Apa yang dimaksud dengan Ikhlas menurut Islam?

Ikhlas

Ikhlas dalam Kamus Istilah Agama diartikan dengan melakukan sesuatu pekerjaan semata-mata karena Allah, bukan kerena ingin memperoleh keuntungan diri (lahiriah atau batiniah).

Apa yang dimaksud dengan Ikhlas menurut Islam ?

Ikhlas, secara bahasa berakar dari kata khalasa yang memiliki arti tanqiyah asy-syai‟ wa tahzibuhu (mengosongkan sesuatu dan membersihkannya). Ikhlas dalam bentuk masdarnya berarti yang tulus, yang jujur, yang murni, yang bersih, dan yang jernih (safa), naja wa salima (selamat), wasala (sampai), dan i‟tazala (memisahkan diri), atau berarti perbaikan dan pembersihan sesuatu.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai: hati yang bersih (kejujuran), tulus hati (ketulusan hati), dan kerelaan.

Secara terminologi, Ikhlas mempunyai pengertian kejujuran hamba dalam keyakinan atau akidah dan perbuatan yang hanya ditujukan kepada Allah.

Berikut terdapat beberapa pendapat para ulama terkait dengan kata Ikhlas:

  1. Dzu an-Nun al-Misri berkata: “ada tiga alamat yang menunjukkan keikhlasan seseorang, yaitu ketiadaan perbedaan antara pujian dan celaan, lupa memandang amal perbuatannya di dalam amal perbuatannya sendiri, dan lupa menuntut pahala atas amal perbuatannya di kampung akhirat.

  2. Syekh Abi `Ali ad-Daqqaq berkata, “keikhlasan adalah menjaga diri dari campur tangan makhluk, sehingga orang yang Ikhlas tidak bersifat ria.

  3. Menurut pendapat Abu Thalib al-Makki yang dikutip oleh Lu’luatul Chizanah mengatakan bahwa Ikhlas mempunyai arti pemurnian agama dari hawa nafsu dan perilaku menyimpang, pemurnian amal dari bermacam-macam penyakit dan noda yang tersembunyi, pemurnian ucapan dari kata-kata yang tidak berguna, dan pemurnian budi pekerti dengan mengikuti apa yang dikehenaki oleh Tuhan.

  4. Menurut al-Qusyairi, Ikhlas adalah penunggalan al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada Allah semata tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain selain pendekatan diri pada Allah. Bisa juga di artikan penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.

  5. Menurut Imam Al-Ghazali, “orang yang beribadah (`abid) untuk memperoleh kenikmatan diri dengan nafsu keinginan dalam surga itu adalah orang yang sakit pada amalnya. Bahkan menurut hakikatnya, bahwa tidak dikehendaki dengan amal itu selain wajah Allah Swt. Dan itu adalah isyarat kepada keikhlasan orang-orang yang benar (al- siddiqin), yaitu keikhlasan mutlak”.

  6. Muhammad `Abduh mengatakan Ikhlas adalah Ikhlas beragama untuk Allah Swt. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung.

  7. Abu Usman al-Magribi mengatakan bahwa Ikhlas adalah ketiadaan bagian atas suatu hal pada dirinya. Ini adalah Ikhlas orang-orang umum. Adapun ikhlas orang-orang khusus adalah apa yang terjatuh atau terlimpah pada mereka, bukan yang bersama mereka. Karena itu, dari mereka muncul ketaatan dan mereka sendiri terpisah dari ketaatan itu sendiri. Mereka tidak memandang dan menghitung ketaatan yang terlimpah kepada diri mereka.

  8. HAMKA (Haji Abdul Malik Amrullah) mengatakan bahwa Ikhlas adalah bersih dan tidak ada campuran suatu apapun.

Kata Khalasa dan Perubahan Bentuknya

Istilah Ikhlas dalam bentuk asli tidak ditemukan di dalam al-Qur‟an. Namun, term Ikhlas yang berakar dari kata khalasa dengan berbagai macam derivasinya secara menyeluruh ditemukan sebanyak 31 kali dalam 30 ayat, sedangkan jumlah bentuk yang berbeda terdapat 14 bentuk dan tersebar dalam 17 surat. Adapun perinciannya yaitu:

  1. Bentuk Fi`il Madi sebanyak tiga bentuk yang terdapat pada Q.S. Sad (38): 46, Q.S. Yusuf (12): 80, Q.S. an-Nisa (4): 146.

  2. Bentuk Fi`il Mudari’ sebanyak satu bentuk yang terdapat pada Q.S. Yusuf (12): 54.

  3. Bentuk Isim Fa’il (mufrad) sebanyak sepuluh bentuk yang terdapat pada Q.S. al-Baqarah (2): 94, Q.S. al-A’raf (7): 32, Q.S. al-Ahzab (33): 50, Q.S. Sad (38): 46, Q.S. al-An`am (6): 139, Q.S. az-Zumar (39): 3, Q.S. an-Nahl (16): 66, Q.S. az-Zumar (39): 2, 11, 14.

  4. Bentuk Isim Fa’il (jama` muzakkar) sebanyak delapan bentuk yang terdapat pada Q.S. al-A’raf (7): 29, Q.S. Yunus (10): 22, Q.S. al-Ankabut (29): 65, Q.S. Luqman (31): 32, Q.S. Gafir (40): 14, 65, Q.S. al-Bayyinah (98): 5, Q.S. al-Baqarah (2): 139.

  5. Bentuk Isim Maf’ul (mufrad) sebanyak satu bentuk yang terdapat pada Q.S. Maryam (19): 51.

  6. Bentuk Isim Maf’ul (jama’ muzakkar) sebanyak delapan bentuk yang terdapat pada surat Q.S. Yusuf (12): 24, Q.S. al-Hijr (15): 40, Q.S. as-Saffat (37): 40, 74, 128, 160, 169, Q.S. Sad (38): 83.

Di samping ayat-ayat di atas yang telah disebut, ada juga beberapa ayat yang mengungkapkan atau menggambarkan tentang Ikhlas, walaupun dalam ayat-ayat tersebut tidak memakai kata Ikhlas secara langsung, di antaranya: Q.S. al-Baqarah (2): 262, 265, 272; Q.S. an-Nisa’ (4): 114, 125, Q.S. at-Taubah (9): 91, Q.S. Yu>nus (10): 105, Q.S. ar-Ra’d (13): 22, Q.S. al-Kahfi (18): 110, Q.S. al-Hajj (22): 31.

Ayat-ayat yang berbicara tentang Ikhlas terbagi menjadi dua tempat, yaitu yang turun di Mekah dan turun di Madinah. Ayat-ayat yang tergolong Makkiyyah berjumlah 26 ayat yang terdapat di dalam 13 surat sedangkan yang tergolong ayat-ayat Madaniyyah berjumlah 5 ayat yang terdapat di dalam 4 surat.

1. Makkiyyah

  • Berbicara tentang kisah-kisah Nabi dan kaum terdahulu

    Kisah tentang Nabi Yusuf yang dipilih dan diangkat oleh raja sebagai tangan kanannya karena kejujuran dan setia, penuh tanggung jawab, berilmu, dan tabah serta kuat imannya (Q.S. Yusuf (12): 45). Kisah saudara Yusuf yang melakukan penyendirian karena salah seorang dari mereka tidak bisa mengganti Bunyamin yang ditahan oleh Nabi Yusuf (Q.S. Yusuf (12): 80). Kisah Nabi Yusuf yang menolak ajakan istri al-Aziz karena itu melanggar agama, kesucian jiwa raganya dan menghianati tuannya. Sebab hal tersebut, Yusuf termasuk hamba yang terpilih (Q.S. Yusuf (12): 24).

    Kisah Nabi Musa As. yang dipilih Allah untuk menceritakan risalah-Nya dengan mengangkatnya sebagai nabi dan rasul karena ia seorang yang Ikhlas (Q.S. Maryam (19): 51). Allah memberikan ujian kepada kaum musyrikin yang sedang berlayar di lautan dengan ombak yang dahsyat. Sebab hal tersebut kaum musyrikin tersebut berdoa dengan penuh keikhlasan. Akan tetapi ketika diselamatkan dari bahaya yang ditimpanya, mereka menyekutukan Allah (Q.S. Yunus (10): 22, Q.S. al-'Ankabut (29): 65, Q.S. Luqman (31): 32).

    Kisah tentang kaum kafir Mekah yang berjanji akan beriman dan melakukan perintah Allah dengan sebenarnya (Q.S. as-Saffat (37): 169).

  • Berbicara mengenai tauhid

    Perintah menyembah hanya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya tanpa adanya syirik dan ria (Q.S. az-Zumar (39): 2-3). Perintah untuk menyembah dan memohon kepada Allah dengan Ikhlas, memurnikan ibadah hanya kepada- Nya, dan tidak mempersekutukan dengan suatu apapun. (Q.S. Gafir (40): 14, 65).

