Apa yang dimaksud dengan HIV dan AIDS?

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).

Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.

Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

Apa yang dimaksud dengan HIV dan AIDS ?

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari suatu penyakit) untuk jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya mereka telah dapat menulari orang lain (Permenkes, 2013).

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tetapi didapat; “Immune” adalah sistem daya tangkal atau kekebalan tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV berjalan sangat progresif merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita tidak dapat menahan serangan infeksi jamur, bakteri atau virus (Permenkes, 2013).

Cara Penularan HIV


Human immunodeficiency virus (HIV) dapat masuk ke tubuh melalui tiga cara, yaitu melalui

  1. hubungan seksual,
  2. penggunaan jarum yang tidak steril atau terkontaminasi HIV, dan
  3. penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke janin dalam kandungannya, yang dikenal sebagai Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA).

1. Hubungan seksual.

Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama sanggama laki- laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu.

Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.

2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi.

Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat terjadi pada semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan.

3. Penularan dari ibu ke anak.

Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat persalinan dan menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.

Patofisiologi


Sesudah HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel limfosit T CD4 dan makrofag). Virus HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu dan disebut masa jendela (window period).

Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini, di mana gejala dan tanda yang biasanya timbul adalah: demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk.

Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk jangka waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa orang tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium antibodi HIV serum.

Sesudah jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.

“HIV tidak ditularkan melalui bersalaman, berpelukan, bersentuhan atau berciuman; penggunaan toilet umum, kolam renang, alat makan atau minum secara bersama; ataupun gigitan serangga, seperti nyamuk”.

Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak

Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.

  1. Faktor Ibu

    • Jumlah virus (viral load)
      Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.

    • Jumlah sel CD4
      Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.

    • Status gizi selama hamil
      Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.

    • Penyakit infeksi selama hamil
      Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi saluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.

    • Gangguan pada payudara
      Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.

  2. Faktor Bayi

    • Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
      Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.

    • Periode pemberian ASI
      Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.

    • Adanya luka di mulut bayi
      Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.

  3. Faktor obstetrik
    Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah :

    • Jenis persalinan
      Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar (sectio caesaria).

    • Lama persalinan
      Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.

    • Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.

    • Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi. (Permenkes, 2013).

Tes dan Diagnosis infeksi HIV pada anak

Menurut Depkes (2008) diagnosis infeksi HIV pada bayi yang terpajan pada masa perinatal dan pada anak kecil sangat sulit karena antibody maternal terhadap HIV yang didapat secara pasif mungkin masih ada pada darah anak sampai umur 12 bulan. Sebagian besar anak akan kehilangan antibodi HIV pada umur 9-18 bulan. Tes yang dilakukan adalah:

  1. Tes Antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid test)
    Test cepat makin tersedia dan aman, efektif, sensitif dan dapat dipercaya untuk mendiagnosa infeksi HIV pada anak mulai umur 18 bulan. Untuk anak berumur < 18 bulan, tes cepat antibodi merupakan cara yang sensitif, dapat dipercaya untuk mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak yang tidak mendapat ASI. Metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Digunakan untuk tes HIV pada bayi, menetapkan status infeksi individu yang seronrgative pada kelompok resiko tinggi.

  2. Tes Virologi
    Tes virology untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang paling dipercaya intuk mendiagnosa infeksi HIV pada anak umur < 18 bulan. Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama atau sesudah persalinan maka tes virology tidak dianjurkan sampai 4-8 minggu setelah lahir karena akan mempengaruhi tingkat kepercayaan tes. Jika bayi muda masih mendapat ASI dan tes virology RNA negatif, maka perlu diulang 6 minggu setelah anak benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV

Tabel Skenario Pemeriksaan HIV

Pengobatan Antiretroviral

Pegobatan ARV tidak untuk menyembuhkan HIV tetapi dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara dramatis serta memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak-anak. Pengobatan secara dini (walaupun dalam kondisi terbatas) pada masa infeksi primer pada bayi mungkin bisa memperbaiki perjalanan penyakit. Pengobatan obat ARV untuk anak di fasilitas dengan sumber daya terbatas, berikut di bawah ini:

  1. Nucleosida analogue reverse trancriptase inhibitor (NRT)

    • Zidovudin ZDT (ZT)
    • Lamivudin 3TC
    • Stavudine d4T
    • Didanosine ddl
    • Abacavir ABC
  2. Non-nucleotida reverse trancriptase Inhibitor (NNRT)

    • Nevirapine NVP
    • Efavirenz EFV
  3. Orotease inhibitor (PI)

    • Nelfinavir NFV
    • Lapinavir LPV/r
    • Saquinavir SQV

Pemulangan dari rumah sakit

Anak dengan infeksi HIV mungkin memberikan respons lambat atau tidak lengkap terhadap pengobatan yang biasa. Anak mungkin menderita demam yang persisten, diare persisten atau batu kronik. Apabila keadaan umumnya baik maka tidak perlu perawatan di rumah sakit, tetapi dapat diperiksa secara teratur sebagai pasien rawat jalan.

