangkan sīrr bertempat di dalam ruh, qalb mempunyai 2 fungsi sebagai alat berfikir dan perasa.

Qalb tidak sama dengan akal, sebab akal tidak mampu mengetahui sifat-sifat dan asma-asma Allah SWT.

Hal-hal yang merusak hati untuk sampai pada makrifatullah yaitu;

  • Pertama; kurangnya hati untuk mengetahui sesuatu terhadap apa yang nampak dari pengetahuan tersebut seperti hati yang dimiliki oleh anak-anak,

  • Kedua; gelapnya atau kotornya hati atas perbuatan maksiat dan perbuatan keji yang menumpuk pada hati karena menuruti hawa nafsu,

  • Ketiga; berpalingnya hati untuk mencari hakikat kebenaran karena pikirannya tidak tertuju pada hakikat yang tersembunyi dari rahasia-rahasia Allah SWT,

  • Keempat; ter hijab nya hati untuk mengetahui hakikat kebenaran karena ke-Taqlīd-an atau ikut-ikutan dalam aqidahnya di masa kecil sehingga melekat dalam hati dan menghalangi hati untuk mengetahui hakikat kebenaran,

  • Kelima; kebodohan terhadap ilmu yang dicari karena orang yang mencari ilmu tidak mungkin dengan kebodohannya pasti mencari ilmu sesuai dengan apa yang dicarinya, sehingga diketahuilah arah dan tujuan hakikat yang dicari oleh hati.

Sebagaimana yang dikutip dalam buku Ilmu dan Ma’rifat, al-Junaid mengatakan bahwa orang yang ahli ma’rifat itu membatasi tingkah lakunya dalam 4 perkara:

  • Mengenal Allah, sehingga dirinya berkomunikasi langsung antara ia dengan Allah SWT tanpa ada perantara.

  • Dasar kehidupannya mengikuti sunnah Rasulullah saw dan meninggalkan akhlak yang rendah dan hina.

  • Tingkah lakunya menurut kehendak Allah SWT dan ajaran al-Qur’an.

  • Merasa dirinya milik Allah SWT dan kepada-Nya ia akan kembali.

Abu Hamid mengutamakan pendidikan moral pada ajaran-ajarannya. Pada kitab al-Munqi ẓ min al- Ḍalāl yang dikutip dari buku Ilmu Tasawuf karya Samsul Munir Amin bahwa al-Ghazali menjelaskan jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara menghilangkan penghalang jiwa dan membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga hati terlepas dari segala sesuatu selain Allah SWT dan mengingat- Nya.

Dijelaskan juga di dalam buku Kegelisahan Al-Ghazali yang diterjemahkan oleh Achmad Khudori Sholeh dari Kitab al-Munqi ẓ min al- Ḍālal bahwa pengetahuan tentang diri sendiri menjadi kunci utama untuk mengenal Tuhannya. Agar bisa mengetahui bagaimana hakikat diri sendiri dan apa tujuan dari manusia diciptakan yaitu melalui hati yang bersih dari kotoran, bening dan bercahaya. Sehingga akal dapat menangkap cahaya iman-Nya. Hati adalah raja, dan semua organ tubuh lain merupakan tentaranya. Ma’rifat kepada Allah menyaksikan segala keindahan-Nya adalah sifat-sifat hati itu sendiri. Ia akan menerima perintah dan larangan-Nya, merasakan kebahagiaan dan penderitaan.

Pada kitab Ihyā’ Ulūm al-Dīn juz III, al- Ghazali menjelaskan bahwa luasnya makrifatullah itu dilihat dari tingkat tajalliyat nya tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah SWT baik dari sifat-sifatNya ataupun perbuatan-Nya. Seorang sālik yang mencapai tajalliyat dilihat dari banyak sedikitnya cahaya iman yang masuk di dalam hatinya, ukuran banyak sedikitnya cahaya iman sesuai dengan tingkat keimanan seseorang. Ada 3 tingkatan keimanan seseorang yang dijelaskan al-Ghazali dalam ihyā’ nya diantaranya:

  • Tingkatan iman orang „awwām ; keimanan seseorang yang taqlīd (ikut-ikutan) bersifat penerimaan dan kepatuhan semata. Iman pada tingkat ini tidak termasuk dalam golongan muqarrabīn karena tidak memperoleh kasyf (penyingkapan rahasia-raha Allah SWT), ba ṣīrah (penglihatan mata batin) dan nur iman (petunjuk). Maksudnya, seseorang yang imannya berada pada tingkat ini ia lebih mempercayai apa yang ia dengar tanpa tahu dasarnya ataupun kebenarannya.

