Apa yang dimaksud dengan Lembaga Negara Independen ?

Lembaga Negara

Lembaga Negara Indonesia adalah lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah.

Apa yang dimaksud dengan Lembaga Negara Independen ?

Lembaga negara pada saat ini mengalami perkembangan pesat, hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain:

  • Negara mengalami perkembangan di mana kehidupan ekonomi dan sosial menjadi sangat kompleks yang mengakibatkan badan eksekutif mengatur hampir seluruh kehidupan masyarakat.

  • Hampir semua negara modern mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya yang berkonsep negara kesejahteraan ( Welfare State ). Untuk mencapai tujuan tersebut negara dituntut menjalankan fungsi secara tepat, cepat dan komprehensip dari semua lembaga negara.

  • Adanya keadaan dan kebutuhan yang nyata, baik karena faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya di tengah dinamika gelombang pengaruh globalisme versus lokalisme yang semakin komplek mengakibatkan variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraan semakin berkembang.

  • Terjadinya transisi demokrasi, yang mengakibatkan berbagai kesulitan ekonomi, dikarenakan terjadinya aneka perubahan sosial dan ekonomi. Negara yang mengalami perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan ( institutional experimentation ).

Dalam perkembangannya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama. Lembaga tersebut disebut Auxiliary States institutions,* atau *Auxiliary States Organ yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang. Para ahli hukum tata negara Indonesia tidak memiliki padanan kata yang sama untuk menyebut lembaga ini ada yang menyebut lembaga negara pembantu, lembaga negara penunjang, lembaga negara melayani, lembaga negara independen dan lembaga negara mandiri.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberi pengertian “lembaga independen adalah lembaga pemerintah dan non pemerintah yang bebas dari pengendalian oleh pemerintah dan pembuat kebijakan (legislatif), bebas dari pengendalian oleh pemanfaatan kelompok, dan bebas dari kepentingan tertentu serta bersifat netral.

Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, banyak tumbuh lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lembaga baru tersebut umumnya disebut sebagai state auxiliary organs , atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies , independent supervisory bodies , atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran ( mix function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut. Lembaga-lembaga seperti ini di Amerika Serikat disebut juga the headless fourth branch of the government , sedangkan di Inggris lembaga-lembaga seperti ini biasa disebut quasi autonomus non governmental organizations atau disingkat quango’s.

Menurut Muchlis Hamdi, hampir semua negara memiliki lembaga yang dapat disebut sebagai “ auxiliary states bodies* ”. Menurutnya, lembaga ini umumnya berfungsi untuk mendukung lembaga negara utama. *Auxiliary states organ dapat dibentuk dari fungsi lembaga negara utama yang secara teori menjalankan tiga fungsi, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembentukan organisasi pendukung ini dalam rangka efektivitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu terdapat juga lembaga independen yang kewenangannya bersumber dari konstitusi negara atau kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan umumnya dibentuk berdasarkan undang- undang.

Alasan utama yang melatar belakangi munculnya lembaga independen, adalah :

  • Pertama, alasan sosiologis, yang menyatakan bahwa munculnya lembaga independen disebabkan adanya perkembangan kegiatan negara (modern) yang semakin kompleks sehingga membutuhkan banyak lembaga atau alat perlengkapan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas atau fungsi negara. Alat perlengkapan atau lembaga negara yang dihasilkan melalui konstitusi sudah tidak mampu lagi menampung tugas-tugas spesifik yang umumnya membutuhkan independensi dan profesionalitas dalam pelaksanaannya. Konsekuensi yang dituntut adalah membentuk lembaga baru yang merupakan conditio sine qua non (konsekuensi logis) bagi pertumbuhan dan perkembangan negara dalam mengakomodasi aspirasi dan dinamika masyarakat modern.

  • Kedua, alasan administratif, yang menyatakan bahwa kemunculan lembaga independen lebih disebabkan adanya tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien dan berkeadilan. Pelaksanaan satu fungsi atau satu tugas tidak selalu harus ditempatkan pada hanya satu organ kelembagaan saja, apalagi bila fungsi yang menjadi tugas suatu lembaga tidak berjalan dengan efektif dan efisien.