Perawatan paliatif dan fase terminal

Pada anak dengan infeksi HIV sering merasa tidak nyaman sehingga perawatan menjadi sangat penting. Buatlah semua keputusan bersama ibunya dan komunikasikan secara jelas kepada petugas yang lain. Pertimbangkan perawatn paliatif di rumah, beberapa pengobatan untuk mengatasi rasa nyeri dan menghilangkan kondisi sulit

HIV/AIDS tanpa Komplikasi


Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di dunia serta menyebabkan krisis multidimensi. Berdasarkan hasil estimasi Departemen Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000-216.000 orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan WHO memperkirakan sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu. Pasien datang dapat dengan keluhan:

  1. Demam (suhu >37,5OC) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
  2. Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.
  3. Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat badan dasar.
  4. Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.

Faktor Risiko

  1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan
  2. Pengguna NAPZA suntik
  3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan transgender
  4. Hubungan seksual yang berisiko atau tidak aman
  5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
  6. Pernah mendapatkan transfusi darah
  7. Pembuatan tato dan atau alat medis/alat tajam yang tercemar HIV
  8. Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS
  9. Pasangan serodiskordan – salah satu pasangan positif HIV

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

  1. Keadaan Umum

    • Berat badan turun
    • Demam
  2. Kulit

    • Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering dan dermatitis seboroik
    • Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes zoster
  3. Pembesaran kelenjar getah bening

  4. Mulut: kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis

  5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru

  6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa

  7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra

  8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis

Pemeriksaan Penunjang

  1. Laboratorium

    • Hitung jenis leukosit : Limfopenia dan CD4 hitung <350 (CD4 sekitar 30% dari jumlah total limfosit)
    • Tes HIV menggunakan strategi III yatu menggunakan 3 macam tes dengan titik tangkap yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western Blot
    • Pemeriksaan DPL
  2. Radiologi: X-ray torak

Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya. Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV

  1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling and Testing)
  2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK – PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling)

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil tes HIV. Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan.

Tabel Stadium klinis HIV
image
image
image

Diagnosis Banding

Penyakit gangguan sistem imun

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Tatalaksana HIV di layanan primer dapat dimulai apabila penderita HIV sudah dipastikan tidak memiliki komplikasi atau infeksi oportunistik yang dapat memicu terjadinya sindrom pulih imun. Evaluasi ada tidaknya infeksi oportunistik dapat dengan merujuk ke layanan sekunder untuk pemeriksaan lebih lanjut karena gejala klinis infeksi pada penderita HIV sering tidak spesifik.

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV.

  1. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
    Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.
  2. Tersedia pemeriksaan CD4
    • Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
    • Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4

Tabel Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum mendapat terapi ARV (treatment naĂŻve)
image

Tabel. Dosis antiretroviral untuk ODHA dewasa
image

Rencana Tindak Lanjut

  1. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV
    Monitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali.

  2. Pemantauan pasien dalam terapi antiretroviral

    • Pemantauan klinis
      Dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.

    • Pemantauan laboratorium

      • Pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada indikasi klinis.
      • Pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia
      • Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara 250–350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis.
      • Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF.

Konseling dan Edukasi

  1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  2. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit HIV/AIDS. Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok penanggulangan HIV/AIDS untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi pengobatan penyakitnya.

Kriteria Rujukan

  1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi.
  2. Pasien HIV/AIDS dengan komplikasi.

Peralatan

Layanan VCT

Prognosis

Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan terapi definitif, sehingga prognosis pada umumnya dubia ad malam.

Referensi

  1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
  2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4thEd. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30. (Sudoyo, et al., 2006)

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4).

Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus.

Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome).

AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati.

Manifestasi klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS)

Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:

  • Rasa lelah dan lesu
  • Berat badan menurun secara drastis
  • Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
  • Mencret dan kurang nafsu makan
  • Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
  • Pembengkakan leher dan lipatan paha
  • Radang paru
  • Kanker kulit

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:

Manifestasi tumor

  1. Sarkoma Kaposi

    Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat jarang menjadi sebab kematian primer.

  2. Limfoma ganas

    Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.

Manifestasi oportunistik

  1. Manifestasi pada Paru

    • Pneumoni pneumocystis (PCP)
      Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam.

    • Cytomegalovirus (CMV)
      Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru- paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab kematian pada AIDS.

    • Mycobacterium avilum
      Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

    • Mycobacterium tuberculosis
      Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat menyebar ke organ lain di luar paru.

  2. Manifestasi gastrointestinal

    Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan.

Manifestasi neurologis

Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.

Gejala dan stadium klinis Human Immunodeficiency Virus (HIV) /

Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS)

Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.

Tabel Gejala mayor dan gejala minor infeksi HIV/AIDS
Gejala mayor dan gejala minor infeksi HIV/AIDS

Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi sebagai berikut :

Tabel Stadium Klinis HIV/AIDS Menurut WHO
image
image


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harapan Hidup 5 tahun Pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Imunnodeficiency Syndrome (AIDS)

Angka Harapan Hidup (Survival Rate) merupakan lama hidup manusia di dunia. Harapan hidup 5 tahun adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai 5 tahun, pada suatu tahun tertentu dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.

Prevalensi HIV pada orang dewasa dan tingkat kematian di bawah 5 tahun mengalami peningkatan di negara dengan prevalensi HIV yang tinggi dan dapat pula mengalami penurunan pada negara dengan prevalensi HIV yang cukup tinggi atau rendah.25 Menurut Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes, harapan hidup pasien HIV/AIDS meningkat secara bermakna selama 15 tahun terakhir, tetapi usia tetap lebih singkat 21 tahun dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.