    Allah memerintah Muhammad untuk mengatakan kepada kaum musyrikin untuk meyembah Allah, menaati perintah- Nya, memurnikan ketaatan dalam menjalankan agama, berbuat adil, mengerjakan salat dan beribadah dengan Ikhlas karena Allah (Q.S. al-A`raf (7): 29, Q.S. az-Zumar (39): 11, 14). Hamba Allah yang terpilih adalah yang memiliki sifat Ikhlas yang selalu mensucikan Allah dari segala sifat kekurangan dan tidak layak bagi-Nya. (Q.S. as- Saffat (37): 160). Allah memberikan kenikmatan kepada hamba yang taat berupa keikhlasan dan bersih dari dosa dan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. (Q.S. as-Saffat (37): 40, 74).

  • Keutamaan-keutamaan akhlak dan balasan

    Allah mensucikan dan mengangkat derajat tinggi kepada para Nabi karena memelihara kebersihan jiwa dan menjauhkan diri dari dosa, sehingga mereka Ikhlas menaati perintah, berjuang dalam kebenaran dan melenyapkan kebatilan (Q.S. Sad (38): 46). Perintah Allah kepada hambanya untuk memperhatikan pelajaran yang ada pada binatang ternak, bahwa lewat binatang ternak tersebut Allah memproduksi susu yang bersih dan bergizi yang berada diantara darah dan kotoran. (Q.S. an-Nahl (16): 66). Hamba yang tidak dapat digoda setan adalah hamba yang saleh, Ikhlas, dan kuat imannya. (Q.S. al- Hijr (15): 40).

2. Madaniyyah

Pada periode ini ayat-ayat yang turun membahas tentang kekhususan yang diberikan Nabi Muhammad untuk menikahi perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi tanpa maskawin. Ini tidak dimiliki oleh kaum mukminin yang harus memenuhi syarat-syarat akad nikah dan lainnya dan tidak boleh menikahi seorang perempuan dengan hibah atau tanpa saksi. (Q.S. Al-Ahzab (33): 50).

Kaum munafik yang diberi kesempatan untuk bertobat sebelum ajalnya tiba, yaitu dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah serta Ikhlas dalam melakukannya karena Allah. (Q.S. an-Nisa (4): 146). Penolakan terhadap apa yang dikatakan orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap bahwa agama merekalah yang benar, kemudian Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa agama yang benar adalah agama yang berdasarkan tauhid dan agama yang memurnikan ketaatan kepada Allah. (Q.S. al-Baqarah (2): 139). Perintah kepada Nabi agar mengatakan kepada orang-orang Yahudi jika memang benar surga itu hanya untuk mereka, maka mintalah mati dengan segera. Akan tetapi mereka tidak menginginkan kematian, mereka malah mengejar dan berjuang untuk mendapatkan kenikmatan dunia. (Q.S. al-Baqarah (2): 94)

Ali ra Ikhlas

Makna Ikhlas


Menurut Sahal Ibn Abdullah at Tustari dalam Tafsir At-Tustari terdapat lima makna yang disebutkan dalam kitab Tafsir at-Tustari, yaitu sebagai berikut:

1. Ikhlas adalah Musyahadah

“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (dan berlayar) di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya; tiba-tiba datanglah badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan mereka mengira telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa dengan tulus ikhlas kepada Allah semata. (Seraya berkata), “Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Yunus (10): 22).

At-Tustari mengatakan bahwa Ikhlas diartikan dengan musyahadah, dan hidupnya hati itu dengan dua hal, yaitu, iman dalam hal pokok, dan Ikhlas dalam hal cabang. Sesungguhnya Ikhlas adalah suara hati (getaran hati) yang besar. Orang yang mempunyai keikhlasan itu dalam keadaan takut kepada Allah, hingga keikhlasannya dibawa sampai mati. Dan sesungguhnya amal itu tergantung pada akhir
yang baik, sesuai firman Allah Q.S. al-Hijr (15): 99,

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.”

Pada kesempatan lain, at-Tustari juga menjelaskan, bahwa musyahadah adalah menfokuskan pandangan hanya kepada Allah untuk mendapatkan keridaan-Nya dalam melakukan berbagai macam ibadah, baik lahiriah maupun batiniah sampai meninggal. Orang yang memiliki sifat tersebut akan selalu mengetahui bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah dan ia mengetahui hal tersebut dalam hati yang dekat dengan-Nya, kemudian ia malu kepada Allah, dan ia mengalahkan atas dirinya dan atas suatu keadaan apapun.

Penjelasan ia mengenai Ikhlas yang dimaknai musya>hadah merupakan salah satu bentuk pemikiran sufistiknya, yang mana musya>hadah merupakan salah satu istilah yang ada dalam ilmu tasawuf. Istilah tersebut diartikan oleh para sufi sebagai pengetahuan langsung tentang hakikat Tuhan. Ia akan selalu menyaksikan Allah dalam keadan apapun.

2. Ikhlas adalah Ijabah

Pemahaman ini diketahui ketika at-Tustari menjelaskan Q.S. az-Zumar (39): 11,

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”

Ia menerangkan bahwa Ikhlas itu terkabulkan (ijabah), barang siapa yang tidak terkabulkan amalnya maka orang tersebut tidak Ikhlas. Kemudian at-Tustari berkata bahwa pernah ada seorang yang pandai mengangan-angan mengenai hal Ikhlas, maka ia tidak menemukan suatu apapun kecuali Ikhlas, yaitu adanya keadaan gerak maupun diam dalam keadaan sembunyi ataupun terang-terangan, hanya diperuntukkan kepada Allah `azza wa jalla dan tidak tercampuri oleh hawa nafsu.

Penafsiran di atas menjelaskan bahwa Ikhlas merupakan syarat yang harus diterapkan ketika melakukan suatu perbuatan yang karena hal tersebut, amal yang dilakukan diterima oleh Allah. Selain Ikhlas yang harus diterapkan, yusuf al-Qardhawi menambahkan juga bahwa amal yang dapat diterima di sisi Allah yaitu amal yang didasari dengan pembenaran niat, sesuai dengan tuntunan as-Sunnah dan manhaj (petunjuk) syar’i.

3. Ikhlas adalah Iflas

Penjelasan tentang makna ini diterangkan pada awal surat al- Ikhlas yaitu ketika at-Tustari ditanya mengenai Ikhlas, kemudian ia menjawab Ikhlas adalah iflas (bangkrut). Orang yang mengetahui bahwa dirinya itu tidak mempunyai apa-apa, maka ia termasuk orang yang benar.

Pemaknaan ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh al- Qusyairi dalam kitab Lataif al-Isyarat bahwa setiap orang tidak memiliki kuasa apapun atas semua yang diinginkan. Tidak semua yang diinginkan akan terwujud dan tidak juga semua yang diwujudkan akan menetap pada dirinya.

Dari pemaparan di atas terlihat bahwa pemaknaan iflas yang disampaikan oleh at-Tustari menekankan pada penyadaran diri yang memang tidak memiliki apapun. Semua yang ada pada diri manusia telah diatur dan dikuasai oleh Allah. Jadi setiap manusia tidak memiliki apapun (bangkrut) dan tidak mempunyai kuasa sama sekali. Untuk itu setiap manusia dianjurkan untuk menyandarkan setiap yang dilakukan dan meminta pertolongan hanya kepada Allah. Karena Allah-lah tempat yang tepat untuk bersandar dalam berbagai keadaan apapun dan meminta pertolongan.

Ini sesuai dengan firman Allah pada Q.S. al-Ikhlas (112):

Allah tempat meminta segala sesuatu.

Begitu juga pada Q.S. al-Fa>tihah (1): 5,

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.

4. Ikhlas adalah Mengetahui Ria

Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula.” (Al- A’raf (7): 29)

Pada ayat di atas, at-Tustari menjelaskan mengenai orang yang Ikhlas dengan mengatakan, “carilah dari sesuatu yang tidak tampak (sir) dengan niat yang Ikhlas, karena sesungguhnya ria hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang Ikhlas, dan carilah suatu pekerjaan yang terlihat dengan mengikuti ajaran Nabi Saw., maka barang siapa yang tidak mengikuti langkah-langkah Nabi Saw. dalam menjalankan semua pekerjaannya, maka orang tersebut tersesat, karena selain dua perkara tersebut itu salah.”

Dari penafsiran di atas, at-Tustari mengatakan bahwa orang yang Ikhlas adalah orang yang mampu mengetahui ria. Ini menerangkan bahwa ada sifat ria yang harus diketahui ketika seseorang melakukan suatu amal perbuatan agar apa yang dilakukan tidak sia-sia. Al-Qardhawi mengatakan bahwa ria termasuk kemaksiatan hati yang berbahaya atas diri manusia dan terhadap amal kebaikan. Karena adanya ria, semua amal perbuatan yang baik akan menjadi rusak. Selain itu, ria juga memiliki makna dasar mutaqa>balah (perbandingan), yaitu ketika seseorang melakukan perbuatan baik karena ria berarti ia telah menjadikan perbandingan antara Allah dan manusia.