Lembaga independen secara umum memiliki fungsi utama, yaitu :

  • Pertama , lembaga independen berfungsi mengakomodasi tuntutan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam proses penyelenggaraan negara yang didasarkan pada paradigma good governance , mensyaratkan adanya interaksi yang proporsional antara ketiga aktor pemerintahan, yaitu: pemerintah ( government ), sektor swasta ( private sector ), dan masyarakat ( society ).

  • Kedua , lembaga independen berfungsi menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih efektif dan efisien.

Secara umum lembaga independen mempunyai peran yang cukup strategis dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yaitu:

  • Sebagai pengambil dan/atau pelaksana kebijakan yang efektif, efisien, adil dan akuntabel sesuai tugas yang menjadi tanggung jawabnya;

  • Sebagai penjamin kepastian hukum dan kepastian regulasi (pengaturan) terhadap subyek dan obyek yang menjadi tanggungjawabnya;

  • Sebagai pengantisipasi dominasi dari aktor-aktor yang terkait dengan urusan yang menjadi tanggung jawabnya;

  • Sebagai pencipta harmonisasi dan sinkronisasi iklim dari seluruh stakeholders terkait dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya;

  • Sebagai ”investigator” terhadap seluruh aktivitas yang menghambat dari pihak-pihak yang terlibat dalam urusan yang menjadi tanggung jawabnya;

  • Berhak memberikan sanksi (administratif atau hukum) sesuai dengan kewenangan yang dimiliki terkait dengan urusan yang menjadi tanggungjawabnya.

Namun gejala umum yang dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga independent tersebut adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukan dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerja dengan dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. Ketidakjelasan pembentukan tentunya membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan kedudukan dan pertanggungjawaban yang pada akhirnya dapat merusak sistem.

Lembaga-lembaga Independen di Indonesia antara lain :

  • Komisi Pemberantasan Korupsi‎
  • Komisi Yudisial
  • Komisi Pemilihan Umum
  • Komisi Informasi
  • Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
  • Komisi Penyiaran Indonesia
  • Komisi Perlindungan Anak Indonesia
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
  • Ombudsman Republik Indonesia‎
  • Badan Pengawas Pemilihan Umum
  • Bank Indonesia
  • Dewan Pers

Referensi :

  • Muchlis Hamdi, “ State Auxiliary Bodies di Beberapa Negara ”, Disampaikan dalam dialog hukum dan non hukum “Penataan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan”Departemen Hukum dan HAM RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 26-29 Juni 2009
  • Hendra Nurtjahjo, “Lembaga Independen di Indonesia: Kajian Pendahuluan Perspektif Yuridis”, Makalah dalam Diskusi Terbatas tentang Kelembagaan Independen di Indonesia di Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara Jakarta, 2006.

Lembaga Negara Independen


Setelah reformasi 1998 lembaga negara independen mulai mendapat tempat. UUD 1945 hasil amandemen memberi pengakuan atas lembaga negara independen diantaranya Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum. Perkembangan lembaga negara dimaksudkan sebagai proses check and balances , pemenuhan hak-hak individu dan penghindaran tirani otoritarian. Hal itu merupakan perkembangan pemikiran trias politika yang dikemukakan oleh Montesquie yang kemudian dikembangkan oleh Cindy Skatch dalam Newest Separation Power. Andrew Heywood (2000) menerjemahkan konstitusionalisme dalam dua sudut pandang, pemaknaan sempit dan luas.

Menurut Heywood, dalam ruang lingkup yang sempit, konstitusionalisme dapat ditafsirkan sebatas penyelenggaraan Negara yang dibatasi oleh undang-undang dasar. Artinya, suatu Negara dapat dikatakan menganut paham konstitusionalisme jika lembaga-lembaga Negara dan proses politik dalam Negara tersebut. Dalam pemaknaan yang lebih luas, konstitusionalisme yaitu perangkat nilai dan manifestasi dari aspirasi politik warga Negara yang merupakan cerminan dari keinginan untuk melindungi kebebasan sebuah mekanisme pengawasan terhadap kekuasaan pemerintahan.

