Makrifatullah menurut al-Ghazali dipandang sebagai bentuk pengenalan kepada Allah SWT berupa keelokan, kesempurnaan, dan kebanggaan atas segala makhluk ciptan-Nya di dunia dan sebagai sarana untuk berjumpa dengan Sang Pencipta di akhirat.
Ciri orang yang ma’rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma’rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma’rifat. Sebab, orang yang ma’rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Alláh. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Alláh.
Ciri orang ma’rifat adalah paling tidak dapat diukur dengan:
1. Menjaga kualitas ’ibādaħ . Terjaganya ’ibādaħ akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup. hidup selalu berada di jalan yang benar ( on the right track ). Untuk berada dekat kepada Alláh, Tuhan alam seluruhnya, seorang muslim harus menempuh jalan yang panjang. Jalan yang dilalui itu adalah mengalami dan menjalani maqamat taubaħ , zuhd, şabr, faqr, tawaďu’, taqwã, tawakkal, riďā, ĥubb, dan ma’rifaħ. yang dikonsepkan dalam pengamalan tasawwuf dan selanjutnya di atas maqamat itu untuk memperbaiki mutu kesufiannya ini ada yang dinamakan fana wa al-baqa, ittiĥad, selain yang tinggi seperti yang ada pada tingkatan yang sama seperti di atas adalah ĥubb dan ma’rifaħ. Jika selanjutnya mqamat ini dapat diamalkan secara benar, sudah dapat dipastikan akan menjaga kualitas ’ibādaħ seorang muslim dan menjelmakan akhlak mulianya di dalam seluruh kehidupannya.
2. Memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan. Merupakan cerminan dari maqamat seperti al-şabr, sabar dalam menjalankan perintah-perintah Alláh, dalam menjauhi segala larangann-Nya dan dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan-Nya kepada kita. Dengan menunggu datangnya pertolongan dari Alláh. Sabar dalam menderita kesabaran, Tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Seanjutnya maqam al-tawakkal, menyerah kepada kada dan putusan dari Alláh. Selamanya berada dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika tidak mendapat pemberian apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada kada dan kadar Tuhan.
3. Alláh akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup . Dalam maqam al-riďā, kerelaan, tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Alláh. Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima ni’mat. Tidak meminta surga dari Alláh dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya kada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya kada dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya cobaan-cobaan. Tentu akan menghasilkan ketenangan hidup yang bahagia dalam nilai-nilai keilmuan yang luhur. Termasuk jika terjadi fenomena dalam kehidupan, bila terjadi kenaikan kebutuhan hidup seperti tentang itu – ini mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.
4. Selalu optimis. Ia optimis karena Alláh akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan. Keseluruhan itu dapat dorongan dari konsep cinta maĥabbaħ ini Rabī’aħ al-’Adawiyaħ dari Basrah di Irak. Kekuatan dahsyat akan muncul dari cinta pada tingkat tinggi di hadapan Alláh ini, di tengah-tengah hidup kemanusiaan. Semuanya akan melahirkan optimisme yang tidak dapat diabaikan untuk meraih masa depan. Dengan konsep cinta tidak ada yang dapat menghalangi dengan penghalang dan benteng apapun. Karenanya cinta membuat masa depan lebih cerah indah dan berprospek jauh maju ke depan.
5. Memiliki kendali dalam hidupnya. Setiap kali akan melakukan maksiat, Alláh SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ’ibādaħ akan memiliki kemampuan untuk bertobat. Dimunculkan sufi dari konsep maqam taubat yang dimaksudkan sufi ialah tobat yang sebenar-benarnya, tobat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Terkadang tobat itu tidak dapat dicapai dengan sekali saja. Al-Kisah bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali tobat, baru mencapai tingkat yang sebenarnya. Tobat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang yang bertobat adalah orang yang cinta kepada Alláh, ia senantiasa mengadakan kontemplasi kepada-Nya. Taubat adalah kemudi yang mengarahkan kesuksesan manusia menuju ketercapaiannya di hadapan kemahaindahan-Nya dengan mulus dan lurus.
6. Selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Alláh . Bila pada poin pertama Alláh sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut, seorang ahli ’ibādaħ akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat. Jika cinta, dibimbing dengan maqam al wara’; kata ini mengandung arti menjauhi hal-hal yangtidak baik dan dalam pengertian sufi, wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat syubhat, keraguan tentang halalnya sesuatu. Adalah bimbingan Alláh akan selalu menyertaidengan nilai-nilai luhur umat manusia,
Maka di mana saja orang yang mengenal Alláh ('arif billah) atau ahli ma’rifat itu berada, ia selalu memberi manfaat kepada orang lain. Di tengah-tengah keluarga, ia menjadi anggota keluarga yang baik. Bila menjadi kepala keluarga, ia menjadi kepala keluarga yang baik, Bila berada di tengah-tengah masyarakat ia selalu memberi manfaat kepada rnasyarakat, membantu orang-orang dhuafa, membela orang-orang yang teraniaya. Bila ia menjadi pemimpin, ia gunakan kepemimpinan-nya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Bila menjadi patner siapa pun, ia selalu mengingatkan dan meluruskan yang bengkok. la lakukan itu semua dengan penuh keikhlasan dan kecintaan, karena di situlah sebenarnya terdapat kasih sayang dan keberkahan Alláh.
Ma’rifatulláh bukanlah seperti yang dipahami sebagian orang bahwa ahli makrifat itu memiliki “indera keenam”, bisa melihat yang “gaib”, bisa menghilang, bisa terbang, tidak mempan dibacok, dan berbagai keanehan lainnya.
Ma’rifatulláh bukanlah monopoli siapa-siapa. Setiap orang mampu mencapainya asalkan ikhlas niatnya, bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Alláh. Sebab Alláh telah berfirman,
“Barangsiapa bersungguh-sungguh berjuang di jalan Kami, pasti Kami tunjukkan jalannya.”