Kecerdasan emosional (emotional quotient adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional atau emotional quotient ?
Kecerdasan emosional (emotional quotient adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional atau emotional quotient ?
Kecerdasan adalah kemampuan kognitif pada suatu individu untuk memberikan alasan yang baik, belajar dari pengalaman, dan mengahadapi tuntutan hidup sehari-hari (Lahey, 2007), sedangkan Chaplin (2009) mendefinisikan kecerdasan (intelligence) adalah:
Gardner dalam Sariolghalam, Noruzi, dan Rahimi (2010) menjelaskan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk menciptakan produk yang efektif atau penawaran jasa yang bernilai dalam budaya, sekelompok kemampuan yang memungkinkan manusia untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupannya serta potensi untuk menemukan atau menciptakan solusi untuk masalah, yang melibatkan pengetahuan-pengetahuan yang baru.
Dari tiga definisi di atas dapat dikemukakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan kognitif individu dalam menghadapi, menyesuaikan diri terhadap situasi baru, dan dalam hal-hal kaitannya dengan
inovasi.
Hal-hal yang berkaitan dengan definisi emosi dijelaskan dalam Chaplin (2009) dirumuskan sebagai satu keadaan yang terangsang organisme. Mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku.
Menurut Goleman (1999) emosi merupakan suatu perasaan yang berkaitan dengan amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu. Dari penjelasan di atas bahwa emosi merupakan suatu tindakan, ketidakstabilan pikiran, perasaan, nafsu, yang tidak terkendali.
Salovey dan Mayer pada tahun 1997 (dalam Morgan, 2003) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi melibatkan kemampuan untuk mengetahui, menilai dan mengeksperikan emosi secara akurat; kemampuan untuk menggunakan emosi untuk berpikir; kemampuan untuk memahami dan memiliki pengetahuan tentang emosi; serta kemampuan untuk mengelola emosi untuk mengembangkan diri.
Sedangkan Goleman (1999) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Dari kedua definisi tersebut peneliti menarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk menggunakan dan mengelola emosi untuk diri sendiri dan orang lain dan kaitannya dalam mengembangkan potensi diri dan sesuai dengan dimensidimensi yang ada pada Goleman.
Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosi dapat didefinisikan dalam empat dimensi yaitu:
Self-awareness yaitu kemampuan manusia untuk secara akurat memahami diri sendiri dan tetap sadar terhadap emosi diri ketika emosi muncul, termasuk tetap mempertahankan cara manusia dapat merespons situasi tertentu dan orang-orang tertentu di dalamnya terdapat kesadaran emosi (emotional awareness), penilaian diri yang akurat (accurate self-assessment), dan kepercayaan diri (self confidence);
Social Awareness, adalah kemampuan manusia untuk secara tepat menangkap emosi orang lain dan mengerti apa yang benar-benar terjadi, dapat diartikan memahami apa yang orang lain pikirkan dan rasakan walaupun tidak merasakan yang sama, di dalamnya terdapat: empati, orientasi pelayanan (service orientation), kesadaran berorganisasi (organizational awareness) ;
Self Management, adalah kemampuan untuk menggunakan kesadaran emosi manusia untuk tetap fleksibel dan secara positif mengarahkan perilaku diri manusia itu sendiri, yang berarti mengelola reaksi emosi manusia itu sendiri kepada semua orang dan situasi, di dalamnya terdapat: kontrol emosi diri (emotional self-control), dapat dipercaya (trustworthiness), teliti (conscientiousness), kemampuan beradaptasi (adaptability), dorongan berprestasi (achievement drive), inisiatif ;
Relationship Management, kemampuan untuk menggunakan kesadaran emosi manusia dan emosi orang lain untuk mengelola interaksi yang berhasil, termasuk berkomunikasi dengan jelas dan efektif untuk mengatasi konflik, yang didalamnya terdapat memajukan orang lain (developing others), dapat mempengaruhi (influence), komunikasi (communication), manajemen konflik (conflict management), dapat memimpin (visionary leadership), catalyzing change, membangun ikatan (building bonds), kerjasama dan berkolaborasi (teamwork and collaboration).