Ada tujuh ciri Lembaga Negara Independen di Indonesia, menurut Zainal Arifin Mochtar. Adapun, ciri-cirinya, yaitu:

  • bukan cabang kekuasaan utama,
  • pemilihan pimpinan dengan seleksi,
  • pemilihan dan pemberhentian berdasar aturan,
  • proses deliberasi kuat,
  • kepemimpinan kolektif dan kolegial,
  • kewenangan devolutif untuk self regulated,
  • dan legitimasi dari undang-undang.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, Zainal Arifin Mochtar menetapkan tujuh Lembaga Negara independen yang menjadi kajiannya. Lembaga-lembaga itu terdiri dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pers, Komisi Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Yudisial. Menurutnya, ada delapan faktor terbentuknya Lembaga Negara Independen di Indonesia. Kedelapan faktor itu, yaitu reformasi dengan pendekatan neoliberal, kewajiban transisional untuk menunjang hal tertentu, kebutuhan percepatan demokrasi, bagian dari pencitraan kekuasaan, pengurangan persengketaan kekuasaan, kekecewaan terhadap kelembagaan lama, penunjang kinerja untuk hal tertentu, dan proses legislasi yang tergesa-gesa.

Kehadiran banyak lembaga Negara independen tentunya memberikan serangkaian implikasi dalam sistem ketatanegaraan dan juga penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pertama, implikasi substantif yuridis seperti, implikasi pada posisi institusional lembaga Negara independen, implikasi pada independensi institusional lembaga Negara independen, implikasi hubungan lembaga Negara independen dengan lembaga Negara lainnya, implikasi sengketa kewenangan antar-lembaga Negara, implikasi pengawasan kelembagaan terhadap lembaga Negara independen, implikasi kebutuhan penguatan daya jelajah kelembagaan, dan implikasi pada aturan yang dikeluarkan oleh lembaga Negara independen.

Permasalahan yang terkait pada implikasi administrative yuridis setidaknya dapat dilihat dalam nomenklatur kelembagaan, persoalan pembiayaan lembaga Negara, perbedaan dalam hak protokoler dan keuangan, status pegawai dan tenaga pendukung, masalah pada proses pengambilan keputusan yang bermodel kolegial-kolektif, dan kualitas legislasi dan uji materi atas peraturan perundang-undangan yang mendasari lembaga-lembaga Negara independen. Beberapa permasalahan dalam implikasi politis yang muncul terhadapan kehidupan politik kenegaraan.

Terdapat empat implikasi politis yang sifatnya langsung dari keberadaan lembaga-lembaga Negara independen, seperti implikasi politis dalam pemilihan komisioner, ketegangan hubungan dengan pemerintah, ketegangan hubungan dengan DPR, dan ketegangan hubungan dengan Mahkamah Agung. Sejumlah permasalahan khususnya kerangka hukum, telah bermunculannya banyak persoalan baru. Permasalahan tersebut dipaparkan dua hal yang terkait dengan penataan kembali kelembagaan lembaga-lembaga Negara independen. Pertama, beberapa usulan penataan yang pernah mengemuka, terutama dari beberapa lembaga, dan kedua, tawaran penataan kelembagaan yang paling mungkin untuk dilakukan.

Semua permasalahan yang mengemuka sebagai implikasi dari kehadiran lembaga-lembaga Negara independen. Persoalan kecentang-perenangan keberadaan lembaga Negara independen, diidentifikasi beragam usulan penataan, termasuk tahapan-tahapannya sebagai berikut:

1. Moratorium Sementara Pembentukan

Penataan lembaga-lembaga Negara independen yang sudah ada dan upaya menetapkan landasan pembentukannya ke depan, perlu dilakukan moratorium atau penundaan sementara pembentukan lembaga-lembaga Negara yang baru. Periode ini digunakan untuk mengkaji, memetakan dan mengorganisasi, termasuk mengevaluasi keberadaan lembaga yang sudah ada, serta menyiapkan kebijakan besar penataan kelembagaan lembaga-lembaga Negara independen.

Dalam klausula pengaturannya perlu dibuatkan mekanisme penggabungan antar lembaga Negara yang akan dibentuk. Bisa juga dibuatkan mekanisme perubahan cepat melalui mekanisme legislative review . Pada kondisi konsep penataan dan cetak biru lembaga-lembaga Negara, maka harus segara dilakukan legislative review guna penyesuaian dengan kerangka besar yang dihasilkan dalam masa moratorium. Moratorium diperlukan untuk memberi kesempatan kalkulasi ulang keberadaan lembaga Negara independen. Kemudian dari konsep moratorium ini juga perlu dipikirkan apa yang akan menjadi landasan hukumnya, sehingga mengikat komitmen para pengambil kebijakan.