  • Tingkatan iman orang mutakallimīn ; yaitu keimanan seseorang yang mengandalkan pemahaman yang sifatnya rasional melalui berfikir spekulatif (yaitu berfikir secara mendalam berdasarkan teori saja). Pada tingkat keimanan ini seseorang mempunyai kenginan untuk mengenal zat, sifat, dan menolak segala sifat kekurangan dan menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah SWT. Menurutnya hal ini adalah wajib bagi seorang hamba, dan sesuai dengan sumber al- qur’an dan hadis. Artinya iman seseorang yang berada pada tingkat ini mempercayai tentang keberadaan Allah SWT dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya dengan dalil-dalil yang bersumber dari al-qur’an dan hadis. Apa yang ditentukan dan dijelaskan dalam al-qur’an dan hadis adalah benar dan dianggap sebagai sebuah kepercayaan yang harus diyakini kebenarannya. Lebih tepatnya imannya orang mutakallimīn adalah ketauhidan kepada Allah SWT berdasarkan al-qur’an dan hadis. Bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan hanya Dia-lah yang dapat menciptakan bumi se-isinya dan memberikan rahmat bagi semua makhluk-Nya.

  • Tingkatan iman orang „ārifīn ; yaitu keimanan seseorang yang menyaksikan dengan „ain al-yaqīn (penglihatan dengan penuh keyakinan) . Dengan pengungkapan dan penghayatan langsung terhadap obyek sehingga dirinya merasakan dan melihat obyek itu. Menurut al-Ghazali, orang yang benar- benar ma’rifatullāh , hatinya akan selalu ingat kepada-Nya dan mampu memandang Allah SWT. Karena Allah melimpahkan karunia kepadanya, sehingga dengan karunia itulah seseorang kenal dan mengenal zat Tuhannya. Kemudian Allah menyingkapkan hijab atau penghalang yang menutupi antara hambanya dengan Tuhannya untuk mengenal sifat dan zat-Nya. Maksudnya, pada tingkat ketiga ini keimanan seseorang ditandai dengan terbukanya hijab atau penghalang antara hamba dan Tuhannya tentang rahasia-rahasia Allah SWT melalui mata batinnya sehingga dapat melihatnya dengan jelas. Mata batin yang dimaksud adalah penglihatan hati sanubari yang telah diasah dengan penyucian jiwa dan pembersihan hati secara kontuinitas (terus-menerus) sehingga hati menjadi bersih dari noda dan maksiat.

Ada 3 hal yang mendorong al-Ghazali mencari ma’rifat yaitu:

  • Merasa haus akan ilmu pengetahuan dan ingin memperdalamnya.

  • Menganggap dirinya pengemban misi suci yang bertugas membangun dan menghidupkan kembali ruh agama.

  • Bersemangat untuk mengetahui hakikat kebenaran.

Menurut al-Ghazali kepahaman ilmu akan membawa seorang hamba dapat mengetahui dan mengenal-Nya, serta mengagungkan-Nya. Dengan Ilmunya, seorang hamba akan menumbuhkan totalitas ketaatan hanya kepada Allah SWT dan membendung kemaksiatan dengan petunjuk yang diberikan- Nya. Orang yang berilmu akan mempunyai rasa segan, hormat, dan takut kepada-Nya hingga ia dapat mengenal Allah SWT dengan baik.

Sumber-sumber Makrifatullah


Sebagaimana dalam buku Tasawuf dan Tarekat karya Ris’an Rusli menjelaskan bahwa sumber makrifatullah menurut al-Ghazali ada 4 yaitu:

  • Pancaindra; sebagai sumber untuk memperoleh makrifatullah dengan penglihatan secara dhāhir dan objeknya adalah alam benda.