Harapan hidup 5 tahun pasien HIV/AIDS ditentukan oleh berbagai macam faktor:

1. Virus

  • Plasma viral (Viral load)

    Plasma viral (viral load) merupakan suatu indikator langsung dari keseluruhan jumlah sel yang diproduksi oleh virus pada seseorang yang terinfeksi HIV. Dalam pengukuran HIV RNA di dalam darah dapat secara langsung mengukur besarnya replikasi virus dan memiliki peran yang penting dalam perjalanan infeksi HIV. Pemeriksaan viral load HIV dilakukan oleh para klinisi sebagai prediktor yang lebih baik daripada pemeriksaan sel limfosit T-CD4.

    Menurut penelitian yang dilakukan oleh penelitian yang dilakukan oleh John W. Mellors, MD dkk dari Universitas Pittsburg, didapatkan hubungan yang kuat antara viral load dengan kecepatan penurunan jumlah limfosit T-CD4. Terdapat pula penelitian yang dilakukan R. Baker mengungkapkan bahwa semakin rendah viral load, semakin lama waktu yang diperlukan untuk menjadi AIDS dan semakin lama waktu ketahanan hidupnya. Sebaliknya, pasien dengan plasma viral load yang tinggi dapat mengalami perkembangan menjadi AIDS dalam waktu yang lebih pendek oleh karena produksi virus dalam jumlah yang besar akan membuat kemampuan dan tenaga host menurun untuk menekan kerusakan limfosit T-CD4 sehingga limfosit T-CD4 tersebut menjadi lebih cepat habis.

    Pemeriksaan viral load HIV juga sering digunakan untuk menentukan efektivitas atau kegagalan terapi antiretroviral (ARV). Pengukuran plasma viral load secara serial dan berkala dapat membantu dokter untuk menentukan waktu permulaan pemberian terapi ARV sehingga dapat menghambat progresivitas penyakit yang akan mempengaruhi harapan hidup pasien HIV.

  1. Resistensi virus

    Selama ini untuk mengendalikan perkembangan virus HIV digunakan terapi kombinasi ARV. Apabila pasien tidak sangat patuh terhadap pengobatannya, virus secara cepat menghilangkan kerentanan terhadap kombinasi obat tersebut.

    Resistensi akan obat dapat terjadi karena mutasi dari struktur genetik HIV yang berbentuk RNA, satu untai protein yang digunakan virus saat menginjeksi sel dan memproduksi virus baru. Mutasi sangat umum terjadi karena laju produksi yang terlalu cepat dan tidak adanya protein yang dapat memperbaiki kesalahan saat mengkopi materi genetik.

    Perkembangan HIV dengan berbagai mutasi yang resistan pada orang yang menerima terapi ARV dikaitkan dengan kegagalan pengobatan dan peningkatan mortalitas. Menurut The New England Journal of Medicine, dengan adanya resistensi virus HIV terhadap sebagian antiretroviral maka akan semakin sulit mencegah berkembangnya infeksi HIV menjadi AIDS dan dapat menyebabkan kematian.

2. Pasien

  • Jenis Kelamin

    Pedoman terapi infeksi HIV yang didasarkan pada viral load daripada limfosit T-CD4 akan menyebabkan perbedaan dalam hal kelayakan untuk pengobatan ARV menurut jenis kelamin. Pada penelitian yang dilakukan oleh Homayoon Farzadegan, dkk didapatkan bahwa viral load lebih rendah pada wanita dibandingkan dengan pria meskipun memiliki jumlah CD4 yang sama.

    Meskipun tingkat awal HIV-1 RNA lebih rendah pada wanita dibandingkan pria, namun tingkat progresi menjadi AIDS antara wanita dengan pria hasilnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Selain itu, menurut penelitian Timothy R. Sterling, dkk didapatkan hasil yang sama dengan penelitian sebelumnya yakni viral load relatif rendah memiliki nilai prediktif yang sama untuk berkembang menjadi AIDS, bahkan viral load yang sama mutlak memberikan risiko AIDS yang berbeda di kalangan pria dan wanita.

  • Usia

    Usia merupakan faktor penentu utama kematian bagi banyak penyakit termasuk infeksi HIV. Dengan meningkatnya usia pada saat infeksi HIV, perkembangan HIV menjadi AIDS menjadi lebih cepat. Pada penelitian di Amerika mengungkapkan bahwa pada orang yang usianya semakin tua, kelenjar timus yang merupakan lokasi penting untuk maturasi limfosit T akan mengalami involusi.

    Meningkatnya usia juga berhubungan dengan menurunnya fungsi sel T, berkurangnya populasi sel T, dan semakin rendah jumlah sel T sitotoksik CD8. Fungsi timus dan produksi sel T juga dihambat oleh adanya infeksi HIV. Karena dipengaruhi oleh proses tersebut, maka perubahan–perubahan yang terjadi di dalam sistem imun menyebabkan progresivitas infeksi HIV pada orang yang lebih tua menjadi lebih nyata. Progresivitas yang tinggi untuk menjadi AIDS dan berkurangnya harapan hidup pada pasien HIV yang lebih tua juga telah dibuktikan pada penelitian di Perancis dan Spanyol.