2. Penyusunan Cetak Biru Kelembagaan

Keberadaan cetak biru kelembaagaan akan menjadi pra-syarat yang sangat penting dalam menentukan strategi sekaligus arah penataan kembali lembaga-lembaga Negara independen. Sebelum melakukan penyusunan cetak biru kelembagaan, beberapa permasalahan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu:

  • Pertama, pada wilayah yuridis harus mampu menjawab penempatan posisi yang sesuai dari lembaga-lembaga Negara independen dalam struktur ketatanegaraan. Selain itu harus mengatasi persoalan yang mungkin timbul akibat kemungkinan tergerusnya keindependenan dari suatu lembaga.

  • Kedua, permasalahan dalam konteks administratif, kaitannya dengan nomenklatur kelembagaan yang berbeda-beda, juga pembiayaan kelembagaan yang sudah semakin besar seiring dengan jumlahnya yang kian banyak. Secara administratif untuk menyelesaikan problem mengenai hak protokoler dan keuangan, yang selama ini tidak sama antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.

  • Ketiga, kaitannya dengan permasalahan politis yang hadir bersamaan dengan kemunculan lembaga Negara independen, khususnya dalam proses pemilihan komisioner atau anggota lembaga-lembaga Negara independen. Khususnya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR sebagai pelaku kekuasaan legislative, dan MA yang memegang kekuasaan yudikatif.

Dalam rangka penyusunan cetak biru kelembagaan beberapa mekanisme kerja atau tahapan yang dapat di dorong dan diaplikasikan, yaitu:
a) Penyelarasan dengan Tujuan Negara
b) Penataan Kembali Penanam Lembaga
c) Penyempurnaan Sistem dan Mekanisme Rektrutmen
d) Penataan Aturan yang Dikeluarkan
e) Penataan Sistem dan Status Kepegawaian
f) Pola Hubungan dengan Lembaga Lain
g) Penataan Perwakilan dan/atau Komisi Daerah
h) Sifat Kolegialitas dan Kolektivitas
i) Pengawasan Terhadap Lembaga Negara Independen

3. Dasar Hukum Penataan Kelembagaan

Penataan kelembagaan yang dilakukan pada saat dilakukannya moratorium tentu membutuhkan basis legitimasi hukum yang kuat dalam kerangka melakukan perbaikan yang bisa mengikat seluruh komponen Negara. Pilihan untuk memberikan dasar hukum yang kuat dapat dilakukan secara khusus membentuk undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai penataan kelembaan Negara.

Bentuk peraturan perundang-undangan lainnya dapat dipilih sebagai basis hukum dalam penataan kelembagaan lembaga-lembaga Negara independen ialah melalui Ketetapan MPR. Akan tetapi, dengan format Tap MPR, setidaknya akan menyiratkan adanya kesepakatan politik dari partai-partai politik di DPR dan kesepakatan daerah yang tersirat dari representasi DPD, untuk melakukan penataan kelembagaan.
Dasar hukum penataan ini keberadaannya akan menjadi paying dalam penataan, sekaligus kerangka kerja bagi penataan lembaga-lembaga Negara independen. Peraturan perundang-undangan ini ke depannya juga akan menjadi platform dasar dalam pembentukan lembaga-lembaga Negara independen.

4. Pilihan Waktu Pelaksanaan Penataan Kelembagaan

Pilihan waktu yang mungkin tepat untuk mengimplementasikannya dengan mendekatkan pada agenda ketatanegaraan atau secara khusus menciptakan agenda itu. Pilihan pertama misalnya melalui penyelenggaraan amandemen kelima Undang-Undang Dasar. Agenda amandemen ini menjadi sangat strategis dalam konteks pelaksanaan penataan, sebab melalui proses ini perbaikan menyeluruh dapat dilakukan. Semua permasalahan yang sifatnya mendasar terkait dengan keberadaan dan kebutuhan lembaga-lembaga Negara independen bisa diperdebatkan dan dirumuskan kembali secara lebih terarah di dalam forum perubahan UUD.

Apabila amandemen Undang-Undang Dasar sulit terlaksana, mengingat beratnya syarat untuk melakukan perubahan konstitusi, sebagaimana diatur oleh UUD 1945, maka pilihan kedua untuk melakukan penataan adalah dengan melangsungkannya pasca-pemilihan umum. Oleh karenanya, ini dapat digunakan untuk membangun kesepahaman politik bersama antara legislatif dan pemerintah terpilih guna melakukan penataan kembali kelembagaan Negara.