Bagaimana Hubungan Antara Ikhlas dan Amal Ibadah?

Ikhlas

Ikhlas dalam bentuk masdarnya mempunyai arti, yang tulus, yang jujur, yang murni, yang bersih, dan yang jernih ( safa ), naja wa salima (selamat), wasala (sampai), dan i’tazala (memisahkan diri), atau berarti perbaikan dan pembersihan sesuatu.

Bagaimana hubungan antara ikhlas dan amal ibadah ?

Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al Hikam menyatakan,

Amal itu merupakan kerangka yang tetap (mati, tidak bergerak), dan ruhnya ialah ke- ikhlas -an yang ada (melekat padanya).

Amal kebajikan, apa pun saja, adalah laksana patung-patung atau gambaran gambaran berbentuk yang kosong dari roh (jiwa) karena itu, maka tidak ada artinya, bahkan tidak ada manfaatnya sama sekali, sebagaimana juga kebalikannya yakni ada roh tetapi tidak ada wadahnya.

Oleh karena itu amal ibadah yang diterima oleh Allah s.w.t., buat menjadi persiapan kita di akhirat nanti, adalah amal-amal ibadah yang mengandung keikhlasan di dalamnya.

“IKHLAS” yang telah tersebut di dalam kitab Al Hikam tersebut sifatnya adalah umum, mencapai pada macam-macam ikhlas yang sesuai dengan tingkatan macam-macam manusia sebagai hamba Allah s.w.t.

  • Iklzlaashul ‘Ibaadi.
    Maksudnya keikhlasan yang terdapat pada sebagian hamba Allah yang melaksanakan amal-amal kebajikan di mana dalam hatinya bersih dari penyakit riya. Yakni ia beramal itu tidaklah mempunyai maksud untuk memperlihatkan kepada orang lain bahwa ia beramal, baik secara langsung atau secara tidak langsung. Juga tidak ada dalam hatinya maksud-maksud duniawi seperti supaya dihormati orang dan lain-lain sebagainya.

    Dia beramal itu, meskipun tujuannya karena Allah s.w.t., tetapi tetap mengharapkan pahala dari Allah dan dijauhkan oleh Allah, baik di dunia atau di akhirat dari azab siksaNya.

    Karena itu hatinya tidak dapat dipisahkan dari amal ibadah selaku
    perbuatannya. Ini ada1ah tingkatan keikhlasan terendah dari semua tingkatan
    ikhlas dan keikhlasan.

  • Ikhlaashul Muhibbiina.
    Keikhlasan da1am tingkat ini adalah di atas nilai keikhlasan Al-’lbaad. Yang dimaksud dengan keikhlasan Muhibhiin ialah bahwa beramal ibadah itu bukanlah maksudnya karena maksud mendapat pahala dari Allah, dan juga bukan maksud menjauhkan diri dari ‘lqab dan siksaan Allah (apabila tidak menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhkan larangan-laranganNya).

    Tetapi maksud beramal itu ialah semata-mata tujuan membesarkan Allah dan mengagungkanNya. Oleh karena itu maka seorang wali Allah yang terkenal dengan nama Rabi’ah Al-’Adawiyah berkata:

    “Aku tidak menyembah Engkau (ya Allah) karena takut dari nerakaMu, dan pula tidak menyembah Engkau karena berharap pada syurgaMu.”

    Keikhlasan dalam tingkat ini sudah tidak dipengaruhi oleh nafsu atau maksud-maksud yang berbau nafsu dan dunia. Karena apabila masih ada maksud beribadah kepada Allah karena mengharapkan kesenangan dan kebahagiaan di hari kemudian, berarti keikhlasan kita belum sampai ke tingkat Ikhlaashul
    Muhibbiin.

    Bagaimana tingginya nilai keikhlasan dalam tingkatan ini, maka Rabi’ah telah melukiskan ketinggiannya dalam syair-syairnya sebagai berikut:

    “Semua manusia menyembah Engkau (ya Allah) karena takut pada neraka, dan mereka melihat keuntungan yang besar pada terlepas dari siksaan-siksaan.”

    “Atau mereka bermaksud supaya dapat mendiami syurga-syurga, maka mereka beruntung mendiami istananya dan dapat minum salsa bil air bening dari sungai syurga.”

    “Tidak adalah arti keuntungan bagiku dengan mendapatkan syurga dan jauh dari neraka, karena aku tidak menghendaki ganti (dengan apa pun saja) selain dengan cintaku (kepada Allah s.w.t.).”

  • Ikhlaashul ‘Aarifiina.
    atau dapat juga disebut dengan: Ikhlaashul Muqarrabiina. Ini adalah tingkat keikhlasan yang tertinggi dari segala-galanya. Barangsiapa di antara kita yang dikurniai Allah dengan keikhlasan ini berarti orang itu telah betul-betul mendapatkan keikhlasan yang sejati dan tertinggi.

    Hamba Allah yang telah sampai kepada keikhlasan ini, mereka dalam beramal sudah tidak lagi melihat kepada diri mereka, tetapi tertuju kepada Allah Yang Maha Esa, baik dalam geraknya ataupun dalam diamnya. Mereka betul-betul telah merasakan pengertian hakiki dari Kalimat:

    “Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Yang Maha Agung.”

    Mereka tenggelam dalam perasaan yang betul-betul dan tidak dibuat-buat menurut pengertian hakiki kalimat tersebut. Tujuan beramal dalam tingkatan ini ialah semata-mata menghampirkan diri kepada Allah s.w.t.

    Apabila keikhlasan sebelumnya bertujuan mencari “Tashilul Iradah”, yakni memperbaiki tujuan hati untuk lurus menuju kepada Allah. Apabila keikhlasan sebelumnya sifatnya Lillaahi Ta’ala dan ini adalah sifat setiap orang ibadah, tetapi sifat ibadah pada tingkatan ini Billaahi Ta’ala, dan ini adalah sifat setiap orang menuju kepada Allah.

    Beramal Lillaahi Ta’ala ialah mendirikan dengan baik hukum-hukum lahiriah, sedangkan beramal Billaahi Ta’ala ialah, mendirikan kebaikan yang terkandung dalam hati yang bersih demi untuk tujuan berhampir kepada Allah. Inilah yang dimaksud oleh sebagian ulama Sufi dengan perkataannya:

    “Betulkanlah amalan anda dengan ikhlas dan betulkanlah keikhlasan anda dengan melepaskan diri dari daya dan kekuatan (makhluk).”

Rumi Quotes

Kesimpulannya apabila kita ingin supaya amal ibadah kita diterima oleh Allah, maka ikhlas adalah roh dan jiwa dari amal-amal kebajikan. Allah akan menilai amal ibadah kita dengan penilaian yang rendah, tinggi, dan tertinggi adalah sesuai dengan mendalamnya keikhlasan kita dalam amal ibadah kita.

Beramallah dengan ikhlas. ltulah yang diperintah Allah kepada seluruh hambaNya, sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Quran sebagai berikut:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (tulus-ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al Baiyinah: 5)

Mudah-mudahan kita selalu dikurniai oleh Allah dengan melaksanakan
amal ibadah apa saja dengan keikhlasan yang betul-betul menurut perintah
Allah. Amin!

Referensi : Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk, Chiek. H. dan Muhibbuddin Muhammad Waly Al-Khalidy, 2017, Al-Hikam Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf Jilid 1, Al-Waliyah Publishing