  • Ras

    HIV/AIDS adalah penyebab utama keempat kematian di kalangan Hispanik berusia 35-44 tahun, dibandingkan dengan non-Hispanik kulit putih menjadi penyebab utama kesepuluh dari kelompok usia yang sama. Keterlambatan diagnosis pada infeksi HIV tampaknya menjadi faktor penting terkait dengan perbedaan dalam pencapaian indikator kesehatan dan kematian akibat terinfeksi HIV.

    Terdapat pula perbedaan yang berhubungan dengan ras terkait tren kematian pada orang yang terinfeksi HIV, laki-laki hitam, ras Hispanik, dan ras Asia memiliki tingkat kematian lebih tinggi terutama bila dibandingkan dengan laki-laki putih. Meskipun ras terkait dengan kematian, harapan hidup setelah diberi terapi ARV tidak menunjukkan adanya perbedaan antara ras Hispanik dan ras kulit putih.

    Pada penelitian sebelum-sebelumnya mengenai hubungan harapan hidup ras Hispanik dibandingkan dengan ras non-Hispanik kulit putih menunjukan hasil yang berbeda-beda. Ada 12 studi yang menyatakan 6 studi menunjukkan bahwa ras Hispanik memiliki harapan hidup lebih buruk dibandingkan dengan ras non-Hispanik, 3 studi menunjukkan tidak ada perbedaan antara ras Hispanik dengan ras non-Hispanik, dan 3 studi lagi menunjukan ras Hispanik memiliki harapan hidup lebih baik dibandingkan ras non-Hispanik.

    Pada penelitian yang dilakukan oleh Nadine E. Chen, dkk, hasilnya tidak menunjukkan perbedaan antara ras Hispanik dengan ras non- Hispanik, tetapi mereka menyimpulkan bahwa perbedaan harapan hidup tergantung pada keterlambatan diagnosis dengan cara membandingkan dengan orang yang terdiagnosis HIV lebih dini.

  • Kepatuhan Terapi ARV (Antiretroviral)

    Kepatuhan terapi ARV merupakan komponen terpenting untuk mencapai suatu program terapi yang maksimal. Tingkat kepatuhan yang tinggi berkaitan erat dengan perbaikan virologis maupun klinis. Kepatuhan minum obat ARV dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain, pengetahuan tentang terapi ARV, Persepsi pasien tentang manfaat terapi, self efficacy, efek samping terapi, kemudahan akses pelayanan, ketersediaan obat ARV. Kepatuhan minum ARV sangat berkorelasi kuat dengan menurunnya kadar virus dalam darah, mengurangi resistensi, meningkatkan harapan hidup, dan meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.

    Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi HIV terlebih dahulu. WHO memberikan rekomendasi saat memulai terapi kepada pasien ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) berdasarkan jumlah CD4 dan stadium klinis HIV, yakni:

    Tabel Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
    Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

    Pada pasien yang memiliki tingkat kepatuhan yang rendah terhadap pengobatan ARV mengakibatkan adanya kegagalan terapi. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa untuk minum obat. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Kegagalan terapi seseorang ditentukan berdasarkan kriteria klinis, imunologis, maupun virologis. Kriteria kegagalan terapi menurut WHO , yakni:

    Tabel Kriteria Gagal Terapi
    image

    Pada penelitian di Afrika, kepatuhan minum obat ARV yang rendah berhubungan dengan tingkat produktivitas yang menurun, progresivitas penyakit, dan kematian.

  • Jumlah CD4 (Cluster Differentiation 4)

    Sel CD4 adalah sel darah putih atau limfosit yang termasuk dalam bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Ketika manusia terinfeksi HIV, virus akan menyerang sel CD4 dan menjadi bagian dari sel tersebut. Selain sel CD4 menggandakan diri untuk melawan infeksi apa pun, sel tersebut juga membuat banyak duplikasi HIV. Semakin menurunnya sel CD4 berarti sistem kekebalan tubuh kita semakin rusak dan semakin rendahnya jumlah CD4 yang ada dalam tubuh manusia, semakin mungkin terserang penyakit atau mungkin akan mengalami infeksi oportunistik.

    Jumlah CD4 saat memulai pengobatan memang berdampak pada harapan hidup pasien HIV/AIDS. Pasien dengan HIV yang menjalani terapi ARV dengan baik disertai dengan jumlah CD4 di atas 500 memiliki tingkat kematian yang serupa dengan pasien yang tidak terinfeksi HIV, namun hal ini tidak terjadi pada pasien HIV dengan jumlah CD4 antara 350-500.

    Menurut penelitian di Inggris, harapan hidup pasien HIV pada usia 20 tahun yang didiagnosis terlambat atau menunda pengobatan sampai jumlah CD4 <200 sel/mm3 memiliki usia harapan hidup 10 tahun lebih pendek daripada pasien yang mengikuti petunjuk pengobatan, yang merekomendasikan pasien untuk memulai pengobatan ARV ketika jumlah CD4 <350 sel/mm3. Pada penelitian lainnya juga menyatakan bahwa CD4 awal mempengaruhi kenaikan CD4 pasien. Semakin tinggi CD4 ODHA ketika memulai pengobatan ARV semakin tinggi jumlah CD4 mereka.

