Keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk mengekspresikan diri dalam interaksi sosial, kemampuan untuk ‘membaca’ dan memahami berbagai situasi sosial yang berbeda, wawasan mengenai peran-peran sosial dan norma-norma yang ada dalam suatu masyarakat, kemampuan untuk memecahkan masalah terkait dengan hubungan interpersonal, serta kemampuan untuk melakukan role-playing dalam lingkungan sosial. Riggio dan Reichard (2008)
Secara umum, sebetulnya sulit menentukan suatu definisi yang pasti mengenai keterampilan sosial berhubung dimensi yang tercakup sangat beragam. Oleh sebab itu, yang termasuk ke dalam ranah keterampilan sosial sangat tergantung pada norma-norma yang diyakini dalam suatu kebudayaan atau lingkungan tertentu (Riggio,1986). Walau demikian, pada dasarnya keterampilan sosial melibatkan sejumlah kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang sesuai dan efektif (Segrin,1999).
Sejumlah peneliti sepakat bahwa kemampuan dasar dalam keterampilan sosial mencakup kemampuan untuk menyampaikan dan menerima informasi kepada orang lain (Hall, 1979). Pandangan ini kemudian dikembangkan oleh Riggio dan sejumlah koleganya menjadi tiga kemampuan dasar yang tercakup dalam keterampilan sosial, yaitu:
- kemampuan dalam mengekspresikan (expressivity skill),
- kemampuan untuk mengidentifikasi dan menginterpretasi informasi yang disampaikan orang lain (sensitivity skill),
- kemampuan untuk meregulasi atau mengelola perilaku yang ditunjukkan dalam proses berkomunikasi dengan orang lain (control) (Riggio & Reichard, 2008).
Gambar Model Keterampilan Sosial Gene Smith
Dimensi keterampilan sosial
Keterampilan sosial mencakup tiga kemampuan dasar yang melibatkan komponen emosional (non-verbal) dan komponen sosial (verbal) saat berinteraksi dalam hubungan sosial. Oleh karena itu, komponen-komponen tersebut kemudian dikembangkan sebagai 6 dimensi keterampilan sosial. Keenam dimensi ini merupakan turunan dari tiga dimensi kemampuan dasar expressivity, sensitivity, dan control, yang apabila diuraikan adalah sebagai berikut (Riggio, 1989) :
-
Emotional Expressivity (EE)
Emotional Expressivity mengukur kemampuan individu dalam mengomunikasi pesan secara nonverbal, khususnya dalam menyampaikan pesan-pesan yang mengandung muatan emosional. Tidak hanya mencakup pesan-pesan yang sifatnya emosional, dimensi ini juga mencakup ekspresi sikap, dominansi, dan orientasi interpersonal individu. Sebagai tambahan, dimensi ini juga merepresentasikan sejauh mana individu mampu mengekspresikan keadaan emosi yang sedang dialami secara akurat. Individu yang ekspresif secara emosional adalah individu yang tampak antusias dan terbawa oleh emosinya serta memiliki kemampuan untuk membangkitkan emosi atau menginspirasi orang di sekitarnya melalui kemampuannya menunjukkan emosi.
-
Emotional Sensitivity (ES)
Emotional Sensitivity mengukur kemampuan dalam menerima dan menginterpretasikan pesan dalam komunikasi nonverbal yang disampaikan oleh orang lain. Individu yang sensitif secara emosional dapat menginterpretasi pesan emosional yang disampaikan dalam proses komunikasi meskipun pesan tersebut tidak ditunjukkan secara terang-terangan (subtle). Individu yang sensitif secara emosional juga cenderung mudah tersentuh secara emosi, dan mudah berempati terhadap keadaan emosional yang dialami oleh orang lain.
-
Emotional Control (EC)
Emotional Control mengukur kemampuan individu dalam mengontrol dan meregulasi emosinya serta bagaimana mereka menampilkannya secara nonverbal. Kontrol emosional ini mencakup kemampuan untuk menampilkan emosi tertentu dan menyembunyikan emosi yang lain di balik ‘topeng’ dalam situasi-situasi sosial yang memerlukannya. Misalnya saja seperti, tertawa saat ada orang yang sedang menceritakan lelucon, meskipun sebetulnya ceritanya tidak terlalu lucu atau menunjukkan ekspresi wajah yang ceria meskipun suasana hati yang sebenarnya sedang murung. Individu yang memiliki kemampuan emotional control yang baik dapat mengontrol emosinya dalam berbagai situasi sosial dan menunjukkan ekspresi emosi yang sesuai.