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut Emotional Quotion (EQ) sebagai:
“Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan” (Shapiro, 1998).
Goleman (2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan Inteligence Quotion (IQ). Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 1998). Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat.
Peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar- On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Gardner (1993, dalam Goleman, 2000) mengungkapkan bahwa kecerdasan pribadi terdiri dari:
Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif (Goleman, 2002).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (1990, dalam Goleman, 2000) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (sosial) dengan orang lain.
Goleman (2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence), menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (sosial) dengan orang lain.
Goleman (2002) memperluas kecerdasan emosional menjadi lima kemmapuan utama, yaitu:
Mengenali emosi diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Hal ini menyebabkan individu menyadari emosi yang sedang dialami serta mengetahui penyebab emosi tersebut terjadi serta memahami kuantitas, intensitas, dan durasi emosi yang sedang berlangsung. Kesadaran akan intensitas emosi memberi informasi mengenai besarnya pengaruh kejadian tersebut pada individu. Intensitas yang tinggi cenderung memotivasi individu untuk bereaksi sedangkan intensitas emosi yang rendah tidak banyak mempengaruhi individu secara sadar.
Kesadaran akan durasi emosi yang berlangsung membuat individu dapat berpikir dan mengambil keputusan yang selaras dalam mengungkapkan emosinya. Kemampuan mengenali emosi diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
Mayer (Goleman, 2002) mengatakan bahwa kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan., sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah (Mutadin, 2002).
Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Individu dapat mengungkapkan emosinya dengan kadar yang tepat pada waktu yang tepat dengan cara yang tepat (Aristoteles dalam Goleman 2004).
Tujuan pengendalian diri adalah keseimbangan emosi bukan menekan emosi, karena setiap perasaan memiliki nilai dan makna tersendiri. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.
Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri ketika ditimpa kesedihan, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan (Goleman, 1996).
Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri. Keterampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung lebih jauh produktif dan efektif dalam hal apa pun yang mereka kerjakan (Goleman, 1996).
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Empati adalah dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang (Setrianingsih, 2006).
Empati dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain, sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
Goleman (2002) mengatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa- apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002).
Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002).
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002).
Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana perawat mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian perawat berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. Apabila individu tidak memiliki keterampilan-keterampilan semacam ini dapat menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan.
Individu yang memiliki kecerdasan emosi dapat terungkap melalui kemampuannya memotivasi diri & bertahan menghadapi frustrasi, dapat mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mampu mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta dapat berempati dan selalu berdoa.
Terdapat empat ranah dalam Kecerdasaan Emosi (Emotional Quotion), yaitu:
KESADARAN DIRI, yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi, yang meliputi: kesadaran emosi, penilaian diri secara teliti dan percaya diri.
MENGELOLA EMOSI, yaitu kemampuan menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap tanpa melewati kewajaran, meliputi: kendali diri, dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptibilitas, dan inovasi,
MEMOTIVASI DIRI SENDIRI, yaitu memiliki kecenderungan emosi yang mendorong pencapaian tujuan, meliputi dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif, serta optimisme.
MENGENALI EMOSI ORANG LAIN, yaitu memiliki kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain, yang terdiri dari memahami orang lain, orientasi akan pelayanan, dan mampu mengembangkan orang lain, serta mengatasi keberagaman, mampu berkomunikasi dengan baik, merupakan katalisator perubahan, mampu mengelola konflik, mampu berkoolaborasi dan berkooperasi, serta kemampuan bekerja dalam tim.
Kecerdasan emosional erat hubungannya dengan perasaan manusia. Emosi menuntut kita menghadapi saat-saat kritis dan tugas-tugas yang terlampau riskan bila hanya diserahkan kepada otak. Perasaan bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sugesti, kelelahan, perhatian, intelegensi sehingga ikut mewarnai emosi.