5. Ikhlas adalah Suara Hati yang Kuat

Keterangan ini terdapat pada penjelasan at-Tustari pada Q.S. al-Hijr (15): 40 yang mengartikan Ikhlas adalah orang yang memiliki getaran hati (suara hati) yang besar.

“kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.”

Ia berkata, bahwa “manusia semuanya mati kecuali para ulama, dan ulama semuanya tertidur kecuali yang mengamalkan keilmuannya, dan orang yang mengamalkan ilmu semuanya tertipu kecuali orang-orang yang Ikhlas, dan orang yang Ikhlas itu mempunyai getaran hati (suara hati) yang besar.”

Penjelasan tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan al- Hakim at-Tirmizi, bahwa dengan menggunakan hati manusia akan mampu mencapai derajat orang-orang yang dekat (muqarrabin) dan menghayati secara paripurna makna tauhidullah.

Dengan hati yang kuat manusia akan mencapai pada esensi Ikhlas yang disampaikan oleh at-Tustari, yaitu menfokuskan pandangan hanya kepada Allah. ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh al-Qusyairi, bahwa orang yang Ikhlas adalah orang yang menunggalkan Allah (muwahhid) tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, baik dalam keadaan bergerak maupun diam.

Ikhlas

Kriteria-kriteria Ikhlas


Dalam kitab Tafsir at-Tustari bahwa at-Tustari menyebutkan orang yang Ikhlas dalam beberapa kriteria. Terdapat tiga kriteria yang disebut olehnya, yaitu muhsin, muslih, dan munib.

  1. Muhsin

    Kriteria ini dapat diketahui ketika at-Tustari memahami Q.S. Luqman (31): 22,

    “Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.”

    Ayat tersebut oleh at-Tustari> dikaitkan dengan Q.S. an-Nisa>‟

    “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya).

    Ayat-ayat yang disebutkan di atas digunakan oleh at-Tustari untuk menjelaskan Q.S. al-Baqarah (2): 112,

    “Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.

    At-Tustari mengatakan bahwa yang dimaksud muhsin adalah berbuat baik dalam agama yang ia korelasikan dengan ayat ke-125 dari Q.S. an-Nisa. Kemudian ia mengatakan bahwa orang yang lebih baik agamanya adalah orang yang meng-Ikhlas-kan (memurnikan) agamanya karena Allah yang berupa agama Islam dan syariat- syariatnya.

    Al-Qusyairi mengatakan bahwa tidak ada satupun yang lebih baik dalam agama dari orang yang lebih memasrahkan diri kepada Allah, yaitu memusatkan keinginan hanya kepada Allah dan memurnikan kenyakinan kepada-Nya. Kemudian menyerahkan semua tingkah laku hanya kepada Allah dan bersama-Nya dan mengetahui hakikat apa yang dilakukannya.

    Kata muhsin dalam ayat tersebut oleh Al-Qurtubi diartikan sebagai muwahhid (orang yang bertauhid atau beriman) yang memurnikan agamanya hanya untuk Allah, seraya tunduk dan menghadap kepada-Nya disaat beribadah164 seakan-akan melihat-Nya.

  2. Muslih

    At-Tustari mengategorikan Ikhlas sebagai muslih, yaitu sebagai orang yang membaguskan hati atau jiwanya kepada Allah. Ini terdapat pada Q.S. al-Anbiya‟ (21): 105,
    َ

    “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam az-Zikr (Lauh Mahfuz}), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.”

    At-Tustari mengatakan bahwa hamba-hamba yang saleh adalah yang selalu membaguskan hati atau jiwanya kepada Allah dan memutus segala sesuatu selain Allah. Karena sesuatu tersebut tidak akan membekas di sisi Allah kecuali perkara yang didasari dengan Ikhlas karena Allah.

  3. Munib

    Kriteria orang yang Ikhlas yang berikutnya adalah munib, yaitu orang yang kembali. Ini terlihat ketika at-Tustari menafsirkan Q.S. Qaf (50): 8,

    “untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepada Allah).”

    At-Tustari mengatakan bahwa seorang yang kembali adalah orang yang Ikhlas hatinya karena Allah dengan cara mengesakan-Nya dan selalu ingat terhadap Allah. Sedangkan menurut al-Qurtubi, munib adalah orang yang mau berpikir dan merenungkan kekuasaan Allah dan kembali ke jalan-Nya.

    Menurut at-Tabari, munib adalah setiap hamba yang kembali kepada keimanan kepada Allah dan amal saleh. Kemudian al-Qusyairi mengatakan bahwa munib adalah orang yang kembali dari penyaksian terhadap pekerjaan Allah sampai pada mengetahui sifatnya Allah dan penyaksian dari sifatnya Allah sampai pada haknya Allah dan zatnya Allah.

Penerapan Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari


Dalam kitab Tafsir At-Tustari, at-Tustari juga membagi Ikhlas dalam beberapa keadaan, yaitu;

  1. Ikhlas dalam Agama

    Keterangan tersebut dapat dilihat ketika at-Tustari menjelaskan surat an-Nisa‟ (4): 125,

    Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya).

    Dijelaskan bahwa orang yang Ikhlas dalam beragama adalah orang yang menjalankan agama Islam dan syariatnya. Hal ini juga dijelaskan pada Q.S. Luqman (31): 22,
    َ

    “Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.”

    Dijelaskan bahwa orang yang Ikhlas dalam agama karena Allah dan memperbaiki adab (tingkah laku) dengan keIkhlasan dengan al-'urwah al-wusqa yaitu sunah rasul disebut oleh at-Tustari sebagai muhsin.

    Dari penjelasan yang diterangkan oleh at-Tustari tersebut memberi pemahaman bahwa Ikhlas dalam beragama adalah orang yang menjalankan agama Islam dan syariat syariatnya dengan benar serta selalu berusaha memperbaiki tingkah laku dengan sifat Ikhlas dan dengan mengikuti ajaran Rasulullah Saw…

  2. Ikhlas dalam Tolong Menolong

    Pemahaman ini dapat dilihat ketika at-Tustari menjelaskan ayat pada surat al-Maidah (5): 2,

    “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan- bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qalā’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang- halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”

    At-Tustari menjelaskan yang dimaksud dengan arti “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,” yaitu menjalankan perkara-perkara yang fard{u. Karena kebaikan adalah iman, dan mejalankan perkara-perkara yang fard{u adalah cabang iman. Dan takwa adalah sunnah, maka tidak akan sempurna ketika menjalankan sesuatu yang fard}u tanpa mengikuti dengan sunnah. Dan mencegah untuk menolong dalam perbuatan dosa (kufur dan kemunafikan) dan permusuhan (bid`ah dan berbantah-bantahan) karena keduanya hanyalah permainan. Maka cegahlah untuk melakukan permainan tersebut seperti halnya perintah dalam kebaikan (fard{u dan sunnah) dengan sabar dan Ikhlas karena Allah Swt.

    Dari pemaparan yang disampaikan at-Tustari di atas, ternyata al-tustari menyamakan antara menolong dalam menjalankan kebaikan dan takwa (menjalankan kewajiban dan kesunahan) dengan mencegah menolong dalam perbuatan dosa, yaitu dijalankan dengan sabar dan Ikhlas karena Allah.

  3. Ikhlas dalam Menjalankan Kebaikan

    Ketika melakukan perbuatan yang baik, segala sesuatu yang dapat merusak atau membatalkan kebaikan tersebut harus ditinggalkan dan memurnikan kebaikan tersebut karena Allah. Seperti apa yang dijelaskan oleh at-Tustari pada Q.S. al-A’raf (7): 56,

    “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”

    At-Tustari berkata, janganlah kalian rusak ketaatan dengan maksiat. Barang siapa selalu melakukan kemaksiatan walaupun hanya kecil, maka seluruh kebaikannya telah tercampuri dengan maksiat tersebut. Tidak akan termasuk Ikhlas suatu kebaikan seseorang jika selalu melakukan maksiat sehingga ia bertaubat dan meninggalkan atau membersihkan suatu yang terlarang berupa kotoran-kotoran maksiat dalam keadaan tersembunyi maupun terlihat.

    Dari penjelasan tersebut memberi pengertian bahwa suatu kebaikan yang telah tercampuri oleh maksiat berakibat kebaikan tersebut akan rusak dan tidak berguna. Untuk itu dibutuhkan keikhlasan dalam menjalankan perbuatan baik tersebut agar kebaikan yang dilakukan tersebut murni dan tidak sia-sia. At-Tabari mengatakan bahwa yang dimaksud “dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik”, adalah janganlah kamu mempersekutukan Allah di bumi dan janganlah kamu melakukan kemaksiatan di bumi.

  4. Ikhlas dalam Beribadah

    Penjelasan pada bagian ini banyak diterangkan pada kitab tafsir karya at-Tustari, yaitu,

    • Al-A’raf (7): 148. Pada ayat ini dijelaskan bahwa ibadah yang Ikhlas adalah ibadah yang dijalankan dengan meninggalkan hawa nafsu.