  • Stadium Klinis

    HIV/AIDS merupakan penyakit yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan. Pemberian terapi ARV hanya dapat menghambat replikasi virus dan memperpanjang waktu hidup pasien HIV/AIDS. Saat ini skrining HIV perlu diperluas untuk meminimalkan keterlambatan diagnosis. Keterlambatan diagnosis memberi kontribusi banyak kematian yang terkait HIV. Dengan demikian, hal ini akan menguntungkan dari segi kesehatan karena dengan diagnosis dini akan dapat mendeteksi individu dengan viral load yang tinggi.

    Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab keterlambatan diagnosis, antara lain ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan serta faktor sosial ekonomi, stigma, hambatan keuangan, pengetahuan dari penyedia pelayanan kesehatan.

    Menurut penelitian Samuel S. Malamba, dkk menemukan adanya keterkaitan antara kondisi klinis dengan prognosis kehidupan. Harapan hidup pada pasien dengan stadium I mencapai lebih dari 7,5 tahun dibandingkan dengan stadium II, III, IV. Dengan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat mortalitas meningkat secara signifikan seiring dengan semakin tingginya tingkat stadium klinis.

  • Status Gizi

    Nutrisi berperan penting dalam perawatan dan pengobatan yang komprehensif pada orang yang terinfeksi HIV. Terdapat interaksi yang kompleks antara gizi dan HIV/AIDS, HIV menyebabkan semakin melemahnya sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan malnutrisi.

    Malnutrisi memperburuk dampak HIV dan memberikan kontribusi untuk lebih cepat berkembang menjadi AIDS. Pada orang yang terinfeksi HIV kebutuhan energi cenderung meningkat 20-30% untuk mempertahankan berat badan dan aktivitas fisik. Asupan energi yang tidak sebanding dengan kebutuhan energi pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS akan menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan yang sering dikenal dengan syndrome wasting.

    Dikatakan sebagai syndrome wasting jika pasien mengalami penurunan berat badan lebih dari 10% atau yang mempunyai indeks massa tubuh kurang dari 20 kg/m2 sejak kunjungan terakhir atau kehilangan berat badan lebih dari 5% dalam waktu 6 bulan dan bertahan selama 1 tahun, sehingga pasien yang terinfeksi HIV menyebabkan perkembangan penyakit menjadi lebih cepat, gangguan status fungsional, dan peningkatan mortalitas.

    Beberapa studi menunjukkan angka kematian menjadi lebih cepat (<6 bulan) dengan memulai terapi ARV pada pasien dengan indek massa tubuh (IMT) kurang dari 18, sedangkan indek massa tubuh yang kurang dari 16 menyebabkan peningkatan kematian 2 kali lipat.

    Nutrisi berbasis mikronutrien dan makronutrien juga diperlukan untuk mendukung perawatan pasien dengan HIV/AIDS. Selain untuk memenuhi kebutuhan energi, nutrisi juga berpengaruh terhadap pengobatan ARV. Nutrisi tersebut dapat mempengaruhi penyerapan obat, metabolisme, distribusi, dan ekskresi dari obat ARV sehingga mendorong ke arah perbaikan status imun pasien HIV/AIDS.

    Berat badan dan kekurangan gizi protein merupakan komplikasi yang sering di pasien terinfeksi HIV. Serum albumin mungkin merupakan prediktor yang sangat baik dalam tahap-tahap awal HIV sebelum pasien telah berkembang menjadi AIDS. Hal ini juga ditetapkan bahwa hipoalbuminemia sebagai penanda malnutrisi karena albumin dipengaruhi oleh protein-energi malnutrisi yang diinduksi oleh stres sakit atau cedera, tingkat albumin yang rendah dapat mencerminkan status gizi buruk pada tahap awal penyakit sebelum perubahan berat badan atau penanda klinis lainnya.

    Di dalam tubuh manusia membutuhkan asupan mikronutrien yang cukup. Salah satu mikronutrien yang diperlukan oleh tubuh adalah zat besi. Adanya defisiensi zat besi dalam darah, lambat laun akan menyebabkan penurunan simpanan zat besi yang tidak cukup untuk membentuk sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang. Hal ini membuat kadar hemoglobin dalam darah terus menurun di bawah batas normal sehingga menyebabkan anemia.

    Menurut penelitian di Afrika, anemia dilaporkan menjadi penyebab kematian terkait AIDS dibandingkan dengan hemoglobin normal. Risiko kematian terkait AIDS 3 kali lipat lebih besar pada pasien dengan anemia berat dibandingkan dengan anemia sedang.

  • Depresi

    Hubungan antara depresi dengan HIV/AIDS merupakan hubungan yang sangat kompleks. Di satu sisi depresi dapat timbul karena penyakit HIV/AIDS itu sendiri, di sisi lain depresi yang timbul akan lebih memperberat perjalanan penyakit HIV/AIDS itu sendiri. Depresi akan memperberat perjalanan penyakit HIV/AIDS melalui perubahan perilaku seperti perasaan bersalah, kurangnya minat berkomunikasi, berkurangnya kepatuhan meminum obat, keinginan untuk bunuh diri, dan gangguan sistem imun.