Istilah “ kecerdasan emosional “ pertama kali disampaikan pada tahun 1990 oleh ahli psikologi Peter Salovey dari Universitas Harvard dan John Mayer dari Universitas New Hampshire, keduanya menerangkan akan adanya kualitas-kualitas yang penting bagi keberhasilan antara lain : empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.
Salovey dan Meyer sendiri mengatakan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.
Menurut Seto Mulyadi, kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri, kemampuan memotivasi diri, kemampuan mengenali emosi orang lain dan kemampuan membina hubungan. Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri, merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul dan ia mampu mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusankeputusan secara mantap.
Secara sederhana Ary Ginanjar mengartikan kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan. Dan cara meningkatkan ini adalah dengan cara mempraktekkannya.
Menurut Robert K Coopeer,Ph D dan Ayman Sawaf , kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, serta pengaruh yang manusiawi.
Sedangkan menurut Patricia Patton memberi makna kecerdasan emosional sebagai kekuatan di balik singgasana kemampuan intelektual. Ia merupakan dasar-dasar pembentukan emosi yang mencakup tentang kemampuan-kemampuan untuk : menunda kepuasan dan mengendalikan impuls-impuls, tetap optimis jika berhadapan dengan kemalangan danketidakpastian, menyalurkan emosi-emosi yang kuat secara efektif, mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri dalam usaha mencapai tujuan- tujuan, menangani kelemahan-kelemahan pribadi, menunjukkan rasa empati kepada orang lain.
Menurut Daniel Goleman unsur-unsur utama dalam kecerdasan emosional adalah sebagai berikut :
Kesadaran diri : mengamati diri sendiri dan mengenali perasaanperasaan diri sendiri, menghimpun kosakata untuk perasaan, mengetahui hubungan antara pikiran, perasaan dan reaksi.
Pengambilan keputusan pribadi : mencermati tindakan-tindakan diri sendiri dan mengetahui akibat-akibatnya, mengetahui apa yang menguasai sebuah keputusan, pikiran atau perasaan, menerapkan pemahaman ini ke masalah-masalah seperti seks dan obat terlarang.
Mengelola perasaan : memantau “pembicaraan sendiri” untuk menangkap pesan-pesan negatif seperti ejekan-ejekan tersembunyi, menyadari apa yang ada di balik suatu perasaan (misalnya sakit hati yang mendorong amarah), menemukan cara-cara untuk menangani rasa takut dan cemas, amarah, dan kesedihan.
Menangani stres : mempelajari pentingnya berolahraga, perenungan yang terarah, metode relaksasi.
Empati : memahami perasaan dan masalah orang lain, dan berpikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal.
Komunikasi : berbicara mengenai perasaan secara efektif, menjadi pendengar dan penanya yang baik, membedakan antara apa yang dilakukan atau yang dikatakan seseorang dengan reaksi atau penilaian diri sendiri tentang hal itu, mengirimkan pesan “aku” dan bukannya mengumpat.
Membuka diri : menghargai keterbukaan dan membina kepercayaan dalam suatu hubungan, mengetahui kapan situasinya aman untuk mengambil resiko membicarakan tentang perasaan diri sendiri.
Pemahaman : mengidentifikasi pola-pola dalam kehidupan emosional diri sendiri dan reaksi-reaksinya, mengenali pola-pola serupa pada orang lain
Menerima diri sendiri : merasa bangga dan memandang diri sendiri dalam sisi yang positif, mengenali kekuatan dan kelemahan diri sendiri, mampu untuk mentertawakan diri sendiri
Tanggung jawab pribadi : rela memikul tanggung jawab, mengenali akibat-akibat dari keputusan dan tindakan diri sendiri, menerima perasaan dan suasana hati diri sendiri, menindaklanjuti komitmen (misalnya berniat untuk belajar).
Ketegasan : mengungkapkan keprihatinan dan perasaan diri sendiri tanpa rasa marah atau berdiam diri.
Dinamika kelompok : mau bekerja sama, mengetahui kapan dan bagaimana memimpin, kapan mengikuti.