      “Dan kaum Musa, setelah kepergian (Musa ke Gunung Sinai) mereka membuat patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh (bersuara) dari perhiasan (emas). Apakah mereka tidak mengetahui bahwa (patung) anak sapi itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan). Mereka adalah orang-orang yang zalim.”

      At-Tustari berkata: anak sapi (`ijl) setiap manusia adalah sesuatu yang menjadi perhatian manusia yang karena hal itu menjadikan manusia berpaling dari Allah, keluarga dan anaknya. Dan tidak bisa Ikhlas kecuali setelah merusak atau menghilangkan seluruh bagian- bagian yang menjadi perhatian dan sebab-sebabnya. Seperti tidak bisa Ikhlas ibadahnya pemuja anak sapi kecuali setelah memerangi hawa nafsunya.

      Ini memberi penjelasan bahwa ibadah yang bisa mencapai Ikhlas adalah ibadah yang dilakukan dengan meninggalkan hawa nafsu duniawi yang dapat memalingkan perhatian terhadap Allah. Karena Allah-lah yang memiliki segala sesuatu yang ada di dunia ini dan juga yang mengatur semua itu.

    • Al-Mu‟minun (23): 76
      َ

      “Dan sungguh Kami telah menimpakan siksaan kepada mereka, tetapi mereka tidak mau tunduk kepada Tuhannya, dan (juga) tidak merendahkan diri.”

      Dijelaskan oleh at-Tustari bahwa Mereka tidak Ikhlas kepada Tuhannya dalam beribadah dan tidak merendahkan diri dengan mengesakan Allah. Pada bagian lain, at-Tustari juga mengatakan bahwa ibadah yang paling baik adalah yang dilakukan dengan Ikhlas dan suatu ibadah tidak akan sempurna jika takut dengan empat perkara, yaitu takut lapar, takut hidup sederhana, takut fakir, dan takut hina.

      ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh at-Tabari, bahwa seorang hamba harus tunduk kepada Tuhannya, melaksanakan perintah-perintah- Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya kemudian menjaga ketaatan kepada-Nya dan menghinakan diri dihadapan-Nya.

    • Q.S. al-Bayyinah (98): 5,

      “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”

      At-Tustari menjelaskan bahwa setiap gerakan itu membutuhkan ilmu sehingga menjadi Ikhlas, ketika telah sampai pada Ikhlas, maka akan menjadikan tuma‟ninah (tenang) dalam beribadah. Barang siapa yang ilmunya sampai pada keyakinan dan amalnya itu Ikhlas, maka Allah akan menghilangkan tiga perkara: susah, kebodohan, amal (ikhtiyar) dan mengganti susah dengan sabar, kebodohan dengan ilmu, dan mengganti amal dengan tanpa ikhtiyar. Semua itu hanya didapat oleh orang-orang yang bertakwa. At-Tabari mengatakan bahwa maksudnya yaitu memurnikan ketaatan hanya kepada Tuhan tanpa mencampur ketaatan kepada-Nya dengan kesyirikan.

  5. Ikhlas dalam Niat

    “Katakanlah, "Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula.” (Q.S. al-A`raf (7): 29).

    Dari ayat di atas, at-Tustari memahami arti “dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya” dengan berkata: Carilah dari sesuatu yang tidak tampak (sir) dengan niat yang Ikhlas dan carilah suatu pekerjaan yang terlihat dengan mengikuti ajaran Nabi Saw., maka barang siapa yang tidak mengikuti langkah-langkah Nabi Saw. dalam menjalankan semua pekerjaannya, maka orang tersebut tersesat, karena selain dua perkara tersebut itu salah.

    Dijelaskan juga anjuran untuk Ikhlas dalam niat yaitu pada surat al-Hujurat (49): 3,

    “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.”

    Dijelaskan orang yang diuji hatinya adalah orang yang diuji untuk memurnikan niat hanya kepada Allah. Begitu juga dalam surat al-Fajr (89): 3,

    “demi yang genap dan yang ganjil.”

    Karena Allah tanpa melihat selain-Nya dalam menjalankan ketaatan yaitu melakukan sesuatu yang fardu dan sunnah. Dari penafsiran di atas, dapat dipahami bahwa niat merupakan sesuatu yang tidak nampak oleh indrawi. Ia berada dalam hati dan hanya

    Allah yang mengetahui lurus tidaknya niat tersebut. Dengan mengutip al- Khattabi, al-Qardawi mengatakan bahwa niat adalah menujukan hati pada sesuatu dan memaksudkan keperluan padanya. Kemudian ia juga menyimpulkan bahwa niat itu kadang baik dan terpuji, kadang juga jelek dan tercela. Maka dari itu, Allah menguji hati hamba-Nya untuk memurnikan niat hanya kepada Allah tanpa melihat selain-Nya dalam menjalankan segala sesuatu.

  6. Ikhlas dalam Berdoa
    َ

    Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (Q.S. al-Baqarah (2): 186).

    Mengenai ayat tersebut, at-Tustari menafsirkan dengan doa yang Ikhlas dan tidak berputus asa ketika meminta dan membenarkan doa hanya kepada Allah, maka akan terkabul. Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa tidak semua doa akan diterima dan dikabulkan oleh Allah. Hanya doa yang dilakukan dengan Ikhlas yang akan dikabulkan oleh Allah.

  7. Ikhlas dalam Melakukan Suatu Amal

    Penjelasan ini termasuk bagian yang banyak diterangkan oleh at-Tustari dalam kitab tafsirnya. Dikatakan bahwa suatu amal yang tidak didapati keikhlasan di dalamnya, maka amal tersebut sia-sia, seperti yang dikatakan pada Q.S. an-Nisa (4): 77,

    “Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba- tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut (dari itu). Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut berperang) dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.”

    At-Tustari menjelaskan bahwa seluruh dunia itu adalah kebodohan kecuali ilmu. Begitu juga ilmu, seluruhnya menjadi hujjah kecuali ilmu yang telah diamalkan. Dan semua amal akan rusak atau sia-sia kecuali yang dilakukan dengan Ikhlas serta disempurnakan dengan ikut ajaran Rasulullah (sunnah).

    Disebutkan juga bahwa ilmu yang diamalkan dengan Ikhlas itu mulia. Ini diketahui ketika at-Tustari manafsirkan al-kitab pada Q.S. ar-Rad (13): 43,

    “Dan orang-orang kafir berkata, “Engkau (Muhammad) bukanlah seorang Rasul.” Katakanlah, “Cukuplah Allah dan orang yang menguasai ilmu Al-Kitab menjadi saksi antara aku dan kamu.”

    At-Tustari berkata, “al-Kitab itu mulia, ilmu tentang al-Kitab itu lebih mulia, ilmu yang diamalkan itu mulia, amal yang dilakukan dengan Ikhlas itu lebih mulia.” Begitu juga ketika menginginkan sebuah kepahaman atau kecerdasan harus diusahakan dengan sungguh- sungguh dan dijalankan dengan penuh keIkhlas-an karena Allah.

    Pada bahasan yang lain, at-Tustari juga mengatakan bahwa perkara-perkara yang diterima pada hari kiamat ada empat, yaitu, jujur dalam berkata, Ikhlas dalam melakukan berbagai macam amal perbuatan, istiqomah bersama Allah dalam semua tingkah laku, dan mendekatkan diri kepada Allah atas semua keadaan. Ini terlihat ketika at-Tustari menafsirkan Q.S. Saba‟ (34): 46

    “Katakanlah, "Aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu agar kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri…”

    Ketika melakukan amal dengan Ikhlas karena Allah disertai dengan ilmu, maka itu termasuk sebagai syarat untuk diterimanya taubat seorang hamba. At-Tustari mengatakan bahwa Allah yang mengampuni dosa (menutup dosa kepada siapa saja yang dikehendaki) dan menerima taubat (kepada seseorang yang bertaubat kepada Allah dan memurnikan amal dengan ilmu). Ia juga mengatakan bahwa Allah akan meridai apa yang dilakukan oleh setiap hamba jika amal yang yang dilakukan Ikhlas karena Allah dan ia rela dengan apa yang diberikan Allah atas apa yang telah ia lakukan.

Dari penjabaran di atas menarik sebuah kesimpulan bahwa at- Tustari sangat menekankan untuk Ikhlas dalam berbagai macam amal perbuatan yang dilakukan. Selain itu, dalam menjalankan suatu amal juga harus didasari dengan ilmu agar mengetahui apa yang dilakukan, karena setiap yang dilakukan manusia itu dibutuhkan sebuah ilmu. Allah berfirman bahwa ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting sehingga orang yang mempunyai ilmu oleh Allah diberikan derajat yang tinggi.

Referensi

Muh. Ainul Fiqih, Makna ikhlas dalam tafsir At-Tustari Karya Sahl ibn Abdullah at-Tustari, IAIN Surakarta

Secara bahasa kata ikhlas berasal dari bahasa Arab yang artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih. Ikhlas secara bahasa berbentuk masdar, dan fi’ilnya adalah akhlasa, fi’il tersebut berbentuk mazid. Adapun bentuk mujarradnya adalah khalasa.