  • Akal; dapat berfikir secara mendalam tentang ketetapan- Nya, kekuasaan-Nya, serta larangan-Nya.

  • Wahyu; sebagai sumber melalui ruh manusia itu sendiri yang langsung dibisikkan oleh Allah SWT dengan nūr Illāhi .

  • Kasyf ; cahaya yang diberikan Allah SWT kepada seorang hamba melalui hatinya hingga hatinya dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan „ain al-yaqīn .

Ainul yaqīn artinya tersingkapnya hijab yang menghalangi pandangan batin dan tersingkirnya penghalang oleh cahaya Allah yang menembus qalb si hamba, keadaan inilah disebut tajallī.

Referensi :

  • Al-Ghazali, Ihyā’ Ulūm al-Dīn, Juz III, (Beirut: Dār al-Fikr , 1989)
  • Umar Hasyim, Memburu Kebahagiaan , (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983)
  • Djamaluddin Ahmad Al-Buny, Menelususri Taman-taman Mahabbah Shufiyah , (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002)
  • Al-Ghazali, Ilmu dan Ma’rifat , Terj. Abu Jihaduddin al-Hanif, (Bintang Pelajar, t.th.)
  • Imam Abi al-Husain Muslim bin Hajaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ṣahīh Muslim , Juz IV, (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Alāmiyah , 1992)
  • Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf , (Amzah, 2005)
  • A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufisme , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999)
  • Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf , (Jakarta: Amzah, 2012)
  • Al-Ghazali, Majmū’ah Rasāil; Kīmiyā’ as-Sa’ādah, (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Alāmiyah , 1988)
  • Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah , Terj. Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990)
  • Al-Ghazali, Minhājul „Ābidīn ilā al-Jannah, (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Alāmiyah , 1988)

Ma’rifaħ Alláh dalam faham sufi sebenarnya berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Orang-orang sufi mengatakan:

"Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepala akan tertutup, dan ketika itu yang dilihat hanyalah Alláh.

Ma’rifaħ adalah cermin, kalau seorang ’ārif melihat pada cermin yang akan dilihatnya hanyalah Alláh.

Yang dilihat orang ’ārif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Alláh. Sekiranya ma’rifaħ mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya…dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang gemilang.

Seperti pandangan al-Miśri yang memandang urgensi ma’rifaħ sebagai alat untuk menuju pada pengetahuan tentang Tuhan : Orang Awam menuju ke arah pengesaan Tuhan dengan perantaraan ucapan Syahadat berupa fenomena alam jagat raya yang nyata. Meningkat kepada pengetahuan intelektual mengenal Tuhan satu disertai argument- argumen rasional menggunakan logika akalnya. Pada tingkatan pengetahuan seperti ini, baik dari fenomena alam syahadaħ-nya maupun sampai kepada dalil aqli rasional ini disebut ilmu. Petualangan para pencari ilmu ini di dunia akademis, sekolah, kuliah dan mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan dengan gelar maupun non gelar dan berkeahlian, yang mereka peroleh adalah ilmu pengetahuan (sciences).

Kaum sufi memandang ketidakcukupan tentang pengetahuan Tuhan hanya dengan ilmu pengetahuan. Pengalaman, pengetahuan, dan kontemplasi batin yang digunakan dengan segenap latihan żikir yang disebut riyāďaħ diamalkan dengan perantaraan hati sanubari (qalb), maka puncak keberhasilan hubungan dan pengenalan seorang sufi dengan Alláh di sini baru disebut dengan ma’rifaħ. Barulah pada puncak pendakian tinggi hati sanbari, qalb ini yang dinamakan ma’rifatullāh. Dari sini jelas perbedaan antara ilmu dan ma’rifaħ itu tampak. Maka dalam bahasa yang lain ilmu itu dapat disebut sebagai kognisi sedang ma’rifaħ tidak dapat dikatakan demikian, karena metode perolehannya tidak cukup dengan menggunakan fenomena alam dan akal belaka. Urgensi penggunaan dan pengalaman qalb menjadi sangat sentral setelah ilmu pengetahuan.