    Menurut Wolcott mengemukakan bahwa respon negatif pada pasien HIV/AIDS untuk menghadapi situasi hidupnya, dimana pasien sering menghadapi sendiri kondisinya tanpa dukungan dari teman dan keluarga dapat memberikan dampak pada respon sosial pasien tersebut. Respon sosial yang positif dapat mendukung proses pengobatan sehingga progresivitas penyakit setidaknya dapat dihambat dan umur harapan hidup pasien HIV/AIDS menjadi lebih panjang.

  • Sirkumsisi

    Sirkumsisi merupakan pembedahan yang bertujuan untuk membuang sebagian atau semua preputium pada penis. Mukosa bagian dalam preputium memiliki keratinisasi yang lebih sedikit dibandingkan kulit bagian luar dan memiliki kepadatan sel target HIV yang lebih tinggi.

    Terdapat bukti yang kuat bahwa laki-laki yang disirkumsisi akan mengurangi risiko terinfeksi HIV melalui hubungan seks heteroseksual sebesar 60%. WHO merekomendasikan bahwa sirkumsisi pada laki-laki bisa dipertimbangkan sebagai pencegahan terhadap infeksi HIV.

    Menurut penelitian sebelumnya menunjukan bahwa kulit preputium memiliki risiko terbesar untuk terinfeksi HIV daripada jaringan yang lain. Kulit preputium juga memiliki kemungkinan terbesar untuk mengalami trauma ketika berhubungan seksual, sehingga menjadi pintu masuk infeksi HIV. Pada penelitian di Amerika ditemukan pula pria yang tidak disirkumsisi memiliki risiko terinfeksi HIV 3,5 kali lebih besar dari pria yang telah disirkumsisi, secara statistik sirkumsisi mengurangi 58% risiko terinfeksi HIV.

  • Perilaku seksual

    Strategi pencegahan HIV/AIDS yang efektif bisa dilakukan apabila faktor risiko utama penularan HIV/AIDS telah diidentifikasi dengan baik. Faktor resiko penularan HIV/AIDS yang utama yakni faktor perilaku seksual.57 Penularan HIV yang relatif luas jangkauannya adalah melalui hubungan seksual, tetapi jalur ini tidak seluas jalur penularan penyakit menular seksual lainnya karena HIV menular jika terjadi perpindahan virus dari sperma ke darah terutama bila terjadi lesi mukosa. Secara teoritis teknik hubungan seksual yang paling rawan untuk penularan HIV adalah teknik penis-anal, karena memungkinkan terjadinya lesi dan perdarahan pada mukosa anus.

    Pada awalnya HIV/AIDS lebih banyak ditemukan pada laki-laki homoseksual sehingga aktivitas seksual laki-laki homoseksual dituding sebagai penyebab timbulnya HIV/AIDS, tetapi data saat ini menunjukkan di negara berkembang penularan heteroseksual lebih banyak terjadi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan data terhadap kelompok homoseksual.

    Secara umum, laki-laki homoseksual lebih berisiko tertular HIV/AIDS melalui berganti-ganti pasangan sedangkan laki-laki heteroseksual cenderung memiliki risiko penularan HIV/AIDS lebih tinggi melalui hubungan seks berisiko tanpa memakai kondom. Tingginya faktor-faktor risiko perilaku seksual pada laki-laki homoseksual, secara teoritis seharusnya berbanding lurus dengan banyaknya kasus HIV/AIDS pada kelompok ini. Menurut penelitian yang dilakukan di Purwokerto, kasus HIV/AIDS banyak terjadi pada laki-laki heteroseksual meskipun risikonya lebih tinggi pada laki-laki homoseksual.

3. Lingkungan

  • Dukungan sosial

    Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial. Pernyataan adanya infeksi HIV pada individu tersebut mendorong terjadinya reaksi penolakkan hingga syok yang berlangsung lama dan berpotensi mendorong progresivitas Infeksi HIV ke AIDS. Dengan adanya keterkaitan antara kondisi pasien HIV/AIDS dengan progresivitas penyakit maka perlunya menciptakan lingkungan yang kondusif dengan cara meningkatkan dukungan sosial pada pasien HIV/AIDS salah satunya melalui dukungan keluarga.

    Di RSU Dr. Soetomo terbentuk komunitas ODHA untuk membangun kondisi yang positif sesama terinfeksi HIV guna menghindari paham bahwa orang yang terinfeksi HIV akan segera meninggal, stigma sosial, dan diskriminasi.

    Stigma merupakan persepsi negatif terhadap kelompok sosial tertentu terutama pada ODHA. Pada masyarakat umumnya masih memiliki rasa ketakutan yang tinggi terhadap orang dengan HIV/AIDS, sehingga banyak masyarakat mempunyai pandangan negatif bahkan mengisolasi penderita.

    Stigma sosial ini menimbulkan masalah psikososial yang rumit pada pasien HIV/AIDS berupa gangguan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari kontak fisik dan sosial. Dengan adanya stigma-stigma tersebut membuat penderita dan keluarga menjadi malu dan takut sehingga menjadi enggan untuk memeriksakan dirinya dan berobat karena takut dikucilkan oleh masyarakat.