Makna khalasa adalah bening (safa), segala noda hilang darinya, jika dikatakan khalasal ma’a min al kadar (air bersih dari kotoran) artinya air itu bening, jika dikatakan dhahaban khalis (emas murni) artinya emas yang bersih tidak ada noda di dalamnya, dalam hal ini, emas tidak dicampuri oleh partikel lain seperti perunggu dan lain sebagainya.

Ikhlas adalah suci dalam niat, bersih batin dalam beramal, tidak berpura- pura, lurus hati dalam bertindak, jauh dari riya‟ dan kemegahan dalam berlaku berbuat, mengharapkan ridha Allah semata-mata.

Ikhlas merupakan amalan hati yang paling utama dan paling tinggi dan paling pokok, Ikhlas merupakan hakikat dan kunci dakwah para rasul sejak dahulu kala. Menurut Erbe Sentanu ikhlas merupakan Default Factory Setting manusia, yakni manusia sudah dilahirkan dengan fitrah yang murni dari Ilahi, hanya saja manusia itu sendirilah yang senang mendiskonnya sehingga kesempurnaannya menjadi berkurang, ini akibat berbagai pengalaman hidup dan ketidak tepatan dalam berfikir atau berprasangka, sehingga hidupnya pun menjadi penuh kesulitan. Ikhlas yaitu melaksanakan perintah Allah dengan pasrah tanpa mengharapkan sesuatu, kecuali keridhaan Allah.

Ikhlas adalah menyaring sesuatu sampai tidak lagi tercampuri dengan yang lainnya. Kalimatul ikhlas adalah kalimat tauhid yaitu la ila ha illallah. Surat ikhlas adalah surat qul huwallahu ahad, yaitu surat tauhid.

Pada ajaran sufi keikhlasan adalah suatu yang diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sama ada dari sudut niat maupun tindakan.

Jadi ikhlas merupakan sesuatu hal yang bersifat batiniyah dan teruji kemurniannya dengan amalan saleh, ia merupakan perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh amal perbuatan itu adalah rahasia yaitu keikhlasan.

Ikhlas sebagaimana dikutip oleh Ramadhan adalah sebuah sikap kejiwaan seorang muslim yang selalu berprinsip bahwa semua amal dan jihadnya karena Allah swt. hal itu ia lakukan demi meraih rida dan kebaikan pahala-Nya, tanpa sedikitpun melihat pada prospek (keduniaan), derajat, pangkat, kedudukan, dan sebagainya.

Dengan banyaknya pendapat yang sudah tersebar dalam mendefinisikan ikhlas, antara satu pendapat dengan pendapat yang lainnya itu berbeda, maka untuk mengetahui secara benar, penulis akan menguraikan makna ikhlas dalam al- Qur„an. Ikhlas adalah sebagaimana firman Allah swt. dalam surat al-Ikhlas ayat 1- 4:

“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Dalam kamus Lisan Al Arab, dikatakan bahwa ikhlas adalah kalimat tauhid, yaitu kalimat “la ilaha illallah”. Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia kata ikhlas diartikan dengan murni, bersih, tidak kecampuran, keikhlasan, ketulusan hati, kemurnian dan kebersihan.

Uraian di atas mengandung maksud, bahwa ikhlas ini dikhususkan dalam rangka mentauhidkan Allah dari segala bentuk kesyirikan (persekutuan). Jadi dalam menjalankan syariat-syariat hanya ditujukan kepada Allah semata-mata. Untuk memperjelas uraian tersebut, bahwa ikhlas diartikan; membersihkan maksud dan motivasi bertaqarrub kepada Allah dari berbagai maksud dan niat, atau mengesakan dan mengkhususkan Allah swt sebagai tujuan dalam berbuat taat kepadanya. Yang dimaksud ikhlas di atas adalah membersihkan hak ketuhanan sepenuhnya berupa pengagungan, kecintaan, kepatuhan yang mutlak.

Dengan demikian makna ikhlas ialah sebagaimana Imam Ghazali berkata:

“ketahuilah bahwa segala sesuatu digambarkan mudah bercampur dengan sesuatu yang lain. Jika bersih dari percampurannya dan bersih darinya, maka itulah yang disebut ikhlas”.

Keikhlasan setiap hamba Allah setingkat dengan martabat dan kedudukan;

  • Pertama, golongan al-Abrar (pelaku kebajikan) ialah dengan keikhlasan amalnya itu, bisa menyelamatkan dirinya dari riya’ baik yang nampak maupun tersembunyi dan tujuannya memenuhi keinginan diri, yakni mengharap limpahan pahala dan kebahagiaan di akhirat sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah untuk orang-orang yang ikhlas, serta menghindarkan diri dari kepedihan azab dan perhitungan (al-Hisab) yang buruk sebagaimana diancamkan Allah kepada orang yang tidak ikhlas.

    Ini adalah realisasi makna firman Allah dalam surat al-Fatihah yang berati “ kami tidak menyembah kepada selain Engkau ya Allah” dan dalam ibadah itu kami tidak memperserikatkan Engkau dengan yang selain-Nya. Maksudnya, mengesampingkan sesama makhluk dari pandangannya mengenai amal perbuatan kebajikannya, namun masih disertai kepada diri sendiri dalam hubungannya dengan amal perbuatan tersebut, serta penyandaran diri kepada amal perbuatan itu;

  • Kedua, golongan “Muhibbah yaitu orang-orang yang mencintai Allah ialah beramal kepada Allah dengan maksud mengagungkan-Nya. Jadi dia beramal bukan mengharap pahala dan bukan karena takut akan siksa-Nya. Sebagaimana yang telah diucapkan oleh Rabi„ah al-Adawiyah : saya menyembah-Mu bukan karena takut neraka dan tidak pula karena mengharap surga, tetapi saya menyembah kepada-Mu semata-mata hanya untuk mengagungkan-Mu.

  • Ketiga, golongan yang dekat kepada Allah (al muqarrabu) ialah orang meniadakan penglihatan untuk peranan diri sendiri dalam amalnya, jadi keikhlasan ialah tidak lain daripada kesaksiannya akan adanya hak pada Allah Yang Maha Benar semata, untuk membuat orang itu bergerak atau diam, tanpa ia melihat adanya daya kemampuan pada dirinya sendiri.

    Ini merupakan realisasi dari makna firman Allah dalam surat al-Fatihah yaitu, “Dan kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” bukan dengan diri kita sendiri ataupun daya dan kemampuan kita. Keikhlasan ini merupakan tingkat yang tinggi daripada kedua tingkatan sebelumnya.

Hakikat Ikhlas

Ikhlas dengan sangat indah digambarkan oleh Allah dalam Surat al-An‟am ayat 162,

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. al-An‟am: 162).

Menurut ajaran Islam, hidup ini adalah untuk beribadah, bekerja dan berbuat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Pada hakikatnya semua kebaikan itu, kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja sepatutnya hanya dipersembahkan kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya. Sebagaimana firman Allah swt.

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang- orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah: 5).

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.(QS. al-Bayyinah:5).

Beberapa ayat di atas menegaskan bahwa beribadah dengan ikhlas adalah satu-satunya tugas dan kewajiban manusia kepada Allah swt artinya, seluruh aktivitas hidup dan kehidupan manusia adalah dalam rangka pengabdian ubudiyah dan perilaku ketauhidan yang jauh dari syirik serta jauh dari kesesatan.

Seorang tokoh sufi menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang berbuat ikhlas dalam amalnya, sebagaimana dikutip oleh Syukur, antara lain:

  • Pertama, disaat orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja;
  • Kedua, melupakan amal ketika beramal
  • Ketiga, jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya.

Dengan demikian, maka ikhlas merupakan pondasi penting dalam membangun agama, karena ikhlas mempunyai cakupan yang tidak kalah penting, antara lain: Ikhlas dalam niat, yakni ikhlas beribadah dan beramal hanya demi Allah semata. Ikhlas dalam nasihat, sebagaimana asal muara kata nasihat dalam bahasa Arab adalah tulus atau kemurnian. Ikhlas dalam agama atau akidah, adalah hakikat Islam dan prinsip dasar yang terbangun atas ketundukan yang mutlak hanya kepada Allah, tidak yang lain-Nya, hal itu semua merangkum dalam redaksi kalimat tauhid yang berbunyi: ” La illaha illallah, Muhammadul Rasulullah.

Sebagaimana firman Allah swt:

“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab Al-Qur‟an dengan membawa kebenaran, maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya”. (QS. al-Zumar: 2).

Maksud dari ayat di atas adalah sebuah perintah bagi umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya dan menyeru kepada semua orang untuk mengabdi kepada- Nya saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, karena tidak layak peribadatan kecuali bagi- Nya saja. Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap sekaligus sebagai unsur penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam sifat ikhlas. Selain itu, unsur penunjang tersebut sekaligus sebagai quality control bagi keikhlasan itu sendiri, diantaranya adalah sifat atau sikap istiqamah, tawakal, sabar, syukur, zuhud dan wara.