Secara umum, sebenarnya ketiga kemampuan yang berkaitan dengan emosi ini, baik EE, ES, dan EC telah merepresentasikan komponen-komponen dari konsep kecerdasan emosional yang telah diidentifikasikan dalam model yang dikembangkan oleh Mayer dan Salovey (1997). Selain komponen-komponen utama diatas, terdapat komponen-komponen tambahan didalam keterampilan sosial, yaitu :
-
Social Expressivity (SE)
Social Expressivity mengukur kemampuan individu dalam ekspresi verbal dan kemampuan untuk melibatkan orang lain dalam kegiatan sosial. Skor yang tinggi dalam dimensi ini biasanya dihubungkan dengan verbal fluency individu yang ramah dan mudah bergaul, serta individu yang terlatih untuk memulai pembicaraan atau mengarahkan alur pembicaraan dengan orang lain mengenai topik pembicaraan apa saja.
Skor yang rendah dalam dimensi ini merepresentasikan individu yang ekspresif dan seringkali berbicara dengan spontan tanpa menjaga konten pembicaraannya. Dimensi ini sekilas mungkin tampak seperti extraversion, namun sebetulnya berbeda. Secara teoritis, seorang yang ekstrovert belum tentu socially expressive, karena orang yang ekstrovert menikmati berada di sekitar orang dan berinteraksi dengan banyak orang, namun belum tentu menunjukkan bahwa orang-orang ekstrovert pasti mengekspresikan diri mereka dengan spontan baik secara nonverbal maupun verbal.
-
Social Sensitivity (SS)
Social Sensitivity mengukur kemampuan individu dalam menginterpretasikan pesan verbal yang disampaikan orang lain dalam proses komunikasi. Dimensi ini juga mengukur sejauh mana pemahaman dan sensitivitas individu terhadap norma-norma yang diterapkan di masyarakat. Individu yang memiliki kemampuan social sensitivity yang baik adalah individu yang menaruh perhatian terhadap tindak tanduk sosial dan menyadari perilaku apa yang pantas dan tidak pantas dalam konteks sosial. Skor yang ekstrem tinggi pada dimensi ini berhubungan dengan skor yang rendah atau moderat dalam dimensi Social Expressivity dan Social Control, dan merepresentasikan individu yang selalu mawas diri sehingga sangat berhati-hati saat melibatkan diri dalam interaksi sosial. Tampak pula adanya sedikit korelasi positif antara dimensi SS dengan neuroticism.
-
Social Control (SC)
Social Control mengukur kemampuan dalam menempatkan diri, bermain peran, dan bagaimana cara individu mempresentasikan atau membawakan diri di hadapan orang lain. Individu dengan kemampuan social control yang baik cenderung tampil sebagai individu yang percaya diri, tahu apa yang dilakukan dalam situasi sosial dan dapat menyesuaikan diri dengan nyaman dalam berbagai lingkungan sosial. Kemampuan Social Control juga penting dalam membantu individu mengetahui arah dan isi dari pembicaraan dalam proses interaksi sosial.
Meskipun secara umum kemampuan ini adaptif, namun terlalu banyak aspek emotional dan social control dalam interaksi sosial dapat sangat melelahkan bagi individu, baik secara kognitif maupun interpersonal (Richards & Gross, 2000, dalam Riggio, 1989)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketrampilan sosial
Kesuksesan dalam interaksi sosial dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan individu itu sendiri, respon dari individu lain, dan konteks sosial (Spence, 2003). Individu harus mampu menyesuaikan kuantitas dan kualitas respon non- verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh, jarak sosial, yang bergantung pada permintaan dari situasi sosial yang berbeda. Kualitas verbal seperti nada suara, volume, kecepatan dan kejelasan intonasi, sapat mempengaruhi impresi yang tertampil di depan orang lain dan bagaiman orang lain bereaksi terhadapnya. Aspek keterampilan sosial dalam level mikro ini sangat penting untuk keberhasilan interaksi sosial.
Pada level yang lebih makro, individu juga harus mampu mengintegrasikan aspek mikro ini dalam strategi yang tepat agar dapat menghadapi tugas sosial yang spesifik. Sebagai contoh, keberhasilan dalam memulai percakapan yang meliputi kemampuan mengidentifikasi momen yang tepat untuk memulai percakapan serta memilih waktu yang tepat untuk percakapan. Berbagai tugas sosial lainnya adalah meminta bantuan, menawarkan bantuan, mengatakan tidak, meminta informasi, meminta bergabung, mengundang untuk bergabung, dan sebagainya.
Individu harus mampu memonitor respon orang lain di dalam interaksi dan kemudian mengubah perilakunya agar sesuai dengan permintaan situasi interaksi tersebut. Meskipun individu telah memahami bagaimana menggunakan keterampilan sosial, sering kali ia mengalami hambatan untuk mempraktekkannya pada situasi-situasi tertentu. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor afektif negatif, distorsi kognitif, serta penerimaan lingkungan terhadap perilaku bermasalah.