    Pengaruh sosial terhadap respon biologis juga akan mempengaruhi perjalanan infeksi HIV menuju AIDS. Dampak HIV secara langsung terhadap sistem saraf pusat menyebabkan munculnya sindrom neuropsikiatrik, sedangkan yang secara tidak langsung dapat menimbulkan infeksi sekunder pada otak, keganasan otak, efek samping terapi ARV, atau kelainan yang terkait HIV. Oleh sebab itu, ODHA memerlukan dukungan untuk menghambat progresivitas penyakit dan menghindarikan dari kondisi yang fatal, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang harapan hidup pasien terinfeksi HIV.

Pengertian HIV/AIDS


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS . Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenophaty Associated Virus (LAV) (Tjokronegoro, 2003). HIV termasuk keluarga virus retro, yaitu virus yang memasukkan materi genetiknya ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan infeksi dengan cara yang berbeda (retro), yaitu dari RNA menjadi DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah, membentuk pro-virus dan kemudian melakukan replikasi (Riono, 1999).

HIV memiliki enzim reverse transcriptase yang dapat berfungsi mengubah informasi genetik untuk kemudian diintegrasikan ke dalam informasi sel limfosit yang diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV. HIV menyerang sistem imun manusia yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 dipermukaannya. Limfosit T helper antara lain berfungsi menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi sehingga yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit T tetapi juga limfosit B, monosit, makrofag dan sebagainya dan merusak sistem imunitas. Selanjutnya bisa memudahkan infeksi oportunistik di dalam tubuh. Kondisi inilah yang kita sebut AIDS.

Definisi AIDS menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) lebih melihat pada gejala yang ditimbulkan pada tahapan perubahan penderita HIV/AIDS, yaitu pada orang dewasa atau remaja umur 13 tahun atau lebih adalah terdapatnya satu dari beberapa keadaan yang menunjukkan imunosupresi berat yang berhubungan dengan infeksi HIV, seperti Pneumocystis Carnii Pneumonia (PCP), suatu infeksi paru yang sangat jarang terjadi pada penderita yang tidak terinfeksi HIV mencakup infeksi oportunistik yang jarang menimbulkan bahaya pada orang yang sehat. Selain infeksi dan kanker dalam penetapan CDC 1993, juga termasuk: ensefalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan hitungan CD4 < 200/ml.

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia AIDS disebut sindrom cacat kekebalan tubuh (Depkes, 1997). Sedangkan menurut Weber (1986) AIDS diartikan sebagai infeksi virus yang dapat menyebabkan kerusakan parah dan tidak bisa diobati pada sistem imunitas, sehingga mudah terjadi infeksi oportunistik.

Diagnosis HIV/AIDS

Diagnosis ditujukan kepada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:

  • Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus ialah Polymerase Chain Reaction (PCR)

  • Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti bodi spesifik, misalnya dengan ELISA, immunoflurescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay (RIPA (Tjokronegoro & Hendra, 2003).

Untuk diagnosis HIV, yang lazim dipakai:

  1. ELISA: sensitivitas tinggi, 98,1% - 100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Dahulu, hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot. Tetapi sekarang menggunakan tes berulang dengan tingkat spesifisitas.

  2. PCR (Polymerase Chain reaction). Penggunaan PCR antara lain untuk tes HIV pada bayi, menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi, tes pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, tes konfirmasi untuk HIV-2 (sebab ELISA sensitivitasnya rendah untuk HIV-2) (Tjokronegoro&Hendra, 2003).

Tiap negara memiliki strategi tes HIV yang berbeda. Di Indonesia, skrining dan surveilans menggunakan strategi tes yang sama. Tes ELISA dan Western Blot telah digunakan di waktu yang lalu, sekarang di Indonesia menggunakan Dipstik, ELISA 1, dan ELISA 2 untuk skrining dan surveilans (Utomo dan Irwanto, 1998). Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada pemeriksaan didasarkan pada sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagensia. Untuk diagnosis klien yang asimtomatik harus menggunakan strategi III dengan persyaratan reagensia sebagai berikut :

  • Sensitivitas reagen pertama > 99%

  • Spesifisitas reagen kedua > 98%

  • Spesifisitas reagen ketiga > 99%

  • Preparasi antigen atau prinsip tes dari reagen pertama, kedua, dan ketiga tidak sama. Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua atau ketiga mempunyai prinsip pemeriksaan (misalnya EIA, dot blot, imunokromatografi atau aglutinasi) atau jenis antigen (misalnya lisat virus, rekombinan DNA atau peptida sintetik) yang berbeda daripada reagensia yang dipakai pada pemeriksaan pertama.

  • Prosentase hasil kombinasi dua reagensia pertama yang tidak sama (discordant) kurang dari 5%.

  • Pemilihan jenis reagensia (EIA atau Simple/Rapid) harus didasarkan pada :

    1. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil
    2. Jumlah spesimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan
    3. Sarana dan prasarana yang tersedia

Untuk tujuan surveilans, reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99%, spesifisitas reagen kedua >98%. Keuntungan diagnosis dini:

  1. Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjang.
  2. Menghambat perjalanan penyakit kearah AIDS.
  3. Pencegahan infeksi oportunistik.
  4. Konseling dan pendidikan untuk kesehatan umum penderita.
  5. Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengobatan pada fase dini (Tjokronegoro&Hendra, 2003).