Menyelesaikan konflik : bagaimana bertengkar secara jujur dengan anak- anak lain, dengan orang tua, dengan para guru, contoh menang untuk merundingkan kompromi.
Referensi :
Ahli yang pertama-tama mengemukakan konsep kecerdasan emosi adalah Goleman. Menurut Goleman (1995) kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali dan merasakan emosi yang dialami (kesadaran emosi), mengelola emosi, bisa melakukan empati (membaca emosi), membina hubungan dengan orang lain dan memanfaatkan emosi secara produktif sebagai penunjang performa seseorang. Mayer dan Salovey (dalam Wahyono, 2001) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi emosi baik diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya, menggunakan emosi untuk memfasilitasi proses pikir, memahami emosi (transisi dari satu tahap ke tahap lain), mengelola emosi baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Baron (dalam Wahyono, 2001) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merupakan prediktor yang lebih baik bagi suksesnya seseorang daripada intelegensi kognitif.
Bar On (dalam Megawati, 2010) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Menurut Goleman, kecerdasan emosional bukan lawan dari kecerdasan kognitif; orang-orang tertentu unggul pada keduanya, sementara yang lain hanya pada salah satunya. Kecerdasan emosi mengingatkan kita pada kecerdasan intrapersonal dan interpersonal yang diusulkan oleh Gardner. EI juga tampak serupa dengan pemikiran pascaformal dalam hal hubungannya antara emosi dan kognisi. Walaupun penelitian mendukung peran emosi dalam tingkah laku cerdas, namun konsep EI tetap kontroversial (Papalia, 2009).
Patton (dalam Ifham, 2002) memberi definisi mengenai kecerdasan emosi adalah menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif, dan meraih keberhasilan.Dengan kata lain seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi akan mampu mengenali emosi yang ada didalam dirinya, kemudian mengelolanya secara baik emosi yang ada didalam dirinya tersebut agar menjadi sumber energi emosi positif yang dapat dimanfaatkan untuk menangani perasannya atau melawan perasaan yang tidak menyenangkan, serta mampu mengenali emosi orang lain dan mampu membina hubungan, sehingga dengan kemampuan-kemampuan tersebut akan membimbing pikiran dan tindakan seseorang untuk menyesuaikan diri maupun mengatasi tuntutan atau tekanan lingkungan dimana ia berada (Megawati, 2010).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk memahami dan merasakan kepekaan emosi yang dirasakan serta mampu untuk memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dan membimbing pikiran untuk membuat keputusan yang dianggap individu sebagai yang terbaik.
Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Goleman (2001) mengadaptasi lima hal yang tercakup dalam kecerdasan emosional yaitu sebagai berikut :
Kecerdasan diri (Mengenali emosi diri)
Kesadaran diri adalah kemampuan merasakan emosi tepat pada waktunya dan kemampuan dalam memahami kecenderungan dalam situasi tersebut. Kesadaran diri menyatakan kemampuan seseorang menguasai reaksi pada berbagai peristiwa, tantangan, bahkan orang-orang tertentu.
Pengaturan emosi (mengelola emosi)
Mengelola emosi berarti memahaminya, lalu menggunakan pemahaman tersebut untuk menghadapi situasi secara produktif, bukannya menekan emosi dan menghilangkan informasi berharga yang disampaikan oleh emosi kepada diri sendiri. Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila: mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu.
Motivasi (motivasi diri sendiri)
Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian dan keterampilan tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Motivasi dapat bersumber dari dalam diri seseorang (motivasi internal atau motivasi intrinsik), akan tetapi dapat pula bersumber dari luar diri orang yang bersangkutan (motivasi eksternal atau motivasi ekstrinsik).
Sedangkan Goleman (2001) menyatakan bahwa motivasi adalah kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peralihan sasaran. Penataan emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk member perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi.