Banyak diantara manusia yang menganggap dirinya sudah ikhlas dalam hal niat, iktikad (keyakinan), tujuan dan maksud dari perbuatannya, namun, apabila mereka mau menyelidikinya dengan teliti, mereka akan mengetahui bahwa telah tersembunyi dalam niat, keyakinan, tujuan, dan maksud selain Allah dalam aktivitasnya tersebut. Adapun indikasi atau tanda-tanda ikhlas berdasarkan al-Qur’an dan hadis Nabi saw adalah tidak berharap apapun kepada makhluk, menjalankan kewajiban bukan mencari status, tidak ada penyesalan, tidak berbeda apabila direspons positif ataupun negatif, tidak membedakan situasi dan kondisi, menjadikan harta dan kedudukan bukan sebagai penghalang, berintegrasinya lahir dan batin, jauh dari sikap sektarian atau fanatisme golongan, selalu mencari celah untuk beramal saleh.

Dengan adanya indikasi tersebut, maka akan menjadi cermin bagi setiap orang, khususnya bagi seorang guru agar senantiasa mengontrol dirinya untuk ikhlas dan tidak terkecoh akan kemegahan dunia dengan segala yang menghiasinya. Adapun mengenai hal-hal yang dapat menjadi rusaknya ikhlas, antara lain ria, nifak, ujub, sumah, waswas, takabur, cinta dunia, hasad, dan bakhil.

Sifat-sifat tersebut mengenai hal yang dapat merusak keikhlasan seseorang merupakan sifat-sifat yang tercela, sehingga untuk menjadi orang yang ikhlas, maka harus senantiasa menjaga sikap dan sifatnya dengan terus istiqamah untuk melakukan kebaikan dan amal saleh semata-mata untuk mendapat ridha Allah dan senantiasa mengoreksi diri.

Referensi
  • Munawir & Al-Bisri, Kamus Al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999).
  • Abu Farits, Tazki Yatul Nafs, terj. Habiburrahman Saerozi (Jakarta: Gema Insani, 2006).
  • Sidi Gazalba, Asas Agama Islam (Jakarta:Bulan Bintang, 1975).
  • Erbe Sentanu, Quantum Ikhlas Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati (Jakarta: PT Elex
  • Media Komputindo, 2008).
  • Damanhuri, Akhlak Tasawuf (Banda Aceh: Penerbit Pena, 2010).
  • M. Khatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani ( Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, t.t).
  • Ramadhan, Muhammad, Quantum Ikhlas, terj. Alek Mahya Sofa (Solo: Abyan, 2009).
  • Ibnu Al Mundhir, Lisan AL Arab (Mesir : A1 Muassanatul Misriyah t.t).
  • Munawwir, Kamus AL Munawwir Arab-Indonesja (Pustaka Progressif, Edisi Lux,t.t).
  • Imam AI Ghazali, dkk, Pembersih Jiwa (Bandung :Pustaka,1990).
  • Yusuf Qardhawi, Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan (Surabaya : Pustaka Progressif, 1992).
  • Yusuf Qardhawi, Niat dan Ikhlas (Jakarta: Pustaka Al-Kauthar, 1996).
  • Nurcholish Madjid, IsLam Doktrin dan Peradaban (Jakarta : Yayasan Wakar Paramadina, 1992, Cet. ke-2).
  • Ahmad lbnu 'Athillah, Jalan Bagi Umat Manusia Menuju Hidup Tentram dan Bahagia, PeLita Hidup, Petunjuk Mendekatkan Diri Kepada Allah (Solo: CV. Aneka, Cet. ke-1, 1990)
  • Syukur, Amin, Tasawuf Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
  • Al-Banjari, Mengarungi Samudra Ikhlas (Jogyakarta: Diva Press, 2007).

Secara bahasa ( lughah ) kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: khalasha, yakhlushu, khulushan, ikhlashan , yang berarti bersih, tiada bercampur, tulus, membersihkan sesuatu hingga menjadi bersih. Sedangkan secara istilah, ikhlas memiliki bermacam-macam arti :

  1. Imam al-Qusyairi dalam kitab Risalatul Qusyairiyah - nya menyebutkan perihal makna ikhlas. Ikhlas berarti bermaksut menjadikan Allah SWT, sebagai satu- satunya sesembahan (al-Qusyairi,1990)

  2. Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern menyebutkan: ikhlas artinya bersih, tidak ada campuran, ibarat emas; emas tulen, tidak ada campuran perak berapa persenpun. Pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu itu dinamakan ikhlas (Hamka, 1983)

  3. Ikhlas adalah apabila semua perbuatan yang dilakukan semata-mata karena Allah, dan taqarrub kepada-Nya (Syukur, 2003)

  4. Syekh ibn „Atha‟illah menjelaskan tentang ikhlas, yakni melakukan amal semata ditujukan kepada Allah sebagai zat yang meiliki sang hamba, dan memang dalam hal ini dikenal dengan (terdapat) berbagai tingkatan, sesuai dengan taufiq yang diberikan Allah ta‟ala kepada seorang hamba („Atha‟illah, 2012)

  5. Menurut Ali Mahmud, meninggalkan amal karena manusia adalah riya‟, beramal karena manusia adalah syirik, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya ialah ikhlas” (Mahmud,1994)

  6. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin bahwa Ikhlas itu membersihkan amal-amal dari campuran- campuran tersebut seluruhnya, sedikitnya dan banyaknya. Sehingga menjadi semata-mata padanya dengan maksut at-taqarrub (Al-Ghazali,1979)

Dan Allah berfirmn dalam surat al-Baqarah ayat 139,

Artinya: Katakanlah “apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan dan tuhan kamu; bagi kami amalan kami dan bagi kamu, amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati (Depag RI 2006).

Dalam memahami ayat di atas, para ahli tafsir menjelaskan :

  1. Menurut Ibnu Katsir: dalam ayat ini Allah menuntun Nabi Muhammad Saw, untuk menolak perdebatan kaum musyrikin “ apakah kalian akan mendebatkan kami mengenai tauhid mengesakan Allah dan berlaku patuh, taat serta ikhlas dalam mengikuti perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, padahal telah nyata Allah itulah yang kuasa, esa dan tidak bersekutu, sedang kami masing-masing tergantung kepada amalnya sendiri-sendiri, kami akan menanggung amal perbuatan kamu. Wanahnu lahu muhlisun : sedang kami telah tulus ikhlas beribadat, menuju dan mengabdikan diri hanya kepada Allah, sehingga semua amal perbuatan hanya satu tujuan ialah keridhaan Allah semata-mata (Katsir, 1982).

  2. Menurut M. Quraish Shihab: ayat diatas memperdebatkan dengan kami tentang Allah dan ajaran-Nya? Kalian berkata agama kalian yang lebih benar! Petunjuk Allah hanya untuk kalian! Syurga milik kalian! Kalian tidak akan masuk neraka kecuali beberapa hari! Tuhan beranak dan lain-lain. Apakah ada hal-hal yang khusus buat kalian, sehingga kalian menduga bahwa Tuhan mengkhususkan buat kalian sesuatu yang tidak Dia anugerahkan kepada kami? Apakah benar sepeti itu ajaran-Nya? Apakah Dia membeda-bedakan. Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu? Tidak! Bagi kami amalan-amalan kami, bagi kamu amalan kamu. Dia yang memberi putusan yang tepat, serta sanksi dan ganjaran yang sesuai dengan amal masing-masing. Itulah Tuhan yang kami sembah dan kepada-Nya kami mengikhlaskan hati (Shihab,2000).

  3. Menurut Hamka: apakah kamu hendak membantah kami karena pada sangkamu bahwa Allah telah menentukan hanya Bani Israil-lah kaum yang terpilih Nabi-nabi dan Rasul-rasul hanyalah Bani Israil, kami Bani Israil adalah kekasih Allah dan anak-anak Allah. Dan kalau masuk neraka kami hanya berbilang hari saja. Pendeknya dalam tingkah dan caramu selama ini. Kamu hendak memonopoli Allah hanya untuk kamu. Bagaimana kamu mendakwakan demikian wahai saudara-saudara kami ahlul kitab? Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu? (Hamka,1970).

Definisi-definisi di atas maknanya saling berdekatan. Kisaranya, keinginan seorang hamba menjadikan segala ketaatannya sebagai sarana taqarrub kepada Allah, bukan untuk yang lain, baik itu kepura- puraan kepada makhluk, mencari pujian orang lain, ingin di puji makhluk, maupun berbagai tujuan selain mendekatkan diri kepada Allah swt. Menunjukan bahwa ikhlas adalah segala amal dan melaksanakan ketaatannya semata-mata karena Allah dan menjadikan Allah swt sebagai satu-satunya sesembahan.

Unsur-Unsur Ikhlas


  1. Niat
    Sesungguhnya Allah swt berfirman :

    “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di saat dan petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridhaan-Nya (QS 6: 52). Dan maka niat adalah menghendaki keridhaan-Nya.