-
Dalam sudut pandang afektif, stimulus yang menimbulkan emosi negatif seperti marah atau cemas akan menghambat penggunaan keterampilan sosial yang tepat.
-
Dalam sudut pandang kognitif, pikiran yang terdistorsi turut menjadi hambatan karena membuat individu salah menginterpretasikan informasi sosial yang ia terima.
-
Dalam sudut pandang lingkungan, hambatan disebabkan lingkungan lebih menerima perilaku sosial yang bermasalah. Individu mendapatkan penguatan sehingga perilaku tersebut bertahan pada individu.
Keterampilan sosial dan kondisi psikologis individu
Secara umum, memiliki keterampilan sosial yang baik dianggap menguntungkan dalam menjalin hubungan sosial (Riggio, 1986). Segrin (1999) mengemukakan bahwa Individu dengan keterampilan sosial yang baik mampu mengekspresikan diri mereka secara efektif, memahami dan berempati dengan orang lain, memunculkan perilaku yang dianggap positif dalam berkomunikasi, dan mencapai tujuan dasar dari berinteraksi sosial, yaitu berbaur dengan orang lain dalam lingkungan, menumbuhkan dan mempertahankan hubungan sosial yang berkualitas. Individu dengan keterampilan sosial yang memadai mampu memperoleh reinforcement positif dari lingkungan sosialnya, sementara individu dengan keterampilan sosial yang kurang baik umumnya cenderung mengalami sejumlah permasalahan yang berakar dari pola interaksi yang maladaptif (Lewinsohn, 1973).
Perlu diperhatikan pula bahwa keterampilan sosial terdiri dari susunan sekian banyak kemampuan-kemampuan dasar sehingga hubungan antara setiap dimensinya tidak selalu memiliki hubungan yang linear dengan efektivitas dalam menjalin hubungan sosial (Riggio, 1986). Individu yang memiliki terlalu banyak kemampuan dalam salah satu dimensi saja justru dapat mengembangkan pola interaksi yang tidak efektif dan disfungsial. Misalnya, individu yang memiliki skor expressivity tinggi namun kurang memiliki control, dapat dengan mudah menarik perhatian dan respon positif dari orang lain pada awalnya, namun lama kelamaan orang akan memandang individu tersebut sebagai seseorang yang tidak tahu tata krama. Sedangkan individu yang memiliki kontrol sosial tinggi, namun tidak memiliki kemampuan dalam dimensi lain, justru akan mudah beradaptasi dengan berbagai situasi sosial namun tidak mampu mengekspresikan perasaannya sendiri dan tidak bisa membina hubungan emosional yang bermakna dengan orang lain.
Oleh sebab itu, dalam keterampilan sosial, komponen-komponen kemampuan yang ada dalam setiap dimensinya tidak dapat berdiri sendiri dan justru harus dikombinasikan antara satu dengan yang lainnya hingga derajat tertentu untuk membina hubungan sosial yang optimal.
Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa keterampilan sosial yang buruk memiliki hubungan dengan berbagai macam permasalahan psikososial (e.g. Jones, Hobbs, & Hockenbury, 1982; Segrin, 1990; Wallace, dkk., 1980).
Beberapa permasalahan psikososial yang muncul antara lain adalah depresi, rasa kesepian, kenakalan remaja, kecanduan alkohol, kecemasan sosial, dan distres psikologis lain (Curran, 1977; Jones, Hobbs, & Hockenbury, 1982; Miller & Eisler, 1977; Youngren & Lewinsohn, 1980).
Sejumlah penelitian juga mengemukakan bahwa keterampilan sosial merupakan faktor-faktor yang menyebabkan individu rentan atau justru resiliens terhadap distres psikologis (Luthar, 1991; Vinnick & Erickson, 1994; Walker, Gerber, & Greene, 1994).
Individu yang memiliki keterampilan sosial yang buruk lebih rentan mengalami distres sementara individu dengan keterampilan sosial yang baik lebih resilien terhadap dampak negatif setelah mengalami suatu peristiwa yang menekan. Keterkaitan antara keterampilan sosial yang buruk sebagai menjadi faktor rentan distres psikologis dapat dijelaskan dengan terbatasnya dukungan sosial yang tersedia bagi mereka yang memiliki keterampilan sosial buruk (Cole & Milstead, 1989; Riggio & Zimmerman, 1991). Dengan demikian, saat individu yang memiliki keterampilan sosial yang buruk mengalami peristiwa yang menekan, mereka tidak dapat menemukan bantuan atau dukungan yang memadai untuk menghadapi peristiwa tersebut.