Empati (Mengenali emosi orang lain)
Goleman (1999) berpendapat bahwa empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan doro dengan emosinya sendiridapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
Ketrampilan sosial (membina hubungan)
Ketrampilan sosial merupakan aspek penting dalam Emotional Intelligence. Ketarampilan sosial bisa diperoleh dengan banyak berlatih. Salah satu kunci ketrampilan sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri. Oleh sebab itu, untuk dapat menguasai ketrampilan untuk berhubungan dengan orang lain (ketrampilan sosial) dibutuhkan kematangan dua ketrampilan emosioanl yang lain, yaitu pengendalian diri dan empati (Yuniani, 2010).
Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini menggunakan aspek-aspek dalam kecerdasan emosi dari Goleman yang meliputi : mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan.
Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (1999), ada 2 faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi. Faktor tersebut terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini penjelasan masing-masing factor :
Faktor internal . Faktor internal merupakan factor yang timbul dari individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosinal seseorang, otak emosional dipengaruhi oleh keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik, lobus prefrontal dan hal-hal lain yang berada pada otak emosional.
Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi individu untuk atau mengubah sikap. Pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perseorangan, secara kelompok, antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit (Ifham, 2002).
Kecerdasan emosional merupakan salah satu bentuk lain dari kecerdasan ganda yang ada pada diri individu. Dimana dalam kecerdasan ganda tersebut terdapat juga kecerdasan emosional, dalam hal ini kecerdasan emosional tergabung dalam kecerdasan interpersonal. Kecerdasan ini biasanya di pakai seseorang untuk dapat mengendalikan emosi dalam rangka berinteraksi dengan individu lainya.
Bentuk-bentuk kecerdasan ganda di antaranya kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, kecerdasan verbal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan tubuh, kecerdasan musical, kecerdasan eksitensial, kecerdasan spiritual, kecerdasan visual, dan kecerdasan matematik.
Kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikologi Peter Salovey dan Jhon Mayer untuk menjelaskan kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan, diantaranya: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat (Shapiro, 1998).
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut (EQ) sebagai berikut :
“Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998).
Sedangkan Menurut Cooper mengatakan bahwa kecerdasan emosi sebagai kemampuan merasakan dan memahami secara efektif menerapkan serta daya kepekaan emosi sebagai energy informasi koneksi dan pengaruh manusiawi (Wijaya Diana, 2007).
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memahami dan bertindak bijaksana dalam menghadapi atau berhubungan dengan orang lain (Hariwijayana, 2006). Sedangkan Kecerdasan emosional Menurut Ary Ginanjar adalah sebuah kemampuan untuk mendengarkan bisikan emosi dan menjadikannya sebagai sumber informasi yang penting dalam memahami diri sendiri dan orang lain dalam mencapai sebuah tujuan (Ary Ginanjar, 2004).
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998).
Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :
”Kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “Kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain”. Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan- perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku” (Goleman, 2002).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 2000) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Hamim Thohari dkk, pengertian kecerdasan emosional terbagi menjadi,
Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosional meruju kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain.
Kecerdasan emosional mencangkup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan- kemampuan kognitif murni yang di ukur dengan IQ. Banyak orang-orang cerdas, dalam arti terpelajar akan tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosianal, sehingga dalam bekerja menjadi bawahan orang yang memiliki kecerdasan yang lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional sesungguhnya merupakan keterampilan (Skill), dari pada potensi seperti dalam konsep intelegensi pada umumnya, dan keterampilan ini harus di kerjakan oleh masyarakat tempat individu yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Adapun berlangsungnya proses belajar ini sesungguhnya merupakan bagian dari kemampuan nalar atau kognitif seseorang (Monty P. Satiadima & Fidelis E. Waruru, 2003).
Menurut Goleman (1999) dalam kecerdasan emosional terdapat dua hal yang harus dimiliki yaitu kecakapan emosi dan sosial, meliputi:
Kesadaran diri: mengerahui apa yang dirasakan dan menggunakanya sebagai acuan pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
Pengaturan diri: mengendalikan emosi sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tuga, peka terhadap diri sendiri, dan sanggup menunda kepuasan sebelum tercapainya tujuan serta mampu bangkit kembali dari tekanan emosi.