  2. Mengikhlaskan niat.
    Nabi saw. Bersabda kepada Muadz,

    “Ikhlaskanlah amal, maka sedikit darinya mencukupimu”.

  3. Dapat dipercaya.
    Ia merupakan kesempurnaan ikhlas. Allah swt telah berfirman: Orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah (QS 33: 23) (al- Ghozali, 2006: 215)
    Ketahuilah kiranya, bahwa setiap sesuatu itu tergambar bahwa dicampuri oleh yang lain. Maka apabila ia suci dari campuran dan bersih daripadanya, niscaya ia dinamakan: yang bersih (khalish), sedangkan sesuatu dinamakan perbuatan yang suci dan bersih itu adalah ikhlas.

Tanda-tanda ikhlas


Ikhlas memiliki tanda-tanda yang nampak pada kehidupan dan perilaku orang yang ikhlas. Hal itu bisa dilihat olehnya dan orang lain sebagaimana yang dijelaskan Faishal bin Ali Ba‟dani diantaranya yang paling jelas ialah :

  1. Mengharapkan wajah Allah
    Tanda terbesar orang-orang yang ikhlas ialah amal yang mereka kerjakan semata-mata mengharap wajah Allah. Mereka tidak bertujuan mencari rampasan perang, kehormatan, pujian,atau harta duniawi yang segera sirna. Firman Allah dalam surat Al-Kahf ayat 28:

    Artinya: “Dan bersabarlah kamu (Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya” (Depag RI 2006).

  2. Senang beramal secara sembunyi-sembunyi
    Orang-orang yang ikhlas lebih serius di dalam merahasiakan amal shalih mereka dibandingkan selain mereka di dalam merahasiakan dosa. Mereka berharap akan memperoleh kebaikan tersebut di dalam hadist Sa‟ad R.a yang menyebutkan bahwa Allah mencintai seorang hamba yang bertakwa, kaya dan tersembunyi.

    Hal yang seperti itu ialah petunjuk dan teladan nyata dari para salaf. Almaqdisi menulis, “orang-orang yang banyak berbuat baik tidak mencari popularitas, tidak ingin dikenal, dan tidak melakukan hal-hal yang membuat mereka terkenal. Jika hal itu terjadi lantaran dibukakan oleh Allah, sebisa mungkin mereka lari darinya. Mereka lebih memilih tidak dikenali.

  3. Batin lebih baik daripada lahir
    Seorang ikhlas bukanlah menampakkan keshalihan dihadapan orang lain, lalu berbuat buruk saat ia hanya berdua dengan Allah. Seorang ikhlas ialah yang komitmen kepada dirinya sendiri. Ia selalu menginstropeksi diri seakan-akan selalu melihat Allah. Ia selalu merasa diawasi Allah saat sendirian maupun di tengah keramaian. Ia tidak pernah menolah-noleh dalam istiqomahnya. Inilah bentuk ibadah yang paling agung.

  4. Khawatir jika amalnya tertolak
    Sebanyak apa pun amalan yang yang telah dikerjakan orang yang ikhlas, ia masih saja diliputi kekhawatiran besar. Ia khawatir kalau amalnya ditolak dan tidak diterima. Sifat ini diterangkan Allah dalam surat Al- Mukminun ayat 60 :

    “Dan mereka yang memberikan apa yang telah mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut, (karena mereka tahu) bahwa Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” (Depag RI 2006).

    Yakni karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan untuk dihisab, Maka mereka khawatir kalau pemberian (sedekah-sedekah) yang mereka berikan, dan amal ibadah yang mereka kerjakan itu tidak diterima Tuhan.

  5. Tidak menunggu-nunggu pujian orang lain
    Ketika orang-orang yang ikhlas berbuat baik kepada sesama, ketika mereka berupaya meringankan beban dan kesedihan orang lain, mereka tidak memandang orang itu telah berhutang budi kepadanya atau merasa lebih utama dari orang tersebut. Sebab, mereka mengerjakan hal itu semata-mata karena taat kepada Allah dan ingin mendapat ridha-Nya (Al-Ba‟dani, 2008).

Jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya. Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin. Itulah kekayaan sejati. Hidup kita adalah pertempuran dan perjuangan belaka. Mencari bahagia bukanlah dari luar diri tetapi dari dalam. Kebagiaan dari luar kerap kali hampa, palsu. Orang yang begini kerapkali ragu, syak, cemburu, putus harapan, sangat gembira ketika dihujani rahmat, kecewa saat ditimpa musibah dan bahaya. Semuanya tergantung dengan niat, hati yang bersih dan mengetahui hakikat seorang hamba.

Hari Kiyamat Allah akan menjawab apabila ada hamba-Nya yang menagih pahala amalnya :

“Apakah tidak diluaskan kedudukanmu didalam majlis-majlis, apakah engkau itu tidak dijadikan pemimpin di dunia, apakah tidak dimurahkan harga-harga untukmu, apakah engkau tidak dihormati?” demikianlah bahaya dan mudaratnya apabila tidak didasari dengan ikhlas (Rahman,2005).

Kita harus merenung berlama-lama bahwa jalan paling memungkinkan untuk meraih kebaikan pahala Allah swt adalah jihad fi sabilillah. Diantara cara-cara untuk mendapatkan pahala Allah adalah dakwah „ammah, dakwah fardiyah, dan halaqah khusus yakni gerakan perjuangan islam, tanzhim (sistem) dan pendidikan yang sudah kita ketahui

Saat mencapai tingkat kesadaran akan kebajikan Ilahiah ini, kesatria ruhani akan secara sadar melahirkan nuraninya. Ia akan merasakan pandangan Allah padanya dan merasa malu jika berbuat dosa. (Bakhtiar, 2002)

Dari aspek keikhlasan dan mengikuti Rasulullah saw, manusia dibagi ke dalam empat golongan, yaitu :

  • Orang yang ikhlas dan mutaaba’ah (mengikuti Nabi saw)
    Perbuatan mereka semua karena Allah, ucapanya semua karena Allah, memberinya karena Allah, tidak memberinya karena Allah, membencinya karena Allah dan membencinya karena Allah. Dan tidaklah seseorang berinteraksi dengan sesama makhluk tanpa melibatkan Allah kecuali karena kebodohanya terhadap Allah dan manusia. Maka, jika seseorang mengenal Allah dan manusia, tentu dia lebih mementingkan interaksinya dengan Allah di atas interaksinya dengan manusia. Demikian pula dengan amal dan ibadahnya, semuanya dilakukan agar sesuai dengan perintah Allah, memperoleh cinta dan ridha-Nya. Dialah yang menguji hamba-hamba-Nya dengan hidup mati karena-Nya. Allah berfirman dalam surat Al-Mulk ayat 2 :

    Artinya “Yang menjadikan mati dan hidup , supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya" (Depag RI 2006).

    Allah menjadikan apa yang ada di atas muka bumi ini sebagai perhiasan untuk menguji; siapa di antara yang paling baik amalnya.

  • Orang yang tidak Ikhlas dan tidak tidak mutaaba’ah
    Amal kelompok ini tidak sesuai dengan syari‟at Allah dan tidak tulus karena Allah, seperti halnya amal orang-orang yang riya‟ dan tidak melakukan amal berdasarkan syari‟at Allah dan Rasul-Nya. Mereka inilah makhluk yang paling buruk dan sangat dibenci oleh Allah.

  • Orang yang ikhlas tapi tidak mutaaba’ah
    Mereka ini seperti ahli ibadah yang bodoh, orang-orang yang mengaku menempuh jalan zuhud dan hidup miskin, dan orang-orang yang beribadah kepada Allah tidak sesuai perintah-Nya bahkan menyakini ibadahnya tersebut merupakan bentuk taqarrub kepada Allah, sehingga orang yang berperilaku seperti ini tak ubahnya seperti orang yang menganggap siulan, tepuk tangan, berkhalwat (menyendiri) hingga meninggalkan shalat Jum‟at dan shalat jamaah, menyambung puasa sampai malam hari serta puasa dihari tidak boleh puasa, semua semuanya sebagai bentuk taqarrub .

  • Orang yang mutaaba’ah tapi tidak ikhlas.
    Kelompok ini seperti ketaatan orang yang berbuat riya‟, berperang karena riya‟, ingin disebut pahlawan, dan pemberani, serta orang yang naik haji dan membaca Al-qur‟an untuk mencari prestise. Amal merka tampak seperti amal saleh, tetapi sebenarnya tidak saleh sehingga tidak diterima oleh Allah (Mahmud, 2010)

    Seorang muslim yakin bahwa kebahagiaan di dunia dan akhirat tergantung pada sejauh mana ia mendidik jiwanya, menjadikanya baik, mensucikannya dan membersihkannya. Begitu juga kecelakaanya itu tergantung pada kerusakan jiwanya, kekotoran dan keburukanya.