Pengetahuan dalam arti satu dan dua, belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ilmu bukan ma’rifaħ. Pengetahuan dalam arti ke tiga ini lah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang-Nya dan pengetahuan inilah yang disebut ma’rifaħ . Hal ini hanya terdapat dalam paham kaum sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari (qalb) mereka. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Ma’rifaħ dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Zū al-Nūn al-Miśri lagi memiliki konsep ma’rifaħ dengan ungkapan :

" ’araftu rabbī bi rabbī wa lau lā rabbī lamā ’araftu rabbī".

“aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak akan tahu Tuhan”.

Hal ini menggambarkan bahwa ma’rifaħ tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian Tuhan, a direct knowledge of God base on revelation. Ma’rifaħ bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan melalui hati sanubarinya, qalb . Ma’rifaħ adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.

Alat untuk memperoleh ma’rifaħ oleh kaum sufi disebur sirr. Menurut al-Qusyairi ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan sufi dalam hubungan mereka dengan Tuhan.

  • Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan,

  • untuk mencintai Tuhan dan

  • Sirr untuk melihat Tuhan.

Sirr lebih halus dari rūḥ dan qalb. Qalb tidak sama dengan jantung atau heart dalam bahasa Inggris, karena qalb selain dari alat untuk merasa adalah juga untuk berfikir. Perbedaan qalb dengan aql, ialah bahwa ’ aql tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedang qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Kelihatannya sirr bertempat di rūḥ dan rūĥ bertempat di qalb dan sirr timbul dan dapat menerima illuminasi dari Alláh kalau qalb dan rūḥ telah suci sesuci-sucinya dan kosong sekosong- kosongnya, tidak berisi apapun. Di waktu itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi dan yang dilihat oleh sufi itupun hanyalah Alláh. Di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifaħ .

Memperoleh ma’rifaħ merupakan proses yang bersifat kontiniu. Makin banyak seorang sufi memperoleh ma’rifaħ dari Tuhan, makin banyak yang diketahuinya tentang rahasia-rahasia Tuhan dan ia pun makin dekat kepada Tuhan. Tetapi memperoleh ma’rifaħ yang penuh tentang Tuhan, tidak mungkin karena manusia bersifat finit, sedang Tuhan bersifat infinit. Sebagai kata al-Junaid: " Cangkir teh tak akan bisa menampung segelas air yang ada di laut."

Ma’rifaħ yang seperti ini diakui oleh Ahli Sunnah dan Jamaah karena ma’rifaħ ini diterima oleh al-Gazali. Menurutnya dengan ma’rifaħ ini tasawwuf menjadi halal bagi kaum syariat, sesudah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam, yaitu tasawwuf sebagai yang diajarkan al-Bistami dan Al-Ĥallāj tentang ittihad dan hulul.

Bagi al-Gazālī ma’rifah ialah mengetahui rahasia Alláh dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.

Pentingnya Ma’rifatulláh


Ma’rifatulláh adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatulláh akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatulláh membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang).

Ma’rifatulláh adalah asas (landasan) perjalanan rūḥiyyaħ (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Alláh akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.

Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)

Orang yang mengenali Alláh akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Alláh , tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya. Dari Ma’rifatulláh inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Alláh. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Alláh.

Dari Ma’rifatulláh ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.

Dari Ma’rifatulláh inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzakh (alam kubur) dan dilanjutkan kehidupan akherat bertemu dengan Alláh.

Ciri-ciri Ma’rifatulláh


Seseorang dianggap ma’rifatulláh (mengenal Alláh) jika ia telah mengenali ; Asma’ (nama) Alláh, sifat Alláh dan af’al (perbuatan) Alláh, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.

Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :

  • sikap ṣidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Alláh,

  • ikhlas dengan niat dan tujuan hidup hanya karena Alláh,

  • pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Alláh SWT

  • sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Alláh atas dirinya

  • berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.

Figur teladan dalam ma’rifatulláh ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Alláh SWT.

Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling mengenal Alláh dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan Muslim.

Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Alláh dengan keinginan dan perasaannya sendiri. Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya).

Firman Alláh :

“Sesungguhnya yang takut kepada Alláh di antara hamba- hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. 35:28).

Orang yang mengenali Alláh dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ’ibādaħ. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ’ibādaħ kepada Alláh, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Alláh kecuali ia menjauhinya.

Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang yang mengenali Alláh akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawaḍu’ (rendah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”.

Sarana Ma’rifatulláh


Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatulláh adalah :

Akal sehat

Akal sehat yang merenungkan ciptaan Alláh. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al-Khāliq (pencipta) seperti firman Alláh : Katakanlah “ Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Alláh dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.

Katakanlah: “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 10:101)

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS 3: 190-191).

Sabda Nabi :

“Berfikirlah tentang ciptaan Alláh dan janganlah kamu berfikir tentang Alláh, karena kamu tidak akan mampu” (HR. Abu Nu’aim).

Para Rasul

Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatulláh dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Alláh. Firman Alláh:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…” (QS. 57:25)

Asmā` dan Sifat Alláh

Mengenali asma (nama) dan sifat Alláh disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Alláh. Cara inilah yang telah Alláh gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Alláh lebih dekat lagi. Asma dan sifat Alláh akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Alláh. Firman Alláh:

“Katakanlah : Serulah Alláh atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik) (QS. 17:110).

Asma’ al husna inilah yang Alláh perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Alláh :

“Hanya milik Alláh asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” (QS. 7:180).

Inilah sarana efektif yang Alláh ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Alláh SWT (ma’rifatulláh). Dan ma’rifatulláh ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al-ma’rifaħ wa al-iṡbat (mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.

Ma’rifatulláhmerupakan konsep yang lebih populer dikalangan kaum ṣūfī, meski tidak menutup kemungkinan banyak pengertian yang dikonsepkan oleh berbagai bidang keilmuan Islam di masing-masing disiplin. Baik filsafat, kalam, fiqh, ḥadīṡ, tafsir, maupun tasawuf. Dalam khazanah keislaman terdapat istilah ma’rifatulláh, yang secara harfiah memiliki pengertian, mengenal Alláh SWT. Puncak ilmu adalah mengenal Alláh (ma’rifatulláh). Ma’rifatulláh atau mengenal Alláh adalah subjek utama yang mesti disempurnakan oleh seorang muslim. Ma’rifatulláh bukanlah mengenali zat Alláh, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas.

Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatulláhyang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Alláh) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”. Ma’rifatulláh tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Alláh, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Alláh. Ma’rifatulláh artinya mengenal Alláh, baik zat-Nya, sifat-Nya maupun asmā’-Nya.

Secara teoretis, ma’rifatulláhbisa dicapai dari berbagai bidang studi keilmuan, misalnya ilmu filsafat, ilmu ushuluddin (teologi), ilmu akhlak, ilmu syara’ (fiqh), dan ilmu taṣawwuf . Jadi, sebenarnya ma’rifatulláh bukan monopoli para ṣūfī. Di kalangan para ṣūfī, ma’rifatulláh adalah puncak pencapaian żikir kepada Alláhyang memberi pengaruh besar kepada jiwa seseorang dan tercermin pada ke salehan-kesalehan hidupnya. Orang yang berżikir akan merasakan nikmatnya żikir sehingga hidupnya tidak lagi mau berpaling dari Alláh atau membelakangi tuntunan-Nya. Kalau para ahli taṣawwuf mengaku memperoleh ma’rifatulláh melalui pengetahuan batinnya, maka para ahli filsafat berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu dapat diperoleh dengan pengetahuan akalnya. Para ahli tauhid berpendapat bahwa ma’rifatulláh itu dapat diperoleh dengan keimanan-ketauhidan yang murni kepada Alláh. Sedangkan menurut para ahli akhlak, ma’rifatulláh itu dapat dicapai dengan amal shaleh. Menurut para ahli syara’, ma’rifatulláh dapat dicapai dengan menjalankan syariat yang benar.