Motivasi: menggunakan harsat untuk menggerakkan dan menuntun individu menuju sasaran yang tepat, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
Empati: merasakan dan memahami orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyesuaikan diri dengan orang lain.
Keterampilan sosial: menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, mampu membaca situasi sehingga mampu melakukan keterampilan- keterampilan ini untuk mempengaruhi, bermusyauwarah, dan mampu bekerja sama dengan orang lain (Goleman 1999).
Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emotional (emotional Intelegence) berbeda dengan kecerdasan intelektual (intelegent Intelegence). Penelitian tentang kecerdasan intelektual telah berumur seratus tahun dan dilakukan terhadap ratusan ribu orang, sedangkan kecerdasan emosional merupakan konsep baru yang sampai sekarang belum ada yang dapat mengemukakan secara tepat sejauh mana variasi yang ditimbulkannya dalam perjalanan hidup seseorang. Akan tetapi data yang ada mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosional dapat sama ampuhnya bahkan terkadang lebih ampuh dari kecerdasan intelektual.
Goleman (2006:44) menyatakan bahwa setinggi-tingginya kecerdasan intelektual menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses individu dalam hidup. Sedangkan 80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain termasuk diantaranya kecerdasan emosional. Mengenai kecerdasan intelektual ada yang menyatakan bahwa kecerdasan intelektual tidak dapat banyak diubah oleh pengalaman dan pendidikan. Kecerdasan intelektual cenderung bawaan sehingga kita tidak dapat berbuat banyak untuk meningkatkannya. Sementara itu kecerdasan emosional dapat dilatih, dipelajari dan dikembangkan pada masa kanak-kanak, sehingga masih ada peluang untuk menumbuhkembangkan dan meningkatkannya untuk memberikan sumbangan bagi sukses hidup seseorang.
Konsep kecerdasan emosional memang masih relatif baru, oleh karena itu belum dikenal sebagaimana kita mengenal hebatnya kecerdasan intelektual, juga belum banyak dikembangkan oleh dunia pendidikan. Sehingga konsep-konsep dan praktek pendidikan yang berlangsung masih cenderung mengedepankan kecerdasan intelektual. Stigma anak cerdas diberikan kepada mereka yang memiliki nilai rapor tinggi, ranking 10 besar di kelas ataupun nilai UAN yang tinggi. Walaupun di satu sisi di kelas mereka termasuk anak yang mau menang sendiri, tidak dapat bergaul dengan teman ataupun suka menyediri. Tidak ada label cerdas bagi anak yang suka bergaul, perhatian dengan teman dan suka menolong tetapi memiliki angka rapor yang rendah. Padahal untuk mencapai keberhasilan hidup tidak cukup hanya dengan bekal cerdas secara intelektual tetapi rendah dalam kecerdasan emosional.
Fenomena tawuran, perkelahian antar kelompok, antar suku dan antar agama yang sering terjadi di negeri ini menunjukkan kurang adanya perhatian terhadap kecerdasan emosional selama ini. Konflik yang terjadi menggambarkan bahwa masingmasing kelompok sama-sama kurang cerdas secara emosional. Bahkan hal terjadi pada semua lapisan masyarakat, tidak memandang seberapa tinggi tingkat pendidikan, status sosial, maupun status ekonomi. Perhatian pendidikan terhadap persoalan pengembangan kecerdasan emosional memang dirasa masih kurang, sehingga pendidikan perlu berbenah guna meningkatkanya. Demikian halnya dengan mainstream masyarakat perlu diubah bahwa cerdas tak cukup hanya cerdas secara intelektual tetapi juga cerdas secara emosinal. Pendidikan kecerdasan emosional hendaknya dilakukan pada semua jalur pendidikan baik pendidikan formal, non formal maupun informal, masing-masing dengan strategi dam implementasi yang sesuai.
Untuk dapat melatih dan mengembangkan kecerdasan emosional secara optimal kita perlu memahami tentang apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional, bagaimana melatih dan mengimplemantasikannya dalam pendidikan, terutama Penddikan Agama Islam.