Ikhlas berasal dari kata kholasho menurut bahasa artinya bersih hati/tulus hati, namun ada juga yang mengartikan murni dan dimaknai sebagai niat yang murni semata-mata mengharap penerimaan dari Allah dalam melakukan suatu perbuatan serta tanpa menyekutukkan Allah dengan yang lainnya (Qalami, 2003). Dalam hal ikhlas berhubungan dengan niat diperjelas dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits).

Secara istilah, para ulama menjelaskan bahwa ikhlas adalah membersihkan amalan dari penilaian manusia sehingga jika seseorang sedang melakukan suatu amalan teretentu, maka ia akan membersihkan diri dari perhatian manusia. Ikhlas juga melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah Ta’ala (Syarbini & Haryadi, 2010). Definisi serupa diungkapkan oleh An Naisabury (1997) ikhlas diartikan hanyalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang merupakan satu-satunya sesembahan dan mengesampingkan serta menyucikan perbuatan yang dilakukan dari keterlibatan makhluk lainnya. Allah berfirman dalam surat Az-Zumar ayat 11-12: “Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintah agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan lepada-Nya (mengikhlaskan) dan aku diperintahkan supaya aku menjadi yang pertama dari orang-orang uang berserah diri kepada Allah”.

Shihab (2002) dalam tafsir al-misbah menafsirkan bahwa ayat 11 dan 12 pada Surat Az-Zumar berisikan perintah Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar menyampaikan kepada kaum mukminin untuk selalu bertakwa kepada Allah tanpa syirik dan pamrih, bahkan bukan untuk sesuatu balasan untuk memperoleh surga atau terhindar dari neraka, namun semata-mata karena Allah Ta’ala dan syukur atas nikmat yang selalu diberikan. Pada tafsir lain, yakni tafsir Al-Azhar karangan Hamka (1983) juga menuliskan penjelasan yang
hampir serupa yakni mengenai perintah Allah kepada Rasulullah untuk menyampaikan kepada kaumnya mengenai pendirian dan akidah yakni diperintahkan untuk mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa, memperjuangakan seluruh hidupnya untuk kesadaran diri dan memurnikan niat, dan keseluruhan itu adalah agama serta tujuannya hanya satu, yakni Allah Ta’ala, murni, suci, bersih tidak dikotori oleh keinginan yang lain melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Menurut Bugi (Syarbini & Haryadi, 2010), ikhlas berarti bersih dari segala kotoran dan menjadikannya bersih dan tidak kotor. Sedangkan menurut Imam AlGhazali (1975) ikhlas yaitu melakukan segala sesuatu dengan disertai niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dari segala bentuk ketidakmurnian selain taqarub illallah. Pendapat serupa dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih AlUtsaimin (Yazid, 2011), menjelaskan bahwa ikhlas ialah melakukan segala sesuatu dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai tempat yang
paling mulia.

Menurut Al Ghazali (1975), ikhlas dapat berarti sebuah maksud yang hanya menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan dengan tujuan taqqorub kepada-Nya, serta mengesampingkan hal-hal selain Allah, baik berupa penghormatan, pujian, atau pun pandangan baik dari orang lain terhadap dirinya. Bahkan menurut pandangannya, ikhlas dapat dikatakan sebagai kemurnian, menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan makhluk lain. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya mengenai ikhlas, dan kemudian
Nabi bersabda yang artinya “Aku bertanya kepada Jibril AS tentang ikhlas, apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata, “Aku bertanya kepada Tuhan Yang maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya?” Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjawab, “Suatu rahasia dari rahasia’Ku yang aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai”. (HR. Al-Qazwini, riwayat dari Hudzaifah).

Dari Ummah RA mengatakan bahwa telah datang seorang laiki-laki kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kemudian bertanya, “Apakah pendapat Tuan tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan popularitas diri, dan kelak apa yang akan dia peroleh?” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa-apa!”, pertanyaan yang sama diulang sebanyak tiga kali, namun jawaban Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tetap sama, “Dia tidak menerima apa-apa!”, lalu Rasulullah bersabda yang artinya “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan hanya mengharap ridha dari Allah.” (HR. Abu Daud & Nasa’i).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa ikhlas adalah niatan yang murni semata-mata karena Allah Ta’ala dan tidak dicampuri dengan tujuan-tujuan lainnya seperti tujuan yang bersifat duniawi. Keikhlasan sangatlah penting dan dapat berpengaruh pada aspek fisik dan psikis, karena ikhlas merupakan niatan yang murni untuk awal seseorang melakukan sesuatu hal yang akan menunjukkan kemana arah amalan yang akan dilakukan, melibatkan tujuan akhirat atau hanya untuk tujuan duniawi semata.

Ikhlas apabila ditakwilkan adalah sebagai berikut :

  1. alif ا : didepan ini bermakna AKU (Allah)
  2. kho خ : ini bermakna mengetahui dan meneliti apa yang tersembunyi
  3. lam ل : ini bermakna suatu persembahan
  4. alif ا : ini huruf tambahan yang berarti memperkuat huruf sebelumnya.
  5. shod ص : ini bermakna kebaikan

Jadi ikhlas itu bermakna “Hanya Allah yang mengetahui dan meneliti apa yang tersembunyi dalam hati atas segala persembahan-persembahan kebaikan (manusia)”.

Ikhlas adalah perihal yang abstrak sebab ikhlas yg sesungguhnya bukanlah “merasa ikhlas” itu, sebagaimana difahami orang umum, namun ikhlas adalah rahasia TUHAN, yg hanya diberikan-NYA kepada kekasih-kekasihNYA saja.

Ikhlas bukanlah ketika engkau “merasa ikhlas” dalam perbuatanmu, namun ketika engkau sudah tiada merasa berbuat barang sedikitpun kebajikan sedangkan engkau adalah orang yang sebenarnya telah banyak berbuat kebajikan.

Ikhlas umpama debu ditelapak tangan yang dihembus angin, tiada membekas sama sekali, kosong mlompong.

Lupakanlah semua amal kebaikanmu, sebab engkau tetap saja tidak ikhlas ketika masih mengingatnya, anggap saja sedang kencing, selesai berbuat tak pernah dikenang-kenang lagi

Mursyid Syech Muhammad Zuhri

Hajar protes. Mengapa suaminya meninggalkan dia dan anaknya yang masih kecil di padang pasir tak bertuan. Seperti jamaknya dia hanya bisa menduga bahwa ini akibat kecemburuan Sarah, istri pertama suaminya yang belum juga bisa memberi putra.

Hajar mengejar Ibrahim, suaminya, dan berteriak:

“Mengapa engkau tega meninggalkan kami di sini? Bagaimana kami bisa bertahan hidup?”

Ibrahim terus melangkah meninggalkan keduanya, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh. Remuk redam perasaannya terjepit antara pengabdian dan pembiaran.

Hajar masih terus mengejar sambil menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit,

“Apakah ini perintah Tuhanmu?”

Kali ini Ibrahim, sang khalilullah, berhenti melangkah. Dunia seolah berhenti berputar. Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim. Butir pasir seolah terpaku kaku. Angin seolah berhenti mendesah. Pertanyaan, atau lebih tepatnya gugatan Hajar membuat semua terkesiap.

Ibrahim membalik tubuhnya, dan berkata tegas,

“Iya!”.

Hajar berhenti mengejar. Dia terdiam. Lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya, yang mengagetkan semuanya: malaikat, butir pasir dan angin.

“Jikalau ini perintah dari Tuhanmu, pergilah, tinggalkan kami di sini. Jangan khawatir. Tuhan akan menjaga kami.”

Ibrahim pun beranjak pergi. Dilema itu punah sudah. Ini sebuah pengabdian, atas nama perintah, bukan sebuah pembiaran. Peristiwa Hajar dan Ibrahim ini adalah romantisme keberkahan.

Itulah ikhlas. Ikhlas adalah wujud sebuah keyakinan mutlak pada Sang Maha Mutlak. Ikhlas adalah kepasrahan bukan mengalah apalagi menyerah kalah. Ikhlas itu adalah engkau sanggup berlari melawan dan mengejar, namun engkau memilh patuh dan tunduk. Ikhlas adalah sebuah kekuatan menundukkan diri sendiri dari semua yang engkau cintai. Ikhlas adalah memilih jalanNya, bukan karena engkau terpojok tak punya jalan lain. Ikhlas bukan lari dari kenyataan. Ikhlas bukan karena terpaksa. Ikhlas bukan merasionalisasi tindakan, bukan mengalkulasi hasil akhir. Ikhlas tak pernah berhitung. Ikhlas tak pernah pula menepuk dada. Ikhlas itu tangga menujuNya. Ikhlas itu mendengar perintahNya dan menaatiNya. Ikhlas adalah ikhlas. Titik.

“Belum cukupkah engkau memahami apa itu ikhlas dari diamnya Hajar dan perginya Ibrahim?”

Dan aku, kamu, serta kita….semuanya tertunduk pasrah bersama Malaikat, butir pasir dan angin.

Tabik,

Nadirsyah Hosen