Epidemi HIV/AIDS


Salah satu faktor yang berpengaruh dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah, baik dalam hal besarnya masalah maupun faktor-faktor yang berpengaruh. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi. Klasifikasi untuk Epidemi HIV/AIDS terdiri dari:

  • Rendah: Prevalensi HIV dalam suatu sub-populasi berisiko tertentu belum melebihi 5%.
  • Terkonsentrasi: Prevalensi HIV secara konsisten lebih dari 5% di sub- populasi berisiko tertentu dan prevalensi HIV di bawah 1% di populasi umum atau ibu hamil.
  • Meluas: Prevalensi HIV lebih dari 1% di populasi umum atau ibu hamil. (USAID, 2003)

Penularan HIV


Model penularan HIV melalui hubungan seksual, darah dan produk darah yang terinfeksi HIV, dan transmisi dari ibu ke anak (Frank, 1997).

  1. Hubungan Seksual
    HIV dapat menyebar baik melalui hubungan sesama jenis (homoseksual) atau berbeda jenis (heteroseksual) ketika pasangannya telah terinfeksi HIV. Perempuan lebih besar berisiko untuk terinfeksi dari pasangannya karena transmisi dari laki-laki ke perempuan lebih efisien daripada perempuan ke laki-laki. Selama melakukan hubungan seks, kerusakan lapisan organ seksual bisa menularkan HIV dari pasangan yang terinfeksi ke orang yang tidak terinfeksi dengan pertukaran cairan tubuh (WHO, 1992). Selain melakukan hubungan seksual dengan vaginal yang berisiko, ada perilaku seksual berisiko lainnya untuk tertular HIV, misalnya hubungan seks dengan anal, (Frank, 1997).

  2. Darah dan produk darah yang terinfeksi HIV
    Penularan HIV melalui darah dan produk darah yang terinfeksi HIV dapat melalui transfusi darah dan pemakaian jarum suntik yang tidak steril secara bergantian.

    • Transfusi darah
      Darah donor yang tidak ditapis berisiko mengandung HIV. Ketika tes darah untuk skrining HIV tidak dapat dilakukan, orang dengan sickle cell, haemophilia dan lainnya membutuhkan transfusi darah yang berulang terinfeksi HIV melalui darah yang terkontaminasi virus (WHO, 1992).

    • Pemakaian alat suntik/ jarum suntik yang tidak steril
      Biasanya pengguna napza suntik menggunakan alat suntik bergantian dengan teman pengguna napza yang lain. Pertukaran darah yang terinfeksi HIV lewat jarum suntik adalah metode tranmisi HIV antara pengguna napza suntik (Frank, 1997).

  3. Transmisi dari ibu ke anak
    Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi selama kehamilan, ketika lahir, dan masa menyusui. Sebagian besar penularan terjadi pada saat melahirkan per vaginam. Peluang penyebaran HIV dengan cara ini sekitar 30% (WHO, 1992).

Populasi berisiko tinggi untuk penularan HIV terdiri dari:

  • Penjaja seks dan pelanggannya
  • Penasun (pengguna napza suntik)
  • Laki-laki suka laki-laki
  • Narapidana (WHO, 2007).

Populasi berisiko juga bisa sebagai jembatan penularan kepada kelompok yang lain (pasangan kelompok berisiko). Sebagai contoh, pelanggan dari penjaja seks yang terinfeksi HIV mungkin akan terinfeksi HIV. Kemudian dia melakukan hubungan seks dengan istrinya secara tidak aman, dan kemudian menginfeksi istrinya. Dalam kasus ini dia bertindak sebagai jembatan, infeksi HIV yang diperoleh dari penjaja seks ke pasangannya (WHO, 2007).

Layanan Tes HIV


Dalam strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS, salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan dukungan kepada orang terinfeksi HIV yang terintegrasi dengan upaya pencegahan. Pelayanan terhadap HIV/AIDS terdiri dari tes dan konsultasi HIV dan perawatan terhadap kasus HIV/AIDS.

Rencana strategi nasional AIDS menetapkan tes dan konseling HIV dengaN tujuan:

  • Menyiapkan fasilitas dan pelayanan tes yang bisa mendeteksi infeksi HIV/AIDS, khususnya diantara populasi berisiko tinggi.
  • Menyediakan praktek, pemberian nasihat, dan informasi HIV/AIDS beserta dampaknya.
  • Menetapkan biaya yang efektif atau terjangkau untuk melakukan tes.
  • Mendorong lembaga swadaya masyarakat dan sektor swasta untuk membangun klinik tes dan konseling.

Ada 3 tujuan utama tes HIV:

  1. Skrining: memastikan transfusi darah dan transplantasi organ yang aman termasuk skrining darah dari pendonor.

  2. Surveilans: tes tanpa identitas dari serum (atau cairan tubuh lainnya) untuk tujuan melihat tren prevalensi HIV yang terjadi di populasi tersebut.

  3. Diagnosis infeksi HIV: memberitahukan kepada seseorang tentang status HIVnya melalui tes HIV sukarela dengan itu mereka bisa membuat keputusan di masa mendatang untuk menyelamatkan kesehatan dirinya dan orang lain. Dengan mengetahui status HIV pada seseorang (tanpa gejala atau dengan tanda klinis) dapat mencari pengobatan lebih awal, melindungi dirinya dari infeksi oportunistik, dan merubah perilaku berisikonya (Utomo dan Irwanto, 1998).

1 Like