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur sempit keterampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses dibidang akademis. Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak terpaut itu saja. Pandangan baru yang berkembang, ada kecerdasan lain diluar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional yang harus juga dikembangkan.
Istilah emotional intelegence yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kecerdasan emosional yang pertama kali diterjemahkan oleh Peter Salovey dari Hardward University dan John Mayer dari University of New Hampshire pada tahun 1990. Kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam sebuah buku “Emotional Intelegence”. Salovey dan Mayer menggunakan istilah kecerdasan emosional untuk menggambarkan sejumlah ketrampilan yang berhubungan dengan keakuratan penelitian tentang emosi diri sendiri dan orang lain, kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan kehidupan.
Dalam menjabarkan arti kecerdasan emosional, Salovey dan Mayer menggunakan pengertian “Kecerdasan Pribadi” yang dikemukakan oleh psikologi Horward Gardner sebagai definisi dasar, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi serta cara bekerja sama, juga kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.
Definisi ini diperluas oleh Salovey dan Mayer dalam lima wilayah utama, yaitu:
Gardner menyebut kecerdasan emosional dengan istilah “Kecakapan Interpersonal” dan “Kecakapan Antarpersonal”. Kecakapan interpersonal adalah kemampuan yang bersifat kolektif terapi yang terarah ke dalam diri sendiri serta kemampuan untuk membentuk suatu model diri sendiri serta kemampuan untuk menggunakan model tersebut sebagai alat menempuh kehidupan secara efektif. Sedangkan kecakapan antarpersonal adalah kemampuan untuk memahami orang lain berupa pemahaman terhadap apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja sama dengan sesamanya dan mampu membedakan serta menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi dan hasrat orang lain.
Menurut Aristoteles, kecerdasan emosional adalah suatu keterampilan langka, yaitu untuk marah pada orang yang tepat dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat demi tujuan yang benar dan dengan cara yang baik. Wilayah EQ adalah hubungan pribadi dan berhubungan antar pribadi, EQ bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan kemampuan adaptasi sosial.
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam memahami, mengelola, memotivasi emosinya sendiri dan mampu memahami orang lain dan juga membina hubungan dengan orang lain.
Dari kesimpulan tersebut, kecerdasan emosional seseorang berarti dapat digolongkan menjadi dua bagian kemampuan, yaitu kemampuan interpersonal dan kemampuan personal yang mana keduanya tersebut dapat menjadikan seseorang tersebut menjadi sukses, baik dari dalam dirinya, maupun di tengah-tengah orang lain, dalam arti orang tersebut mampu membina hubungan dengan orang lain dengan baik dan mampu secara bijaksana mengelola dirinya sendiri menjadi orang yang sukses.
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitaskualitas emo-sional yang tampaknya penting bagi keber-hasilan individu.
Salovey dan Mayer (dalam Shapiro, 2003) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemam-puan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk mengembangkan pikiran dan tindakan. Definisi tersebut menjelaskan bahwa kecerdasan emosional berkaitan dengan pengarahan tindakan seseorang dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Bar-On (dalam Mayer dkk, 2001) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan.
Goleman (2005) membagi aspek kecerdasan emosional menjadi lima aspek dasar, meliputi:
Kesadaran Diri, kemampuan mengetahui yang dirasakan.
Pengaturan Diri, kemampuan mengatur emosinya sendiri sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas.
Motivasi, kemampuan menggunakan hasrat untuk menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran.
Empati, kemampuan merasakan perasaan orang lain dan mampu memahami perspektif orang lain.
Keterampilan Sosial, kemampuan untuk menanggapi emosi dengan baik ketika berhubungan orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial secara cermat, dapat berinteraksi atau bekerja sama dengan lancar.
Individu perlu memiliki kecerdasan emosional karena kondisi emosional dapat mempengaruhi pikiran, perkataan, maupun perilaku, termasuk dalam pekerjaan. Individu yang memiliki kecerdasan emosional akan mampu meng-etahui kondisi emosionalnya dan cara meng-ekspresikan emosinya secara tepat sehingga emosinya dapat dikontrol dan memberikan banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang cerdas secara akademik tetapi kurang mempunyai kecerdasan emosional, ternyata gagal dalam meraih kesuksesan di tempat kerja (Goleman, 2005). Kecerdasan emosional juga mampu menentukan potensi seseorang untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis dan mendukung kinerja (Goleman, 2005).
Goleman (2009) menyatakan kecerdasan emosional merupakan kemampuan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi dapat menempatkan emosi seorang pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan dan memahami secara lebih efektif terhadap daya kepekaan emosi yang mencakup kemampuan memotivasi diri sendiri atau orang lain, pengendalian diri, mampu memahami perasaan orang lain engan efektif, dan mampu mengelola emosi yang dapat di gunakan untuk membimbing pikiran untuk mengambil keputusan yang terbaik.
Aspek-aspek kecerdasan emosi
Lebih lanjut Goleman (2009) merinci lagi aspek-aspek kecerdasan emosi secara khusus sebagai berikut :
Mengenali emosi diri, yaitu kemampuan individu yang berfungsi untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, mencermati perasaan yang muncul.
Mengelola emosi, yaitu kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena kegagalan ketrampilan emosi dasar.
Memotivasi diri sendiri, yaitu kemampuan untuk mengatur emosi merupakan alat untuk mencapai tujuan dan sangat penting untuk memotivasi dan menguasai diri.
Mengenali emosi orang lain, kemampuan ini disebut empati, yaitu kemampuan yang bergantung pada kesadaran diri emosional, kemampuan ini merupakan ketrampilan dasar dalam bersosial.
Membina hubungan. Seni membina hubungan sosial merupakan ketrampilan mengelola emosi orang lain, meliputi ketrampilan sosial yang menunjang popularitas kepemimpinan dan keberhasilan hubungan antar pribadi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat dilakukan melalui proses pembelajaran. Ada beberapa factor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu menurut Goleman (2009), yaitu :
Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi.
Lingkungan non keluarga. Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk.
Upaya Meneningkatkan Kecerdasan Emosional
Upaya meningkatkan kecerdasan Emosional banyak dikemukakan olah para praktisi dan peneliti, antara lain: Robert K. Cooper, Ph.D dan Ayman Sawaf memberikan suatu metode untuk meningkatkan kecerdasan emosi yaitu: meluangkan waktu dua atau tiga menit dan bangun lima menit lebih awal dari pada biasanya. “Duduklah dengan tenang, pasang telinga hati anda, keluarkan dari pikiran anda dan masuklah ke dalam hati, yang penting disini menulis apa yang anda rasakan.” Cara ini secara langsung mendatangkan kejujuran emosi (hati), berikut kebijaksanaan yang terkait dan membawanya ke permukaan sehingga anda dapat menggunakannya secara Efektif.
Kecerdasan emosional (EI) secara resmi didefinisikan oleh Peter Salovey dan Jack Mayer pada tahun 1990 sebagai anggota kelompok kemampuan mental yang muncul bersamaan dengan kecerdasan sosial dan praktis.
EI mengacu pada proses yang terlibat dalam merasakan, memahami, menggunakan, dan mengelola emosi untuk memecahkan masalah yang sarat emosi dan untuk mengatur perilaku.
Merasakan emosi mengacu pada kemampuan untuk mengidentifikasi emosi dalam diri sendiri dan orang lain, serta rangsangan lain, termasuk suara, cerita, musik, dan karya seni. Menggunakan emosi mengacu pada kemampuan untuk memanfaatkan perasaan untuk membantu dalam aktivitas kognitif tertentu seperti pemecahan masalah, pengambilan keputusan, pemikiran kreatif, dan komunikasi interpersonal. Memahami emosi melibatkan pengetahuan tentang istilah yang berhubungan dengan emosi dan cara emosi bergabung, berkembang, dan transisi dari satu ke yang lain. Mengelola emosi mencakup kemampuan untuk menerapkan strategi yang mengubah perasaan, dan penilaian efektivitas strategi regulasi ini.